Ketua APTISI IV A Jawa Barat, Dr.Ir.H.M. Budi Djatmiko, M.Si., M.E.I ditengah kesibukannya berbincang dengan Komunita seputar fenomena dan upaya mencegah Plagiarisme di perguruan tinggi. Berikut petikan wawancaranya.
Komunita : Mohon dijelaskan istilah plagiarisme dari sudut pandang APTISI selaku asosiasi perguruan tinggi disertai dengan aspek legalitasnya ?
Budi Djatmiko : Dalam konteks keilmuan di bidang akademik, istilah plagiarisme/ plagiasi bermakna menyalin sebagian kecil maupun besar suatu kalimat tanpa menyebutkan sumber pengambilannya. Sementara untuk aspek legalitasnya terdapat UU yang mengatur hal tersebut, yakni : KUH Perdata; UU nomor 19 tahun 2002 tentang hak cipta; Sanksi Plagiat UU No. 20/2003 (Pasal 25 ayat 2, Pasal 70).
Plagiarisme terbagi menjadi dua bagian, yaitu: 1) Bentuk tulisan yang disalin tanpa menyebutkan sumbernya. 2) Menyalin atau mempublikasikan satu pemikiran/sistem/tata cara seseorang tanpa dijelaskan sumbernya. Yang sering terjadi adalah bentuk praktek plagiarisme di tingkat masyarakat sebagaimana pada butir kedua, sedangkan yang pertama jarang dilakukan oleh mahasiswa ataupun dosen dikarenakan sebagian besar telah memahami etikanya. Sebagai contoh kasusnya adalah mahasiswa bimbingan saya yang sedang menempuh jenjang S3 kedapatan menyalin beberapa tulisan hasil karya ilmiah pada beberapa kampus lain tanpa menyebutkan sumber referensinya.
Komunita : Bagaimana fenomena plagiarisme khususnya di kalangan Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta, serta siapa saja yang berpeluang dalam melakukan tindakan tersebut ?
Budi Djatmiko : Yang sangat berpeluang dalam melakukan tindakan plagiarisme adalah mahasiswa dan dosen. Keduanya memang yang paling sering menyusun sebuah penelitian baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Dari sisi dosen terkadang dituntut untuk membuat karya ilmiah dengan sesegera mungkin dikarenakan adanya pengumpulan angka kredit (kum) yang besar dari instansi pendidikan tinggi. Biasanya dosen melakukan tindakan plagiarisme berasal dari karya ilmiah yang telah dilakukan oleh mahasiswa bimbingannya, seperti: skripsi/tesis/disertasi.
Hal ini yang sering terjadi pada dosen sehingga memperoleh kritikan/klarifikasi dari APTISI, DIKTI, maupun KOPERTIS. Hasil laporan dari berbagai daerah, kejadian tersebut sifatnya sama, yakni melakukan tindakan mengutip atau bahkan menggunakan karya ilmiah mahasiswa tanpa menuliskan urutannya. Contoh, tidak menyebutkan penulis pertama dan keduanya. Dari sisi mahasiswa, berdasarkan pengalaman saya yaitu: pertama, pihak pembimbing (dosen) kurang teliti dan memahami akar permasalahan dari karya ilmiah yang sedang dibuat oleh mahasiswanya. Begitupun juga terkadang tidak mencantumkan sumber dari hasil kutipannya. Yang kedua, biasanya saya melakukan bimbingan tidak sekaligus selesai satu bab-satu bab. Melainkan dibahas dan dikoreksi halaman perhalaman dengan melihat hasil pemikiran/sistemnya. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya tindakan plagiarisme dari hasil karya ilmiah orang lain pada berbagai perguruan tinggi.
Komunita : Dalam suatu karya ilmiah yang telah dihasilkan para akademisi (dosen & mahasiswa), bagaimana yang dapat dikatagorikan sebagai tindakan plagiarisme? apakah ada ciri-ciri khususnya?
Budi Djatmiko : Bagian yang termasuk dalam tindakan plagiarisme yaitu dengan bercirikan pada ketidak-tersedian sumber referensi dari tiap halaman pembahasan. Hal ini sering terjadi dalam penulisan karya ilmiah di tingkat perguruan tinggi, baik sebagian kecil maupun sebagian besarnya. Ciri khusus yang kedua, yaitu pada saat si peneliti melakukan berbagai rekayasa penulisan dalam jumlah banyak berdasarkan pemikiran/ucapan sendiri padahal sebenarnya tulisan tersebut telah dibuat oleh peneliti sebelumnya (sistem orang lain digunakan oleh sendiri tanpa memberikan sumbernya). Kemudian kita juga bisa melihat dari isi daftar pustaka, misalnya: penelitian kuantitatif yang tidak dapat membuktikan pengaruh atau hubungan antar variabel sebagaimana yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.
Komunita : Faktor apa saja yang menyebabkan aksi plagiasi kian mewabah di kalangan Perguruan Tinggi serta apakah terdapat sanksi khusus bagi para pelakunya ?
Budi Djatmiko : Faktor yang menyebabkan aksi plagiasi ini semakin banyak, jika dilihat dari sisi mahasiswa yaitu: dikejar oleh waktu (deadline) dalam pembuatan karya ilmiahnya. Biasanya mahasiswa mengambil jalan pintas secara cepat, tanpa dipikirkan terlebih dahulu dengan banyak melakukan pengutipan karya ilmiah peneliti lainnya. Aksi plagiasi dalam karya ilmiah ini sebenarnya dapat dicegah pada saat mahasiswa melakukan tahapan usulan penelitian (UP), dengan cara menyeleksi unsur referensi yang digunakan dalam penelitian tersebut. Umumnya yang menjadi fokus pengamatan dalam tahapan tersebut yaitu: jumlah referensi penelitian sebelumnya yang membahas tentang hubungan antar variabel serta gejala-gejalanya. Dikarenakan waktu penelitian yang sempit, maka kebanyakan mahasiswa melakukan pengutipan dengan cara seenaknya sendiri tanpa proses analisis yang mendetail ditambah lagi oleh kurangnya pengetahuan dosen dalam memahami unsur variabel yang menjadi fokus penelitian tersebut (mismatch antara kompetensi dosen dengan fokus penelitian mahasiswanya).
Nah, bagi mahasiswa yang kedapatan melakukan aksi plagiasi secara terang-terangan, maka akan diberi sanksi khusus dengan cara tidak diluluskan pada saat ujian sidang tugas akhir. Kemudian diberi kesempatan lagi untuk mengulang penelitiannya dengan topik yang berbeda. Bagi dosen yang melakukan tindakan aksi plagiasi dalam suatu karya ilmiah, maka akan diberi sanksi berupa tidak diprosesnya jabatan akademik/fungsional, terlebih lagi bisa saja dilakukan penurunan pangkat jabatan. Bahkan sebagian perguruan tinggi yang lebih ekstrim lagi, dapat melakukan pemecatan secara tidak hormat kepada dosen yang bersangkutan.
Komunita : Adakah tips khusus guna menghindari tindakan plagiarisme ?
Budi Djatmiko : Tips pertama, yakni diawali dengan kompetensi dosen dalam bidang kekhususan sendiri ditambah pengalaman dalam melakukan penelitian secara baik. Yang kedua, dari sistem penerapan pada tiap perguruan tinggi. Misalnya : sebelum masuk kepada tahapan sidang tugas akhir, mahasiswa diberikan terlebih dahulu proses pengajuan penelitian atau disebut tahapan proposal usulan penelitian (UP). Pada tahapan ini, guna mencegah terjadinya aksi plagiasi, maka dilakukan proses pengamatan dan pemahaman terhadap unsur fenomena, variabel, serta objek penelitian secara mendalam. Dosen dapat memberikan saran dan masukannya serta melakukan koreksi per-bab atau per-halaman terhadap suatu pernyataan atau kalimat yang janggal.
Komunita : Bagaimana upaya dan peran APTISI dalam menyikapi hal ini, serta apakah ada program khusus yang dilakukan oleh APTISI ?
Budi Djatmiko : APTISI tidak memiliki program khusus dalam kaitannya dengan permasalahan plagiarisme, akan tetapi setiap ada pertemuan dengan para pimpinan perguruan tinggi swasta selalu mengingatkan akan bahaya plagiarisme, khususnya bagi insan akademik. Kemudian kami juga membuat surat yang isinya adalah himbauan dalam kaitannya dengan pencegahan aksi plagiasi serta berbagai unsur disertai dengan pemberian sanksi.
Komunita : Menurut pengamatan bapak, kira-kira berapa persen (secara statistik) jumlah hasil karya ilmiah dosen dan mahasiswa yang dapat dibuktikan keasliannya ?
Budi Djatmiko : Secara data statistik memang kami tidak memilikinya. Namun dapat diprediksi bahwa sebagian besar mahasiswa pada bidang keilmuan sosial jauh lebih banyak melakukan unsur plagiarisme dikarenakan proses pembentukan kalimat dan penjelasannya hampir menyerupai istilah-istilah yang kebanyakan telah dipakai oleh peneliti lain. Sedangkan pada bidang keilmuan teknik, lebih cenderung menghasilkan tugas akhir di setiap produk industri yang beraneka ragam sehingga adanya unsur plagiarisme dalam bidang ini sangat kecil. Alasan berikutnya, yang menyebabkan adanya kebanyakan unsur plagiarisme di bidang keilmuan sosial yakni makin maraknya jumlah mahasiswa kelas karyawan dan eksekutif sambil bekerja ditambah waktu untuk melakukan penelitian yang semakin sedikit sehingga mereka memilih jalur cepat dalam meneliti, misalnya: menggunakan jasa penelitian atau membuat penelitian seenaknya sendiri (asal jadi saja).
Komunita : Apa saran bapak kepada para pimpinan Perguruan Tinggi mengenai fenomena plagiarisme, apakah harus ada sinergitas diantara Perguruan Tinggi ?
Budi Djatmiko : Pihak APTISI sebenarnya telah memiliki sistem database penelitian yang bisa mencari nama peneliti, judulnya kemudian variabel yang digunakannya secara serentak. Jika ada perguruan tinggi lainnya yang ingin memanfaatkan sistem tersebut, silahkan saja dipraktekkan kemudian dibagikan kepada institusi lain yang membutuhkan. Untuk Universitas Widyatama, saya telah memberi masukan/saran melalui bidang IT via. bpk Ucu (programmer) sekaligus mempraktekkan secara langsung sistem database ini.
Komunita : Ke depan, program apa yang disiapkan APTISI Jawa Barat dalam mengatasi permasalahan seputar fenomena plagiarisme ?
Budi Djatmiko : Program yang disiapkan APTISI guna menghadapi fenomena plagiarisme diantaranya menyediakan sistem database penelitian yang dapat digunakan oleh semua perguruan tinggi dalam berbagai bidang keilmuan. Saya berharap agar setiap perguruan tinggi dapat memanfaatkan fasilitas ini guna mengantisipasi serta mencegah semakin maraknya tindakan plagiarisme, baik yang dilakukan mahasiswa maupun dosen pada berbagai institusi pendidikan tinggi. Mudah-mudahan dengan adanya program ini dapat meningkatkan sinergitas serta kewaspadaaan diantara perguruan tinggi pada? bidang penelitian terutama dalam mengatasi fenomena plagiarisme. (Written by Abdul Rozak)