BONUS DEMOGRAFI & MEMAHAMI “GENERASI Z” INDONESIA

0
5,290 views

.BONUS DEMOGRAFI & MEMAHAMI GENERASI Z INDONESIA

.

Karakter Gen Z di Indonesia, Melek Teknologi dan Tidak Lihat Materi     Teori Bonus Demografi adalah teori yang menghubungkan antara dinamika kependudukan dengan ekonomi. Semakin sedikit jumlah penduduk usia non-produktif yang harus ditanggung penduduk usia produktif akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Potensi Bonus Demografi tercermin dari perubahan angka Rasio Ketergantungan (RK), yang menunjukkan jumlah penduduk usia anak dan lansia (non-produktif) dibanding jumlah penduduk usia kerja (produktif).

  Indonesia tengah berada pada periode Bonus Demografi. Sensus 2020 menunjukkan komposisi penduduk Indonesia sebagian besar berasal dari Generasi Z/Gen Z (generasi yang lahir antara tahun 1997 sampai dengan 2012) sebanyak 27, 94% atau 74, 93 juta. Sementara Generasi Milenial yang menjadi motor pergerakan masyarakat saat ini lebih sedikit, 25, 87% atau 69, 38 juta dari total penduduk Indonesia.

  Keberadaan Gen Z memegang peranan penting dan memberikan pengaruh pada perkembangan Indonesia saat ini dan ke depan. Saat ini sebagian mereka telah memasuki jenjang perguruan tinggi. Ini tentunya tantangan bagi pendidikan tinggi dan perguruan tinggi yang merupakan terminal akhir pendidikan dalam membangun SDM yang berdaya saing dengan kompetensi sesuai kebutuhan. Bagaimana perguruan tinggi memahami dan merespon tumbuh kembangnya Gen Z ini.

.

Mengenal dan Memahami Gen Z

  Rumusan United Nations Population Fund (UNFPA) menyebutkan sebuah negara dapat menikmati Bonus Demografi ketika setiap orang menikmati kesehatan yang baik, pendidikan yang berkualitas, pekerjaan yang layak, dan kemandirian anak muda (usia produktif) yang dipadukan dengan kebijakan negara yang baik dan tepat.

  Optimasi Bonus Demografi yang bakal diperankan Gen Z tidak boleh dipandang sepele. Maknanya menumbuhkembangkan potensi mereka dari sekarang, melalui pemahaman terhadap Gen Z dan karakternya, mempersiapkan sistem dan model pendidikan yang memadai, serta membuka ruang-ruang peluang mereka di dunia kerja dan industri.

  Mengacu sensus nasional tahun 2020 Prof. Dr. Endang Komara, M. Si menggambarkan 6 (enam) generasi penduduk Indonesia. Pertama veteran generation (lahir tahun 1925-1946), kemudian generasi kedua baby boomer (lahir tahun 1946–1960) sekitar 21,88 % dari 270 juta penduduk Indonesia), yang ketiga generasi X (lahir tahun 1960-1980) sekitar 21,88 %, yang keempat Generasi Y atau generasi milenial (lahir tahun 1980-1995, berusia 24-39 tahun) sekitar 28,87 % atau 69,39 juta penduduk, dan kelima Generasi Z (lahir tahun 1995-2010, berusia 8-23 tahun) ada 27,94% atau 75,49 juta penduduk yang merupakan generasi terbanyak saat ini, serta yang terakhir yaitu Generasi Alpha (lahir tahun 2010 ke atas). Terkait dengan komposisi tersebut, ke depan Gen Z bakal memegang perang penting seandainya mereka sebagai sumber daya manusia produktif, yang mampu dan berdaya.

  Gen Z disebut juga Generasi Net atau Generasi Internet. Mereka memiliki kesamaan dengan generasi Y, tapi mereka mampu mengaplikasikan semua kegiatan dalam satu waktu seperti nge-tweet, menggunakan ponsel, browsing dengan PC, dan mendengarkan musik dengan menggunakan headset. Apapun yang dilakukan kebanyakan berhubungan dengan dunia maya. Sejak kecil sudah mengetahui teknologi gadget canggih yang secara tidak langsung berpengaruh pada kepribadian manusia. Para ahli menyatakan bahwa Gen Z memiliki sifat dan karakteristik yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Generasi ini dilabeli sebagai generasi yang minim batasan (boundary-less generation).

  Berdasar penelitian sepanjang 2003 sampai dengan 2013, Bruce Tulgan dan Rainmaker Thinking, Inc. dalam artikel “Meet Generation Z: The Second Generation within The Giant Millenial Cohort” menemukan lima karakteristik utama Gen Z yang membedakannya dengan generasi sebelumnya. Pertama, media sosial merupakan gambaran tentang masa depan generasi ini. Gen Z adalah generasi yang tidak pernah mengenal dunia yang benar-benar terasing dari keberadaan orang lain. Media sosial membuktikan bahwa seseorang dapat berbicara dengan siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Media sosial menjadi jembatan atas keterasingan, karena semua orang dapat terhubung, berkomunikasi, dan berinteraksi. Kedua, bahwa keterhubungan Gen Z dengan orang lain sebagai hal yang terpenting. Ketiga, kesenjangan keterampilan dimungkinkan terjadi pada generasi ini. Karenanya upaya mentransfer keterampilan dari generasi sebelumnya melalui komunikasi interpersonal, budaya kerja, keterampilan teknis dan berpikir kritis harus intensif dilakukan. Keempat, Gen Z menjelajah dan terkoneksi dengan banyak orang di berbagai tempat secara virtual melalui koneksi internet. Hal ini menyebabkan pengalaman mereka menjelajah secara geografis, menjadi terbatas. Namun, kemudahan mereka terhubung dengan banyak orang dari beragam belahan dunia menyebabkan Gen Z memiliki pola pikir global (global mindset). Kelima, keterbukaan Gen Z menerima berbagai pandangan dan pola pikir, menyebabkan mereka mudah menerima keragaman dan perbedaan pandangan akan suatu hal. Namun, dampaknya Gen Z menjadi sulit mendefinisikan dirinya sendiri. Identitas diri yang terbentuk sering kali berubah berdasarkan pada berbagai hal yang mempengaruhi mereka berpikir dan bersikap terhadap sesuatu.

  Studi Ernest & Young (2015) menyebut terdapat lima perbedaan karakter pokok antara Gen Y dan Gen Z. Studi tersebut mengindikasikan bahwa latar belakang kelahiran Gen Z di masa resesi yang penuh dengan turbulensi, membuat Gen Z tumbuh menjadi generasi yang memiliki kesadaran diri dan mandiri. Gen Z diidentifikasi sebagai generasi yang inovatif dan produktif, serta berorientasi pada tujuan dan memiliki cara pandang yang realistis. Survei tersebut turut mengungkap fakta bahwa 62% Gen Z memiliki preferensi untuk memulai bisnisnya sendiri dibandingkan dengan bekerja di organisasi. Hal ini disebabkan oleh Gen Z yang memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi dan cenderung ambisius, serta tertarik untuk menemukan solusi atas masalah yang mereka hadapi (Galih Sakitri, 2021).

  Ryan Jenkins (2017) dalam tulisan berjudul “Four Reasons Generation Z will be the Most Different Generation” menyatakan Gen Z memiliki harapan, preferensi, dan perspektif kerja yang berbeda serta dinilai menantang bagi organisasi. Karakter Gen Z lebih beragam, bersifat global, serta memberikan pengaruh pada budaya dan sikap masyarakat kebanyakan. Satu hal yang menonjol, Gen Z mampu memanfaatkan perubahan teknologi dalam berbagai sendi kehidupan mereka.

  Sementara studi McKinsey (2018) membagi perilaku Gen Z dalam empat komponen besar berlandaskan pada satu fondasi yang kuat bahwa Gen Z adalah generasi yang mencari akan suatu kebenaran. Pertama, Gen Z sebagai “the undefined ID”. Mereka menghargai ekspresi setiap individu tanpa memberi label tertentu, memiliki keterbukaan yang besar untuk memahami keunikan tiap individu. Kedua, Gen Z sebagai “the communaholic”. Mereka sangat inklusif dan tertarik untuk terlibat dalam berbagai komunitas dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi guna memperluas manfaat yang ingin mereka berikan. Ketiga, Gen Z sebagai “the dialoguer”. Mereka percaya akan pentingnya komunikasi dalam penyelesaian konflik dan perubahan melalui dialog. Mereka juga terbuka terhadap pemikiran tiap individu yang berbeda-beda dan gemar berinteraksi dengan individu maupun kelompok yang beragam. Keempat, Gen Z sebagai “the realistic”. Mereka cenderung lebih realistis dan analitis dalam pengambilan keputusan, dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka merupakan generasi yang menikmati kemandirian dalam proses belajar dan mencari informasi, sehingga membuat mereka senang memegang kendali keputusan yang mereka pilih (Galih Sakitri, 2021).

  Namun, tidak selamanya kedekatan Gen Z dengan teknologi memberikan keuntungan. Penelitian O’Connor, Becker, dan Fewste (2018) dalam dunia kerja berjudul Tolerance of Ambiguity at Work Predicts Leadership, Job Performace, and Creativity menemukan bahwa pekerja yang lebih muda menunjukkan kapasitas yang lebih rendah dalam mengatasi ambiguitas lingkungan dibandingkan dengan pekerja yang lebih tua. Generasi lebih muda terbiasa mengekspresikan keinginan untuk hal-hal yang bersifat kebaruan termasuk pada bidang pekerjaan yang sifatnya lebih menantang. Mereka belum memiliki keterampilan dan kepercayaan diri mumpuni untuk mengelola ketidakpastian lingkungan yang sering kali terjadi sehingga cenderung menjadi lebih cemas.

  Apalagi Gen Z dilahirkan dan dibesarkan dalam pengasuhan yang terlalu protektif di tengah kondisi dunia yang serba tidak menentu. Resesi ekonomi, transformasi digital, invasi di beberapa negara, bencana alam, dan juga wabah penyakit.  Ini yang kemudian menyebabkan di masa dewasa, Gen Z menjadi kurang toleran terhadap ambiguitas lingkungan karena masa kanak-kanak yang terlalu terlindungi. Penelitian American Psychological Association yang dikutip Media Literasi bagi Digital Natives: Perspektif Gen Z di Jakarta (2018) menegaskan temuan tersebut. Kemampuan mengelola stres dan mencapai gaya hidup sehat semakin menurun di setiap generasi. Jika fenomena ini berlanjut, maka ke depannya, Gen Z akan menjadi generasi yang paling stres sepanjang sejarah. Kondisi ini juga berkaitan dengan karakter Gen Z yang tidak memiliki batasan dengan individu lain, sehingga memungkinkan mereka mudah labil ketika menerima terpaan informasi dan kondisi yang cepat berubah dan serba acak (Diyan Nur Rakhmah,  2021).

.

Transformasi Pendidikan ?

  David Stillman dan Jonah Stillman (2017) mengidentifikasi karakter Gen Z dalam bukunya Gen Z at Work: How The Next Generation is Transforming the Workplace dalam tujuh karakter utama Gen Z, yaknifigital, fear of missing out (FOMO), hiperkustomisasi, terpacu, realistis, Weconomist, dan do it yourself  (DIY) yang tentunya memberi masukan bagaimana pendidikan perlu bertransformasi.

  Karakter figital. Generasi Z eksis di dua dunia, yaitu dunia nyata dan virtual. Kepribadian mereka bisa sangat berbeda saat di dunia virtual dibandingkan kehidupan nyata. Bisa jadi dikehidupan nyata terlihat seperti anak yang pendiam, tetapi bisa berubah menjadi anak yang banyak bicara saat di media sosial.

  Ini akan menjadi landasan bagi pendidik menentukan metode pembelajaran yang tepat digunakan. Pendidik juga harus semakin terbiasa menggunakan sarana pembelajaran yang beragam melalui teknologi digital, agar peserta didik tetap dapat aktif dan tersambung dalam pembelajaran dalam berbagai kondisi pembelajaran yang ada. Pendidik juga perlu lebih terbuka terhadap tambahan leksikon baru sebagai media dan perangkat pembelajaran. Ini dapat berupa visual, video, atau bahkan simbol tertentu yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas komunikasi antara peserta didik dan pendidik. Pendidik perlu lebih kreatif dalam mencari dan menerapkan solusi figital untuk meningkatkan dan menyebarkan budaya pembelajaran.

  Karakter FOMO (Fear of Missing Out). Generasi Z sangat update terkait segala sesuatu yang terjadi di sekitar mereka. Mereka bisa melewatkan aktivitas makan atau bahkan rela untuk tidur di jam yang singkat, demi selalu update berita di media sosial agar tidak melewatkan segala sesuatu yang mereka anggap penting. Mereka memiliki rasa ingin tahu tinggi tentang berbagai hal, khususnya hal-hal baru. Peserta didik terpacu untuk mengetahui berbagai hal dari sumber-sumber informasi yang tersebar dan mudah diakses saat ini. Dalam hal ini, pendidikan perlu menjadi media yang terbuka dan mewadahi berbagai informasi yang diperlukan peserta didik tidak hanya pada hal yang berkaitan dengan pembelajaran, tetapi juga keterampilan hidup. Pendidikan perlu mampu mengkurasi informasi apa saja yang memang bermanfaat bagi peserta didik, dan yang tidak. Kompetensi guru menjadi sangat penting dalam hal akurasi tersebut.

  Karakter Hiperkustomisasi. Generasi Z suka sekali melakukan modifikasi pada barang-barang yang mereka miliki, seperti di motor, laptop, bahkan pakaian yang dikenakan. Hal ini mereka lakukan untuk menunjukkan identitas diri dengan cara bebas berekspresi.

  Peserta didik menjadi terbiasa menentukan kebutuhan apa yang mereka butuhkan dan perlu dapatkan. Aktivitas mereka berselancar di dunia maya, merupakan bagian dari cara Gen Z memenuhi kebutuhan akan dirinya.  Dalam konteks pendidikan, memberikan kebebasan peserta didik menentukan cara belajarnya merupakan sebuah kebutuhan. Guru dituntut mampu melakukan personalisasi cara-cara belajar bagi setiap peserta didik, dan memberikan peserta didik lebih banyak kesempatan untuk mencari sumber belajar di luar aktivitas bersekolah. Karakter hiperkustomisasi menyebabkan peserta didik menjadi terbiasa mengkritisi banyak hal di sekelilingnya, termasuk memberikan masukan terhadap media-media belajar yang selama ini digunakannya. Kenyamanan belajar adalah yang utama bagi Gen Z.  

  Karakter Terpacu. 72 % Gen Z merasa kompetitif terhadap orang yang melakukan perkerjaan yang sama, hal ini membuktikan bahwa Gen Z sangat terpacu untuk menjadi yang terbaik. Guru perlu mendorong berbagai media yang mampu mengakomodasi potensi peserta didik yang beragam, tanpa mengarahkan pada upaya memperbandingkan antara peserta didik yang satu dan lainnya. Peserta didik perlu lebih banyak diapresiasi dan menjadikan praktik tersebut sebagai bagian tidak terpisahkan dari upaya-upaya reflektif semua pihak dalam memperbaiki kualitas pembelajaran.

  Karakter Realistis. Gen Z merupakan generasi yang memiliki cita-cita tinggi, karena mereka sadar hal tersebut bukanlah sesuatu yang tidak bisa dilakukan di era canggih seperti sekarang. Mereka dapat menjadi apapun yang mereka inginkan. Namun nyatanya kebebasan bermimpi yang dimiliki juga tetap mengedepankan realitas yang mungkin terjadi. Mereka juga menyadari akan keterbatasan diri, ancaman, dan tantangan yang ada di dunia luar.

  Karakter Weconomist. Gen Z terbiasa dengan konsep ‘sharing economy’ yaitu konsep bisnis yang dapat memberikan akses kepada sumber daya yang dimiliki orang atau perusahaan untuk dikonsumsi atau dimanfaatkan bersama dengan pengguna. Contohnya seperti aplikasi semacam Grab, Uber, dan Gojek. Gen Z lebih menyenangi kegiatan yang sifatnya berkelompok dan selalu terhubung dengan sejaw atnya. Karakter ini dapat difasilitasi dengan penerapan pendekatan pembelajaran yang melibatkan lebih dari satu peserta didik dan mengondisikan untuk saling berkolaborasi dalam menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran yang diberikan. Pendekatan pembelajaran berbasis proyek dan sejenisnya akan membuat peserta didik terbiasa bekerja dengan kelompok dan berbagi informasi di dalamnya. Peserta didik perlu lebih banyak didekatkan dengan sesamanya, untuk dapat saling belajar dan memberikan masukan dengan komunitasnya (peer review), dengan tetap menempatkan guru sebagai fasilitator belajar. Kegiatan eksplorasi peserta didik juga perlu untuk semakin dihidupkan melalui berbagai percakapan/diskusi antar mereka.  

  Karakter DIY (Do It Yourself). Gen Z lebih senang melalukan banyak hal sendiri. Gaya hidup khas Gen Z tidak perlu sekolah khusus dalam membantu kehidupan sehari-hari, karena mereka punya Google dan Youtube, yang di dalamnya berisi berbagai macam hal yang bisa langsung dicontoh, seperti mencari resep untuk memasak sesuatu, memperbaiki barang elektronik, bahkan sampai cara memotong rambut bisa mereka lakukan sendiri.

  Mengembangkan karakter-karakter di atas, guru perlu membangun pembelajaran dengan pendekatan beragam untuk mendorong kreativitas peserta didik dalam banyak hal. Internet lebih diarahkan guru sebagai sumber informasi dan inspirasi meningkatkan keterampilan hidup peserta didik. Proses belajar harus bersifat mandiri, demokratis, dan membuka ranah yang luas bagi penciptaan dan penemuan hal-hal baru dalam pembelajaran. Guru perlu menciptakan iklim belajar yang mampu membangun self regulation pada diri peserta didik. Mereka juga perlu lebih banyak dilatih realistis tentang kehidupan dan masa depannya. Guru juga perlu menyampaikan secara terbuka peluang, tantangan dan juga hambatan yang mungkin akan membuat mereka memerlukan upaya lebih untuk mencapai cita-cita yang mereka impikan. Dengan berbagai upaya tersebut, pendidikan diharapkan mampu memberikan masukan tentang hal-hal rasional yang perlu Gen Z lakukan dalam kehidupan mereka, pada saat ini dan ke depan (Diyan Nur Rakhmah,  2021).

  Studi yang dilakukan Forbes (2018), 77% Gen Z merasakan stres di tempat kerja yang disebabkan oleh persepsi mereka akan lingkungan kerja yang sangat kompetitif, jam kerja yang panjang, dan tenggat waktu yang sempit dalam penyelesaian tugas pekerjaan. Meski demikian, Gen Z memiliki semangat kerja yang kuat dalam meniti kariernya dan akan berupaya untuk memastikan bahwa mereka berkontribusi dengan baik untuk organisasi (Bucovetchi, et al, 2019).

  Sementara, survei yang dilakukan Kronos Incorporated (2019) menemukan bahwa 33% Gen Z dari 3.400 responden yang tersebar di berbagai negara tidak hanya menilai fleksibilitas di tempat kerja sebagai suatu hal yang penting, melainkan merupakan suatu kebutuhan yang esensial. Menariknya, survei tersebut menemukan bahwa Gen Z ternyata tidak terlalu percaya diri untuk memasuki dunia kerja dan adanya tuntutan untuk bekerja dalam waktu yang panjang menjadi salah satu faktor penentu. Tidak hanya itu, Gen Z cenderung mengkhawatirkan kemampuan mereka untuk sukses di dunia kerja. Setidaknya, terdapat tiga hambatan emosional yang dialami Gen Z sehingga menciptakan ketidakpercayaan diri akan pencapaian secara profesional, diantaranya kecemasan (34%), kurangnya motivasi (20%), dan adanya perasaan rendah diri (17%).

  Gen Z dikenal sebagai generasi yang kreatif dan inovatif. Survei yang dilakukan Harris Poll (2020), menggambarkan sebanyak 63% Gen Z tertarik melakukan beragam hal kreatif setiap harinya. Kreatifitas tersebut turut dibentuk dari keaktifan Gen Z dalam komunitas dan sosial media. Hal ini relevan dengan sejumlah studi yang mengidentifikasi bahwa Gen Z merupakan generasi yang erat dengan teknologi (digital native). Sebagaimana mereka lahir di era ponsel pintar, tumbuh bersama dengan kecanggihan teknologi komputer, dan memiliki keterbukaan akan akses internet yang lebih mudah dibandingkan dengan generasi terdahulu. Bahkan, survei tersebut memaparkan bahwa Gen Z di Indonesia khususnya, menduduki peringkat tertinggi dalam penggunaan ponsel, yakni 8,5 jam setiap harinya (Kim, et al, 2020). Menariknya, meskipun Gen Z dikenal sebagai generasi digital, 44% Gen Z lebih menyukai bekerja dengan tim dan rekan kerja secara langsung.

  Pada dasarnya, Gen Z merupakan generasi yang unik dan memiliki potensi yang luar biasa di dalam diri. Di Indonesia, khususnya, Gen Z lahir di periode krisis ekonomi yang berat dan menyuguhkan tantangan tersendiri bagi para orang tua untuk membesarkan generasi pascamilenial ini di masa sulit. Kecemasan yang dialami orang tua, tanpa disadari, turut berpengaruh terhadap pembentukan karakter Gen Z. Tumbuh di era resesi, membuat Gen Z diberikan perlindungan lebih, sehingga mereka seringkali mudah merasa cemas bila keadaan tidak berjalan sesuai yang mereka inginkan.

  Bangkitnya Gen Z juga akan menimbulkan tantangan baru bagi praktek manajemen dalam organisasi, khususnya bagi praktek manajemen sumber daya manusia. Nah, tugas kita bagaimana melalui pendidikan tinggi, bagaimana Gen Z menjadi lebih berdaya dalam mengusung produktivitas kerja dalam menguatkan kelebihan dan kekurangan mereka. Sehingga memberi dampak optimal bagi Bonus Demografi. Bukan Bencana Demografi !!! Semoga.

(Dari berbagai sumber, Rewriter: lili irahali24 November 2021)