Melayani Pembelajar Lintas Generasi: Pedagogi Amal Shalih untuk Guru dan Dosen
Oleh: Bachrudin Musthafa, PhD. – Profesor Literasi UPI Bandung
Guru dan dosen dididik untuk melayani (maha)siswa yang diajarnya. Untuk dapat mengajar dengan baik, seorang guru/dosen harus memiliki minimal dua bongkah jenis pengetahuan dan keterampilan pokok: basis pengetahuan (knowledge-base) yang kuat dalam bidang keahliannya dan kelincahan memilih metode yang tepat untuk mengajarkan kepada (maha)siswa yang diamanahkan kepadanya. Dalam banyak hal, keberhasilan pembelajaran ini juga masih bergantung pada sejumlah faktor lain, termasuk kesiapan perangkat pengetahuan dan keterampilan proses yang terdapat dalam diri pembelajar.
Dengan latar paparan yang disajikan “Dari Redaksi” (Editorial), “Bonus Demografi…Generasi Z Indonesia” (Rubrik Utama-1) dan “Pendidikan Tinggi: Membekali Gen Z…” (Rubrik Utama 2-3) telah menjadi sangat jelas bagi kita bahwa persoalan yang dihadapi telah mengglobal dan multidimensional. Pembacaan situasi tak lagi dapat diisolasi dengan sekat-sekat geografis konvensional; pendekatan yang diperlukan tak pelak lagi haruslah yang serba mencakup (all inclusive) dan yang memiliki daya-tembus superior – ilahiyah.
Artikel pada ruang terbatas ini akan mengajukan suatu pilihan strategis di antara banyak faktor penentu kualitas belajar dengan terlebih dahulu melakukan tiga hal utama berikut:
(Maha)siswa sebagai sasaran pengabdian dosen (dan guru)
Sejak penerimaan pada tahap awal calon guru atau dosen telah seringkali ditekan-tekankan dengan berbagai cara bahwa -– mungkin berbeda dari kelompok profesi yang lain — keguruan merupakan keahlian yang diniatkan untuk melakukan kebajikan bagi orang lain (yakni helping profession). Dalam hal ini, dosen dan guru disiapkan untuk membangun komitmen “mencerdaskan” maha(siswa) yang diajarnya.
Misalnya, ketika mengajarkan suatu konsep atau teori tertentu, dosen akan memikirkan tentang komponen-komponen apa yang penting yang terdapat dalam teori ini yang perlu diketahui dan dikuasai maha(siswa)nya sehingga, seusai belajar, pembelajar ini mengetahui apa yang harus diperhatikan ketika mempelajari teori yang dimaksud. Dengan kesadaran tersebut, mahasiswa pembelajar sedang dilatih bertindak strategis dalam mengerahkan perhatian pada fokus yang dikaji. Dengan cara ini, fokus perhatian diarahkan pada hal-hal yang penting, yang kelak akan — sedikit demi sedikit — membekali mahasiswa dengan kerangka acuan (framework) yang berguna untuk mengembangkan pemahamannya ketika menyaksikan hal-hal (teoretis) serupa yang lain. Demikianlah kejadian serupa ini akan diulang-ulang dalam berbagai kesempatan sehingga dalam diri mahasiswa — cepat atau lambat — akan berkembang pemahaman dan wawasan tertentu tentang yang dipelajarinya. Ilmu pengetahuan, kata para bijak bestari, berkembang dari satu lapis ke lapis berikutnya. Ilmu berkembang sejalan dengan akumulusi pengalaman yang berlapis-lapis. Inilah salah satu alasan sangat penting mengapa — untuk mempelajari konsep-konsep tertentu — diperlukan guru yang strategis dan reflektif.
Dan guru (atau dosen) profesional berani mempertaruhkan diri dan profesionalismenya di garis depan, dengan dukungan penuh ataupun sejauh yang mampu diadakan. Inilah agaknya alasan utama, mengapa di negara sekuler seperti Amerika Serikat, profesi guru dipandang lebih dari sisinya yang non-materiil dan non-monetary, meskipun tidak otomatis berarti spiritual.
Melayani kepentinggan terbaik bagi kemaslahatan pembelajar
Guru (dan/atau dosen) yang baik disiapkan untuk “mempertaruhkan dirinya” untuk tidak-melarutkan-diri pada sekadar apa-apa yang disukai para pembelajar. Tidak otomatis seperti itu. Alasannya bukan karena kata “kesukaan” itu, tetapi pada substansi dan alasan mengapa pembelajar menyukai apa yang disukainya. Misalnya, guru yang baik perlu suatu kali menahan diri untuk mempertanyakan mengapa para pembelajar tertentu menyukai “games” yang menggaet perhatian dan pikirannya.
Dalam hal ini, mungkin guru yang baik bertanya “mengapa pembelajar dapat menginvestasikan waktu berjam-jam” untuk mengeksplor permainan tertentu tetapi sangat hitung-hitungan dengan waktu ketika diminta membaca dan/atau menulis untuk suatu tugas sekolah (yakni pelajaran) tertentu? Dalam kasus ekstrem seperti ini, mungkin guru perlu mengkaji-ulang penugasannya agar — melalui penugasan membaca dan menulis yang diberikan kepada maha(sisawa)nya itu — para pembelajar mengerjakan eksplorasi terhadap games yang sangat disukainya itu. Dan kemudian — sebagai hasil belajarnya itu — para pembelajar dapat diminta melaporkan temuan-temuannya — mengapa suatu permainan dianggap menantang bagi mereka. Poin penting yang hendak diambil di sini adalah bagaimana cara kita menantang pembelajar melakukan sesuatu yang diperlukan dalam kehidupannya baik yang kini maupun yang nanti? Hal semacam ini — dalam studi pendidikan — disebut desain tugas.
Bisakah, demi kemaslahatan pembelajar, kita sebagai guru (termasuk dosen) menginvestasikan waktu yang lebih baik untuk meningkatkan daya tarik tugas baca-tulis yang diberikan kepada (maha)siswanya dengan cara membuat desain tugas yang lebih menantang? Inilah — saya kira — kuncinya mengapa seorang profesor di USA sampai-sampai mencanangkan akan menginvestasikan waktu dan dana penelitiannya untuk mempelajari desain tugas yang “dikandung dalam bius daya-tarik games” yang dikatakan mencandukan itu.
Dengan contoh ini saya bermaksud memberikan gagasan kepada pembaca bahwa, untuk dapat menarik minat baca-tulis para pembelajar, kita perlu usaha ekstra dan modal tambahan supaya para pembelajar —yang notabene belum mentas pendidikan itu memiliki elan belajar seperti guru dan dosen profesional, yang telah memodali dirinya menjadi contoh-nyata bagi dedikasi yang militan itu.
Membekalkan modal pemberdayaan bagi pembelajar
Dalam berbagai penelitian kependidikan besar yang kemudian masuk ke dalam daftar teori terpilih dalam handbooks (yang di tengah para pendidik dunia dilabeli “teori inti”) itu, penelitian dengan desain yang rapih dan memiliki dampak besar (consequential) seringkali dapat mengguncangkan pemikiran para ahli. Hal ini perlu mendapat perhatian kita supaya kita paham bahwa teori yang kuat memperoleh tempat terhormat. Ini dapat menjadi teori induk pada zamannya.
Sehubungan dengan pemberian “modal” bagi pemberdayaan pembelajar yang kita gadang-gadang kelak akan menjadi calon generasi penerus bangsa yang menjadi sandaran bangsa Indonesia di masa depan, proses pendidikan harus dijaga dari kemungkinan tergoda “latah karena kebaruan”. Tegasnya, dosen dan guru profesional harus mampu “membaca” gerak zaman. Kita harus mampu membaca “mana emas dan mana loyang” sehingga kita mampu menginvestasikan energi nasional secara strategis.
Yang dimaksud dengan teori yang berwibawa biasanya tidak berbicara pada tataran permukaan, tetapi secara substantif menukik ke akar masalah. Sebagai contoh kita dapat memosisikan generasi Z di bawah “lampu sorot”. Apakah sebenarnya yang diperlukan pembelajar “lintas generasi” dari pre-boomer, baby boomer, generasi X, generasi milenial, generasi Z, dan pasca-generasi Z” ?
Para peneliti pendidikan yang serius tidak akan terburu-buru ‘menyambar” kilauan istilah-istilah baru dan menginvestasikan dana publik untuk mengejarnya tanpa kehati-hatian yang diperlukan sebagai bagian dari sikap keilmiahan seorang peneliti profesional. Yang dimaksud di sini adalah wanti-wanti keilmiahan agar menahan diri untuk tidak membicarakan sesuatu yang belum jelas realitas “juntrungannya”. Apa yang harus dilakukan supaya kita mampu membedakan “yang mana emas yang mana loyang”?
Dari studi tren-tren perkembangan pemikiran lintas zaman akan tampak bahwa ada perubahan-perubahan di “permukaan” dan ada perubahan yang “mengakar”. Dari pengenalan dan pembedaan dua kategori ini kita akan — secara berlahan-lahan — mengenali ciri-ciri yang substantif-paradigmatis dan membedakannya dari gejala musiman (fads) belaka.
Kalau demikian adanya, apakah modal yang seyogianya kita bekalkan kepada para pembelajar yang kita jagokan akan menyelamatkan Indonesia di masa depan? Jawabannya adalah kemampuan membaca cermat dan menelisik jauh ke dalam dan di-bawah-permukaan. Apakah yang sebenarnya berada di bawah permukaan dari kemampuan bermain dengan teknologi? Dapatkah kita kenali kompetensi-kompetensi esensialnya? Apakah kita dapat mengenali komponen teoretis yang membangunnya?
Kalau kita sebagai elit pemikir teknologi dan pengembang teori pemikiran abad ini mampu membaca kemungkinan yang relatif “pasti” tentang apa yang akan diperlukan dalam ranah “lintas generasi pembelajar” itu, kita tak ayal lagi akan memperoleh anugerah “Hadiah Nobel” di waktu dekat ini. Akan tetapi — sayangnya — situasi dan kebiasaan pemikiran pendidikan di Indonesia masih “jauh panggang dari api.” Oleh karena itu — untuk mengutip pepatah yang mengajarkan sikap realistis yang sudah nyaris dilupakan — lebih baik kita “mendayung perahu kita yang bocor ke tepian dulu untuk kemudian menambal yang bocor-bocor hingga benar-benar rapat, dan baru kemudian kita turut masuk ke samudera luas” untuk turut berpartisipasi bergerak-bersama-yang-lain ke tengah samudera.
Yang hendak disarankan oleh tulisan ini sebenarnya sederhana: lebih baik belajar menertibkan cara berpikir dan bertindak dulu secara seksama dari suatu tahap ke tahap yang lain, daripada mengesankan kesiapan partisipasi dalam lomba yang akan membawa kita kepada kegagalan performansi seperti yang telah nyata-nyata diperlihatkan dalam status peringkat literasi kita di tengah dunia yang benar-benar menyulitkan kita untuk mampu “berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah” di tengah-tengan warga dunia.
Bekali pemuda pembelajar yang ada di sekolah dan perguruan tinggi kita dengan kemampuan berpikir sistematis dan realistis dan ajak mereka memikirkan apa yang terbaik bagi kita di Indonesia. Barangkali, keberanian menahan diri semacam inilah yang akan membuahkan kemajuan bagi Indonesia di masa datang.
Jalan setapak dan berliku menuju keshalihan yang diidam-idamkan
Dalam studi pendidikan dan keguruan terdapat berbagai lapisan konsep yang dianggap sangat fundamental: ada teori, ada konsep, ada metode, ada pendekatan. Ruangan terbatas pada majalah ini jelaslah tidak memungkinkan kita membicarakan semuanya. Bahkan pada bagian ujung tulisan ini hanya sepintas saja “pedagogi amal shalih” ini akan dibicarakan.
Apa itu pedagogi amal shalih yang digadang-gadang sebagai jalan ke luar bagi kemelut perjuangan mencari makna pamuncak bagi kebermaknaan perbekalan bagi ikhtiar pendidikan di Indonesia? Pedagogi dalam tulisan ini dimaknai sebagai bagaimana seorang dosen (atau guru) memahami bagaimana murid yang dididiknya belajar. Pedagogi mengarahkan bagaimana interaksi antara guru dengan murid yang diajarnya memiliki dampak besar terhadap pikiran para pembelajar itu. Pedagogilah yang membuat para guru dan profesor memilih mengonsentrasikan perhatian pada hal-hal yang relevan bagi keperluan dan kemaslahatan besar bagi pembelajar. Pedagogilah yang memberikan kepada guru sejati semangat membara untuk bertahan dan tetap bersemangat memberikan upaya pemberdayaan terhadap maha(siswa) yang diajarnya — meski dalam kemelut krisis kepercayaan diri yang menggerus karena bertubi-tubi diterpa kekalahan kompetisi di berbagai lini.
Selain posisi krusial yang ditempati pedagogi dalam konstelasi sistem pemikiran pendidikan, terdapat berbagai pendekatan yang memotori gerak dan ruh pedagogi yang dikenal dalam khazanah dan literatur penelitian pendidikan yang serius. Lima pendekatan yang telah survive dalam kompetisi global lintas generasi antara lain adalah yang berikut: perspektif konstruktivisme (constructivist perspective), pendekatan kolaborasi (collaborative approach), pendekatan terintegrasi (integrative approach), pendekatan reflektif (reflective approach), dan pembelajaran berbasis penelitian (inquiry-based learning).
Seperti tercermin dalam nama konsep pada masing-masing pendekatan pedagogi yang lima buah ini, setiap teori belajar mengusung keyakinan yang memosisikan (maha)siswa sebagai agen pembelajar yang aktif dan artikulatif, yang semuanya memperlakukan peserta didik sebagai pelaku aktif pembelajaran. Anggapan yang umum pada pedagogi mutakhir ini — sayangnya — frontal bertolakbelakang dengan praktik pembelajaran yang dominan di sebagian besar sektor pembelajaran di republik ini. Kalau anggapan ini akurat, usulan perbaikan ini akan mengundang gagasan perproyekan nasional di negeri ini, yang dikuatirkan akan memancing etos-kerja serupa yang telah terjadi sebelum-sebelumnya, kalau tidak didahului dengan pertobatan nasional.
Dengan diwarnai kekuatiran yang belum sepenuhnya hilang dari ingatan, tulisan ini akan mengakhiri sajian dengan himbauan yang disampaikan Redaksi Komunita edisi sekarang ini, bahwa dua hal menjadi syarat sukses bagi Indonesia mendatang: pemberdayaan sumberdaya dan kepemimpinan yang menyokong sistem pendidikan dan persekolahan yang bersih. Dengan semangat taat aturan dan mengharap berkah Allah SWT yang maha kuasa dan maha melihat, usulan pengusungan pedagogi amal shalih ini pantas dipancangkan di depan khalayak pembaca Komunita di penghujung tahun 2021 ini.
Semoga diberkati Allah SWT selalu. *****