DIKOTOMI PTN – PTS dan REKONSTRUKSI KEBIJAKAN

0
579 views

Pendidikan merupakan masalah mendasar berkait erat dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan sumberdaya manusia Indonesia seutuhnya. Namun, faktanya pendidikan tinggi yang merupakan terminal terakhir, sepertinya berjalan menurut iramanya sendiri. Kondisi riil di lapangan kurang terperhatikan. Fakta menjelaskan pendidikan tinggi belum sepenuhnya mampu melahirkan sumberdaya manusia yang layak diterima dunia kerja, dan juga belum mampu menghasilkan entrepreneur yang memiliki keberanian dan kemandirian. Ketidaksesuaian suplai lulusan PT dengan kebutuhan dunia usaha semakin diperparah dengan kondisi kesenjangan yang terjadi di sistem pendidikan tinggi. Jumlah PTN 399 terus membuka pendaftaran dengan jumlah yang besar, sementara PTS 4.176 yang tingkat partisipasinya hanya 32,82 % diprediksi terus menurun akibat daya beli menurun, jelas Ketua APTISI Pusat, Budi Djatmiko. Sementara isu disrupsi teknologi dan industri begitu deras akhir-akhir ini, yang membutuhkan percepatan perubahan.

Hal lain, sejauh ini terdapat kebijakan dan perlakuan pemerintah yang dinilai kurang adil, bahkan diskriminatif. ?Dikotomi pelayanan terhadap PTN maupun PTS telah menimbulkan dampak kurang menguntungkan bagi perkembangan pendidikan tinggi kita. Padahal, peran PTN maupun PTS sangat strategis dalam mengembangkan lulusan berdaya saing tinggi. Pendidikan tinggi yang diperankan PTN maupun PTS merupakan tulang punggung kemajuan bangsa dalam menjawab tantangan globalisasi dan kesejahteraan masyarakat. Bahkan peran PTS dengan jumlah lebih 91 persen – justru seharusnya mendapat perhatian lebih. Tanpa PTS maka APK (angka partisipasi kasar) dalam pendidikan tinggi sangat rendah.

  1. Ilyas Ismail – Dekan di UIN Syarif Hidayatullah menegaskan perbedaan pembinaan dapat dilihat dalam banyak kasus, diantaranya : soal bantuan atau hibah, beasiswa, juga layanan. Layanan terhadap PTN diakomodasi langsung Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), sedangkan terhadap PTS oleh Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) yang tersebar dari Kopertis I di Medan hingga Kopertis XII di Ambon. Pelayanan dua atap terhadap PTS dan PTN, selain kurang efisien, juga ikut andil melestarikan dikotomi PTN-PTS.

 

L2Dikti – Rekontruksi Kebijakan

MenristekDikti mengakui terdapat kesenjangan yang memisahkan antara PTN dan PTS. Pembinaan PTS di bawah Kopertis, cenderung ada kesenjangan informasi. Banyak PTS mengeluhkan tidak menerima informasi yang sama dengan PTN. Padahal informasi harus terhubung antara pemerintah dan swasta. Karena itu, dalam rangka meningkatkan mutu perguruan tinggi pemerintah ingin menghilangkan dikotomi antara keduanya. KemenristekDikti telah merekonstruksi kebijakan yang ada, yakni membangun komunikasi yang baik antara PTN dan PTS dalam satu forum dengan mendirikan Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (L2Dikti). Lembaga yang bakal menggantikan keberadaan Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) ini membina sekaligus PTS dan PTN dalam satu atap pembinaan, dan pengawasan. Sesuai fungsinya L2Dikti bertugas memberikan pelayanan kepada perguruan tinggi negeri dan swasta.

L2 Dikti memang diharapkan dapat menangani berbagai permasalahan PTS yang pada akhirnya menghasilkan kualitas sumber daya yang lebih baik. “Lembaga ini, kita yakini bakal lebih ideal dalam melakukan pembinaan semua perguruan tinggi, tanpa terkecuali dengan jaminan kualitas layanan, tegas MenristekDikti.

Kehadiran L2Dikti di setiap wilayah selain diharapkan memudahkan PTN dalam mengurus administrasi dan anggaran, juga akan memudahkan pembinaan bagi PTS yang selama ini sering sulit dijangkau keberadaannya. Dengan demikian, keberadaan L2Dikti dapat menjangkau seluruh wilayah di Indonesia. Kondisi ini sangat membantu PTN dan PTS yang berada di Indonesia tengah atau timur karena tidak perlu jauh -jauh ke Jakarta. Urusan birokrasi pendidikan tinggi yang rutin setiap tahun dapat diselesaikan di L2Dikti wilayah masing-masing.

Restrukturisasi Kopertis menjadi L2Dikti juga akan memungkinkan Kopertis yang semula hanya bersifat koordinatif, mendapat kewenangan melakukan eksekusi. Sekaligus lembaga ini juga akan mendorong adanya pembinaan Perguruan Tinggi besar kepada Perguruan Tinggi kecil, sehingga semua Perguruan Tinggi akan berkembang.

Ditegaskan pula bahwa pemerintah adalah pelayan, karena itu pemerintah akan memberi pelayanan yang sama, baik pada PTN maupun PTS karena sama-sama anak bangsa. PTN dan PTS adalah tulang punggung kemajuan bangsa, karena itu negara akan melayani semuanya sesuai kemampuan, baik fasilitas maupun beasiswa.

Perubahan Kopertis menjadi L2Dikti memberi harapan lebih besar untuk menuju akselerasi peningkatan mutu penyelenggaraan pendidikan tinggi. Akselerasi adalah kecepatan waktu proses yang diikuti oleh ketepatan pengambilan keputusan dan kepatuhan kepada regulasi. Lebih jauh, MenristekDikti berjanji hilangnya dikotomi di atas akan meningkatkan kesetaraan PTN-PTS. Namun, untuk benar-benar menghilangkan dikotomi PTN-PTS, A Ilyas Ismail berpendapat langkah di atas belumlah cukup. perlu ada kebijakan dan langkah lain yang lebih strategis. Paling tidak ada empat langkah, jelasnya. Pertama, melihat kembali peraturan dan perundang-undangan mengenai pendidikan tinggi, mulai dari UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, PP Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi, termasuk ketentuan dan aturan di bawahnya dalam bentuk Kepmen dan Permen, serta Keputusan dan Edaran Dirjen Dikti Kemendikbud. Untuk itu, KemenristekDikti disarankan agar me-review dan melakukan audit semua kebijakan sebelumnya.

Kedua, membangun sistem penganggaran baru yang lebih setara untuk PTN-PTS. APBN terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. APBN 2015, pada tahun pertama masa kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla, naik menjadi Rp 2.039,5 triliun. Jika dihitung kasar, 20 persen dari total APBN, maka anggaran pendidikan mencapai Rp 400 triliun lebih. Jika alokasi dan penggunaan tidak merata, selain dinilai kurang adil, hal ini akan terus menjadi sumber kekisruhan seperti yang selama ini terjadi.

Ketiga, memperbesar bantuan dosen untuk PTS. Selama ini bantuan dosen PNS untuk PTS (dikenal dengan sebutan dosen dipekerjakan/DPK) sudah dilakukan, tetapi jumlahnya sangat kecil, dan itu pun umumnya terdiri atas PNS yang sudah hampir pensiun. Padahal, disadari, soal SDM merupakan masalah paling krusial di lingkungan PTS. Ada pemikiran, jika pemerintah serius menghilangkan dikotomi, kebutuhan dosen tetap PTS bisa disediakan atau dipasok pemerintah, paling tidak untuk enam dosen yang dipersyaratkan pemerintah untuk setiap program studi (PS). Selebihnya, kebutuhan dosen, tenaga kependidikan, pustakawan, laboran, dan lain-lain harus disediakan sendiri oleh badan penyelenggara (yayasan) masing-masing PTS.

Keempat, memecahkan problem besar pendidikaan tinggi, yaitu akses dan kualitas. Problem akses terkait kesempatan semua anak negeri untuk mengenyam pendidikan tinggi. Problem yang lain adalah kualitas. Problem ini terkait makin menjauhnya pendidikan dari tujuan [pendidikan] yang diamanatkan oleh UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, yaitu “mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

 

Ditunggu

Memperhatikan urgenitas permasalahan maka sesuai UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang mengamanatkan membentuk Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (L2Dikti) sebagai pengganti Kopertis. Dimana L2 Dikti merupakan satuan kerja pemerintah di wilayah yang berfungsi membantu peningkatan mutu penyelenggaraan Pendidikan Tinggi (Pasal 57) baik PTS maupun PTN. Pasal 96 menegaskan bahwa L2Dikti harus sudah dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan. UU No. 12 diundangkan pada tanggal 10 Agustus 2012, dengan demikian seharusnya 10 Agustus 2014 L2Dikti harus sudah terbentuk. Lalu kapan L2Dikti mulai difungsikan ?

Semoga kehadiran L2Dikti dengan segala pandangan sumber di atas mampu menjawab tujuan pendidikan tinggi, yakni : a) pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan; b) untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi di segala bidang, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menghasilkan intelektual, ilmuwan, dan/atau profesional yang berbudaya dan kreatif, toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran untuk kepentingan bangsa; c) untuk mewujudkan keterjangkauan dan pemerataan yang berkeadilan dalam memperoleh pendidikan tinggi yang bermutu dan relevan dengan kepentingan masyarakat bagi kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan, diperlukan penataan pendidikan tinggi secara terencana, terarah, dan berkelanjutan dengan memperhatikan aspek demografis dan geografis. @lee, dari berbagai sumber : https://news.okezone.com, http://kominfo.jatimprov.go.id/, http://www.republika.co.id