Membangun Academic Atmosphere Pendidikan Tinggi: Tantangan dan Paradoks

0
36 views
Lili-6

Academic atmosphere di pendidikan tinggi bukan hanya sekadar suasana belajar yang nyaman, tetapi mencakup berbagai aspek yang menciptakan lingkungan akademik berkualitas tinggi. Academic atmosphere juga bukan sekadar elemen pendukung, tetapi fondasi utama dalam membentuk lulusan yang kompeten secara intelektual dan berintegritas.

Menurut Ernest Boyer (1990) dan Cox (2004), serta Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, academic atmosphere adalah lingkungan akademik yang mendukung terciptanya proses pembelajaran berkualitas, inovatif, dan beretika. Lingkungan ini mencakup beberapa aspek utama: infrastruktur fisik yang memadai, nilai-nilai akademik yang dijunjung tinggi, budaya intelektual yang berkembang, kebebasan akademik yang dilindungi, serta interaksi yang membangun hubungan positif antara dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan. Faktor-faktor ini membentuk ekosistem yang memungkinkan sivitas akademika berkembang secara optimal.

Tanpa lingkungan akademik kondusif, proses pembelajaran hanya akan bersifat mekanis dan transaksional, sehingga gagal melahirkan individu yang tidak hanya cerdas secara akademik, juga memiliki karakter kuat dan mampu berkontribusi bagi masyarakat.

Academic atmosphere  memang merujuk pada lingkungan akademik yang kondusif bagi perkembangan intelektual, kreativitas, dan inovasi dalam dunia pendidikan tinggi, lingkungan akademik yang mendukung kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, serta  mencerminkan budaya akademik yang mengutamakan kebebasan berpikir, inovasi, serta interaksi antara mahasiswa dan dosen (Clark, 1983).

 Karena itu, academic atmosphere  yang berkualitas bukan hanya soal meningkatkan kompetensi intelektual, tetapi juga membentuk bangunan karakter yang kuat. Academic atmosphere perguruan tinggi yang kuat juga memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan seluruh komponen ekosistem akademik mulai dari dosen, mahasiswa, tenaga kependidikan, serta manajemen perguruan tinggi.

Perguruan tinggi memiliki tanggung jawab melahirkan lulusan yang tidak hanya unggul secara akademik tetapi juga memiliki moralitas tinggi, etika profesional, dan kesadaran sosial. Mewujudkan lingkungan akademik yang kondusif memerlukan enabling environment, yaitu ekosistem yang memberikan kebebasan dan dukungan bagi sivitas akademika, terutama dosen, dalam menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi secara optimal. Hal ini mencakup kebijakan akademik yang melindungi kebebasan berpikir dan berekspresi, fasilitas pendukung seperti perpustakaan dan laboratorium yang memadai, serta kesejahteraan yang layak bagi tenaga akademik agar mereka dapat menjalankan tugasnya dengan dedikasi tinggi.

Namun, di tengah upaya mewujudkan academic atmosphere yang kondusif, muncul paradoks antara etika akademik dan hak ekonomi, sosial, serta budaya dosen. Problematika paradoksial ini terjadi ketika tuntutan profesionalisme dan etika akademik berbenturan dengan kondisi nyata yang dihadapi dosen dalam aspek ekonomi, sosial, dan budaya.

Banyak kasus mencederai integritas akademik, seperti baru-baru ini skandal manipulasi syarat pengangkatan guru besar di ULM, kasus ini mencerminkan permasalahan sistemik dalam proses pengangkatan akademisi, serta kualitas pendidikan tinggi di Indonesia.  Lalu praktik tidak etis dalam pengusulan jabatan profesor yang disoroti Dewan Guru Besar UI dan UII, serta awal 2025 dugaan plagiarisme dalam disertasi doktoral seorang tokoh promovendus yang disusun pada studi di UI diduga mengandung unsur plagiarisme yang mencederai integritas akademik dan marwah kampus. UI telah melakukan evaluasi dan memutuskan memberikan pembinaan kepada yang bersangkutan agar meningkatkan kualitas disertasinya. Walaupun hal ini disesalkan sebagian masyarakat akademik, termasuk Alumni UI yang mendesak disertasi tersebut dibatalkan.

Bahkan, Koalisi untuk Kebebasan Akademik (KIKA) mencatat 27 kasus pelanggaran kebebasan akademik sepanjang 2024, termasuk represi terhadap mahasiswa dan manipulasi gelar akademik. Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa tantangan terhadap etika akademik masih menjadi masalah serius di lebih dari 3.115 perguruan tinggi di Indonesia, baik perguruan tinggi swasta maupun negeri.

Oleh karena itu, diperlukan upaya kolektif untuk memperkuat budaya akademik yang berintegritas dan bermartabat. Sayangnya, realitas yang dihadapi dosen sering kali tidak mendukung idealisme ini. Tekanan administratif, tuntutan publikasi di jurnal bereputasi, serta minimnya insentif untuk pengajaran membuat dosen berada dalam dilema antara menjunjung tinggi etika akademik dan memperjuangkan hak ekonomi, sosial, dan budaya mereka.

Paradoks ini terjadi, ketika tuntutan profesionalisme dan etika akademik berbenturan dengan kondisi nyata yang dihadapi dosen dalam aspek ekonomi, sosial, dan budaya. Etika akademik menuntut dosen menjunjung tinggi integritas ilmiah dengan menghindari plagiarisme, fabrikasi dan manipulasi data; menjalankan tridharma dengan idealisme tanpa terpengaruh kepentingan komersial atau eksternal; lalu membimbing mahasiswa dengan penuh tanggungjawab meskipun beban kerja meningkat.

Sementara  di sisi lain, dosen sebagai tenaga akademik memiliki hak-hak dasar (ekonomi, sosial, dan budaya) yang masih memerlukan advokasi. Hak ekonomi berupa gaji, tunjangan riset dan insentif sesuai dengan kontribusi akademik; Hak sosial berupa perlindungan hukum, jaminan kesehatan, keseimbangan hidup dan kerja; lalu Hak budaya berupa kebebasan berpikir, berekspresi, dan berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan tanpa represi. Ketidakseimbangan antara tuntutan akademik dan kesejahteraan dosen sering kali menjadi faktor utama yang menyebabkan degradasi integritas akademik.

Lalu apa yang harus dilakukan dosen yang sudah mengambil pilihan profesi mereka. Realitas kehadiran dan keterlibatan dosen dalam sistem pendidikan tinggi tidak bisa dihindari, karena itu selain dosen senantiasa berpikir positif, tentunya dosen perlu melakukan langkah-langkah positif pula.  Langkah-langkah meliputi: menegakkan etika akademik secara kolektif; mengoptimalkan hak ekonomi, sosial, dan budaya antara lain memanfaatkan hibah, juga advokasi kebijakan terkait kesejahteraan; beradaptasi terhadap perubahan global melalui jejaring global meningkatkan kapasitas riset, dan mengembangkan keterampilan kewirausahaan akademik; serta mendorong reformasi akademik guna menciptakan sistem pendidikan tinggi yang lebih adil dan berkelanjutan, dengan kebijakan yang lebih proaktif dalam menjaga keseimbangan antara tuntutan akademik dan kesejahteraan tenaga pendidik.

Selain itu, peran institusi dan pemerintah sangat penting dalam memastikan bahwa regulasi yang ada benar-benar diterapkan dengan baik. Reformasi kebijakan pendidikan tinggi harus mencakup peningkatan kesejahteraan dosen, perlindungan kebebasan akademik, serta sistem evaluasi yang tidak hanya berbasis kuantitas publikasi, tetapi juga kualitas kontribusi akademik secara holistik.

Dengan demikian, paradoks yang dihadapi dapat diminimalisir, dan universitas dapat menjadi pusat keunggulan akademik yang sesungguhnya. Perguruan Tinggi tidak sekadar menghasilkan lulusan yang siap bekerja, tetapi juga individu yang siap berkontribusi dan membawa perubahan positif bagi dunia. Wallahualam.

Vivat Widyatama, Vivat Civitas Academica, Vivat Indonesia dan Nusantara tercinta. (@lee)

 

Redaksi – Lili Irahali