Green Curriculum, Tantangan & Praktek di Pendidikan

0
11 views

Bincang Bersama:
Prof. Dr. H. Dinn Wahyudin, MA. dan Prof. Dr. Ratih Hurriyati, M.P., CSBA.

Isu green curriculum dalam dunia pendidikan mulai mendapat perhatian luas pada
akhir abad ke-20, terutama sebagai respons terhadap meningkatnya kekhawatiran global
tentang kerusakan lingkungan, perubahan iklim, dan keberlanjutan sumber daya alam. Para
akademisi, aktivis lingkungan, dan lembaga internasional mulai mengadvokasi pentingnya
mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan ke dalam pendidikan untuk menciptakan
masyarakat yang lebih sadar lingkungan. Green curriculum merupakan upaya
mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan ke dalam kurikulum perguruan tinggi.
Penggagas utama green curriculum dari kolaborasi internasional dipimpin organisasi
UNESCO dan UNEP yang telah lama berkomitmen mengatasi tantangan lingkungan melalui
pendidikan. Diawali Konferensi Stockholm (1972) yang diinisi PBB; lalu UNESCO melalui
Program Pendidikan Lingkungan (1975) dan UNEP meluncurkan International
Environmental Education Program (IEEP); berikut World Commission on Environment and
Development (1987); KTT Bumi di Rio de Janeiro (1992) menghasilkan Agenda 21; serta
UNESCO’s Decade of Education for Sustainable Development (2005-2014). Maknanya, isu
green curriculum menjadi penting karena urgensi dan dampak nyata dari krisis lingkungan
yang kita hadapi saat ini.
Majalah Komunita tergelitik mengangkat isu tersebut. Pada kesempatan ini kami
menyempatkan diri berbincang-bincang dengan Prof. Dr. H. Dinn Wahyudin, MA, pakar
bidang kurikulum pendidikan di tengah kesibukan beliau sebagai guru besar UPI dan Wakil
Rektor IKOPIN. Juga dengan Prof. Dr. Ratih Hurriyati, M.P., CSBA. guru besar UPI, dan
Wakil Direktur Bidang Sumber daya, Keuangan, dan UmumUPI. Berikut bincang-bincang
kami.


Prof. Dr. H. Dinn Wahyudin, MA.
Guru Besar UPI dan Wakil Rektor IKOPIN

Green Curriculum, Antara Gerakan dan Manajemen

Majalah Komunita: Selamat pagi Prof. Dinn Wahyudi sehat
selalu, kami ingin mendiskusikan agenda majalah Komunita
dengan tema green curriculum di pendidikan, khususnya
pendidikan tinggi.
Prof. Dinn: Terima kasih, pak Lili Irahali. Saya apresiatif
kepada pengelola majalah Komunita Universitas Widyatama
pada penerbitan mendatang mengangkat isu bagaimana kita
menjaga atau melestarikan tantangan global yang harus
menjadi pemikiran bersama masyarakat, yakni global
warming. Itu indikator bahwa kita harus peduli untuk semua
lapisan masyarakat dan setiap negara.
Di tingkat dunia, dalam perspektif pendidikan dan
pembangunan hal tersebut terkait dengan SDGs, bukan hanya pendidikan. Sustainable
Development Goals merupakan kesepakatan UNESCO, artinya kesepakatan warga dunia.
Dalam satu dekade terakhir kita sedang melaksanakan SDGs dengan 17 butir tujuan. Ada

aspek-aspek yang mengkait secara langsung global warming, efek rumah kaca, green
environment; fenomena-fenomena alam yang harus kita jaga, dan lestarikan. Kalau kita abai
akan melahirkan persoalan-persoalan baru. Karena itu setiap negara wajib membuat suatu
menyusun program tersebut.
Kita di Indonesia, perguruan tinggi juga bergerak melaksanakan pendidikan bermutu
(SDG- 4), termasuk di sekolah dari mulai TK sampai perguruan tinggi, dan masyarakat.
Pendidikan sesungguhnya mencakup hampir semua aspek dari 17 butir SDGs. Misalnya
SDG-1 & 2, tidak ada kemiskinan dan kelaparan lagi di dunia. Kalau bicara lapar, artinya
bukan hanya aspek ekonomi saja, ada kaitan erat dengan pendidikan. Mengapa dia miskin?
Jangan-jangan pendidikannya di bawah standar, buta huruf, atau basic education juga tidak
tercapai. Jadi agar tidak terus miskin, pendidikannya dibenahi. Masyarakat miskin umumnya
mereka berpendidikan rendah. Mereka yang berpendidikan tinggi akan menggunakan
pemikirannya, dan melakukan suatu usaha agar tidak miskin secara material/ekonomis, juga
miskin secara psikologis.
Bagi kita di pendidikan tinggi memaknai SDGs per topik, sesungguhnya tidak hanya
melihat masalah pendidikan belaka, tetapi menyinggung aspek lain, seperti Kesehatan dan
kesejahteraan (SDG- 3). Banyak yang sakit (kesehatan terganggu) diantaranya, karena
ketidakmampuan pendidikan. Jadi pengetahuan itu sangat mendasar agar memahami
tentang kesehatan.
Majalah Komunita: Bagaimana pendidikan berperan dalam membangun kesadaran
terhadap lingkungan?
Prof. Dinn: Kembali ke aspek lingkungan yang menjadi pembicaraan kita. Seseorang tidak
peduli terhadap lingkungan karena dia mendapat pengalaman yang tidak tepat ketika di
sekolah, dan ketika di rumah. Di rumah diajari klinis itu bagian dari kebersihan dan
kehidupan kita. Lalu sekolah membina kebersihan. Namun tidak cukup dengan tulisan “Jaga
Kebersihan”. Harus ada ikhtiar-ikhtiar nyata. Ikhtiarnya, antara lain: menyiapkan tempat
sampah, bahkan dengan memisahkan atau mengelompokkan sampah dalam dua kelompok:
yang bisa didaur ulang, tidak bisa didaur ulang. Ini artinya manajemen.
Jadi secara umum global warming, green curriculum harus menjadi gerakan (the
movement), serta memerlukan manajemen. Gerakan the spirit of green environment secara
global sudah didengungkan oleh SDGs. Ikhtiar oleh lembaga-lembaga dunia, antara lain
UNESCO dengan SDGs (Sustainable Development Goals). Sustainable (berkelanjutan)
menjadi kata kunci. Ikhtiar-ikhtiar dari berbagai bidang, termasuk bidang environment, green
environment menjadi fokus yang harus disiapkan. Secara nasional, ikhtiar-ikhtiar di
Indonesia juga sudah banyak. Saya mengapresiasi bagaimana di sekolah kebersihan
menjadi budaya. Di tingkat nasional ada Penghargaan Adipura. Gerakan-gerakan tersebut
kalau dulu memang menjadi indikator. Pemda (pemerintah daerah) yang mendapatkan poin
indikator kebersihan, yang kalau diakumulatifkan menjadi the best district. Namun sekarang
kendor karena politiknya terlalu kental.
Secara lebih khusus di bidang kurikulum. Saya melihat di Puskur (Pusat Kurikulum)
banyak sekali program-program yang intinya keberpihakan pada bagaimana kebersihan
lingkungan menjadi faktor penting. Bahkan bagaimana topik-topik global warming menjadi
kajian riset dan kajian di sekolah-sekolah. Di sekolah secara umum ada tiga jenis kurikulum.
Di dalam kurikulum tadi unsur lingkungan, unsur kebersihan, berkaitan dengan green
environment itu dilakukan.
Yang pertama, disebut intrakurikuler. Intrakurikuler adalah mata pelajaran wajib.
Sebagai satu mata pelajaran – kalau di SD belum ada satu mata pelajaran – seperti: IPS,

IPA, sejarah menjadi mata pelajaran. Jadi lingkungan hidup belum menjadi mata pelajaran
tersendiri. Walaupun tidak menjadi satu mata pelajaran tidak berarti abai, karena lingkungan
kebersihan sudah terkait, diintegrasikan pada mata pelajaran yang intrakurikuler itu. Artinya
bagaimana kebersihan melekat di mata pelajaran bahasa Indonesia misalnya. Topik-topik
dalam bahasa Indonesia dalam bahasa Indonesia banyak yang berkaitan dengan
lingkungan, perilaku sehat, perilaku peduli lingkungan, dan sebagainya. Kalau mata
pelajaran muatan lokal, di Pemda tertentu ada muatan lokal yang berkaitan dengan
lingkungan ini. Di dalamnya ada berbagai hal peduli lingkungan, termasuk pemanasan
global ini.
Walau di dalam mata pelajaran mungkin belum, tetapi topik-topik di SMP, SMA
sudah melekat di dalamnya. Bagus sekali bila dilakukan penelitian mata pelajaran-mata
pelajaran di SMP atau di SMA yang subtopiknya berkaitan dengan lingkungan. Misalnya
mata pelajaran IPA, subtopik apa saja yang melekat dengan lingkungan. Kita
inventarisasikan, simpulkan, dan kembangkan.
Di kurikulum merdeka sekarang, ada istilah intrakurikuler, ko-kurikuler, juga ekstra
kurikuler. Yang ko-kurikuler di SD, mereka sudah mulai belajar P5. Rumpunnya P5 – Projek
Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Intinya sekolah merancang satu program, apapun
program itu, di mana siswa bisa belajar berbasis projek. Di P5 (Projek Penguatan Profil
Pelajar Pancasila) banyak topik berkaitan dengan lingkungan. Apa projeknya? Projeknya
diserahkan kepada sekolah yang bersangkutan, sebagai bentuk merdeka belajar. Dalam
kaitan ini siswa dan guru berencana.
Di SD total waktu 25% dari total setahun. Jadi kalau setahun ada 1000 jam, berarti
250 jam digunakan untuk P5. Di P5 topik-topik yang akan dipelajari salah satunya adalah
peduli lingkungan atau lingkungan hidup, atau lingkungan bersih, atau mengkaji sungai, dan
seterusnya. Jadi secara inisiatif sudah dilakukan, tinggal nanti menjadi gerakan. Di
beberapa sekolah sudah mulai dirintis, tapi memang belum semua sekolah.
Bagaimana konsep-konsep yang bagus itu dirancang dan dilaksanakan oleh
masyarakat, oleh generasi muda, di kelas ataupun di luar kelas. Sehingga akhirnya akan
melahirkan satu gaya kolektivitas masyarakat yang cinta kebersihan, cinta lingkungan.
Majalah Komunita: Bagaimana dengan kurikulum perguruan tinggi yang diharapkan
menghasilkan SDM yang paham danmelaksanakan.
Prof. Dinn: Di perguruan tinggi, kita lihat pertama, dari manajemen perguruan tinggi itu.
Apakah manajemen pendidikan di perguruan tinggi memiliki keberpihatan pada lingkungan
yang bersih? Dilihat dari manajemennya.
Bagaimana membuat peraturan di pergurun tinggi? Di perguruan tinggi ada mata
kuliah nasional, mata kuliah fakultas, mata kuliah Prodi. Atau apakah di tingkat mata kuliah
dasar umum (MKDU). Jadi bisa terjadi di universitas tertentu masuk dalam MKDU, semisal
mata kuliah Agama, Kewarganegaraan. Beberapa perguruan tinggi memasukkan tema
lingkungan menjadi mata kuliah wajib Universitas serumpun dengan Agama, Pancasila
Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia.
Kembali pada mata kuliah intrakurikuler di Prodi tertentu pasti ada. Kontennya
berkaitan dengan lingkungan belum jadi mata kuliah, tapi dalam setiap mata kuliah dosen
menyisipkan perlunya green education, green curriculum. Sehingga kalau saya guru Bahasa
Inggris akan memilih mencari topik bacaan-bacaan berkaitan dengan green curriculum.
Mengapa terjadi malapetaka banjir. Itu menjadi best practice.
Di perguruan tinggi juga kaitannya melaksanakan Tridharma perguruan tinggi
(pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat). Adakah pemerintah memiliki

kuota menerima topik-topik peduli lingkungan. Kementerian Dikti menurut saya memiliki
kuota mempertimbangkan topik-topik peduli lingkungan. Namun bukan hanya dari
Kementerian, juga dari universitas yang bersangkutan. Tridharma dalam aspek penelitian
dan pengajaran ada mata pelajaran tertentu yang kaitannya dengan lingkungan, atau
diintegrasikan dalam mata kuliah oleh setiap dosen. Begitu di tataran Universitas dari segi
manajemennya. Interview & Written by: lili irahali