Perlu Wasdalbin dan Bentuk Problem Solver University

0
558 views
Perlu Wasdalbin dan Bentuk Problem Solver University

Wawancara Rektor Universitas BSI (Bina Sarana lnformatika), Dr. H. Purwadhi, M.Pd.

Rektor Universitas BSI

Berikut wawancara perwakilan perguruan tinggi seputar ‘Pembekuan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) ‘.

Komunita : Bagaimana pendapat bapak dari sudut pandang PTS mengenai kebijakan pembekuan (penon? aktifan sementara) yang telah dikeluarkan pemerintah serta dampaknya ?

Dr. Purwadhi : Segala kebijakan pemerintah memang sesuatu yang tak bisa dihindari, namun kita dapat menyikapi berdasarkan tinjauan historisnya pada tingkat perguruan tinggi. Sejak dulu, pemerintah begitu mudahnya melakukan perijinan tentang pendirian perguruan tinggi sehingga euforia ini menjadi suatu yang hebat di benak masyarakat. Hingga saat ini jumlah perguruan tinggi 4600-an yang tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah ini tentu menjadi sangat luar biasa dan sulit untuk dikendalikan padahal pemerintah (Kemenristekdikti) hanya memiliki 3 (tiga) tugas & tanggung jawab, yaitu: pengawasan, pengendalian dan pembinaan. Menurut saya, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah saat ini mengenai pembekuan PTS belum tepat karena hampir semua perguruan tinggi pun berada pada kondisi tidak sehat. Seharusnya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menghidupkan serta menumbuhkan motivasi sehingga setiap persoalan yang ada di tingkat perguruan tinggi dapat teratasi . Apalagi dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan kuantitas yang lebih ketat, seperti: jumlah rasio dosen dan mahasiswa, dll. Namun pada akhirnya kita patut bersyukur pula, setelah melewati berbagai seleksi sehingga sampailah pada keputusan yakni mulai dilakukannya proses pembinaan terhadap perguruan tinggi. Mudah-mudahan proses ini bukanlah suatu pengalihan disebabkan adanya prates dari sejumlah elemen masyarakat akan tetapi hal ini menjadi itikad baik pemerintah untuk melakukan pembinaan kepada perguruan tinggi yang bermasalah. Konsekuensi dari pembinaan itu sebenarnya ingin mencari solusi terbaik secara esensial dan komprehensif . Disamping adanya himbauan dari pemerintah agar setiap perguruan tinggi memiliki visi dan misi ke depan menuju universitas berbasis riset. Saya pun mengusulkan agar perguruan tinggi juga menitikberatkan pada upaya pemecahan masalah yang sedang berkembang di masyarakat (Problem Solver University).

Komunita : Dengan beragamnya permasalahan yang ada di setiap perguruan tinggi, apakah metode tersebut (problem solver university) yang bapak gagas dapat menjadi solusi dalam menjawab poin-poin persyaratan dari pemerintah ?

Dr. Purwadhi : Menurut saya, metode ini lebih memungkinkan untuk diterapkan karena sekecil apapun bentuk perguruan tinggi – akan sangat membantu dalam memecahkan permasalahan yang ada. Sebagai contoh, yakni negara Jepang mampu menerapkan metode ‘problem solver’ atas setiap permasalahannya meskipun hanya memiliki wilayah . Daerah yang terpisah serta lahan yang sempit dapat dibagi-bagi menurut tingkatan keahlian dan kemampuan masing-masing sehingga wilayahnya dapat termanfaatkan secara efektif & efisien. Sementara di Indonesia, banyak permasalahan di berbagai daerah yang belum sepenuhnya terpecahkan. Keberadaan perguruan tinggi hingga ke pelosok nusantara belum mampu menjawab setiap permasalahan dan tantangan yang ada, serta berkembang di daerahnya masing-masing. Kebanyakan perguruan tinggi hanya melaksanakan rutinitas sebagian tugasnya saja guna memenuhi kewajiban dari pemerintah tanpa mampu memberikan solusi atas setiap permasalahan yang berkembang di lingkungannya sendiri. Nah, inilah yang seharusnya menjadi bahan pemikiran mendalam dari para sivitas akademika agar keberadaaan perguruan tinggi di berbagai wilayah dapat memberikan kontribusi nyata untuk setiap permasalahan yang ada di wilayahnya masing-masing.

Komunita : Pemerintah (Kemenristekdikti) seharusnya ikut terlibat secara langsung dalam melakukan pembinaan kepada perguruan tinggi yang sedang bermasalah. Bagaimana solusi bagi setiap perguruan tinggi, khususnya swasta dalam menjawab permasalahan, seperti: rasio dosen, pengadaan kelas jarak jauh, serta konflik antara pihak penyelenggara dan pengelola ?

Dr. Purwadhi : Sebenarnya persoalan ini bersifat teknis, yakni untuk rasio dosen bagi setiap perguruan tinggi yang belum terpenuhi maka diharapkan dapat dibantu pemecahannya oleh pemerintah melalui kerjasama antar perguruan tinggi dalam bentuk pengadaan kebutuhan staf pengajar (dosen). Permasalahan utama yang berkenaan dengan rasio dosen menjadi suatu hal penting sekali untuk diperhatikan, karena menyangkut operasionalisasi pelayanan terhadap mahasiswa didik agar memperoleh generasi muda yang berkompeten di bidangnya. Untuk itu perlu ada perguruan tinggi pembina. Perguruan tinggi yang telah layak dan masuk dalam kategori ‘pembina’ seharusnya dapat berperan aktif secara substansial membantu kebutuhan dan layanan antar sesama perguruan tinggi dibawahnya terutama pada program studi sebidang (linier) . Bisa saja, pemerintah (Kemenristekdikti atau Kopertis) melakukan pemetaan dengan cara membuat kelompok terhadap semua perguruan tinggi kemudian mengklasifikasikannya berdasarkan pada standar penilaian tertentu.

Komunita : Dengan mengetahui permasalahan serta solusi yang diterapkan oleh pemerintah. Bagaimana pendapat bapak mengenai banyaknya jumlah perguruan tinggi saat ini (4600) yang belum mengakomodir seluruh masyarakat Indonesia, sementara rata-rata tingkat lulusan hanya pada tingkat sekolah dasar dan menengah saja ?

Dr. Purwadhi : Jika dilihat dari rasio jumlah penduduk Indonesia dengan jumlah perguruan tingginya memang nampak sangat sedikit (tidak seimbang) . Namun masyarakat yang memiliki keinginan dan motivasi untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi pun bisa terbilang cukup sedikit pula. Hal ini sangat tergantung pada individu masing-masing yang berkemauan keras untuk melanjutkan sekolah hingga tingkat perguruan tinggi; dalam artian kita tidak dapat memaksakan mereka. Dari segi jumlah perguruan tinggi di Indonesia yang telah mencapai 4600 tidak akan menjamin bahwa kualitas lulusannya pun dapat menghasilkan lebih baik. Saal ini, sebagian besar jumlah angkatan lulusan dari perguruan tinggi masih dalam posisi mencari pekerjaan yang sesuai dengan peminatannya . Apabila kita melihat negara Cina yang notabene jumlah penduduknya rata-rata paling banyak di dunia , hanya memiliki perguruan tinggi kurang dari 1000 atau di negara India pun tidak memiliki jumlah perguruan tinggi yang banyak pula. Jadi kita tidak perlu merasa khawatir dengan keadaan yang demikian, karena bisa saja dipengaruhi oleh berbagai faktor , termasuk didalamnya ada faktor ekonomi, lingkungan dan keluarga masing-masing. Kalau menurut saya, bukan dilihat dari banyaknya jumlah perguruan tingginya akan tetapi yang terpenting adalah bagaimana menghasilkan angkatan lulusan perguruan tinggi yang memiliki potensi besar & berkualitas, serta diterima oleh kepentingan bangsa dan negaranya. Jumlah perguruan tinggi yang mencapai angka 4600 – an tentu akan menyulitkan pihak manajemen khususnya pemerintah dalam rangka melakukan pengawasan , pengendalian dan pembinaan. Namun, apabila dapat dipangkas jumlahnya hingga mencapai angka yang optimal, maka tidak menutup kemungkinan akan lahir generasi baru dari setiap angkatan lulusan perguruan tinggi yang memiliki kompetensi spesifik di bidangnya sesuai dengan kebutuhan posisi pekerjaan.

Komunita :Apakah sebenarnya kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah saat ini sudah benar, yakni dengan memberikan rangsangan positif terhadap dunia akademik khususnya pada tingkat perguruan tinggi ?

Dr. Purwadhi : lya memang benar, kebijakan tersebut harus diikuti oleh beberapa elemen sumber daya guna melakukan tindakan pembinaan yang nyata, menerapkan kegiatan pengawasan yang handal, kemudian melakukan pengendalian yang ketat secara berkesinambungan. lnilah sebenarnya suatu kondisi yang cukup dilematis bagi para pengambil kebijakan. Saya berharap pemerintah dalam menerapkan kebijakannya tidak berat sebelah antara PTN dan PTS dengan tetap menjunjung tinggi semangat kebersamaan dalam mencapai target keberhasilan yang optimal. Setiap perguruan tinggi memiliki ciri dan karakteristik sendiri dalam melakukan proses pengawasan, pengendalian dan pembinaan. Oleh karena itu dibutuhkan kompetensi sumber daya manusia dalam memahami karakteristik setiap perguruan tinggi agar mendapatkan cara pandang yang sama, sehingga pembinaan berjalan efektif dan efisien.

Komunita :Semisal proses akreditasi, ternyata secara administratif terpenuhi, namun kenyataannya banyak yang menyimpang dari makna substantif, maka pola pengendalian ini tentu dapat dikatakan tidak berjalan efektif & efisien ?

Dr. Purwadhi : Saya mengambil perkataan dari bapak Prof. Himendra (mantan Rektor Unpad), bahwa proses akreditasi yang dilakukan saat ini belum dapat dijadikan sebagai alat ukur tingkat keberhasilan perguruan tinggi . Banyak penilaian hasil akhir akreditasi yang tidak sesuai faktanya dengan disebabkan oleh beragam data-data atau dokumen bersifat kamuflase (kebohongan). Seandainya pola sistem penilaian akreditasi dilakukan bukan untuk sekedar mencari gengsi atau alat jual akan tetapi ingin memperlihatkan kualitas kinerja yang sesungguhnya maka hal ini tentu menjadi sangat luar biasa. Menurut saya alangkah lebih bagus lagi ditinjau dari sisi obyektifitas keberhasilan atau kinerja suatu perguruan tinggi jika penilaian akreditasi dapat menggunakan sistem komputerisasi secara analog. Hal ini digunakan untuk menghindari adanya unsur penilaian yang bersifat subyektif dari para asessor. Sistem tersebut akan memberikan hasil keluaran nilai yang sangat terukur sesuai kriteria dan persya r a tan sehing ga ak an menepis kemungkinan terjadinya unsur nepotisme penilaian karena semua telah dibuktikan dengan keberadaan data atau dokumen aktivitas yang telah diselenggarakan.

Wawancara Rektor Universitas BSI

diagram solusi

Komunita :Bagaimana peran perguruan tinggi dalam menyikapi adanya kebijakan penon-aktifan PTS dari pemerintah (Kemenristekdikti) ?

Dr. Purwadhi : Secara ideal, jika memang ada suatu perguruan tinggi yang sudah tidak dapat dilakukan pembinaan lagi maka bagi pengelola dan pengurusnya harap berjiwa besar menerima segala kekurangan tersebut. Kemudian sebaiknya pemerintah berani menawarkan solusi merger (gabungan) dengan perguruan tinggi yang sudah mapan dalam segala bidang. Pola pembinaan yang hebat dan bagus akan memberikan potret kepada perguruan tinggi yang sedang dibinanya sehingga akan terdapat berbagai saran atau masukan-masukan yang bermanfaat bagi peningkatan kinerja. Saya kira memang sudah seharusnya bagi perguruan tinggi yang sedang dilakukan penon-aktifan oleh pemerintah, agar segera dilakukan proses pembinaan secara berkesinambungan dengan kemungkinan adanya pola penggabungan antar jurusan ,fakultas atau universitas secara substantif yang tetap mendapatkan pengawasan dan pengendalian dari pemerintah. (Written by Abdul Rozak)