Generasi Z, Pendidikan, dan Negeri Berdaya 2045
Negeri Berdaya sebelum Indonesia Merdeka menurut sejarah dicapai oleh dua kerajaan besar di Nusantara (Indonesia). Kerajaan Sriwijaya pada 683 – 1178 M, dan Kerajaan Majapahit pada 1293 – 1527 M. Kiprah mereka sudah mengglobal dan dicatat dalam sejarah nasional maupun internasional. Apa yang mendasari capaian tersebut, bisa diduga pemberdayaan sumber daya manusia dan kepemimpinan yang mendukung kiprah keduanya. Namun kemudian keduanya surut karena konflik dan peperangan.
Di masa kejayaannya, Sriwijaya mengontrol perdagangan di jalur utama Selat Malaka. Sriwijaya berhasil di bidang maritim, politik dan ekonomi. Kekuasaannya meliputi Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera dan sebagian Jawa.
Sementara kejayaan Majapahit di bidang ekonomi, Majapahit menjadi pusat perniagaan di Asia Tenggara dengan komoditas ekspor lada, garam, dan kain. Didukung armada laut yang tangguh serta kekuatan militer dan strateginya Majapahit mampu menciptakan stabilitas di wilayahnya. Rentang kekuasaannya meliputi: Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura) dan sebagian Kepulauan Filipina. Juga memiliki jalinan relasi dengan Campa/Thailand, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, Veitnam dan Cina.
Kalau diperhatikan capaian tersebut dalam rentang hampir 700 tahun. Pertanyaannya, apakah pada 700 tahun ketiga (2045an), Indonesia (wajah baru Nusantara) bisa menjadi Negeri Berdaya? Bermimpi atau Bercita-cita sebuah keharusan. Namun membutuhkan perjuangan dan pengorbanan, serta berpikir dan berperilaku untuk bangsa, bukan untuk diri dan kelompok. Generasi Indonesia lalu dan kini bertanggungjawab terhadap keberlangsungan generasi ke depan dan negeri ini melalui penyiapan sumber daya manusia yang didukung ilmu pengetahuan, teknologi, dan karakter bangsa. Bukti sejarah telah ditorehkan oleh para pendahulu. Tentunya dengan catatan memaknai sebab-sebab keruntuhannya, dan menemukan solusi untuk menghindarinya, serta secara kreatif mengembangkan inovasi-inovasi baru berbasis ilmu pengetahuan, teknologi dan karakter.
Lepas dari masa penjajahan, Indonesia telah dihantarkan para pendiri bangsa ini melalui pemikiran ketika itu (pemikiran-pemikiran yang lahir dari pergulatan pemahaman ideologi kolonialisme/kapitalisme, nasionalisme, sosialisme, Islamisme, marxisme), serta pengaruh sejarah, pendidikan dan revolusi Industri, sehingga lahir bangsa dan negeri Indonesia berlandaskan Pancasila dan UUD 45. Indonesia adalah hasil olah pikir, rasa, karsa, perjuangan dan cita-cita yang mulia generasi pendahulu pendiri Indonesia.
Sensus Penduduk 2020 Indonesia dihuni 270 juta jiwa, diantaranya penduduk usia muda (Generasi Y usia 26 sd 40 tahun 25,87 %; Generasi Z usia 11 sd 25 tahun 27,94 %; serta Generasi Alpha usia 11 tahun ke bawah 10,88 %) total sebanyak 64,69 %. Sementara Generasi X usia 41 sd 61 tahun 21,88 % dalam 14 tahun kedepan produktivitasnya akan menurun, Generasi Y juga akan menurun. Generasi Z, dan Generasi Alpha sebagai penduduk produktif (berusia muda) adalah potensi dalam mencapai Bonus Demografi sampai 2035, serta Indonesia Unggul 2045.
Problemnya sejauhmana ketiga generasi tersebut, khususnya Generasi Z mampu menjadi tumpuan. Tentunya dengan menjaga dan mengembangkan mereka sebagai sumber daya manusia yang berkualitas, sehat, produktif, serta berintegritas. United Nations Population Fund (UNFPA) menyebutkan sebuah negara dapat menikmati Bonus Demografi ketika setiap orang menikmati kesehatan yang baik, pendidikan yang berkualitas, pekerjaan yang layak, dan kemandirian anak muda (usia produktif) yang dipadukan dengan kebijakan negara yang baik dan tepat.
RK Indonesia menurun sejak akhir 1970-an dan diperkirakan terus menurun sampai titik terendah pada 2020 – 2035. Penurunan RK memunculkan dua peluang dalam meraih Bonus Demografi. Pertama, dapat diraih saat terjadi peningkatan pendapatan perkapita sebagai hasil dari peningkatan penduduk usia produktif relatif terhadap usia non-produktif. Kedua, dapat diraih setelah penduduk usia kerja mengakumulasi asset mereka melalui investasi dan tabungan hari tua untuk membiaya konsumsi di masa tua (Diahhadi Setyonaluri, Flora Aninditya, 2020).
Pekerjaan rumah kita adalah mengoptimalkan sumber daya produktif di atas, apalagi negara lain masih kebingungan mencari asupan generasi muda produktif. Bagaimana harapan ini mewujud, dan benar-benar kita mampu menikmati Bonus Demografi. Salah satunya potensi besar ini seharusnya didukung dengan mengembangkan platform serta ekosistem pendidik yang baik dan tepat di tengah era Industri 40 dan era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity dan Ambiguity). Inilah yang patut kita maknai.
Potensi kuantiti Generasi Z sesungguhnya membuka peluang. Namun demikian perlu mencermati karakter Gen Z, khususnya sisi-sisi lemah mereka yang harus diperkuat, serta sisi-sisi kuat mereka untuk dikembangkan melalui platform dan ekosistem pendidikan yang memberdayakan mereka. Bisa jadi kita memerlukan paradigma baru pendidikan. Mungkin saja, salah satu jalan terbuka melalui Kebijakan Merdeka Belajar yang bisa dipandang sebagai terobosan dalam mempercepat transformasi pendidikan. Merdeka Belajar juga merupakan filosofi yang mendasari proses sekaligus tujuan jangka panjang pendidikan Indonesia.
Merdeka Belajar sebagai filosofi sesungguhnya berakar pada pemikiran Ki Hajar Dewantara – Bapak Pendidikan kita. Kemerdekaan adalah tujuan pendidikan sekaligus paradigma pendidikan yang seharusnya dipahami seluruh pemangku kepentingan. Beliau mengatakan bahwa kemerdekaan adalah kemampuan unruk hidup dengan kekuatan sendiri, menuju ke arah tertib-damai, serta selamat dan bahagia, berdasarkan kesusilaan hidup manusia (2013, h.480). Keselamatan dan kebahagiaan sebagai tujuan tidak saja diperoleh dan dirasakan oleh individu, tetapi juga secara kolektif (Dewantara, 2013).
Dikatakan beliau bahwa dalam pendidikan, kemerdekaan memiliki tiga sifat: berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain, dan dapat mengatur dirinya sendiri. Ini menyiratkan bahwa kemandirian dan upaya untuk senantiasa memerdekakan diri adalah tujuan yang ingin dicapai melalui proses pendidikan.
Karena itu Merdeka Belajar tidak cukup hanya dituangkan dalam kebijakan saja. Merdeka Belajar seharusnya melandasi seluruh kebijakan pendidikan, baik di tingkat nasional maupun di konteks mikro, yaitu ruang-ruang kelas hingga keluarga. Filosofi Merdeka Belajar sangat erat pula dengan konsep pembelajaran sepanjang hayat, pembelajaran mandiri, serta pola pikir berkembang. Penelitian menunjukkan bahwa hal tersebut sebagai modal penting generasi muda ke depan menghadapi perkembangan zaman yang cepat. Apalagi di era VUCA dan Industri 4.0. Dokumen kebijakan dari OECD dan UNESCO menekankan perlunya mempersiapkan peserta didik menghadapi VUCA. Mereka menekankan kompetensi sosial-emosional yang diperlukan untuk mengatasi kondisi seperti itu.
Nah, konon Merdeka Belajar dirancang untuk mencapai tujuan jangka panjang dengan basis filosofi Ki Hajar Dewantara. Dalam konteks pengelolaan pendidikan setiap daerah, setiap penyelenggara dan pengelola pendidikan, setiap pendidik dan tenaga kependidikan merupakan “agents” yang harus makin mampu membangun dirinya sendiri.
Semoga semangat dan kebijakan Merdeka Belajar sebagai sebuah terobosan mampu memberikan ruang bagi siapapun tersebut di atas menyelenggarakan dan mengelola pendidikan sesuai dengan kapasitas dan sumber daya yang tersedia sebaik-baiknya, sekaligus mampu mengembangkan sumberdaya manusia unggul. Indonesia Unggul 2045. Wallahualam.
Vivat Widyatama, Vivat Civitas Academica, Vivat Indonesia dan Nusantara tercinta. (@lee)
Redaksi – Lili Irahali