“Kebijakan Diktisaintek Berdampak” Dan Perlunya Paradigma Baru Tata Kelola PTS

0
10 views

Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) 2 Mei 2025 lalu ditandai dengan diluncurkannya kebijakan “Diktisaintek Berdampak” yang diklaim sebagai langkah strategis dan transformatif dalam menjawab tantangan pembangunan nasional serta mendukung pencapaian visi Indonesia 2045. Kebijakan ini menekankan pentingnya hasil riset dan pembelajaran perguruan tinggi yang tidak hanya berwujud output akademik seperti publikasi ilmiah dan gelar, namun lebih dari itu bertransformasi menjadi outcome yang berdampak langsung dan berkelanjutan bagi masyarakat.

Dengan kata lain, pendidikan tinggi didorong menjadi motor penggerak perubahan sosial, ekonomi, dan lingkungan melalui kolaborasi nyata dengan pemerintah pusat dan daerah, industri, komunitas, serta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Perguruan tinggi diharapkan mampu menjadi katalis pertumbuhan ekonomi lokal dan agen pemberdayaan masyarakat berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.

Namun tantangan struktural yang dihadapi PTS sebagai “Pilar Pendidikan Tinggi” menjadi  tantangan yang cukup mendasar. Mengingat fakta menunjukkan bahwa lebih dari 64% dari 4.437 perguruan tinggi di Indonesia adalah Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Artinya tanpa PTS, akses pendidikan tinggi bagi jutaan anak bangsa akan menjadi persoalan besar. Namun, pada saat yang sama PTS justru berada dalam posisi paling rentan, menghadapi tantangan ganda berupa tekanan mutu dan tekanan fiskal.

Krisis mutu di sejumlah PTS berdampak pada menurunnya kepercayaan calon mahasiswa dan masyarakat, yang kemudian berimbas pada penurunan jumlah pendaftar dan potensi pemasukan kampus. Kondisi ini diperparah oleh kebijakan fiskal dan perpajakan yang belum sepenuhnya ramah terhadap sektor pendidikan tinggi swasta, misalnya dalam hal pembatasan insentif investasi pendidikan, minimnya keringanan pajak, dan akses pendanaan riset yang terbatas.

Akibatnya, terbentuk lingkaran setan: kualitas menurun – pendaftar berkurang – pendapatan merosot – kemampuan investasi mutu makin lemah – kualitas makin tertekan. Dalam situasi seperti ini, gagasan besar “Diktisaintek Berdampak” tentu tidak akan berjalan secara inklusif dan berkeadilan, apabila tidak disertai dengan paradigma baru dalam tata kelola dan kebijakan afirmatif terhadap PTS.

Lalu, bagaimana “membangun Tata Kelola PTS Berbasis Dampak”? Kebijakan “Diktisaintek Berdampak” menuntut semua perguruan tinggi, termasuk PTS untuk bergerak dari sekadar pencapaian administratif ke arah kinerja berbasis dampak (impact-oriented performance). Oleh karena itu, tata kelola PTS perlu diperbarui agar memiliki daya lenting dan kemampuan strategis untuk:

  1. Menjalin kolaborasi lintas sektor dengan industri, pemerintah daerah, komunitas, dan filantropi pendidikan.
  2. Membangun pusat-pusat unggulan (center of excellence) sesuai dengan potensi lokal yang dapat menjadi basis kegiatan riset terapan dan pemberdayaan masyarakat.
  3. Mendorong pendanaan alternatif, seperti dana abadi, crowdfunding pendidikan, dan kemitraan CSR (Corporate Social Responsibility).
  4. Memanfaatkan teknologi digital untuk efisiensi pengelolaan sumber daya dan pembelajaran jarak jauh.
  5. Melobi kebijakan fiskal yang adil, termasuk akses pendanaan dari negara bagi PTS yang terbukti berkinerja baik dan berdampak pada masyarakat.

Karena itu paradigma baru “Diktisaintek Berdampak” harus Inklusif. Bahwa kebijakan Diktisaintek Berdampak berusaha membuka jalan bagi perubahan struktural dalam ekosistem pendidikan tinggi Indonesia. Namun agar  dampaknya benar-benar terasa hingga ke akar rumput dan tidak hanya dirasakan oleh segelintir PTN besar, maka paradigma baru ini harus dibarengi dengan pembaruan tata kelola PTS secara menyeluruh. Kemdiktisaintek perlu menyadari bahwa perubahan transformasional tidak akan tercapai tanpa merangkul dan memberdayakan PTS sebagai aktor strategis dalam pembangunan nasional.

Dengan kata lain, “Diktisaintek Berdampak” hanya akan berdampak nyata jika disertai dengan kebijakan afirmatif terhadap PTS, serta reformasi manajemen dan pembiayaan yang berkeadilan. Inilah momentum untuk menyusun ulang peta jalan pendidikan tinggi Indonesia agar lebih berdampak, lebih kolaboratif, dan lebih inklusif dalam menyongsong Indonesia Emas 2045.

Vivat Widyatama, Vivat Civitas Academica, Vivat Indonesia dan Nusantara tercinta. (@lee)

 

Redaksi – Lili Irahali