Pandemi Covid-19: “RESILIENCE” DAN “NEW EQUILIBRIUM” PERGURUAN TINGGI?

0
1,217 views

.

.Pandemi Covid-19:

.

RESILIENCE DAN NEW EQUILIBRIUM”

PERGURUAN TINGGI?

.

  Dr. Gleb Tsipursky memberikan sebuah alternatif menghadapi Pandemi dalam bukunya Resilience: Adapt and Plan for the New Abnormal of the COVID-19 Coronavirus Pandemic, 8 Mei 2020. Ia mengurai strategi berbasis penelitian tentang bagaimana organisasi – baik pemerintah, bisnis, organisasi nirlaba, dan individu serta rumah tangga dapat beradaptasi secara efektif dengan New Abnormal dan bencana serupa. Ia menunjukkan bagaimana mengembangkan rencana strategis yang efektif dan membuat keputusan besar terbaik dalam konteks ketidakpastian dan ambiguitas yang ditimbulkan Pandemi Covid-19 dan bencana skala besar lainnya. Ia merekomendasikan kepada organisasi pemerintah, bisnis, organisasi nirlaba, dan individu maupun rumah tangga yang memiliki taruhan tinggi, untuk keluar dari situasi saat ini. Sebuah investasi untuk menciptakan strategi bertahan hidup sampai pandemi berakhir.

  Gleb Tsipursky adalah seorang ekonom perilaku dan ahli saraf kognitif, dengan keahlian mengenali titik-titik buta – bias kognitif – yang membuat kita salah memahami realitas dan membuat kesalahan fatal dalam pengambilan keputusan. Apa yang diungkapkannya terkait perilaku organisasi dan pimpinan di masa Pandemi yang telah dan sedang disikapi dunia pendidikan tinggi pula. Apakah hal itu mencerminkan pemikiran Gleb? Mari kita simak.

Dr. H. Asep Effendi, SE., M.Si., PIA., CFrA., CRBC

Rektor Universitas Sangga Buana (USB)

Komunita: Pandemi memasuki tahun kedua, sementara PTS disiapkan menyelenggarakan pendidikan berbasis tatap muka (offline). Tentu tantangan yang berat agar mampu menjaga proses pembelajaran?

Dr. H. Asep Effendi: Jika kita bicara mengenai kebijakan tentang pengelolaan pendidikan di perguruan tinggi, saya kira sama dengan Kampus lain dalam sebuah platform menjaga agar Pandemi ini tidak menyebar kemana-mana dan memakan banyak korban. Dengan protokol kesehatan dan juga kebijakan lain pembelajaran daring ataupun berbasis pada kampus merdeka. Namun, saya menyikapi 2 hal utama dalam keadaan seperti ini. Pertama, normatif pendidikan seharusnya sudah mulai merancang ulang bagaimana sistem penilaian dan penilaian keberhasilan. Kalau sistem pembelajaran kita sudah masuk di 2 (dua) tahun atau tahun kedua. Awalnya sama dengan PT lain mengalami shock berat, ketika dosen dipaksa mengubah pembelajaran dari konvensional harus beralih ke IT System atau menjadi kuliah online. Tidak mudah mengedukasi mereka, terutama karena faktor usia relatif sepuh (dosen kita yang dibutuhkan keilmuannya, dan pengalamannya). Itu menjadi pekerjaan rumah tersendiri. Pada waktu itu kami siapkan 2 kali training bagi dosen yang kurang memahami teknologi informasi (IT). Bahkan kebijakan kita memberikan yang paling mudah bagi beliau-beliau yang penting pembelajaran tetap berjalan.

  Dari sini ada perubahan yang terjadi: 1) pergeseran investasi dari fisik bangunan ke teknologi informasi (sisi infrastruktur) untuk mendukung pembelajaran; 2) sisi SDM terjadi pergeseran dari konvensional ke IT system, ini juga perlu pembiayaan investasi; 3) mempersiapkan seluruh kurikulum dan sistem pembelajaran yang didukung IT system tadi.

  Bicara yang kedua, adalah tata kelola. Tata kelola perguruan tinggi di era pandemi terdapat 6 point perubahan yang luar biasa. Satu, Perguruan Tinggi bukan lagi menjadi destinasi utama terutama dari sisi bangunan, tapi semua mahasiswa akan menjadi orang-orang yang tertuju dan terfokus pada IT. Dukungan IT menjadi sentral. Maka reinvestasi yang pertama itu berubah. Yayasan harus membuka pemahamannya, tidak dapat mempertahankan bangunan bagus jika IT tidak mendukung. Artinya bangunan tidak bernilai apa-apa ketika tidak mampu menyelenggarakan pembelajaran yang didukung penuh oleh IT. Maka anggaran operasional perguruan tinggi bergeser.

  Dua, dari sisi SDM, ada tenaga dosen dan administratif. Dosen secara normatif sudah wajib masuk dalam slot dan harus siap. Sekarang dukungan tenaga kependidikan, semua pergerakan pembelajaran yang harus didukung SDM yang menggunakan IT. Maka kita pun harus melatih mereka, mengedukasi mereka, sekaligus harus mulai selektif pekerjaan mana yang tetap konvensional atau di IT kan. Tapi totalitasnya IT. Hemat saya kedepan lulusan baik manajemen, akunting, sistem informasi, apapun semua harus berbasis IT. Karena yang berbasis itu diterima perusahaan. Kalau dia pinter accounting tapi IT lemah, tidak akan diterima. Jadi semua jurusan/prodi harus menerapkan IT System, paling tidak materi sudah terintegrasi dalam IT, ilmunya masuk. Sebagian orang mengatakan IT hanya tools, itu betul, tapi alat ini menjadi signifikan. Ketika orang ditanya accounting prosesnya hapal atau tidak? Bagaimana cara menjurnal dia hapal. Tapi begitu dibawa ke IT, dia tidak mengerti? Jadi kami punya orientasi untuk dosen, karyawan, dan mahasiswa.

  Ketiga, tata kelola sistem kerja. Tidak mungkin lagi bertahan konvensional, karena sudah terbiasa online. Memang ada wacana luring dan sebagainya, namun di pemikiran mereka sudah terbiasa rapat zoom. Ke depan orang akan malas rapat ke kampus. Otomatis dalam tata kelola organisasi ada pergeseran. Maka ada indikator penilaian terhadap kinerja struktural, dosen, karyawan yang harus berbasis IT. Sekarang sedang menyusun sistem kepegawaian. Jadi nanti dosen dan karyawan bisa melihat bagian apa dan jobdesc. Pimpinan dan Yayasan akan memantau hal tersebut dan nanti akan memunculkan ukuran kinerja. Itu dari sisi komunikasi dan koordinasi kerja.

  Keempat, harus membuat format penilaian komprehensif terkait pembelajaran yang dilakukan. Karena kita tahu pembelajaran konvensional dan IT tidak sama. Contoh ketika kita memberikan tugas, kepada mahasiswa bisa jawabannya sama. Ini tidak bisa dibiarkan. Kita tidak bisa meluluskan mereka alakadarnya. Ilmu ya ilmu, kualitas ya kualitas. Tidak bisa dikatakan era-nya seperti ini, mahasiswa copy-paste yang penting mereka mengumpulkan. Mengukur kinerja hanya seperberapa bagian dari kualitas pendidikan yang mau kita hasilkan.

  Kelima, menegaskan kembali tata kelola infrastruktur yang ada. Keenam, Yayasan dan Pimpinan Perguruan Tinggi berfikir entepreneur. Karena ada idle prasarana, maka harus berfikir dibagaimanakan kampus ini seandainya besok atau lusa luring tidak dapat dilaksanakan lagi. Bandung ini lockdown. September memulai ajaran baru masih lockdown mungkin semester depan pun masih lockdown. Maka pilihan terakhir marilah berfikir entrepreneur. Pimpinan Perguruan Tinggi dan Yayasan harus berfikir seperti itu. Di era ketika orang lain sudah tidak membutuhkan bangunan yang luas, sudah tidak membutuhkan kantor yang luas atau megah. Kami sedang merencanakan rekayasa ruangan yang nanti boleh digunakan orang lain. Bagaimana caranya? Ini sedang kita bicarakan dengan Yayasan. Kedepan akan dibentuk berupa studio studio yang didesain agar menjadi tempat orang-orang yang membutuhkan ruangan untuk seminar, ruangan kelas, dsb.

  Jadi 6 poin di atas kami rancang menghadapi pandemi Covid-19. Prinsip kami pandemi ini tidak menghentikan kreatifitas dan inovatif, harus tetap berjalan. Kita harus memberikan contoh kepada mahasiswa, jangan hanya karena pandemi perguruan tinggi menjadi macet. Disela-sela bangunan yang memerlukan pemeliharaan, ini harus ada penghasilan. Saya pikir perguruan tinggi lain mengalami hal yang sama, tinggal bagaimana memetakan dan menentukan skala prioritas yang bisa kita dahulukan atau belakangkan.

Komunita: Bagaimana dari sisi konten pembelajaran? Mahasiswa dengan masa studi yang sudah diatur ketat?

Dr. H. Asep Effendi: Pertama, Kita melihat program S1 dan Diploma (2 segmen). Di segmen S1, kita tidak bisa menutup mata bahwa basic science atau teori dasar harus fokus. Maka saya selalu mengingatkan untuk S1 usahakan jangan terlalu banyak mengunakan materi ajar berbasis infocus. Kalau dosen tidak bisa meng-eksplore lebih dalam, mahasiswa hanya akan tekstual seperti yang ada di infocus. Sementara buku-buku yang harus dibaca mahasiswa tidak disentuh lagi. Silakan dosen menggunakan infocus, namun tetap membawa buku rujukannya. Sampaikan kepada mahasiswa point/chapter sekian silakan dibuka, dan sebutkan apa isi/inti didalamnya.     Pembelajaran online/daring tidak bisa begitu. Kami sedang merancang dalam konsep kurikulum kampus merdeka. Kalau nanti masa UTS/UAS dosen juga harus diarahkan. Kita akan mencoba mengeksplore, tidak one way lagi (dosen terus-terusan memberikan materi). Tapi membiarkan mahasiswa diberikan bekal masalah dan bisa menggali lebih dalam, membuka semua ilmu dan mahasiswa presentasi analisisnya seperti apa. Itu dari sisi pembelajaran. Dulu kita membiarkan dosen cerita 2 jam depan kelas (karena disitu dosen bisa mengeksplore cerita, pengalaman dll). Tapi kalau kita coba amati kembali, ternyata mahasiswa menatap layar paling efektif 1 jam. Lebih dari itu sudah tidak fokus lagi. Maka dalam satu jam, dosen tidak usah panjang lebar lagi, langsung ke intinya. Dan mahasiswa membahas lebih lanjut, agar pemikirannya hidup. Itulah kita ubah metode belajarnya.

  Dari sistem penilaian, kita punya beberapa komponen (tugas 1, tugas 2, UTS, UAS kajian/analisis). Tugas 1 dan tugas 2 biasanya bagian yang dieksplore lebih dalam, apakah itu presentasi atau kajian analisis. Dengan lebih banyak melibatkan mahasiswa, bisa membuat mahasiswa lebih aktif, tidak pasif hanya menunggu materi/slide dari dosen (itu yang kita rubah di pembelajaran kampus merdeka). Pada masa UTS dan UAS, dosen diarahkan jangan lagi bertanya tentang topik yang jawabannya akan “seragam”. Namun lebih banyak bicara kasus, yang memunculkan teori. Misal mahasiswa bercerita memunculkan pasar (dibawahnya disebutkan teori apa). Itu sudah beda, berarti dia sudah membaca. Jangan sampai mahasiswa kehilangan basic science. Ketika belajar S2, tidak banyak ilmu yang bergeser. Kesimpulannya S1 basic fundamen teori.

  S2 sudah murni applied, dosen boleh memberikan tugas sudah “dilepas” pada kreatifitas mahasiswa. Semua akan diberikan challenge yang berbeda, sehingga jawaban akan berbeda beda. Standar penilaian tidak berubah, tapi materi yang dinilai yang dirubah. Misal tidak semata mata soal kehadiran saja yang bernilai besar, sekarang tidak lagi, tapi memang masuk ke penilaian disiplin waktu (tetap tidak bergeser). Kelemahan di dunia IT, mahasiswa tidak bisa dipaksa, mereka akan datang di tempat yang senyamannya bagi mereka yang tidak ada pressure. Tanggungjawab kami sebagai pendidik dan menjaga amanah orangtua mahasiswa untuk mendidik dan menjadikan mahasiswa yang berkualitas. Kami usahakan yang terbaik dan selalu memperbaiki mana yang menjadi titik krusial.

  Kedua, secara struktural, peran dosen wali sangat penting. Dalam satu semester diagendakan minimal bertemu mahasiswanya 2 kali. Kendala pribadi yang dialami mahasiswa dalam proses pembelajaran itu banyak, lalu penyalurannya kemana, sementara dengan dosen jarang bertemu, atau dengan Kaprodi, dsb. Maka kami dorong Dosen Wali untuk komunikasi dengan mahasiswa. Bisa melalui cara seminar, dialog interaktif, webinar, agar mereka ter-maintain (di luar program belajar).

Komunita: Pembelajaran sarat teknologi digital (daring) ternyata banyak dosen belum siap.

Dr. H. Asep Effendi: Ada dosen yang tidak nyaman dengan zoom, atau tidak mengerti menggunakan zoom/google meet, dsb. Di satu tahun pertama itu berat sekali, sampai tim IT kebingungan untuk edukasi. Namun semester ganjil kemarin sudah menurun tingkat kesulitan penggunaannya. Kita terus mengevaluasi ketika dosen memberikan tugas tidak melalui e-Learning.

  Tim IT membimbing dan training dosen dalam membuat materi, misal membuat slide Power Point atau video dengan animasi, suara, dll. Memang itu pekerjaan rumah, perlu sabar. Kalau masih kesulitan namun diperlukan keilmuannya, maka kita buatkan tim teaching, kolaborasikan ilmunya dari yang “sepuh”, dan teknis IT-nya dari tim teaching tadi. Kita mengupayakan pendampingan seperti itu, mudah-mudahan tidak ada keluhan yang signifikan terkait pembelajaran.

  Untuk mahasiswa, evaluasi kami semester genap, 60% mahasiswa tidak menyukai online (tahap awal). Mereka lebih rindu pada konvensional. Karena mereka sedari awal bersekolah konvensional, tidak seperti UT. Para mahasiswa rindu suasana perkuliahannya. Namun selalu kami kedepankan tanggungjawab moral. Jika salah mendidik, hasilnya akan terlihat 20-30 tahun ke depan.

Komunita: Ada stigma akibat Pandemi membuat mahasiswa merasa downgrade, dan terjadi lost generation?

Dr. H. Asep Effendi: Kondisi Pandemi jika dibiarkan terus menerus tanpa penanganan yang baik, mental dan kualitas mahasiswa bisa melenceng dari tujuan awal. Jangan sampai ada istilah lulusan covid atau alumni covid.   Kita mengusahakan ada sertifikasi, memberikan sesuatu yang membanggakan mahasiswa. Memang saya belum meneliti lebih dalam, bagaimana efek pembelajaran daring ini. Dalam proses pembelajaran: Pertama, kita tidak melarang fakultas atau prodi mengadakan seminar hasil penelitian, hasil kerja praktek dilaksanakan luring asal sesuai prokes. Agar ada confident bagi mahasiswa bahwa hasil penelitian mereka diuji. Mudah-mudahan cara ini bisa mereduksi. Menguji prinsipnya memberikan edukasi tambahan, value tertentu, dan mengkritisi sesuatu. Jadi ada beberapa program yang kita lakukan dengan luring, dengan mutlak menerapkan prokes. Artinya mereka merasakan pendidikan tatap muka, dan memiliki ending yang baik. Saya ingin mereka bangga ketika mereka membawa ijazah untuk melamar pekerjaan di perusahaan misalnya. Setiap

  Kedua, Perguruan Tinggi mempunyai kepentingan, terkait cash in. Setiap mahasiswa masuk ke perguruan tinggi menaruh harapan besar. Jangan sampai ketika lulus nanti di luar ekspektasi. Itulah upaya atau kerja kita mendorong para dosen dan karyawan agar jangan sampai pandemi ini mendegradasi kualitas dan proses pendidikan bagi mahasiswa. Minimal sama, syukur-syukur ada efisiensi waktu tetapi mendapatkan efektifitas dalam pembelajaran. Kalau mahasiswa sukses, kita akan ikut bangga bahwa kita sebagai lembaga yang menghasilkan lulusan berkualitas. Tetapi jika mahasiswa gagal, maka kita ikut merasakan malu sebagai lembaga yang menghasilkan lulusan kurang baik. Kita diberi amanah untuk membangun integritas.

  Lost generation harus bisa diminimalisir agar tidak terjadi. Betapa sakitnya mahasiswa jika ada sebutan mereka lulusan covid. Kita harus memberikan edukasi jika mahasiswa disebut demikian, harus bisa membela diri dengan menjawab saya kuliah online, tidak seperti pendahulu yang konvensional. Itu hanya berbeda metode. Selain itu, Pemerintah juga seharusnya memiliki alat untuk mengontrol pembelajaran daring. Jangan sampai yang penting lulus dulu, dan jangan digeneralisasi untuk semua lulusan sebagai bentuk seleksi alam.   Diperlukan keseriusan pimpinan perguruan tinggi menjaga target kualitas SDM di masa yang akan datang, dimana pemerintah memiliki andil dalam kebijakan, yakni lebih banyak kebijakan yang memberikan kebebasan. Disitulah kebebasan yang bisa dimanfaatkan perguruan tinggi untuk menjadi kompetitif dan advantif.

Komunita: Pandemi menjadi pemicu kita menjadi kreatif, dan menguji kepemimpinan?

Dr. H. Asep Effendi: Betul, saya sepakat. Pembelajaran di era pandemi Covid dan konvensional itu beda metode, tetapi ruhnya sama. Jika ruhnya sudah sama, mau lari kemana pun tujuan awal itu akan tercapai. Ada satu kejadian di Pascasarjana, dimana mahasiswa yang aktif meminta pembelajaran tambahan dan mereka bersedia menyediakan link sendiri. Kita selalu terkait dengan namanya rewards, tidak dapat dipungkiri. Setiap pertemuan harus disiapkan pembayaran. Namun yanng paling penting ada edukasi yang kontinyu bagi para dosen terkait pemahaman tentang tugas mereka. Kami mempunyai majelis taklim Jumat pagi, pengajian dari jam 08-10.00 pagi. Kebijakan agar semua dosen dan karyawan duduk di ruangan mengikuti pengajian tersebut. Tidak ada yang bekerja di waktu tersebut. Pada kegiatan tersebut kita sisipkan pesan tentang visi dan misi kita. Kita terus memotivasi dan menggelorakan kerja ikhlas dan kekuasaan Allah SWT. Jika ke depan kita mendapatkan budget lebih, bukan tidak mungkin itu akan berpengaruh pada kesejahteraan dosen dan karyawan juga.

  Manajemen dan kepemimpinan sangat penting. Kita harus punya tools untuk mengontrol. Kondisi pandemi ini mahasiswa juga kesulitan, jika ingin mengeluh kepada siapa? Kita coba seimbangkan hak dan kewajibannya. Itulah yang setiap minggu kita olah, dengan memotivasi spiritual kepada dosen dan mahasiswa. Kami mengutamakan pada gotong royong, harmonis, kerjasama yang baik, maka kita akan diberkati dan dirahmati Allah SWT.

.

Komunita: Manfaat kebijakan pemerintah terkait relaksasi dan pendanaan Perguruan Tinggi?

Dr. H. Asep Effendi: Kalau kita bicara swasta, tetap bergantung pada tuition fee. Tetapi mari kita lihat bahwa kecukupan dari angka pendanaan itu jauh dari standar kualitas (di luar hitungan kualitas BAN PT), karena itu down grade. Untuk menurunkan gap ini, pimpinan perguruan tinggi dan Yayasan harus bekerja keras. Bagaimana caranya agar pembelajaran tetap berkualitas dengan keuangan yang kita miliki. PTS mencari mahasiswa, mengumpulkan uang, mengelola, mengajarkan, dengan kualitas sama seperti negeri. Ini bukan pekerjaan ringan. Makanya pimpinan PTS adalah orang-orang hebat. Selama kepemimpinannya sustainability terjamin, kualitas terfokus.

  Kami berharap tidak ada dikotomi PT (PTN – PTS) seperti itu lagi. Undang-undang guru dan dosen sama, sertifikasi dosen sama, standar pendidikan yang diminta sama. Bedanya didirikan pemerintah dan swasta. Kenapa skala prioritasnya PTN? Kita tidak punya kompetitif apapun pada PTN. Harus seperti PTN fasilitasnya? Bangunan diberikan pemerintah, gaji pun dari pemerintah. Kenapa PTN dan PTS selalu dibedakan, dengan suasana sekarang semua sama mengalami pandemi. Perguruan Tinggi punya pekerjaan rumah tersendiri, targetnya sama. Negara ini harus didukung SDM yang berkualitas sama. PTS diberikan kesempatan untuk melebarkan usaha dan sebagainya itu kemudian yang tidak bisa dilakukan semua PTS. Sehingga ada 3 segmen perguruan tinggi: 1) PT kedinasan, 2) PT yang dibackup corporate, 3) PT yang Mandiri.

  Kami sendiri mendirikan unit-unit bisnis untuk menopang dan memaksimalkan ikhtiar tuition fee tadi. Seyogyanya memang lebih fokus kebijakan pemerintah tentang tata kelola itu diadopsi sama, maka disini ada gelontoran dana yang harus masuk ke PTS. Karena PTS pun harus hidup. Bagaimana akreditasi bisa bagus (nilai 9) kalau modalnya kurang. Dalam tata kelola perguruan tinggi, kami tetap menganggap bahwa pandemi adalah batu loncatan kami. Namun disini ada kerja keras bagaimana mengolah potensi yang ada, keunggulan yang ada, agar menjadi kompetitif.

Komunita: Komitmen, harapan, dan pesan untuk semua?

Dr. H. Asep Effendi: Komitmen kami tidak mengeluh dengan kondisi yang ada (mengeluh tidak ada nilainya). Harapan kami, tidak usah berfikir kapan selesai, tetapi berfikir akan mengerjakan apa. Resep kami adalah produktif, inovatif, kreatif. Pesan internal bagi kami, pandemi ini adalah ujian dari Allah SWT untuk kita hadir menjadi pemenang. Ada slogan bagi kami, Kami bukan followers, tetapi the Winners. Itu yang saya tekankan terus. Untuk teman-teman PT, kita memiliki pekerjaan rumah besar, meluluskan mahasiswa berkualitas sebagai generasi bangsa di masa depan dan menghasilkan lulusan terbaik. Untuk Negara, mulai saat ini persamakanlah kedudukan PTN dan PTS baik dalam koridor bantuan, maupun kebijakan. Kami semua taat dan tunduk pada Negara, tinggal bagaimana fasilitas yang didapatkan PTS untuk menghasilkan SDM berkualitas itu sepadan dengan PTN. Tidak ada dikotomi antara PTN dan PTS karena semuanya sudah dipersamakan dalam undang-undang, aturan dan ketentuan lainnya. (Rewrite & Interview: Lili Irahali; Audio to Transcript: Intan Liswandini)

.

Dr. Cahyat Rohyana, SE., MM.

Ketua Yayasan Pendidikan Bhakti Pos Indonesia (YPBPI)

Komunita: Problematik pendidikan tinggi adalah kualitas. Bertepatan 1,5 tahun lebih terjadi pandemi yang memaksa pembelajaran secara online. Bagaimana mensikapi?

Dr. Cahyat Rohyana, S.E., M.M: Pandemi memang membuat kita kaget. Siapa pun tidak memungkiri pandemi satu tantangan kasat mata yang menyentuh semua aspek pendidikan terasa sekali.

  Yayasan Bhakti Pos Indonesia menyelenggarakan dua institusi pendidikan. Sekolah Tinggi Logistik Indonesia lebih ke akademis, dan satu lagi Politeknik Pos Indonesia berdirinya tahun 2009. Sementara Sekolah Tinggi Logistik Indonesia baru 6 tahun. Mahasiswa kami berasal dari banyak daerah seluruh Indonesia. Pandemi ini memaksa mereka harus kembali ke daerah masing-masing, namun harus kuliah dan masih kuliah terus.

  Alhamdulillah infrastruktur kami dengan dukungan IT membantu kegiatan belajar mengajar secara online, walau membuat program pembelajaran yang tentu berbeda. Mahasiswa kami banyak dari daerah dan pulang ke daerahnya. Salah satu kendala adalah jaringan internet yang kualitasnya kurang baik, tidak sama di setiap wilayah. Juga pemadaman listrik di daerah, dan hal-hal teknis lainnya. Sisi lain adalah kuota internet. Tidak semua mahasiswa memiliki kuota cukup dan mampu membeli kuota tersebut. Bantuan kuota dari Kementerian cukup membantu mahasiswa belajar daring atau melanjutkan studi.

Screenshot 2021-06-21 14-54-29  Kami senantiasa berpikir kreatif dan tidak menyerah, sekaligus menaikkan imunitas kami sebagai lembaga. Tiga hal menjadi perhatian: Pertama, melanjutkan kuliah itu tantangan berat. Beberapa lapisan keluarga biasanya keadaan ekonomi normal, kini banyak sekali penurunan. Dilematis antara menjaga protokol kesehatan dengan menjaga hidup. Kedua, kemampuan sumberdaya menurun pendidikan terpengaruh. SPP menjadi salah satu problem? Kami melakukan relaksasi untuk kewajiban SPP. Ketiga, kualitas pembelajaran. Bagimana menjamin kualitas offline atau luring dibandingkan dengan daring atau online tetap sama. Kami sebagai badan penyelenggara senantiasa proaktif mengelola pendidikan, Poltekpos dan Stimlog di masa pandemi ini.

Dr. Ir. Agus Purnomo, M.T – Direktur Politeknik Pos Indonesia: masa Pandemi yang paling menyita perhatian merubah budaya pembelajaran. Biasa tatap muka menjadi daring dengan sistem yang tidak terencana akibat bencana Covid-19. Kami berusaha mensikronisasi antara tatap muka dan maya.

  Secara institusi, learning management sudah aplikasi digital. Masalahnya mahasiswa belum bisa mengikuti 100%, karena ada daerah-daerah yang tidak terjangkau sinyal. Lalu masalah kuota ataupun bantuan dari Kementerian. Di awal kami menggunakan WA grup. Setelah subsidi kuota proses pembelajaran menggunakan Zoom meeting. Namun mahasiswa belum bisa mengikuti 100%. Lalu kami kembangkan pembelajaran relevan lain, link Youtube dengan materi lintas minat melalui webinar atau virtual learning. Selanjutnya materi-materi disimpan dalam Google Meet, Google DOC ada Google classroom. Melalui model-model pembelajaran tersebut kami memberi tugas dan mengedukasi mahasiswa. Upaya itu memungkinkan pembelajaran dilakukan kapan saja, dimana saja. Mahasiswa tidak harus datang langsung ke kampus. Tatap muka dilakukan ketika praktikum di laboratorium seperti potong kabel, potong logam atau gunting ini itu. Walau demikian pembelajaran offline kita laksanakan berupa hybrid learning, seperti kerja praktek, proyek, dan internship. Itulah tantangan-tantangan yang kami rasakan, sekaligus juga untuk menggalakkan kampus merdeka merdeka belajar.

  Kami memikirkan kondisi pandemi ini, tidak mengurangi kualitas materi pembelajaran yang diterima mahasiswa seperti model yang lalu. Dalam hal pemahaman konten, serta mendorong mereka tetap confidance model daring tidak mengurangi kualitas sarjana yang utuh. Tanpa mengurangi kompetensi masing-masing mahasiswa sesuai dengan kompetensi program studinya. Bahkan kelebihan pembelajaran online dosen memberikan tugas-tugas kerjasama kelompok dimana mahasiswa bersiap belajar mandiri. Belajar mandiri sesuai rencana pembelajaran yang diberikan. Masing-masing mahasiswa mempunyai tugas rekam tugas dari berbagai sumber menjadi video pendek diupload di Youtube. Mereka lebih kreatif dan tidak gaptek buka internet. Belajar pun menjadikan peningkatan kompetensi media digital. Saya kira ini akan menjadi model pendidikan ke depan hybrid learning. Online banyak mengandung materi belajar yang meluaskan wawasan mereka dari berbagai sumber dan negara.

  Hal positif, pembelajaran online membangun mahasiswa mandiri dan lebih berkompetensi. Ini sebenarnya menambah softskill untuk ke dunia kerja. Kami menegaskan pandemi secara positif tentu membuat proses pendidikan menjadi berkualitas. Itulah upaya kreativitas dalam menjawab relevansi dunia pendidikan di masa pandemi.

Rachmawati Wangsaputra, Ph.D., – Ketua STIMLOG: Pandemi memang berdampak pada degradasi namun juga peluang untuk berubah. Semula kami kaget. Namun setelah memulai dosen beradaptasi meningkatkan kualitas softskill, yang bahkan melebihi ekspektasi. Contoh, terlatih belajar efisien dan efektif. Tapi jujur karena begitu mudahnya meeting dalam waktu 2 menit saja kita bisa ganti meeting tanpa ke tempatnya. Langsung merubah beberapa kebiasaan seperti memeriksa tugas akhir dulu harus hardcopy dan berkesinambungan ada benang merahnya, dan harus bisa by email dan by whatsapp juga telegram.

  Memang tatap muka dengan tatap maya sangat beda karena ada yang hilang semisal pendidikan secara langsung moral siswa. Disiplin, tidak disiplin, atau tidak terlambat atau tepat waktu. Memang harus disesuaikan dengan model pembelajaran daring. Semisal, dengan ketentuan lebih dari jam 9 tidak boleh ikut pelajaran. Dulu susah menggunakan softcopy, sekarang sudah terbiasa. Akhirnya ditemukan bentuk-bentuk atau silabus dari materi seperti link-link sumber belajar dan yang lainnya. Di kelas mahasiswa menjadi lebih aktif dan ternyata mereka belajar lebih bagus juga. Dengan daring dosen senang, ternyata begitu banyak yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan keterampilan mahasiswa. Namun satu hal yang harus belajar terus bagaimana mendidik kejujuran mahasiswa melalui model pembelajaran daring. Saya perhatikan mahasiswa yang ngantuk atau tertarik. Sebagai dosen, bagaimana cara agar mereka aktif di kelas walaupun daring. Sekarang mulai berkurang dan dari sisi tantangannya lagi adalah kolaborasi itu menjadi kunci

  Kita memanfaatkan kolaborasi, kalau kelas ada kolaborasi harus menarik mahasiswa. Memanfaatkan kolaborasi dengan aliansi atau LSP lain. Intinya memberikan yang terbaik untuk mahasiswa. Kami merencanakan hybrid learning, tapi kondisi efisien dan efektifnya harus terus terjaga dan harus tercapai efisien. Sebelum pembelajaran kami sudah melakukan persiapan dan betul-betul melakukan. Sangat banyak memanfaatkan resource di dunia maya yang memperkaya pembelajaran.

.

Komunita: Pandemi merupakan equilibrium baru perguruan tinggi?  

Dr. Cahyat Rohyana, S.E., M.M: Saya secara tegas menyatakan iya. Bangsa-bangsa yang lebih tertata atau negara maju sudah seperti itu, maju selangkah dua langkah dari kami. Ada beberapa profesi dan pekerjaan yang hilang. Pandemi harus disikapi. Kata kunci adalah “shifting behavior”. Pandemi bukan pembatas, namun “opportunity” dan momentum menumbuhkan inisiatif-inisiatif yang mampu memecahkan berbagai masalah di masa krisis ini. Sehingga tentunya mendorong lembaga pendidikan tinggi bersikap inovatif dalam proses pembelajaran kreatif, luwes dan ulet, dengan memanfaatkan pengetahuan dan teknologi sebagai “enabler” dan “transformer”, tanpa mengurangi kualitas pembelajaran dan mutu lulusan yang kita usung bersama. Karena, ujung akhir pendidikan tetap harus menghasilkan sumber daya manusia/lulusan pembelajar yang mampu terus berkembang sejalan dengan dinamika dunia usaha dan industri menghadapi Industri 4.0.

  Walaupun ada kelemahan sana-sini akan menjadi model pembelajaran baru ke depan. Di masa pandemi mungkin proses digitalisasi baru seperti ini? Banyak hal-hal positif yang bisa dikembangkan dalam rangka menciptakan model pembelajaran yang tentu bisa menjawab abad mendatang dikuatkan dengan teknologi digital dan teknologi lainnya. Artinya kita perguruan tinggi negeri maupun swasta tetap bisa menunjukkan kualitas penyelenggaraan dan pengelolaan pembelajaran yang baik.

Komunita: Pandemi berdampak pada “loss generation”, dan bonus demografi?  Apa sinergi PTS bisa membantu?

Dr. Cahyat Rohyana, S.E., M.M: Yang saya maksud lost generation adalah bangsa Indonesia kalah bersaing dari bangsa lain. Tidak akan tercipta lost generation seperti itu? Bangsa kita adalah bangsa yang tangguh dan mampu berjuang, beradaptasi dengan gadget, dan kebiasaan baru. Beberapa hal sudah dilakukan dalam dunia pendidikan, seperti pemerintah membantu kebutuhan masyarakat, juga dari sisi teknologi, infrastruktur-infrastruktur mulai baik, juga entrepreneur-entrepreneur muda yang hebat harus mampu menghilangkan stigma lost Generation.

  Sekarang pemerintah menggalakkan mahasiswa perguruan tinggi bisa berkuliah di universitas negeri atau swasta lainnya ataupun sebaliknya. Ini salah satu upaya Kementerian mendorong sinergi antara badan penyelenggara ataupun perguruan tinggi sehingga kita bisa saling kirim mahasiswa. Mungkin ada belajar suasana, ada belajar biologi atau geografi. Ini salah satu model pembelajaran. Kita memang harus mengembangkan penguasaan multidisiplin mahasiswa dalam meningkatkan solusi ke depan. Tidak cukup ilmu logistik mengundang ilmu logistik, bisa saja dengan ilmu-ilmu yang lain. Sangat lebih baik bekerjasama mengkolaborasikan penyesuaian kurikulum. Misal Politeknik Pos Indonesia belajar ke Widyatama untuk akuntansi dan manajemennya.

  Ciri khas pendidikan kami supply chain management. Walau demikian, faktor lain kami pikirkan, ke depan harus seperti apa dari aspek ekonomi politik dan sosial. Jangan sampai prodi-prodi yang ada menjadi usang. Kami melakukan review seperti apa digitalisasi menuju. Menggarisbawahi pesan Dirut Pos Indonesia (Pesero) – Faizal Rochmad Djoemadi, bahwa bertransformasi secara digital itu wajib. Presensi diganti menjadi digitalisasi untuk karyawan.  Demikian pula pembelajaran dilakukan secara daring, yang kami cek secara online.

  Program lain yang kami lakukan yaitu post learning course. Pos Indonesia mempunyai cabang di seluruh Indonesia mahasiswa bisa magang di perusahaan-perusahaan yang bekerjasama dengan Politeknik Pos Indonesia di seluruh Indonesia dan dikreditkan dalam perkuliahan.

  Kita perlu bersinergi membentuk aliansi dalam rangka meningkatkan kompetensi mahasiswa sehingga bonus demografi menjadi realitas sebagaimana diharapkan dalam bidang ekonomi, tatanan sosial ataupun dunia kerja. Intinya kita harus tetap optimis. Ini adalah kewajiban kita menjawab semua tantangan dalam rangka mendidik mahasiswa bersaing di dunia kerja, walaupun dari luar negeri ataupun dalam negeri. Sekali lagi ini adalah kewajiban kita selaku penyelenggara pendidikan dan pendidik.

Komunita: Bagaimana model pembelajaran Politeknik Pos Indonesia dikembangkan, agar kompetensi mahasiswa atau lulusan link & match dengan dunia industri dan usaha.

Dr. Cahyat Rohyana, S.E., M.M: Seperti di Jepang, ada kalanya CEO atau direksi menjadi Rektor di suatu Universitas ataupun seorang Rektor atau dekan menjadi CEO di suatu perusahaan besar. Artinya dia bisa teori dan juga praktisi. Kami mendorong penguatan skills atau keterampilan. Vokasi tergantung pada level pendidikan mahasiswa, skills bisa pendukung ataupun penyeimbang. Katakanlah mahasiswa dibekali etika bisnis, diperlukan soft skill untuk menguatkan mahasiswa terjun di tempat kerja. IPK tinggi tapi tidak menjamin terpakai di tempat kerja. Untuk yang akademis diarahkan bersifat manajerial. Kalau misalnya menjadi pimpinan di corporate harus tahu teknis dan corporate tersebut. Dari sisi knowledge harus ada, mengenai efektivitas model pembelajaran tersebut kami berkomunikasi dengan user di dunia kerja. Kami diskusi dengan asosiasi korporasi lainnya yang menjadi user. Apa kekurangan anak didik kami. Perlu bimbingan apa ke depan. Bimbingan dari industri sendiri, dari perguruan tinggi, dan lainnya. Kami usahakan komplit melakukan semua.

Komunita: Harapan dan pesan kepada sesama kolega, pemerintah dan perguruan tinggi.

Dr. Cahyat Rohyana, S.E., M.M: Kita dihadapkan pada suatu kondisi Adaptasi Kebiasaan Baru, dan alhamdulillah masa transisi sudah terlewati dunia pendidikan.

  Pesan untuk tenaga pendidikan dan yang lainnya dengan Adaptasi Kebiasaan Baru, Industri 4.0 dan kita menjadi imigran di dunia milenial. Apapun kegiatan-kegiatan kemahasiswaan dan pengembangan institusi pun tetap milenial adalah tuan rumah. Bukan ikut-ikutan tetapi dengan alasan dan riset yang tepat. Kata kunci adalah mari kita beradaptasi secara arif dan bijaksana.

  Untuk pemerintah, kita menyambut baik upaya pemerintah menjaga kualitas pendidikan dengan memberikan relaksasi dan kehati-hatian mensikapi kondisi lapangan. Harapan lain, pemerintah tentu tetap memonitor apa-apa yang dibutuhkan, seperti kuota internet, ketersediaan jaringan agar tatap maya berjalan dengan baik. Juga kejelasan tentang link and match perlu direalisasikan lebih lanjut. Maka persiapan kita pun lebih mantap dan lebih percaya diri menerapkannya. Pendidikan merupakan amanah yang menjadi amalan jariyah. Apabila kita bersinergi sebagai pengembang pengembang sosial yang berkontribusi di bidang perguruan tinggi dan mencerdaskan anak bangsa. Berikutnya saling mengisi antar perguruan tinggi dalam melaksanakan kampus merdeka, merdeka belajar.

  Masa pandemi telah mendorong kita menemukan hal-hal positif yang bisa kita kembangkan dalam rangka terus meningkatkan kualitas dan dan tata kelola pendidikan dengan metode pembelajaran yang produktif efektif dan efisien. Sehingga tetap menghasilkan proses pendidikan yang baik, menghasilkan lulusan yang luar biasa untuk Indonesia. (Rewrite & Interview : Lili Irahali; Audio to Transcript: Yanda Ramadana)

.

Dr. H. Sugiyanto, M.Sc.

Wakil Rektor Bidang Akademik Kemahasiswaan dan Alumni – IKOPIN

Komunita : Menghadapi Pandemic Covid 19 yang hampir 2 tahun problematik PTS yang bertumpu pada pembiayaan mandiri dan jumlah mahasiswa seperti apa?

Dr. Sugiyanto, M.Sc.: Kami terkejut dengan keadaan di awal Pandemi. Kami memanfaatkan teknologi informasi dadakan mempersiapkan kuliah daring, selanjutnya mempersiapkan system blended learning. Kami kerja sama dengan UT dan IBM mencari sistem pembelajaran yang efektif.

  Masa Pandemi Covid-19 yang dibatasi protokol kesehatan pertama, kami mau tidak mau me online kan semua pembelajaran dan admistrasi dengan teknologi yang ada. Semula menggunakan Zoom Meeting yang berdurasi 40 menit saja luar biasa kendalanya. Kedua, kesiapan kami dari sisi Institut dan sisi mahasiswa keterkaitan ketersediaan jaringan dan kuota internet yang memberatkan mahasiswa. Kalau dari sisi Institut, kami harus menambah investasi teknologi daring, akan tetapi diluar budget RKA kami. Lalu sari sisi kesiapan dosen, dosen terkejut dengan penerapan ini. Materi pembelajaran secara daring harus dipersiapkan dan dengan cara penyampaian berbeda, karena pada saat itu menggunakan bahan-bahan untuk kelas tatap muka. Kendalanya luar biasa. Dosen cepat bosan sementara mahasiswa menjadi tidak antusias.

  Masalah lain tentu sisi ekonomi, banyak orang tua mahasiswa mungkin segi material kurang, dan pendapatan yang berkurang. Konsekuesi pada SPP. Kami mengalami hampir 400-an mahasiswa mengeluh. Kami mengambil tindakan dan kebijakan-kebijakan tertentu yang sangat terasa masalahnya diawal.

Komunita: Seperti apa faktual adaptasi baru terkait infrastruktur, kesiapan dosen dan kesiapan mahasiswa dan relaksasi sisi finansial?

Dr. Sugiyanto, M.Sc.: Pertama, terkait kuota pada saat itu kami mengambil kebijakan subsidi dengan julmah setiap bulannya berbeda-beda per mahasiswa S1 dan S2, kemudian berkaitan dengan SPP, mengikuti kemampuan orang tuanya. Secara insfrastruktur kami melakukan investasi dalam banyak hal seperti server, create LMS sendiri. Atas izin Rektor kami mengambil keputusan LMS harus di-create sendiri. Alhamdulillah berjalan baik dan konsekuensinya bagus. Bila kami ditantang blended learning dan daring, kenapa tidak berani. Terjadi efisiensi disana sini dan diimbangi dengan biaya server ini cukup rutin, dan sewa koneksi zoom yang cukup besar. Dalam kaitan itu, kami adakan pelatihan Dosen dan karyawan disini. Akibat dari itu kami bisa connect dengan SPADA yang ditetapkan DIKTI, dan data-data yang harus diupload ke laman DIKTI jadi lebih mudah. Termasuk SPMI kami memanfaatkan LMS melakukan evaluasi pada beberapa kegiatan terutama yang berkaitan dengan proses belajar mengajar. Upaya kami memperbaiki situasi ini pertama, agar tidak membosankan, kedua mahasiswa memperoleh pelayanan yang optimal.

Komunita: Sejauh mana dosen menguasai konten dengan model pembelajaran menggunakan teknologi, dan mudah diserap oleh mahasiswa?

Dr. Sugiyanto, M.Sc.: Dosen kami dorong mempersiapkan diri agar metode belajar mengajarnya disesuaikan dengan sistem daring. Kami ketat untuk pemanfaatan RPS (rencana pembelajaran studi) dan senantiasa mengacu pada RPS. Kemudian kita mendorong dosen agar mengajar lebih kreatif. Memang melalui model ini ditemukan juga beberapa mahasiswa dengan jawaban sama. Berkaitan dengan materi, memanfaatkan bahan- bahan dari media, bisa di youtube, paper dan jurnal, mahasiswa kami arahkan kesana. Bahkan dijadikan tugas mahasiswa untuk rangkuman dan linknya harus dicantumkan. Inilah upaya-upaya untuk memberikan penguatan dr pembelajaran.

Komunita: Apakah model pembelajaran sekarang ini bisa mendorong kemandirian mahasiswa semakin kuat, termasuk pengembangan karakternya?

Dr. Sugiyanto, M.Sc.: Ini suatu pekerjaan yang berat. Penggunaan teknologi dengan sistem pembelajaran relatif baru, serta kondisi pembelajaran harus daring, karena alasan pandemi, sekaligus mempengaruhi kondisi ekonomi, tentunya banyak menimbulkan keluhan-keluhan. Namun kami tetap mendorong mahasiswa untuk belajar mandiri. Bagian dari karakter mahasiswa sekarang, istilahnya struggle. Ini memang menjadi tidak mudah dengan komunikasi cara lama.

  Langkah kami diawal perkuliahan selalu menyadarkan dan mengajak semua dosen, agar dalam hal mengajar bukan hanya sekedar menyampaikan materi. Demikian juga dalam kondisi seperti ini kami harus menyadarkan mahasiswa bahwa akan mendapat manfaat optimal kalau kita memahami betul menggunakan teknologi informasi, namun dengan satu syarat, yakni kejujuran. Contoh ujian (UAS) harus dilakukan untuk mendidik mahasiswa supaya jujur dengan memaksimalkan sistem daring sekaligus belajar kemandirian bagi mahasiswa. Ini kami upayakan. Untuk pembentukan karekter mahasiswa kami kembangkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi kepada mahasiswa. Kuliah di IKOPIN nilai-nilai koperasi adalah nilai kebersamaan, kejujuran, menolong diri sendiri, empati kepada masyarakat. Ini yang selalu kami sampaikan kepada mahasiswa.

Komunita: Terkait dengan itu, ada perubahan metode penilaian yang secara prinsip valuenya sama, dan objektivitas capaian pembelajaran berkualitas?

Dr. Sugiyanto, M.Sc.: Memang kami tidak hanya mengandalkan ujian, biasanya ujian itu soalnya sama, mahasiswa mungkin juga bisa kerjasama, apalagi yang dekat. Namun kami tidak bisa menduga seperti itu. Maka proporsi-proporsi penilaian harus jelas. Misalnya ujian UTS 30 %, UAS 40%, yang 30%nya adalah tugas, mungkin harus kami ubah proporsi ini. Tugas-tugas harus ditambahkan dan masuk assignment LMS, dan menjadi nilai yang dipertimbangkan, jadi mereka terbiasa menulis dan menyantumkan referensinya serta daftar pustakanya sebagai tugas- tugas yang diberikan. Itu yang harus kami bangun. Termasuk mahasiswa yang sedang menulis skripsi atau tugas akhir. Apakah untuk mahasiswa S1 dan S2 termasuk D3 mulai tahun lalu dengan kondisi pandemi kami menggunakan similarity juga. Itu adalah pembelajaran untuk mahasiswa, memanfaatkan data dengan data sekunder dan tulisan harus tulisan sendiri. Itulah upaya kami mensikapi dampak pandemi.

Komunita: Komposisi kehadiran kuliah apakah ada perubahan?

Dr. Sugiyanto, M.Sc.: Kami tetap menyesuaikan minimal 80 %. Kami lihat dari hasil laporan SPMI, ternyata kehadiran mahasiswa kami mengalami peningkatan lebih tinggi, termasuk kehadiran dosen juga lebih tinggi. Ternyata dalam kondisi ini lebih efektif, mungkin karena dirumah. Ini aalah dampak positifnya. Terutama untuk bimbingan dosen harus mencari metoda yang tepat bagi mahasiswa. Karena model-model digital via zoom meeting ternyata tidak efektif. Kita sudah siapkan zoom setiap dosennya, dan dosen ternyata harus mempunyai alternatif lain, supaya bimbingan tugas akhir lebih efektif. Betul dosen harus menyediakan waktu lebih untuk bimbingan tersebut.

Komunita: Jenjang S1 harus mendapat landasan teori yang kuat, kalau S2 lebih pada Applied nya, ini tentu akan mempengaruhi model pembelajaran daring.

Dr. Sugiyanto, M.Sc.: Sebetulnya porporsi yang sifatnya praktis dengan kondisi ini memang nampaknya akan sedikit berkurang¸ apalagi S1 harus memahami teori, konsep itu harus. Karena kondisinya seperti ini, kami menekankan kepada dosen, agar membagi proporsi waktu kuliah. Kalau 3 sks itu sudah luar biasa bosannya. Misalnya setengah jam pertama untuk memperdalam teori dan konsepnya, lalu sisanya case-case tertentu dan kalau sudah cukup kita tunjukan jurnal-jurnal untuk memperkuat teorinya. Demikian pula mahasiswa S2 juga diperkuat dengan hal yang sama dan lebih ke praktisnya. Juga kami siapkan seperti writing case/studi kasus. Tetap teori kita sampaikan dan mempersiapkan diri logika berfikir mencari masalah dan menyelesaikan masalah.

Komunita: Sejauh mana dampak pandemi ini mendegradasi proses pembelajaran dan membuat stigma lulusan?

Dr. Sugiyanto, M.Sc.: Agar menghindari istilah degradasi dan stigma LC (Lulusan Covid) atau alumni pandemi Covid. Tentu saja harus kita pikirkan bersama. Namun saya tetap optimis selama semua pihak mempunyai komitmen yang sama, maka dari awal kita bangun dan sepakati komitmen dosen untuk tetap mengajar kepada mahasiswanya secara optimal, dan para mahasiswa juga kita sadarkan, bahwa apapun kondisinya, tidak harus belajar di kelas saja, ini harus benar-benar berfungsi. Harus ada komitmen dari dua belah pihak di atas akan capaian pembelajaran. Ini harus terjadi dan saya yakin tidak akan ada istilah degradasi, justru saya menangkap sebaliknya. Mengapa? Awalnya tidak siap daring, sekarang mahasiswa dan dosen dituntut untuk melek teknologi daring ini, tidak tua dan muda harus memanfaatkan LMS ini dari a s.d z, nilai harus ada didalamnya, juga koreksi harus ada didalamnya. Ini akan menjadi habbit yang dibiasakan dan mahasiswa tidak ada lagi yang gaptek dan lainnya. kKlau dari sisi materi banyak yang tidak tersampaikan mungkin saja, karena kebosanan atau lainnya. Namun apabila RPS nya jelas, targetnya jelas, setiap pertemuan jelas, saya yakin tidak akan terdegradasi untuk hal itu. Ditambah komitmen dari dosen, mahasiswa dan orang tua juga berperan didalamnya.

  Kecuali salah satu pihak di atas tidak berkomitmen, mungkin saja akan terdegradasi. Mahasiswa kadang-kadang secara daring zoom tidak terlihat/off camera, ini yang biasanya kami tegur satu-satu mahasiswanya. Saya berharap mahasiswa belajar daring itu terlihat oleh orang tuanya. Saya sedang usul SPMI belajar dirumah ini, yang melibatkan control orang tua. Menurut orang tua seperti apa anaknya dinilai untuk belajar dan kira-kira orang tua ada yang mengikuti anak-anaknya belajar.

Komunita: Prespektif Bapak terhadap lulusan di masa Pandemi?

Dr. Sugiyanto, M.Sc.: Revolusi 4.0 antara lain menuntut lulusan menguasai teknologi informasi, komunikasi yang lebih baik, serta kemampuan kerjasama. Karena itu ada beberapa hal di masa pandemi ini yang mendorong kami semakin yakin bahwa pembelajaran daring di kondisi pandemi ini mendorong anak-anak harus menguasai teknologi informasi. Karena sudah terbiasa, yang semula tidak menyiapkan laptop, sekarang mempersiapkan. Kalau hanya mengandalkan smartphone ternyata disaat ujian banyak yang mengeluh. Paling tidak mempunyai laptop menjadi pegangan untuk pembelajaran masing-masing. Kemudian kita imbangi dengan memiliki Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI) yang diikuti mereka sebelum lulus. Semisal, TOEFL, lulus sertifikat internasional, Accurate Sertifikat dan Pajak, dll. Paling tidak sertifikat pendukungnya seperti PKM dan Program Kreatifitas Mahasiswa, dan lainnya. Kami optimis asalkan kita konsisten.

Komunita: Tahun 2030-2045 kita menghadapi bonus demografi, dimana lulusan PT lebih banyak, apakah kondisi pandemi tidak merubah menjadi bencana demografi?

Dr. Sugiyanto, M.Sc.: Salah satunya kami mempersiapkan itu. Oleh karena itu kami sedang mempersiapkan hal-hal lain, seperti himbauan pemerintah, bahwa pendekatan lulusannya ke arahnya entrepreneurship. Visi dan misi Yayasan IKOPIN disesuaikan dan lainnya, termasuk statuta perguruan tinggi juga berubah. Kita berharap memperoleh ijin menjadi Universitas. Prodi-Prodi yang ada adalah Ilmu Sosial, namun harus pula didekati dengan ilmu teknologi, data harus dinilai dan kita manfaatkan. Demikian pula knowledge intelegent harus kita manfaatkan. Ini menjadi investasi yang luar biasa bagi intitusi kami. Kami sudah mempersiapkan lulusan yang mampu menyelesaikan problem sosial dengan teknologi, pengetahuan dan juga pendekatan bisnis. Itu yang semestinya dilakukan karena disitulah sebenarnya tempat kita bisa menampung tenaga kerja, mencari nilai tambah, memakmurkan masyarakat, dengan penyediaan barang dan jasa, input dan output bisa berputar. Hal itu, kita yakinkan kepada semua pihak terutama dosen dan mahasiswa. Pada saatnya mudah-mudahan tidak terjadi lost generation, bencana demografi.

Komunita: Dari uraian Bapak di atas tampak Pandemi telah mempercepat keseimbangan baru perguruan tinggi apakah demikian ?

Dr. Sugiyanto, M.Sc.: Betul kondisi sekarang bisa jadi pertimbangan menarik. Keseimbangan ini perlu kita cari, maka upayanya harus ada komitmen dari semua pihak, kita harus berubah. Dari semua sisi menyamakan presepsi supaya masing-masing pihak punya pemahaman yang sama, pihak pengelola (yayasan), dosen, mahasiswa juga alumni. Perbaikan kurikulum, perubahan visi dan misi lembaga juga mengundang alumni, dan pemerintah untuk memberikan masukkan kepada institusi pendidikan kami. Dan kami berharap pemerintah mempunyai komitmen yang lebih kuat lagi, seperti Kemendikbudristek, juga Kementrian Koperasi dan UKM, terutama kebijakan dalam mengembangkan koperasi, harus menjadi perhatian.

  Seperti ekonomi kerakyatan dan ekonomi kecil menengah perlu diperhatikan dan dimajukan kembali. Seperti para peternak sapi di Lembang atau di Pangalengan itu bisa bertahan puluhan tahun karena adanya KOPERASI. Kemudian dari sisi MBKM (Pengembangan Kurikulum Merdeka Belajar-Kampus Merdeka), kami sebagai PTS sudah memulai. Akademik penerapan MBKM harus berjalan, dan langkah yang sudah dilakukan adalah merubah kurikulum yang sudah berjalan dan sudah dikomunikasikan dengan semua program studi, Pembelajaran MBKM sudah diterapkan di perguruan tinggi kami. Bahkan sudah banyak kerjasama dengan Koperasi-Koperasi, baik yang kecil atau yang besar. Juga banyak koperasi datang ke kampus untuk minta pembinaan. Diterapkan mata kuliah Praktek Lapangan, identik KKN apabila di kampus lain. Praktek lapang kami di Koperasi baru selama 2 bulan, dan baru 2 SKS. Dengan pengembangan kurikulum Merdeka Belajar-Kampus Merdeka kami terapkan menjadi 20 SKS untuk Praktek Lapangan, dengan perubahan nama menjadi Praktek magang atau Pelatihan Kerja. Kami juga mempunyai Pusat Inkubator Bisnis, mahasiswa kewirausahaan ini kami arahkan kesana. Apabila Pratek Kewirausahaan berjalan 1 semeter bisa menjadi 20 sks (setara 1 semester), kemudian melalui praktek koperasi dan mahasiswa harus menjadi anggota koperasi atau pengurus koperasi. Ini akan memunculkan jiwa kewirausahaan dan wirausaha baru. Inilah keseimbangan baru yang kami tuju.

Komunita: Bagaimana kebijakan relaksasi masa pandemi yang diberikan pemerintah?

Dr. Sugiyanto, M.Sc.: Ini menarik pak, kita mengucapkan terima kasih kepada pemerintah. Diawal perjalanan pandemi pemerintah sudah membantu kuota belajar mahasiswa, dosen dan menambah KIP (Bidik Misi). Memang di awal pandemi mahasiswa kesulitan kuota Internet dan kami harus menutup beban biayanya walaupun tidak cukup. Harapan kami selanjutnya yang memperoleh bantuan ini harusnya tidak hanya mahasiswa. Tetapi PTS itu sendiri sebagai pelakunya seyogyanya diperhitungkan pula.

  PTS menyelenggarakan pendidikan artinya membantu program pemerintah. PT kebanyakan swasta, berasal dari dana masyarakat untuk menyelenggarakannya. Sebaiknya Pemerintah juga memberikan dana Bantuan Pendidikan seperti (BOS). Namun yang diberikan justru hal-hal yang menyulitkan, misalnya untuk Hibah, dana penelitian, karena swasta syarat akreditasinya cukup berat. Hal ini seharus bisa diperoleh melalui mekanisme Pembina. Kita tidak menuntut lebih. Contohnya agar PTS diperlakukan sama dan lebih mudah untuk mengejar prestasi, cukup dilihat dari jumlah dosen. Misalkan 10 tim dosen mendapatkan penelitian untuk meningkatkan kinerja PTS. Kenyataannya aturan dari pemerintah tinggi sekali. PTS dituntut dengan aturan memberatkan dari pemerintah, sementara tidak ada dukungan finansial untuk PTS tersebut. Kami merasakan betul kadang-kadang aturan kita kejar, tetapi tiba-tiba sudah mau sampai berubah lagi. Ini menjadi hambatan bagi PTS. Kami yakin syarat akreditasi akan mengarah ke MBKM. Padahal MBKM juga membutuhkan suatu pemikiran dan biaya, perencanaan khusus. Kami mempersiapkan manajemen khusus untuk menangani hal tersebut.

Komunita: Harapan dan Pesan selaku pengelola Perguruan Tinggi kepada Badan Penyelenggara, Pemerintah sesama PTS, juga Dosen dan Mahasiswa.

Dr. Sugiyanto, M.Sc.: Harapan agar pembelajaran optimal, capaian pembelajaran dan lulusan lulus memiliki kompetensi maksimal. Ini bisa dicapai dengan komitmen bersama, yaitu kami sebagai pengelola, dosen, mahasiswa dan orang tua mahasiswa. Kami sering berdiskusi dengan Badan Penyelenggara, sehingga sinergisitas lebih tinggi terkait pengelolaan pendidikan tinggi. Kepada Pemerintah, kami mengharapkan perlakuan adil untuk PTS. Antara PTS kelas-kelas yang menjadi acuannya, mungkin perlu toleransi tertentu seperti dalam penelitian dan hibah-hibah. Artinya PTS diberi peluang dahulu. Juga kebijakan pemerintah jangan terlalu cepat berubahan, kami sulit mengejarnya. Misal perlakuan sama antara PTN dan PTS.

  Kemudian sesama perguruan tinggi perkuat kerjasama. Untuk Program Merdeka Belajar saling bekerjasama antar PTS, termasuk penelitian, pengabdian terhadap masyarakat. Kami sendiri sudah berkolaborasi dengan IPMI Jakarta, sekolah manajemen yang mengkhususkan pada perusahaan modal besar, namun matakuliah yang dipraktikan untuk mengimbangi kompetensi mahasiswanya, mereka memagangkan mereka di Koperasi sampai 6 bulan. Kami juga berkunjung ke Widyatama mempelajari akuntansi. Kerjasama ini sesama perguruan tinggi harus terus dikembangkan, semisal penelitian dan CSR bersama.

  Kepada orang tua mahasiswa dalam kondisi pandemi seperti ini memang bantuan orang tua sangat berharga terutama untuk mengawasi putra/i nya belajar di rumah. Orang tua harus memahami jadwal kuliah putra/i nya, agar bisa membantu mengingatkan perkuliahan. Untuk dosen dan mahasiswa, kami berharap menyadari betul tugas mulia ini, sebagai amal ibadah. Kami menekankan amalan ini menjadi komitmen bersama untuk anak-anak didik. Untuk mahasiswa, kami memberikan keyakinan bahwa mahasiswa kelak menjadi pemimpin yang perlu menyiapkan diri, dan menunjukkan prestasi. (Rewrite & Interview : Lili Irahali; Audio to Transcript: Yanda Ramadana)

.

.