Oleh: Lili Irahali Staf Ahli Yayasan Widyatama ARNOLD J. Toynbee, sejarawan besar Inggris dalam karya monumentalnya A Study of History (1934–1961) menekankan pentingnya dimensi moral dan religius dalam perkembangan peradaban. Peradaban tentunya bukan hanya akumulasi kemajuan teknis, tetapi refleksi dari nilai, krisis, dan harapan manusia. Jika peradaban tidak dijaga secara etis dan bijak, ia bisa mengalami kemunduran atau bahkan kehancuran. Mengambil contoh peradaban Mesopotamia, Mesir Kuno, Yunani Kuno, Romawi Kuno, Cina Kuno (beberapa dinasti), India Kuno (peradaban Lembah Indus), Inca, dan Aztec surut disebabkan kombinasi faktor internal dan eksternal. Salah satu penyebab faktor internal adalah kemerosotan internal yang melingkupi: dekadensi moral, korupsi, atau konflik politik. Oleh karena itu, “menjaga peradaban” berarti merawat keberlanjutan nilai-nilai luhur yang menopang hidup bersama, seperti keadilan, kebenaran, keindahan, dan solidaritas antarmanusia. Menjaga peradaban juga adalah menjaga kemungkinan masa depan.
Untuk itu, upaya menjaga peradaban menuntut keberanian melampaui kenyamanan masa kini, dengan visi jangka panjang yang memadukan ilmu, iman, dan nilai-nilai kemanusiaan. Sebagaimana dicatat Yuval Noah Harari (2011, 2015) dalam Sapiens: A Brief History of Humankind, dan Homo Deus: A Brief History of Tomorrow bahwa, kemajuan peradaban tidak akan berarti jika kehilangan arah moral dan kebijaksanaan eksistensial. Oleh karena itu, tugas sejarah kita bukan hanya membangun, tetapi menjaga—agar peradaban tetap manusiawi. Kemajuan peradaban tentunya diusung oleh masyarakat itu sendiri. Tugas ini bukan sekadar tugas pemerintah atau pemuka agama, melainkan tanggung jawab kolektif, terutama kalangan akademik, budayawan, dan kaum muda. Bahwa institusi-institusi dalam masyarakat, termasuk lembaga pendidikan tinggi memiliki tanggung jawab dalam menghadapi tantangan moral dan religius. Artinya bahwa institusi-institusi perguruan tinggi seharusnya tidak hanya fokus pada pengembangan intelektual semata, tetapi juga pada pembentukan nilai-nilai moral dan spiritual dalam masyarakat.Perguruan tinggi sebagai penjaga nurani bangsa memiliki peran strategis dalam mendidik generasi-generasi untuk berpikir kritis sekaligus beretika agar tidak tercerabut dari akar sejarah dan tanggung jawab kemanusiaan.
Uraian di atas terasa semakin relevan di tengah situasi perguruan tinggi saat ini, baik di Indonesia maupun secara global. Dalam perkembangan terkini, banyak perguruan tinggi terjebak dalam orientasi pragmatis: mengejar akreditasi, ranking, dan daya saing pasar tenaga kerja. Tanpa disadari, fokus perguruan tinggi sering bergeser dari misi mulianya: membentuk manusia kritis yang berintegritas, memiliki kesadaran moral, dan berjiwa melayani. Pemikiran Toynbee mengingatkan kita bahwa tantangan yang dihadapi umat manusia bukan sekadar tantangan teknis atau ekonomi, melainkan juga tantangan moral—tentang bagaimana manusia memperlakukan sesamanya, lingkungan, dan nilai-nilai kebenaran itu sendiri. Demikian pula, John Henry Newman (1873) dalam karyanya The Idea of a University menegaskan pentingnya dimensi moral dalam pendidikan tinggi yang menekankan bahwa perguruan tinggi harus menjadi tempat “penanaman kebaikan intelektual dan moral.” Juga Henry Rosovsky (1990) dalam The University: An Owner’s Manual berbicara tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara kebebasan akademik dan tanggung jawab sosial. Di Indonesia, fenomena “pembajakan akademik” melalui jual-beli gelar, pelanggaran etika penelitian, hingga budaya saling menutupi kesalahan, menunjukkan bahwa pendidikan tinggi kita sedang mengalami apa yang disebut Toynbee sebagai “loss of creative minority”—hilangnya kelompok kecil pemikir visioner yang mampu memandu perubahan sosial dengan integritas moral. Mengacu pada pandangan dan fakta ini, sudah saatnya perguruan tinggi di Indonesia tidak hanya mengajarkan what to think (apa yang harus dipelajari), tetapi lebih penting lagi how to think (bagaimana berpikir secara kritis dan etis). Ini bukan semata-mata tentang melahirkan lulusan kompeten, melainkan membentuk manusia unggul—yang cerdas akalnya, tajam nuraninya, dan kokoh prinsip moralnya.
Toynbee telah mengingatkan kita hampir satu abad lalu, juga pemikir lainnya kemudian. Demikian pula diingatkan oleh Martha C. Nussbaum (1997) dalam Cultivating Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education, pendidikan tinggi harus membangun “warga dunia” (world citizens) yang mampu berpikir jernih tentang keadilan, menghormati martabat semua manusia, dan menghidupkan tradisi kritisisme yang konstruktif. Kini, tantangan itu menjadi mendesak. Perguruan tinggi harus kembali berani menjawabnya—dengan memperbarui kurikulum, membangun iklim diskusi yang sehat, menumbuhkan keteladanan moral, menghidupkan kembali makna sejati academic freedom yang bertanggung jawab. Kalau perguruan tinggi kehilangan dimensi kritis dan moral ini, maka bukan hanya ia gagal menjalankan misinya, tetapi juga berkontribusi terhadap kemunduran peradaban yang lebih luas. Oleh karena itu, seperti pesan para pemikir besar itu: perguruan tinggi tidak boleh hanya menjadi “pabrik ijazah,” tetapi harus menjadi “penjaga peradaban.” Wallahu a’lam.***
Sumber Artikel berjudul ” Perguruan Tinggi sebagai Penjaga Peradaban: Tantangan Moral di Era Pragmatisme Akademik “, selengkapnya dengan link: https://koran.pikiran-rakyat.com/opini/pr-3039313176/perguruan-tinggi-sebagai-penjaga-peradaban-tantangan-moral-di-era-pragmatisme-akademik?page=2