Green Curriculum dalam Pendidikan Tinggi untuk Masa Depan Berkelanjutan ?

0
10 views

Peristiwa kebakaran hutan besar di California, Australia,
Amazon, Siberia, dan Eropa; mencairnya es di Kutub
menyebabkan kenaikan permukaan laut mengancam wilayah pesisir dan
pulau kecil; badai dan topan semakin kuat dan sering; banjir di kawasan
pesisir dan sungai besar; kekeringan berkepanjangan dan krisis air
bersih; gelombang panas yang mematikan; migrasi iklim; serta pengasaman laut dan pemutihan
terumbu karang pada dekade terakhir mencerminkan peningkatan frekuensi dan intensitas
peristiwa iklim ekstrim. Walau sejatinya perubahan iklim adalah peristiwa alam yang lumrah,
namun karena campur tangan manusia yang berlebihan peristiwa tersebut terjadi begitu cepat
dan berdampak negatif.
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) tentang “Status Iklim Global 2023” menyoroti tren
yang mengkhawatirkan dalam indikator iklim. Laporan yang dirilis bulan Maret 2024 lalu
menunjukkan tahun 2023 adalah tahun terpanas yang pernah tercatat, dengan rata-rata suhu
global mencapai 1,45 °C di atas suhu pra-industri. Tahun tersebut juga menandai tingkat
konsentrasi gas rumah kaca, kenaikan permukaan air laut, dan kandungan panas laut tertinggi
yang pernah tercatat. Berbagai peristiwa cuaca ekstrem, termasuk gelombang panas, banjir,
kekeringan, dan siklon tropis, yang menyebabkan penderitaan besar bagi manusia dan
kerusakan ekonomi. Hampir sepertiga lautan global mengalami gelombang panas laut pada
suatu saat sepanjang tahun. Selain itu, jumlah orang yang menghadapi kerawanan pangan akut
meningkat lebih dari dua kali lipat, yang mencerminkan dampak perubahan iklim yang lebih luas
terhadap masyarakat.
Kerusakan linkungan di atas timbul dari akumulasi aktivitas manusia dengan alasan
pembangunan yang memicu tingkat konsumsi, eksploitasi sumber daya alam sangat terasa
dalam kurun dua dekade terakhir. Pemanfaatan berlebih ini berdampak jangka panjang, bukan
hanya terhadap lingkungan, tetapi juga perekonomian dan sosial kemasyarakatan.
Di Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat beberapa
tahun terakhir, terjadi peningkatan frekuensi bencana alam yang berkaitan dengan perubahan
iklim. Bahkan Global Forest Watch menyebutkan Indonesia kehilangan sekitar 270.000 hektar
hutan primer pada tahun 2021, meskipun tren deforestasi – karena alih fungsi lahan,
penebangan liar dan kebakaran hutan – telah menurun dibandingkan dekade sebelumnya.
Hilangnya hutan tersebut menyebabkan berkurangnya kemampuan Indonesia menyerap
karbon, memperparah emisi gas rumah kaca global, serta banjir bandang di berbagai daerah.
Peristiwa tersebut merupakan dampak aktivitas manusia, yang seharusnya mendorong
berbagai sektor bergerak secara lebih bertanggungjawab terhadap lingkungan dan sosial.
Perubahan iklim dan kerusakan lingkungan telah menjadi isu global yang membutuhkan
perhatian serius semua lapisan masyarakat, termasuk pendidikan. Perlu solusi inovatif
berkelanjutan untuk mengubah cara pandang, sikap, pola hidup, dan interaksi masyarakat
terhadap lingkungan alam sekitarnya, agar bencana di atas bisa diminimalisir. Hal tersebut
setidaknya meningkatkan tekanan pada sistem pendidikan. Pendidikan adalah salah satu sektor
yang memiliki peran penting membangun pemahaman dan kesadaran terhadap lingkungan,
sekaligus membentuk budaya keberlanjutan. Karena itu, visi pendidikan masa depan dituntut
lebih inklusif, adaptif, dan bertanggung jawab terhadap lingkungan yang merupakan tantangan
global dan lokal, khususnya perubahan iklim dan keberlanjutan kehidupan.
Dalam konteks tersebut pendidikan sangat bijak bila memperhatikan dua hal. Pertama,
pendidikan sebagai proses holistik dan lintas disiplin. Pendekatan pendidikan yang menyeluruh,

yakni pengetahuan dari berbagai bidang ilmu – humaniora, ilmu sosial dan ilmu alam – berpadu
untuk menciptakan pemahaman yang lebih komprehensif. Pendidikan holistik menekankan
belajar bukan sekedar akumulasi fakta-fakta dari disiplin tertentu, tetapi juga melibatkan
pemahaman tentang bagaimana disiplin-disiplin tersebut saling terkait dan berdampak satu
sama lain. Saat ini fokus pada aksi dan tema "Iklim" mencerminkan urgensi untuk
mempersiapkan mahasiswa menghadapi tantangan global perubahan iklim. Jadi pendidikan
tidak hanya mempersiapkan individu untuk berpikir kritis, tetapi juga bertindak, berpartisipasi
dalam solusi nyata terhadap masalah lingkungan dan sosial.
Kedua, pendidikan seyogyanya menyesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lokal.
Pendekatan pendidikan tidak bisa diterapkan secara seragam di setiap tempat. Setiap
komunitas memiliki konteks sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan yang unik. Sehingga
strategi pendidikan perlu disesuaikan dengan kondisi lokal tersebut. Pendekatan yang relevan
dengan lokalitas membantu meningkatkan efektivitas pendidikan, karena materi dan metode
yang diajarkan lebih dekat dengan kehidupan nyata mahasiswa dan komunitas mereka.
Pendidikan semacam ini lebih bersifat kontekstual, yang memungkinkan pengajaran lebih
responsif terhadap kebutuhan spesifik dan memanfaatkan potensi lokal, sekaligus
menghormati nilai-nilai budaya dan keanekaragaman.
Pemikir pendidikan John Dewey mengatakan masyarakat dapat mentransformasi
dirinya serta menjadi lebih demokratis dan membentuk masa depan yang lebih adil melalui
pendidikan (Tampio 2024). Karena itu, perguruan tinggi sebagai pengelola pendidikan tinggi
bukan sebagai lembaga yang terlepas dari kewajiban menjawab permasalahan-permasalahan
masyarakat. Sebuah kewajiban perguruan tinggi hadir dengan tugas-tugas idealnya – Tridharma
– yang selayaknya ditunaikan bagi masyarakat sesuai keberadaannya. Jadi proses pendidikan
tinggi (belajar mengajar di perguruan tinggi) bukan sekedar urusan memenuhi kebutuhan
lapangan pekerjaan. Salah satu alternatif solusi transformasi sektor pendidikan dalam rangka
membentuk paradigma, sudut pandang, perilaku dan budaya yang ramah lingkungan untuk
mencapai pembangunan berkelanjutan yakni mengintegrasikan kurikulum konvensional dan
green curriculum (kurikulum hijau) di setiap kegiatan pendidikannya.
Perguruan tinggi bukan sekedar tempar transfer ilmu, justru merupakan pusat
perubahan yang dapat mengembangkan solusi transformatif bagi isu-isu global di atas.
Perguruan tinggi dapat menciptakan dan menyebarkan ilmu pengetahuan inovatif, serta
menghasilkan SDM yang tidak hanya memiliki pengetahuan mendalam, tetapi juga kesadaran
terhadap keberlanjutan. Dalam konteks ini, perguruan tinggi memegang peranan penting
membentuk generasi yang peduli terhadap keberlanjutan dan memiliki kemampuan untuk
menghadapi tantangan perubahan iklim.
Green Curriculum merupakan pendekatan pendidikan yang mengedepankan konsep
keberlanjutan, mitigasi dampak lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam secara bijak di
berbagai bidang studi. Pendekatan ini memungkinkan mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu
memahami dampak tindakan manusia terhadap lingkungan dan mengembangkan solusi yang
mendukung pembangunan berkelanjutan.
Green Curriculum sebagai program dan proses pendidikan yang menggabungkan
prinsip-prinsip keberlanjutan memungkinkan semua orang menjadi warga global yang efektif,
terlibat, dengan memberdayakan mereka dengan pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan
untuk memajukan masa depan yang adil secara sosial, manusiawi, layak secara ekonomi,
ramah lingkungan, mendukung kualitas hidup yang sehat dan kesejahteraan holistik”
(Sustainable Peralta Green Curriculum Subcommittee, 07 November 2006). Green Curriculum
sebagai program pendidikan melibatkan pembahasan isu-isu lingkungan dan keberlanjutan ke
dalam materi pelajaran yang sudah ada seperti ilmu sains, sosial, seni dan bahasa. Materi
dalam kurikulum ini mencakup pengenalan terhadap lingkungan hidup sekitar, konservasi
sumber daya alam, penggunaan energi yang efisien, teknologi energi baru terbarukan,
pengolahan sampah dan praktek-praktek hijau lainnya.

Implementasi green curriculum bertujuan untuk menciptakan kesadaran dan
pemahaman mendalam tentang keberlanjutan pada setiap mahasiswa, yang pada akhirnya
akan menjadi pengambil keputusan di masa depan. Urgensi green curriculum dalam konteks
lndonesia yakni: kondisi lingkungan dan perubahan iklim; kebutuhan pembangunan
berkelanjutan; kesiapan pasar tenaga kerja dan industri hijau.
Banyak perguruan tinggi di dunia mengintegrasikan green curriculum dalam kurikulum
mereka, terutama untuk program studi terkait lingkungan, teknik, sosial, dan bisnis. Dalam
jelajah internet kami ke Eropa, perguruan-perguruan tingginya menerapkan Green Deal
Roadmap yang memandu mengintegrasikan keberlanjutan dalam aspek akademik, penelitian,
dan pengelolaan kampus. Di ASEAN, Universitas Teknologi Malaysia (UTM) termasuk pionir
dalam mengintegrasikan prinsip keberlanjutan ke dalam kurikulum, penelitian, dan aktivitas
kampus, serta fokus pada pengurangan emisi karbon dan penggunaan energi bersih. Di
Indonesia, berbagai inisiatif telah diterapkan dalam kurikulum. Institut Teknologi Bandung (ITB)
dan Universitas Gadjah Mada (UGM) menjalankan program terkait perubahan iklim dan
keberlanjutan di tingkat program studi maupun fakultas.
Perguruan tinggi yang berhasil dalam misi ini akan menjadi pemimpin di bidang
akademik dan sosial, memajukan ilmu pengetahuan, serta memberikan kontribusi nyata bagi
masyarakat global. Mereka akan terus bertransformasi, berinovasi, dan mencetak lulusan yang
memiliki visi keberlanjutan, siap untuk menghadapi tantangan global dengan pendekatan yang
adaptif dan bertanggung jawab. Masa depan yang berkelanjutan berarti dunia di mana setiap
pembangunan memperhitungkan dampaknya bagi generasi mendatang, menjaga
keseimbangan antara kebutuhan manusia dan daya dukung alam. Perguruan tinggi menjadi
pendorong utama perubahan ini dengan memfokuskan pada penelitian yang relevan,
mengintegrasikan kurikulum yang sadar lingkungan, dan membentuk budaya kampus yang
berorientasi pada SDGs. Semoga.
Vivat Widyatama, Vivat Civitas Academica, Vivat Indonesia dan Nusantara tercinta.
(@lee)
Redaksi – Lili Irahali