Pola Komunikasi Terbuka menghasilkan nafas segar bagi inovator untuk?dalam enam tingkatan”:
1) stage one: the unreflective thinker,
2) stage two: the challenged thinker,
3) stage three: the beginning thinker,
4) stage four: the practicing thinker,
5) stage five: the advanced thinker,
6) stage six: the accomplished thinker. Bahkan dia menegaskan bahwa kualitas hidup dan kualitas apa yang kita hasilkan, (per)buat, atau bangun sangat bergantung pada kualitas berpikir. Semakin baik kualitas berpikir seseorang maka semakin baik pula kualitas hidupnya.
Critical thinking sangat strategis untuk diintegrasikan ke dalam suatu proses pembelajaran yang sistematis sehingga tidak berlebihan bila Campbell (2004: 198) begitu yakin mengatakan bahwa para pendidik, filsuf, dan psikolog sepakat bahwa tujuan utama pendidikan adalah untuk mengajarkan berpikir (the teaching of thinking). Masih dari Campbell (2004) bahwa dewasa ini masyarakat membutuhkan para pemikir kritis dan kreatif, khususnya dari mahasiswa untuk mengantisipasi perubahan dunia yang semakin cepat. Dengan demikian, metode pendidikan yang lebih mementingkan jawaban benar dan salah tidak akan mampu menghasilkan generasi yang memiliki pemikiran yang kritis.
Untuk mewujudkan generasi yang kritis, perlu ada pembalikan paradigma dalam proses pembelajaran, bukan menjawab pertanyaan tetapi mengajukan pertanyaan. Seni Mengajukan Pertanyaan Mengajukan pertanyaan, menurut Campbell (2004: 44), menjadi tradisi di kalanagn para filsuf, bahkan jauh sebelum zaman Socrates. Proses bertanya (questioning) dianggap sebagai praktek mengajar yang sangat lazim.
Pertanyaan yang biasa diajukan dalam kelas sangat beragam sesuai dengan kapasitas berpikir dari peserta didik. Sejalan dengan itu, Ramsey et al. (1990) juga menempatkan questioning sebagai metode pengajaran yang efektif. Pemaknaan questioning semuanya menunjukkan kondisi yang memungkinkan adanya proses dialogis yang sistematis dan terarah guna memperoleh pengetahuan yang ingin diketahui dengan menggunakan kapasitas intelektual. Dalam konteks critical thinking, peran questioning sangat signifikan dalam peningkatan kualitas berpikir. Kualitas pertanyaan yang diajukan mahasiswa menentukan kualitas berpikirnya. Dengan demikian, questioning dan critical thinking merupakan satu paket yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Questioning dalam konteks critical thinking adalah aktivitas berta nya guna mengembangkan kapasitas kognitif, dan questioning seperti ini memiliki karakteristik tersendiri.
Karakteristik tersebut antara lain:
1) questioning yang membangkitkan pertanyaan lebih jauh, bukan questioning yang mengharapkan thought-stopping answers,
2) questioning yang mampu mendorong ke arah berpikir mendalam, underneath the surface of things,
3) questioning yang mampu merangsang diskusi lebih mendalam, dan mampu menjadi thought-provoking, bukan questioning yang dapat dijawab dengan mudah dalam untaian beberapa kata saja.
Ketiga karakteristik tersebut haruslah terintegrasi dalam pembelajaran secara substansial sehingga proses questioning mampu berkembang secara produktif, sistematis, mendalam, dan terarah. Terminologi lain yang dikenal dan diyakini dapat meningkatkan kapasitas critical thinking adalah socratic questioning. Socratic Questioning Critical thinking memiliki hubungan yang spesial dengan socratic questioning karena keduanya menunjukkan adanya kesamaan tujuan akhir.
Critical thinking memberikan pandangan yang komprehensif mengenai bagaimana memfungsikan pikiran dalam menemukan makna dan kebenaran, sedangakan socratic questioning memanfaatkan pandangan tersebut guna menyusun pertanyaan yang esensial dalam pencarian makna dan kebenaran tersebut.
Dengan demikian, menyiapkan pertanyaan yang produktif, sistematis, mendalam, dan terarah menjadi keniscayaan bagi para dosen. Selain itu, pertanyaan harus mengundang dan mengandung pemikiran yang komprehensif dan mendalam. Terkait dengan relevansi kualitas pertanyaan, berikut ini serangkaian prinsip socratic questioning yang dapat diimplementasikan oleh para dosen selama proses pembelajaran berlangsung:
1. Merespon jawaban dengan pertanyaan yang lebih jauh (yang dapat memungkinkan mahasiswa mengembangkan pemikirannya secara lengkap dan mendalam).
2. Memahami tentang mengapa dasar pemikiran itu disampaikan dan apa implikasinya melalui pertanyaan lebih lanjut.
3. Menyampaikan pernyataan yang tegas sebagai titik hubung terhadap pemikiran lebih jauh.
4. Menyampaikan pemikiran demi kepentingan pengembangan diskusi selanjutnya.
5. Menyadari bahwa setiap pemikiran akan utuh bila pemikiran tersebut saling terkait satu sama lain.
6. Menyadari bahwa semua pertanyaan harus mendasari pertanyaan sebelumnya, dan semua pemikiran harus mendasari pemikiran sebelumnya. Keenam prinsip di atas membutuhkan kemampuan konseptual dan skill yang memadai, dan hal itu tidak akan pernah tercapai bila tidak dipersiapkan dengan baik dan memulainya dengan sungguh-sungguh sebagai aktualisasi akademisi.
Konstruksi Pertanyaan Dialogis Layaknya sebuah konstruksi bangunan, satu bagian memperkuat bagian yang lain. Demikian pula konstruksi pertanyaan, pertanyaan satu haruslah menjadi dasar dari pertanyaan lain secara utuh dan berkesinambungan.
Untuk menyusun questioning dalam socratic dialog, tentukan terlebih dahulu pertanyaan yang sangat penting untuk dibahas dengan pendekatan pengembangan pertanyaan sebelumnya. Pertanyaan sebelumnya mer upakan pertanyaan yang sudah diperkirakan oleh pertanyaan lainnya. Misalnya, untuk menjawab pertanyaan What is multi-culturalism? harus terlebih dahulu menjawab pertanyaan What is culture? dan untuk menjawab pertanyaan What is culture? juga terlebih dahulu harus menjawab pertanyaan What is the basis of culture? dan seterusnya dapat dilakukan dengan melakukan prosedur seperti tersebut. Dengan menggunakan model questioning seperti itu, atmosfir akademis kelas diharapkan menjadi lebih kondusif. Selain itu, perhatian mahasiswa terhadap topik perkuliahan semakin terarah.
Simpulan Critical thinking tidak akan terbangun tanpa adanya optimalisasi thought-provoking questioning yang terintegrasi dalam pembelajaran. Integrasi critical thinking ini diharapkan mampu memberdayakan nalar mahasiswa secara produktif, sistematis, terarah, dan mendalam, yang pada gilirannya akan mampu menguraikan akar permasalahan secara jelas terhadap pokok bahasan selama proses pembelajaran berlangsung. Aktivitas seperti ini dapat mendorong pada penguatan ranah kognitif dalam Bloom’s taxonomy yang berujung pada peningkatan kualitas proses pembelajaran.