Bachrudin Musthafa
Rubrik utama, esei pembuka, dalam Komunita kita kali ini telah membawa kita ke latarbelakang sejarah Artificial Intelligence (AI) dengan segala dinamika sosial-teknologis yang menyertai kebutuhan dan kelahirannya, termasuk yang dijadikan subheadings ini “akar dan awal perkembangan”, “inspirasi pemikiran filosofis”, “mesin mekanik dan revolusi industri”, “revolusi komputasi di abad ke-20”, “kelahiran kecerdasan buatan sebagai disiplin”, “periode kekecewaan (AI Winter)”, “Kebangkitan AI: Pembelajaran Mesin dan Data”, “Era Modern: AI yang Mengubah Dunia.” Dari daftar topik bahasan yang panjang ini, Redaksi telah menunjukkan hasil kerja kerasnya dan kepeduliannya tentang mutu Pendidikan Tinggi di Indonesia dan semangat untuk turut mendorong agar Pendidikan Tinggi di Indonesia mulai menyiasati secara strategis supaya mutu pendidikan tinggi di Indonesia tidak tertinggal di antara masyarakat dunia.
Menukik ke dalam isu yang lebih krusial, Komunita edisi ini juga menyajikan perbincangan dengan pakar Artificial Intelligence, Director of Center of Artificial Intelligence for Learning and Optimalization, Telkom University, yang karena fokus keahlian dan pengalaman pribadinya yang dapat kita pelajari bersama sebagai tokoh artificial intelligence (AI) di Indonesia. Untuk esei pendamping kali ini, saya mengangkat tajuk “Tujuh Siasat Kebangkitan Sosial-Humaniora di Lingkungan Budaya Indonesia. Penyajian gagasannya akan diurutkan sebagai berikut: 1) Sadari pentingnya konteks budaya; 2) Posisikan diri sebagai penentu pilihan; 3) Berdayakan diri dan budaya sekitar; 4) Perjuangkan untuk sukses bersama orang lain; 5) Bergabunglah bersama kelompok sepaham dan seminat; 6) Belajarlah dari dan bersama pakar yang tulus mencintai bidang Artificial Intelligence ini; 7) Kenalilah batasan dan keterbatasan Anda dan optimalkan apa yang dapat dilakukan untuk kemaslahatan bersama.
- Sadari pentingnya konteks budaya. Pernahkah Anda memikirkan sesuatu yang besar dan abstrak seperti konsep “kreativitas”? Belakangan ini saya berkesempatan menelisik konsep-konsep kreativitas dan cikal-bakal para pemenang hadiah Nobel. Menurut hasil studi para ilmuwan peneliti, ternyata bahan-baku pemikiran dan pengalaman yang kemudian mengondisikan—melalui diskusi dan deliberasi yang serius__lahirnya gagasan-gagasan dan sintesis baru itu adalah sesuatu yang bersarang pada pengalaman budaya. Pengalaman budaya inilah konon yang kemudian setelah dipikirkan berulang-kali dan dimodivikasi di sana-sini memercikkan gagasan-gagasan kretif.
Dengan demikian, janganlah kita terburu-buru mencari sesuatu yang berasal dari “tanah asing” yang kita tak dapat akrabi dengan baik dalam waktu dekat. Kita kenali saja dahulu dengan sedetil-detilnya kebiasaan budaya kita dengan tenang dan tanpa-tekanan sehingga proses-proses sosial-kultural dapat disintesiskan dengan cara yang baru. Kata-kunci penting di sini adalah pengalaman budaya sendiri yang perlu diakrabi lebih mendalam lagi sehingga memungkinkan lahirnya senyawa baru.
- Posisikan diri sebagai penentu pilihan. Dari pengalaman keseharian kita yang sepertinya menekan kita untuk “berpacu dengan waktu”, kita sering lupa bahwa proses dan langkah-langkah merencanakan dan kemudian memutuskan sesuatu memerlukan haknya sendiri untuk berproses dengan wajar. Berhentilah untuk memosisikan diri sebagai “korban” desakan pihak lain. Why rushing things? Berhenti dan pikirkan ini: siapa persisnya yang harus mengambil keputusan dan untuk kepentingan siapa? Dalam menentukan apa yang harus kita lakukan dan bagaimana melakukannya__ pada umunya__ posisi terbaiknya ada pada pengalaman kita sendiri sebagai mahluk budaya. Kitalah yang akan menentukan apa yang akan kita perlukan dan bagaimana mendapatkannya. Mari kita hayati prosesnya dan mari kita nikmati pelajaran yang diperolehnya. Yang penting di sini adalah prosesnya harus kita hayati dan hubungan timbal–balik dengan konsekuensi yang diakibatkannya. Inilah proses ‘mahal’ yang disebut berpikir reflektif.
- Berdayakan diri dan budaya sekitar. Dalam banyak hal dalam kehidupan sehari-hari yang kita lalui sebagai mahluk budaya yang belajar dari pengalaman yang dilalui, kita banyak memperoleh pengalaman dari bekerjasama dengan orang lain; dan kemudian kita juga menimbang-nimbang konsekuensi dari akibat yang diperoleh dari pengalaman kita. Pelajaran penting yang harus kita ambil di sini adalah bahwa proses berpikir dan kemudian mengambil keputusan tentang sesuatu itu seringkali mahal harganya. Untuk mendapatkan manfaat besar dari pengalaman pribadi kita dalam mengambil suatu keputusan adalah bila kita dapat “menularkan” keberuntungan kepada pihak lain yang sering bersama kita. Kita__dengan demikian__ dalam posisi dapat berbagi pengalaman dengan teman kita agar yang bersangkutan bisa memperoleh keberuntungan yang serupa—bila yang bersangkutan dalam posisi mengalami pengalaman serupa.
Dengan kata-kata yang lain, alih-alih kita bersaing dengan teman seiring, saya ingin menyarankan agar kita bekerjasama saling membantu. Hal ini dapat dilakukan dengan cara “bekerja sama” atau dapat juga menyampaikan hasil belajar yang kita peroleh dan menawarkannya sebagai “undangan kebajikan” bagi teman seiring yang membersamai kita.
- Perjuangkan untuk sukses bersama orang lain. Life is struggle. Itu kata pepatah di negeri tetangga sana. Kita juga dapat menikmati sukses yang serupa itu dengan memperjuangkan sukses ikhtiar kita dan kemudian menawarkan hasilnya (atau hasil belajarnya) dengan teman kita. Is it too good to be true? Cobalah praktikkan menjadi orang seperti itu: berbagilah sukses bersama teman seiring. Rasakan laganya melihat teman seiring kita tampak bahagia bersama kita.
- Bergabunglah bersama kelompok sepaham dan seminat. Seperti pameo lama yang mengatakan bahwa burung-burung sejenis akan berkumpul di tempat yang sama; manusia dengan minat serupa dan/atau hobby yang bersesuaian akan tertarik berkumpul dan berinteraksi atar sesamanya. Poin pentingnya di sini adalah bahwa wajar saja kalau ada kecenderungan bahwa manusia akan tertarik untuk bergabung dengan teman-temannya yang memiliki kecenderungan yang sama dan minat serupa.
Dalam kaitannya dengan format komunikasi dan forum interaksi sosial juga kita dapat menggunakan rumusan kelompok dan pengelompokan peguyuban yang bernuansa serupa. Yang saya anggap penting dalam “wadah sosial” dan “forum pergaulan” ini adalah bahwa kita dipandu oleh rasa saling-menghargai dan rasa saling-membuka-diri. Relasi sosial yang cair dan saling-menerima semacam ini sangat sehat bagi praktik budaya dan pergaulan sosial pada masyarakat kita di Indonesia.
Kalau kita di Indonesia sekarang-sekarang ini dapat dengan mudah berbaur tanpa kekagokan pskologis dan sosial yang wajar, maka __ sebagai warga budaya nusantara__ kita masih “tunggal ika”. Kita masih sehat-afiat secara budaya.
- Belajarlah dari dan bersama pakar yang tulus mencintai bidang Artificial Intelligence ini. Sedari awal, banyak pakar komunikasi dan pakar teknologi bersepakat bahwa sesuai akses yang dimilikinya dan/atau keleluasaan fasilitas teknologi yang ada padanya, masyarakat berbagai lapisan usia dan tingkat pendidikan akan merasakan degree of comfort __tingkat kenyamanan__ yang berbeda-beda. Gap ini pasti ada dan ia merupakan keniscayaan. Kita terima ini sebagai kenyataan variasi kedirian kita masing-masing.
Menghadapi kenyataan yang bervariasi ini dan menyadari kebedaan tingkat keakraban individu dengan perangkat teknologi dan kemudahan memahami Artificial Intelligence ini, kita seyogyanya dapat saling membuka-diri dan belajar dari yang satu ke yang lainnya. Ahli Artificial Intelligence dan teknologi digital yang mencintai bidangnya saya bayangkan memiliki perasaan “terbuka” dan “memaklumi” tingkat kecanggihan yang bervariasi sebagai fungsi dari perbedaan usia dan akses terhadap perangkat teknologi komunikasi yang menganga dengan lebar. Gap ini merupakan kesempatan bagi ahli Artificial Intelligence dan teknologi komunikasi untuk menjembatani dan memuluskan komunikasi lintas generasi yang dihadapi dalam realitas kehidupan yang ada.
Sebagai ahli yang paham dan terampil lebih dahulu dibanding yang lain-lainnya, Anda dalam posisi diberi kemudahan untuk “merangkul” (reaching out) masyarakat yang melingkupinya. Semoga Anda memperoleh keberkahan dari ilmu dan keterampilan digital dan teknologis yang dimiliki. Semoga diberkatiNya.
- Kenalilah batasan dan keterbatasan Anda dan optimalkan apa yang dapat dilakukan untuk kemaslahatan bersama. Satu hal yang sangat penting untuk diingat dalam hal ini adalah kita harus mampu mengenali batasan dan keterbatasan kita dalam hubungannya dengan akses dan keleluasaan teknologi komunikasi yang dimiliki dan hendak dimanfaatkan. Kita bukan designer dan bukan juga pemilik teknologi: kita seyogianya memosisikan diri sebagai pengguna dan pengambil manfaat dari kemudahan teknologi. Dengan cara menyadari hal ini, kita seyogianya terbebas dari keharusan ini-dan-itu di luar batas yang telah kita tarik sebagai garis yang memisahkan satu individu dari yang lainnya sebagai pengguna potensial dan pengambil manfaat teknologis.
Demikianlah sumbangan pemikiran yang dapat ditulis untuk Komunita kali ini.
(Bachrudin Musthafa)