Tidak bisa dipungkiri PTS memiliki peran penting dalam menyediakan akses pendidikan tinggi (3.115 perguruan tinggi di Indonesia dengan mayoritas PTS, dan hanya 125 PTN), namun peningkatan kualitas, tata kelola, dan daya saing menjadi kunci penting bagi keberlangsungan PTS. Ini setidaknya menjelaskan bahwa PTS menghadapi tantangan yang kompleks. Pernyataan tersebut diperkuat perbincangan dengan Ketua APTISI Jawa Barat yang juga Rektor sebuah PTS di Bandung, bahwa salah satu aspek kunci menghadapi permasalahan dan tantangan PTS yang kompleks adalah kepemimpinan. Selaras dengan pergulatan saya di tengah dinamika dan kompleksitas dunia pendidikan tinggi di negeri ini menguatkan benar adanya, bahwa aspek kepemimpinan dalam perguruan tinggi swasta (PTS) menjadi penentu utama arah, tata kelola, dan kualitas institusi. Kepemimpinan yang dimaksud bukan sekadar soal jabatan rektor, dekan, kaprodi, atau kepala lembaga. Lebih dari itu, ia adalah kekuatan penggerak yang menetapkan budaya organisasi, menjaga marwah akademik, dan menjembatani idealisme ilmiah dengan realitas operasional.
Namun, tak sedikit PTS masih terjebak dalam pola kepemimpinan birokratis dan patrimonial—di mana kekuasaan terlalu tersentralisasi, dan keputusan penting hanya berputar di lingkaran sempit elite pimpinan tertinggi. Model seperti ini tidak hanya menghambat partisipasi sivitas akademika, tetapi juga memicu konflik internal dan krisis kepercayaan.
Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan berbagai kasus yang mencerminkan lemahnya kepemimpinan dalam tata kelola PTS. Misal, pada 2024 kisruh dualisme antara yayasan dan rektorat di sebuah PTS ternama di Jakarta, yang menyebabkan lumpuhnya aktivitas akademik dan penurunan citra institusi. Di Jawa Barat, mahasiswa sebuah PT melakukan aksi mogok kuliah karena kebijakan kampus dianggap tertutup dan tidak berpihak pada kepentingan pendidikan.
Kepemimpinan yang Dibutuhkan PTS
Di tengah disrupsi digital, globalisasi, dan krisis pendanaan, PTS membutuhkan pemimpin yang tidak hanya andal secara administratif, tetapi juga visioner, adaptif, dan reflektif. Pemimpin PTS harus mampu menjembatani idealisme akademik dengan tuntutan pragmatis dunia usaha, pemerintah, dan masyarakat. Bryman (2007) menekankan pentingnya kepemimpinan partisipatif yang menginspirasi dan membangun budaya kolaboratif, bukan sekadar menjalankan struktur formal.
Tantangan terbesarnya bukan hanya pada kebijakan, tetapi pada bagaimana kebijakan tersebut diterjemahkan dalam tindakan yang kredibel, konsisten, dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, pendekatan kepemimpinan kolektif sebagaimana dikemukakan Spillane (2006), menjadi relevan—yaitu menyebarkan tanggung jawab kepada banyak aktor akademik yang memiliki kompetensi dan integritas. Kepemimpinan yang tersebar seperti ini mendorong rasa kepemilikan kolektif terhadap masa depan institusi. Dalam konteks ini PTS membutuhkan teknokrat yakni para pejabat struktural, fungsional, maupun staf akademik dan administrasi yang mampu menjalankan fungsi manajerial dan pengambilan keputusan berbasis keahlian dan profesionalisme sesuai kewenangannya. Mereka aktor penting dalam merancang, memimpin dan mengevaluasi kinerja institusi secara berkelanjutan. Mereka memainkan peran dalam mengelola sumber daya (manusia, keuangan, sarana, dan informasi), merancang strategi kelembagaan, serta memastikan tercapainya sasaran-sasaran institusional. Mereka memainkan peran kepemimpinan substantif, dan sebagai middle leaders yang menjembatani kebijakan strategis dengan operasional kampus.
Namun sayangnya, ketika legitimasi moral dan legitimasi akademik pimpinan melemah, institusi PTS kehilangan arah. Lebih buruk lagi, ketika sejumlah pimpinan kampus bahkan terseret dalam skandal penyalahgunaan dana atau jual beli ijazah, sebagaimana terungkap pada awal 2025. Ini bukti bahwa tanpa kepemimpinan yang jujur dan bermutu, institusi akademik akan kehilangan jati diri dan nilai keilmuannya. Ini sebuah tantangan.
Tiga Aspek Strategis Kepemimpinan di PTS
Kalau kita dalami, ada tiga aspek kepemimpinan di PTS yang harus dijalankan secara bersamaan. Pertama, kepemimpinan akademik merupakan fondasi keberadaan perguruan tinggi menjaga arah dan marwah ilmu. Ia tidak berhenti pada jabatan struktural seperti rektor atau dekan, bahkan kaprodi, tetapi menyangkut kemampuan menjaga arah keilmuan, membangun integritas akademik, dan mendorong suasana intelektual yang hidup. Peter Ramsden (1998) menyebut bahwa pemimpin akademik sejati adalah mereka yang mampu membangun visi bersama, mendukung pembelajaran dan penelitian, serta menumbuhkan budaya kolaboratif.
Namun dalam praktiknya, jabatan pimpinan di PTS seringkali diberikan atas dasar loyalitas atau alasan administratif. Akibatnya, banyak pemimpin yang sekadar menjadi eksekutor kebijakan, tanpa mampu mengarahkan pengembangan keilmuan secara strategis.
Kedua, kepemimpinan terhadap dosen yang harus berangkat dari penghormatan terhadap otonomi akademik, etika keilmuan, dan apresiasi atas keunikan keahlian dengan tujuan mengelola komunitas ilmiah. Dosen bukan sekadar pegawai, melainkan jantung kehidupan intelektual kampus. Gaya kepemimpinan transformasional seperti dikembangkan Bass & Avolio (1994) menjadi penting: bahwa pemimpin harus memberi inspirasi, membuka ruang inovasi, dan membangun relasi yang saling percaya. Sayangnya, dalam banyak kasus, dosen justru dibebani urusan administratif dan target pelaporan yang kaku—membuat mereka kehilangan ruang untuk berkarya dan berinovasi.
Ketiga, kepemimpinan struktural akademik menyangkut bagaimana organisasi kampus mendukung dan menyelaraskan visi, misi, dan prosedur institusi. Struktur seperti ini seharusnya bersifat profesional dan fleksibel, bukan kaku dan prosedural. Henry Mintzberg (1979) menyebut kampus sebagai professional bureaucracy—artinya dijalankan oleh para profesional, bukan semata-mata birokrat. Namun dalam kenyataannya, struktur organisasi di banyak PTS terlalu sentralistis, membuat ide-ide inovatif terhambat sistem. Karenanya, model distributed leadership menjadi solusi. Yakni kepemimpinan yang tidak tersentralisasi pada satu figur, tetapi tersebar di antara para aktor akademik, sehingga mendorong partisipasi dan dinamika organisasi yang sehat.
Langkah Menuju Kepemimpinan Progresif
Lalu bagaimana memperkuat tata kelola PTS menuju transformasi akademik? Paling tidak ada tiga langkah strategis.
Pertama, Seleksi pemimpin akademik berdasarkan kompetensi dan visi ilmiah. Pemilihan rektor, dekan, atau kaprodi harus mempertimbangkan rekam jejak akademik dan visi jangka panjang, bukan sekadar loyalitas terhadap yayasan. Kedua, Peningkatan kapasitas kepemimpinan. Pelatihan kepemimpinan untuk para dosen dan pejabat struktural sangat diperlukan, baik dalam manajemen SDM akademik, pengelolaan perubahan, hingga strategi menghadapi disrupsi pendidikan. Ketiga, Reformasi struktur tata kelola. Perlu penyesuaian organisasi kampus agar lebih responsif terhadap kebutuhan akademik masa kini. Ini termasuk digitalisasi tata kelola, kolaborasi lintas unit, dan desentralisasi wewenang.
Pada akhirnya, memang keberhasilan atau kegagalan PTS dalam tata kelola dan transformasi sangat ditentukan oleh kualitas kepemimpinannya—baik dalam aspek akademik, pengelolaan dosen, maupun struktur organisasi. Kepemimpinan yang kolegial, transparan, dan berbasis nilai menjadi prasyarat mutlak untuk menciptakan atmosfer kampus yang sehat dan relevan dengan zaman. Selain itu, tanpa pemimpin yang jujur, berani, dan visioner, mustahil PTS dapat bertransformasi menjadi pusat pembelajaran, penelitian, dan pengabdian yang bermakna bagi bangsa, serta menjadi harapan stakeholder pendidikan tinggi. Wallahu a‘lam.
Lili Irahali – Staf Ahli Yayasan Widyatama; Studi Kepemimpinan dan Model Kepemimpinan PTS di Magister Management ARS University – Bandung