Undangan acara Pembukaan Art Therapy Center Widyatama terpaku, ketika Hanif naik panggung dan mulai memainkan lima lagu klasik menggunakan keyboard. Setiap habis satu lagu, tepuk tangan bergema memenuhi Gedung Serba Guna Universitas Widyatama di Jalan Cikutra, Bandung, 15 Maret lalu. Hanif adalah siswa SMP-SMA Al Biruni Cerdas Mulia juga piawai bermain perkusi dan mengaji. Sejumlah undangan tak kuasa menahan haru melihat dan merasakan bakat seni yang dimiliki siswa Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) ini.
Rasa haru semata tidak akan cukup, untuk menjawab pertanyaan mendasar tentang kelanjutan pendidikan para siswa ABK. Termasuk di dalamnya anak-anak yang mengalami kesulitan belajar seperti penyandang autis, ADHD/ADD, disleksia, Down Syndrome atau asperger. Hingga kini Pendidikan Layanan Khusus (PLK) maupun sekolah inklusi yang ada di Indonesia, baru memberi kesempatan para siswa ABK mengenyam pendidikan hingga jenjang setara SMA.
Direktur Art Therapy Center Widyatama Dr Anne Nurfarina, S.Sn., M.Sn mengungkap, di satu sisi anak-anak penyandang autis tiap tahun terus meningkat jumlahnya. Pada 2007 tercatat, dari 100 kelahiran terdapat seorang anak autis. Studi pada 2013 menunjukkan, dari 50 kelahiran didapati ada seorang anak autis.
Sejumlah alasan di atas menjadi dasar bagi Yayasan Widyatama mendirikan Art Therapy Center Widyatama. Organisasi ini, jelas Anne, bergerak di bidang pengembangan terapi bagi siswa ABK berbasis seni dan desain, sekaligus pengembangan keilmuan media terapi berbasis audio, visual, serta gerak.
Anne yang juga Dekan Fakultas Desain Komunikasi Visual Universitas Widyatama menjelaskan, secara hakikat manusia memiliki daya kreatif. Daya kreatif ini sebetulnya yang harus difahami oleh Kementerian Pendidikan. Secara stigma, kreatif itu adalah hasil atau output. Sebetulnya bukan, kreatif adalah anugerah sebagaimana akal yang dimiliki setiap manusia. Karena pada dasarnya manusia memiliki daya invensi dan inovasi selanjutnya modifikasi. Invensi timbul karena kepekaan terhadap apa yang terjadi di sekitar, baik sosial, budaya maupun alam. Apabila individu sudah terinvensi maka langkah selanjutnya adalah inovasi dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul. Kreatifitas lah yang muncul seiring dengan inovasi tersebut. Jadi sebetulnya kreatif adalah rangkaian dari proses. Contoh : bila seseorang mencium aroma makanan, maka orang tersebut akan terinvensi bau tersebut, karena lapar maka timbullah ide apakah akan membuat makanan tersebut (inovasi) atau secara pragmatis membeli makanan tersebut.
Art Therapy berawal dari ketertarikan saya terhadap anak-anak disabilitas – divable/autis. Gagasan ini bersambut dengan kepedulian almarhum Prof. Dr. Hj. Koesbandijah Abdoelkadir MS., Ak, selaku pendiri Yayasan Widyatama terhadap pendidikan anak bangsa, termasuk bagi penyandang disabilitas, sehingga berdirilah Art Therapy Center Widyatama.
Anne terinvensi melihat adik saya yang hidup dengan disabilitas yang tidak tersolusikan karena ketidakfahaman kami. Berangkat dari pengalaman tersebut selanjutnya saya bertindak bagaimana dapat membantu mereka atau secara dasarnya bagaimana anak-anak tersebut berkontribusi keilmuan bagi saya. Akhirnya saya menjadi lebih mengerti bahwa sesungguhnya semua individu baik yang normal maupun yang disable memiliki daya kreatif juga dengan segala keterbatasannya. Hal yang membedakannya adalah grade atau kemampuannya saja. Stigma yang terdapat di lingkungan sosial kita masih meyakini kreatifitas itu adalah seni, bukan keilmuan. Yang terjadi adalah selama bertahun-tahun kreatifitas tersebut seperti menggantung atau justru tidak kreatif sama sekali. Contohnya adalah sejak dulu mungkin semenjak ibu kita, bila menggambar pemandangan itu harus ada gambar gunung, pesawahan dan sinar matahari.
Kembali ke dunia anak-anak yang disabilitas – divable/autis, pemerintah sepertinya kurang tanggap melihat anak-anak yang seperti ini semakin meningkat. Pada akhirnya kelompok atau komunitas yang justru lebih memperhatikan dan melakukan action dengan membuka sekolah atau sekedar group untuk anak-anak tersebut. Grade pendidikan yang dibuat oleh pemerintah kurang mengenai sasaran sehingga menjadi bias atau kabur akan dibagaimanakan kah output dari kreatifitas anak-anak tersebut. Contohnya bila seorang anak tersebut sudah lulus dari SLB dan dibekali skill/kemampuan dapat dicoba apakah anak tersebut dapat produktif setidaknya produktif bagi diri sendiri untuk level yang paling sederhana. Karena hal inilah, maka Art Therapy Center sampai membuat segala yang terintegrasi sehingga kita juga dapat melakukan riset-riset dan metode yang output-nya mudah-mudahan dapat diaplikasi oleh bidang ilmu yang lain
Dalam hal ini Art Therapy akan menyasar ke-4 aspek melalui fitrah manusia yang merupakan pilihan dari expert-nya anak. Melalui daya kreatif, (Invention, innovation, modification) merupakan satu pijakan proses. Misal contohnya, stimulus kognitif yang condong ke auditif (lebih ke pendengaran) menyasarnya ke verbal. Maka anak seperti ini kekuatannya menjadi penulis, ditampung masuk ke pola pikir, way out-nya menjadi story telling. Guru fungsinya hanya sebagai fasilitator.
Artherapy Center Widyatama berbasis pada human rights. Kebiasaan yang terjadi kalah karena stigma yang ada. Hakekatnya setiap anak punya daya kreatif tadi. Sistem therapy nya terikat oleh ruang dan waktu. Sustainability di Sekolah dan masyarakat. Stimulus naturalnya, sensorik yang paling kuat. Awalnya dari metode, daya terapi bagi anak berkebutuhan khusus. Kemudian keluar menjadi sistem pembelajaran. Stimulus natural dan bentukan yang tercipta. Bahwa melakukan pendidikan itu tidak bisa dilakukan secara individu tetapi secara masal yang membutuhkan effort/usaha yang maksimal dan kuat. Kesulitan anak divable itu berada di dalam aspek komunikasinya. Pasti setiap orang itu melakukan modifikasi. Memodifikasi itu artinya mengimplementasi idenya kemudian berupaya adanya sistem asistensi.
Untuk menciptakan manusia yang produktif sangat mungkin menggunakan metode, perkembangan keilmuan (art and design) karena ranah keilmuannya ada di Art. Harapan kami, invensi ini sebagai pembuktian untuk mengembangkan keilmuan. Bisa dikatakan, Desain Komunikasi Visual/DKV ini industri komunikasinya bisa dalam bentuk cetak, broadcast, dll. Sedangkan, daya terapinya untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Buktinya anak-anak ini sudah terstimulasi oleh iklan, game, film anak-anak.
Metode
Metode yang diterapkan di Art Therapy Center Widyatama bukan untuk penyembuhan, melainkan untuk mengembangkan behavioristic dan life skill siswa ABK melalui seni dan disain. Metode yang kami gunakan yaitu metode sensasi sebagai pintu masuk mengetahui keminatan siswa, jelas Anne Nurfarina. Anne menegaskan, Art Therapy Center Widyatama menjadi organisasi pertama di Indonesia di mana keilmuan seni dan desain diimplementasi dalam wilayah terapi bagi penyandang disabilitas
Konsep corporate social responsibility (CSR) dengan manajemen profesional yang diterapkan Art Therapy Center Widyatama diharapkan dapat menjaga keberlanjutan pendidikan yang konkret bagi penyandang disabilitas. Anak-anak penyandang disabilitas ini, kata Anne, berhak untuk memeroleh bekal ilmu dan keterampilan bermanfaat bagi kehidupannya. Tidak sekadar menghapal, mengisi Lembar Kerja Siswa (LKS) atau keterampilan sekadarnya. Konsep Art Therapy Center Widyatama adalah pendidikan vokasi, di mana penyandang disabilitas diarahkan untuk mampu berkarya, memahami manajemen sederhana, dan mempunyai mental entrepreneur, papar Anne.Dalam keilmuan Desain Komunikasi Visual ini iklan, game, dan film punya teknis yang sama dan sistemnya cepat, karena berbasis kepada humanitas. Ada 2 hal yang diterapkan yaitu yang pertama: bagaimana konsep bersosialisasi, pembelajarannya adalah klasikal, yaitu belajarnya di kelas.
Pembelajaran tematik yaitu pembelajaran tentang umum. Pendekatan treatment-nya secara individu. Bagaimana menitikberatkan kepada masing-masing individu. Peran gurunya sebagai pendidik besar, tetapi prosentasenya kecil. Kita berbicara kualitas bukan kuantitas. Karena guru hanyasebagai fasilitastor dan stimulator. Gurunya harus memberikan daily report berupa deskriptif bukan asumtif. Parameter pembelajaran dalam pendidikan anak berkebutuhan khusus ini terdiri dari 3 tahun/6 semester, kemudian iklasifikasikan.Tahun pertama yaitu keterbangunan teknis dan afeksi (bagaimana terstimulasi oleh hal-hal yang ada di lingkungan kita) belajar untuk selalu peka terhadap hal apapun permasalahan.
Teknisnya, secara manual karena ada kekuatan kecerdasan otak kanan dan otak kiri.Tahun kedua kognisi, kemudian problem solving. Diajarkan memetakan masalah, berinovasi, output-nya bagaimana kira-kira, dan diajarkan bagaimana business plan dan way out-nya.Di tahun ketiga, mulai ada kerja praktik dan tugas akhir, karya-karyanya dipamerkan ke publik, kalau nilai di publik itu ada nilai jual, kemudian anak bisa mendapatkan kelulusan. Untuk pemasukan diupayakan ada subsidi silang, Konsep Program orang tua asuh adalah pembuktian komitmen Art Therapy Center Widyatama mendahulukan terhadap yang tidak mampu.
Jangka panjangnya 5 orang anak untuk 1 anak yang tidak mampu. Dari Dinas Sosial akan mengusahakan mencarikan Grand dari Jepang dan Belanda.Art Therapy Center Widyatama memiliki 3 divisi yaitu; P2M, pengabdian dan penelitian, Pengembangan media art therapy, kegiatan belajar mengajar yang reguler. Bagaimanapun juga anak disabilitas merupakan tanggung jawab kita bersama. Khususnya para pakar pendidikan dan psikiater yang secara langsung dan intensif membina para disabilitas/anak-anak berkebutuhan khusus ini untuk menjadi manusia yang produktif. (Lee & Fe)