Natasha Rusmin – Head of People Partner, PT. Dua Puluh Tiga
Generasi Z merupakan generasi digital yang hadir di tengah pesatnya perkembangan teknologi. Mereka tumbuh di era dimana internet dan perangkat digital telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Lahir antara tahun 1997 hingga 2012, generasi ini memiliki cara pandang dan karakteristik yang unik dalam menjalani kehidupan.
Sejak kecil, Generasi Z telah terpapar dengan berbagai perangkat digital – dari smartphone, tablet, hingga komputer. Mereka sangat mahir dalam mengoperasikan gadget dan bernavigasi di dunia digital. Media sosial bukanlah sesuatu yang asing, melainkan menjadi platform utama mereka dalam berinteraksi, mencari informasi, dan mengekspresikan diri. Instagram, TikTok, dan YouTube menjadi “teman dekat” dalam keseharian mereka.
Dalam hal pembelajaran, Generasi Z memiliki preferensi yang berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka lebih nyaman dengan konten visual dan interaktif dibandingkan teks panjang. Video tutorial di YouTube atau infografis menarik di Instagram lebih mudah mereka cerna dibanding buku teks konvensional. Kemampuan multitasking mereka sangat tinggi – bisa belajar sambil mendengarkan musik, chatting dengan teman, dan mengerjakan tugas dalam waktu bersamaan.
Kesadaran sosial Generasi Z patut diacungi jempol. Mereka sangat peduli dengan isu-isu seperti perubahan iklim, kesetaraan gender, dan keadilan sosial. Melalui media sosial, mereka aktif menyuarakan pendapat dan mendukung gerakan-gerakan sosial yang sejalan dengan nilai-nilai mereka. Keberagaman bukan lagi sesuatu yang ditakuti, melainkan dilihat sebagai kekayaan yang patut dihargai.
Dalam konteks pekerjaan, Generasi Z memiliki pandangan yang berbeda tentang kesuksesan. Mereka tidak lagi terpaku pada karir konvensional atau bekerja di perusahaan besar. Banyak yang memilih menjadi content creator, membangun startup, atau mengejar passion mereka sebagai freelancer. Fleksibilitas waktu dan tempat kerja menjadi prioritas – mereka menginginkan kebebasan untuk mengatur jadwal sendiri sambil tetap produktif.
Di sisi lain, kehidupan yang sangat digital membawa tantangan tersendiri. Banyak dari Generasi Z yang mengalami kecemasan sosial dan kesulitan dalam komunikasi tatap muka. Mereka lebih nyaman berinteraksi melalui chat atau media sosial dibanding berbicara langsung. Ketergantungan pada teknologi juga menjadi isu yang perlu diperhatikan.Namun, di balik tantangan tersebut, Generasi Z memiliki potensi luar biasa. Kreativitas dan kemampuan berinovasi mereka sangat tinggi. Mereka tidak takut mencoba hal-hal baru dan berani mengambil risiko. Pemikiran entrepreneurial yang kuat membuat mereka mampu melihat peluang di tengah keterbatasan.
Dalam hal konsumsi, Generasi Z sangat selektif. Mereka tidak sekedar membeli produk, tapi juga mempertimbangkan nilai-nilai yang dibawa oleh brand tersebut. Isu sustainability dan ethical production menjadi pertimbangan penting. Mereka lebih memilih menghabiskan uang untuk pengalaman (traveling, konser, workshop) dibanding membeli barang-barang materi.
Yang menarik, meski hidup di era digital, Generasi Z mulai menunjukkan kerinduan akan authenticity dan koneksi yang nyata. Mereka mulai mencari keseimbangan antara kehidupan digital dan analog. Vinyl records kembali populer, buku fisik masih dicari, dan pertemuan tatap muka tetap dihargai – menunjukkan bahwa di tengah arus digitalisasi, sisi manusiawi tetap mereka jaga.
Generasi Z adalah generasi yang kompleks dan multidimensi. Mereka membawa perubahan besar dalam cara masyarakat berinteraksi, bekerja, dan memandang dunia. Meski kadang dianggap terlalu bergantung pada teknologi, sesungguhnya mereka sedang mencari cara untuk menggunakan teknologi secara bijak sambil tetap mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan. Mereka adalah generasi yang akan membentuk masa depan, dengan segala kelebihan dan tantangan yang mereka hadapi.
Sekitar 1 minggu yang lalu terdapat pada salah satu artikel dari situs ternama di Indonesia dengan judul “Ramai-ramai Perusahaan Pecat Gen Z, Ini Alasannya”. Dalam artikel tersebut dituliskan beberapa alasan sebagai berikut :
Kurangnya motivasi atau inisiatif – 50 persen
Kurangnya profesionalisme – 46 persen
Keterampilan berorganisasi yang buruk – 42 persen
Keterampilan komunikasi yang buruk – 39 persen
Kesulitan menerima feedback – 38 persen
Kurangnya pengalaman kerja yang relevan – 38 persen
Keterampilan pemecahan masalah yang buruk – 34 persen
Keterampilan teknis yang tidak memadai – 31 persen
Ketidakcocokan budaya – 31 persen
Kesulitan bekerja dalam tim – 30 persen
Sedih saya membacanya, dan terlintas apa yang dapat saya lakukan untuk membuka mata dan hati para generasi pendahulu dan menolong gen Z ini. Mengapa pikiran dan perasaan seperti itu muncul dalam diri saya?
Perusahaan kami, PT. Dua Puluh Tiga merupakan perusahaan dengan demografi karyawan hampir 80% adalah generasi Z, sekitar 17% generasi Y atau milenial, dan sisanya adalah generasi X. Dan rata-rata angka turn over sepanjang 2024 di perusahaan kami sebesar 0,6%, yang berarti dalam 2 atau 3 bulan belum tentu memiliki karyawan yang resign.
Bagaimana dengan angka employee satisfaction, employee engagement dan performance? Juni 2024, survey terakhir kami mencatat angka employee engagement pada 3.3 dari 4.0, employee satisfaction 3.04 dari 4.0, dan performance karyawan tercermin dari business growth perusahaan kami yang mencapai angka di atas 30% di tahun 2024.
- Dua Puluh Tiga merupakan perusahaan yang bergerak di bidang retail fashion yang mendistribusikan 2 (dua) brand legendaris yaitu Exsport Bags dan Bodypack. Exsport bags sendiri sudah ada sejak tahun 1979, dan merupakan “mother brand” dari seluruh brand yang ada di group kami. Untuk tetap menjaga eksistensi dan keberlangsungan brand, juga agar brand tetap relevan dengan market atau konsumen saat ini, tentunya kami perlu terus menyesuaikan diri dengan market kami di jaman sekarang. Oleh sebab itu kami perlu merekrut gen-Z untuk lebih mendalami dan memahami karakter konsumen kami.
Work hard, play hard. Apabila karyawan merasa senang dan terpenuhi aspirasinya pastinya mereka akan lebih loyal dan memberikan dampak positif kepada perusahaan. Dan salah satu penelitian mengungkapkan bahwa 56% gen-Z memutuskan akan meninggalkan pekerjaannya apabila tidak merasa happy. Apa yang kami lakukan? Kami membentuk dan menjalankan perusahaan kami dengan gaya corporate startup. Tentu saja masih ada unsur corporate karena kami perusahaan yang sudah berdiri sejak tahun 1979 dengan basic manufacture, tetapi pada bagian-bagian tertentu kami menjalankan dengan lebih kasual, berjalan dengan gaya startup.
Pola instruksi gabungan antara top-down dan bottom-up dengan menggunakan OKR (Objective Key Result) sebagai alat strategic planning kami, membuat teman-teman generasi Z ini dapat mengungkapkan aspirasi mereka terhadap sesuatu project. Kami memberikan ruang dan kepercayaan kepada mereka untuk mewujudkan ide-ide mereka, meskipun tetap dalam koridor yang sesuai dengan tujuan bisnis dan perusahaan.
Apa yang kami lakukan sebagai pimpinan? Kami mempersiapkan waktu dan diri kami menjadi mentor bagi mereka, bukan atasan. Sekali lagi, salah satu penelitian mengungkapkan 65% gen-Z membutuhkan feedback dari generasi pendahulunya. Oleh sebab itu kami menerapkan agar setiap pimpinan disiplin dengan budaya CFR (Conversation Feedback Recognition) yang dibangun dengan landasan culture perusahaan kami yaitu Trust Openess and Profesionalism, tentunya melengkapi setiap pimpinan juga dengan skill memberikan feedback yang positif.
Hasil survey yang lain mengungkapkan bahwa generasi ini memprioritaskan happiness, workforce positive culture dan diversity. Mengerti, empati, dan take action menjadi tiga hal yang sangat penting. Para pemimpin yang sudah lebih senior seharusnya mencoba mengerti kebutuhan teman-teman generasi Z kita. Setiap generasi merupakan produk dari generasi sebelumnya dan juga peristiwa besar yang terjadi pada masanya kan? Jadi, sudah seharusnya kita yang mengaku sudah lebih dewasa belajar melihat kebutuhan, mau mendengar aspirasi mereka, dan berjalan juga melihat dari sepatu dan mata mereka, bukan hanya menyalahkan dan complain.
Kami memberlakukan system kerja WFA (work from anytime and anywhere) dan memberikan mereka kepercayaan penuh. Work life integration, dimana setiap manusia mempunyai aspek lain selain pekerjaan di dalam kehidupannya yang harus mereka penuhi, dan bebas mengatur waktu untuk itu dengan syarat tanggung jawab pekerjaan selesai pada deadline yang sudah disepakati. Kami bukan menganggap mereka bawahan, tetapi partner. Sebisa mungkin kami menciptakan kantor kami seperti arena bermain, laboratorium bereksperimen, rumah sebagai tempat mereka pulang dan berkeluh kesah saat membutuhkan.
Apa yang kami dapatkan di posisi perusahaan? Ide-ide kreatif dan inspiratif yang bahkan di level kami tidak terpikirkan, itu yang mendorong pertumbuhan bisnis kami lebih dari 30% tahun ini. Loyalitas, dimana banyak perusahaan berjuang mengendalikan turn over gen-Z, bahkan mereka tidak mau keluar dari tempat kami. Mereka tidak mau menerima feedback? Justru mereka yang mengejar feedback dari kami, bagi kami d PT. Dua Puluh Tiga “feeback is a gift”.
Jadi, mari kita sama-sama mau mengerti, empati dan take action, tidak gengsi untuk berubah karena sudah tidak masanya lagi terdapat Batasan yang sangat lebar antara atasan, bawahan maupun setiap generasi. (oleh Natasha Rusmin)
Olah Kreatif Gen-Z, Bersekutu
Indonesia dalam waktu dekat akan mengalami bonus demografi yang seharus menjadi peluang untuk menjadikan Indonesia lepas dari jebakan sebagai Negara berpendapatan rendah. Namun mencapai hal tersebut merupakan tantangan yang tidak ringan, banyak hal yang harus dilakukan. Dan lagi bonus demografi tersebut dalam waktu dekat akan diisi oleh Gen-Z yang populasi semakin besar dan berperan penting dalam pasar kerja.
Lembaga riset Deloitte menggambarkan karakteristik dan persepsi terhadap Gen-Z (Tempo edisi 23 – 29 Desember 2024) menyebutkan Gen-Z adalah generasi pragmatis, menghindari rsiko, dan tidak berjiwa wirausaha karena hanya termotivasi oleh keamanan kerja. Disisi lain, mereka juga menganggap penting gaji, juga priuoritas lain, seperti keseimbangan kehidupan dan kerja, jam kerja yang fleksibel, tunjangan, manfaat asuransi. Juga persepsi mereka memandang penting bahwa bekerja pada organisasi dengan nilai yang sejalan dengan sikap mereka. Mereka juga melihat perusahaan berdasarkan kualitas produkk, tapi juga pada etika dan dampak social. Sementara penelitian Universitas Paramadina dan lembaga Continuum menyebutkan Gen-z mementingkan pengaakuan atas harga diri mereka ketika mencari pekerjaan. Mereka cenderung akan keluar dari perusahaan yang nilai-nilaing tidak cocok dengan diri mereka. Semisal ketidakcocokan dengan atasan, rekan kerja, dan juga budaya perusahaan. Banyak hal yang mendasari karekteristik dan persepsi mereka, antara lain: mereka mengalami tekanan social, pasca pandemic Covid-19, ketidakpastian ekonomi global, serta tekanan ekonomi keluarga, sebagai generasi sandwich (harus membiaya orangtua dan adik).
Ditengah situasi tersebut, Semesta (Serikat Merdeka Sejahtera) dari Sleman, Yogyakarta yang diinisiasi Gen-Z berupaya menciptakan ekosistem kerja yang sesuai dengan karakter mereka. Semesta menjadi warna baru di tengah banyaknya serikat pekerja. Pendirian Semesta menurut Faisal Makruf – Ketua Umum – merupakan refleksi bersama teman-temannya susai unjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja 2020 lalu. Semesta yang beranggotakan 500 orang menjadi semacam ekosistem warga Gen-Z untuk saling membantu. Saat ini telah menelorkan satu perjanjian keraj bersama. Selain mengadvokasi para pekerja yang mengalami sengketa perburuahan, menggelar pelatihan untuk meningkatkan kemampuan, juga menyiapkan strategi diantaranya menyalurkan anggota ke koperasi milik serikat atau mitra serikat.