Menentukan Masa Depan Kepemimpinan Dalam Pendidikan Tinggi

0
624 views

Ilustrasi Prilaku“Quiet Quitting” /

Oleh: Lili Irahali *)

MINGGU  lalu saya menulis gejala “Quiet Quitting” (perilaku “berhenti diam-diam”) yang melanda sebuah perguruan tinggi yang justru merugikan performance dan sustainability perguruan tinggi, juga  karyawan tersebut dalam jangka panjang.

Hal ini antara lain disebabkan kegagalan komunikasi pimpinan dan lembaga dengan karyawannya. Pimpinan bersikap bias atau terlibat dalam perilaku yang tidak pantas, pengawasan yang kasar.

Perilaku “berhenti diam-diam” karena karyawan mengalami kelelahan emosional. Atau pendeknya “quiet Quitting” terjadi karena perilaku kepemimpinan disfungsional yang berdampak buruk terhadap organisasi secara keseluruhan. Mungkin target jangka pendek tercapai, namun berakibat parah pada iklim, budaya, dan keberlanjutan organisasi.

Berdasar kajian Angela J., Xu Raymond Loi, Long W. Lam (Oktober 2015) mengacu pada teori konservasi sumber daya (Conservation of Resources/COR) bahwa perilaku kepemimpinan disfungsional tersebut berdampak destruktif.

COR adalah teori stres yang menggambarkan motivasi yang mendorong manusia untuk mempertahankan sumberdaya mereka saat ini dan untuk mengejar sumberdaya baru (Hobfoll, 1989).

Makna kepemimpinan dalam pendidikan tinggi sesungguhnya adalah bagaimana akademisi mengalami dan memahami diri mereka sendiri sebagai pemimpin dalam konteks pekerjaan mereka di perguruan tinggi yang mengemban misi mencerdaskan kehidupan bangsa (peserta didik).

Adisorn Juntrasook (31 Jan 2014) dalam Jurnal Higher Education Research & Development Volume 33 menyebutkan ada empat makna khusus kepemimpinan yang mendominasi, yakni: posisi, kinerja, latihan, dan model peran profesional.

Dari hasil kajiannya menawarkan cara memahami secara kritis kepemimpinan di luar paradigma posisional dan instrumental untuk menciptakan lembaga pendidikan tinggi yang lebih inklusif. Kepemimpinan adalah landasan penting bagi pengembangan iklim akademik dan kemajuan perguruan tinggi.

Newstead, et al (2021) menjelaskan bahwa kepemimpinan yang baik menyiratkan karyawan dimotivasi melalui alasan yang tepat, berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain dengan cara yang etis dan efektif, bergerak menuju tujuan yang etis dan efektif.

Pemimpin yang baik memiliki kualitas kebajikan yang baik. dimana kebajikan memberikan pemahaman yang bermakna dan komprehensif tentang “baik” karena berlaku untuk kepemimpinan yang baik.

Memang kualitas seorang pemimpin yang baik berbeda-beda. Menurut Cortess & Hermann (2021) menyebutkan bahwa pemimpin dapat menjadi katalisator bagi tumbuhnya gagasan dan proses penjabaran gagasan, juga sebagai penilai pada tahap pengambilan keputusan, sera penjaga implementasi gagasan.

Sementara Goleman (1998) menjelaskan tentang kemampuan yang harus dimiliki seorang pemimpin yang menekankan pada kecerdasan emosional. Ada lima dimensi kecerdasan emosional, yakni: kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati dan keterampilan sosial.

Diperkuat oleh Reyes, et al ( 2019) bahwa dalam konteks tim, pemimpin harus fokus pada pembangunan tim daripada fokus pada struktur. Pemimpin perlu menciptakan strutur yang mampu mengoptimalkan kinerja tim, menentukan tujuan dan pembagian tugas, meningkatkan keamanan psikologis, meningkatkan kerja tim dengan umpan balik dan penghargaan.

Dunia saat ini  menghadapi era VUCA (volatility, uncertainity, complexity, ambiguity), yakni situasi lingkungan yang mengalami gejolak, ketidakpastian dan kompleksitas, serta ambiguitas.

Hal ini tentunya membuat segala kebijakan harus berdasarkan perubahan pada lingkungan sebagai pertimbangan utama. Karena itu kepemimpinan harus menjadi driver bagi lembaga perguruan tinggi agar menjalankan fungsinya mengembangkan masa depan peserta didik yang lebih baik melalui proses pendidikan yang mumpuni.

Tanpa pemimpin yang baik, lembaga perguruan tinggi sulit menelorkan lulusan yang sesuai dengan tujuan pendidikan, yang menurut istilah saat ini profil pelajar Pancasila yang mengandung 6 dimensi dan elemen-elemen didalamnya. Wallahualam.***

sumber : Menentukan Masa Depan Kepemimpinan Dalam Pendidikan Tinggi – Saba Cirebon (pikiran-rakyat.com)