Perubahan iklim merupakan sebuah fenomena kompleks yang telah terjadi dalam jangka waktu ratusan tahun. Fenomena ini memberikan pengaruh signifikan pada perubahan suhu dan pola cuaca. Perubahan iklim disebabkan faktor alami, seperti perubahan variasi siklus matahari. Namun, pada abad ke-18, mulai terjadi percepatan perubahan iklim oleh aktivitas manusia.
Perubahan iklim sebagai akibat kegiatan dan perilaku manusia tersebut sudah menjadi tantangan yang sangat mendesak untuk ditangani solusinya saat ini. Kemajuan pembangunan di seantero planet bumi mau tidak mau didorong oleh temuan-temuan manusia yang ditandai melalui Revolusi Industri. Akumulasi akibat berbagai kegiatan manusia sejak Revolusi Industri 1.0, 2.0, 3.0, dan 4.0 telah menimbulkan dampak seperti: emisi karbon; eksplorasi sumber daya alam (tambang, deforestasi hutan dan rusaknya keanekaragaman hayati hutan, kerusakan tanah dan polusi udara; eksploitasi laut dan polusi plastik yang telah merusak keanekaragaman hayati laut); perkembangan teknologi yang berperan besar dalam peningkatan emisi karbon; serta era digital dan jejak karbon yang membutuhkan energi besar, serta limbah digital.
Perubahan Iklim
Perubahan iklim mengacu pada perubahan jangka panjang dalam pola cuaca dan suhu global. Hal ini dipicu oleh peningkatan suhu rata-rata bumi akibat efek rumah kaca yang diperburuk oleh emisi karbon yang berlebihan. Perubahan iklim sering dikaitkan juga dengan pemanasan global, yang merujuk pada kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi. Pemanasan global merupakan konsekuensi langsung dari efek rumah kaca yang diperburuk oleh emisi karbon. Kondisi perubahan iklim kini dan prediksi mendatang menggambarkan kecenderungan yang semakin meningkat.
Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), suhu rata-rata global telah meningkat sebesar 1,1 derajat C sejak era pra-industri (1850-1900). Data ini menunjukkan percepatan peningkatan suhu yang lebih tinggi daripada yang diperkirakan beberapa dekade lalu. Dampak saat ini, yakni: fenomena seperti gelombang panas, cuaca ekstrem, dan mencairnya es kutub menjadi lebih sering terjadi. Data tahun 2020 tercatat sebagai salah satu tahun terpanas, dengan suhu global 1,2 derajat C di atas rata-rata pra-industri.
Sementara, World Meteorological Organization (WMO) menunjukkan bahwa frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem telah meningkat. Badai, banjir, dan kekeringan lebih sering terjadi dan menyebabkan kerusakan signifikan. Badai tropis pada tahun 2020 yang menghantam Vietnam menyebabkan kerugian ekonomi senilai $1,7 miliar, sementara banjir di India tahun 2021 menewaskan lebih dari 1.200 orang. Konsentrasi CO2 di atmosfer (Konsentrasi Gas Rumah Kaca) telah mencapai level tertinggi dalam sejarah manusia modern. Pada 2021, konsentrasi CO2 mencapai 419 ppm (parts per million), meningkat dari 280 ppm pada era pra-industri. Gas rumah kaca lainnya, seperti metana dan nitrogen dioksida, juga meningkat signifikan, dengan metana tumbuh pada laju tahunan terbesar sejak pengukuran dimulai.
IPCC menemukan terdapat lebih dari 50% kemungkinan bahwa kenaikan suhu global akan mencapai atau melampaui 1,5 derajat C (2,7 derajat F) antara tahun 2021 dan 2040 di seluruh skenario yang diteliti, dan pada jalur emisi tinggi, khususnya, dunia mungkin akan terkena dampaknya. Ambang batas ini bahkan lebih cepat lagi — antara tahun 2018 dan 2037. Kenaikan suhu global dalam skenario intensif karbon juga dapat meningkat menjadi 3,3 derajat C hingga 5,7 derajat C (5,9 derajat F hingga 10,3 derajat F) pada tahun 2100. Perkiraan jumlah pemanasan ini sebagai gambaran, terakhir kali suhu global melampaui 2,5 derajat C (4,5 derajat F) di atas suhu pra-industri adalah lebih dari 3 juta tahun yang lalu. Mengubah arah untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat C (2,7 derajat F) – tanpa atau melampaui batas tertentu – akan memerlukan pengurangan emisi GRK (Gas Rumah Kaca) yang besar dalam jangka pendek. (https://wri-indonesia.org/id/wawasan/10-temuan-besar-dari-laporan-ipcc-2023-terkait-perubahan-iklim)
Menurut IPCC pula peningkatan frekuensi dan intensitas bencana alam, serta ekstremitas cuaca akan terus meningkat. Cuaca ekstrem seperti badai, banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan akan menjadi lebih sering dan lebih intens dalam beberapa dekade mendatang. Diprediksi dengan peningkatan suhu yang lebih tinggi dari 1,5°C, sekitar 20-30% spesies terancam punah (kehilangan keanekaragaman hayati). Terumbu karang yang saat ini sudah mengalami pemutihan besar-besaran akan hampir seluruhnya hilang pada tahun 2050. Bahkan, Global Climate Risk Index 2021, menyebutkan Indonesia adalah salah satu negara yang sangat rentan terhadap risiko cuaca ekstrem.
National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) melaporkan permukaan laut global telah naik sekitar 21–24 cm sejak tahun 1880, dengan kenaikan yang lebih cepat dalam dua dekade terakhir. Dampak kenaikan permukaan laut telah menyebabkan erosi pantai, banjir pesisir, dan pencemaran air tanah di banyak wilayah pesisir. Jakarta, merupakan salah satu kota dengan penurunan permukaan tanah tercepat, sebagian wilayah kota Jakarta diprediksi tenggelam pada tahun 2050 jika tidak ada upaya mitigasi yang signifikan. Menurut NOAA pada tahun 2100, kenaikan permukaan laut diprediksi akan mencapai 0,61-1,10 meter, tergantung pada skenario emisi global. Kenaikan ini tidak hanya mengancam komunitas pesisir, tetapi juga akan mempercepat hilangnya habitat di dataran rendah, menyebabkan lebih banyak pengungsi iklim. Dampaknya diprediksi negara-negara kepulauan seperti Maladewa akan kehilangan sebagian besar wilayah daratannya pada akhir abad ini jika tren ini berlanjut.
Perubahan iklim lebih jauh akan berdampak pada sistem produksi pangan global. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), peningkatan suhu, perubahan pola curah hujan, dan kejadian cuaca ekstrem akan menyebabkan penurunan hasil pertanian hingga 25% di beberapa wilayah tropis pada pertengahan abad ini, termasuk di Indonesia.
Dampak Terhadap Kehidupan Manusia
Kondisi perubahan iklim tersebut memberikan dampak pada kehidupan manusia dan ekosistem sehingga menciptakan berbagai tantangan sosial ekonomi, yakni: kesehatan manusia karena bencana alam, keanekaragaman hayati yang terancam karena perubahan habitat, serta ketahanan pangan yang menurun serius karena perubahan pola hujan, suhu bumi yang meningkat. The World Bank memprediksi bahwa perubahan iklim bisa memaksa lebih dari 216 juta orang menjadi pengungsi iklim pada tahun 2050. Negara-negara kepulauan dan daerah pesisir, seperti Indonesia, sangat rentan terhadap risiko ini.
Penurunan hasil pertanian dan perubahan pola curah hujan akan menyebabkan krisis pangan di banyak negara, termasuk negara-negara berkembang seperti Indonesia. Di daerah dengan kelangkaan air, terutama Asia Selatan dan Timur Tengah diperkirakan akan terjadi persaingan antar-komunitas untuk sumber daya air. Peningkatan penyakit tropis, seperti malaria dan demam berdarah akan terjadi akibat pemanasan global. Laporan The Lancet menunjukkan bahwa panas ekstrem akan meningkatkan angka kesehatan dan kematian global, terutama di daerah perkotaan.
Beberapa krisis belakangan ini menunjukkan kepada kita gambaran dampak perubahan iklim.
- Di Dunia:
- Gelombang Panas di Eropa (2023), banyak negara di Eropa mengalami gelombang panas ekstrem, dengan suhu mencapai lebih dari 40 derajat C. Peristiwa ini menyebabkan ribuan kematian, kebakaran hutan besar, serta mengganggu infrastruktur, khususnya sektor transportasi dan energi. Fenomena seperti ini semakin sering terjadi akibat pemanasan global yang menyebabkan peningkatan suhu rata-rata bumi.
- Banjir Besar di Pakistan (2022), yang disebabkan oleh curah hujan ekstrem membanjiri sepertiga wilayah Pakistan, menewaskan lebih dari 1.700 orang, dan menyebabkan jutaan orang kehilangan tempat tinggal. Fenomena ini diperkirakan diperparah oleh perubahan pola hujan akibat pemanasan global.
- Di Indonesia:
- Jakarta dan Daerah sekitarnya rutin mengalami banjir besar hampir setiap tahun. Perubahan pola curah hujan akibat pemanasan global, diperparah oleh urbanisasi dan penurunan permukaan tanah, membuat banjir semakin sering dan parah. Pada 2020, banjir besar terjadi pada awal tahun, yang menewaskan puluhan orang dan merusak ribuan rumah.
- Nusa Tenggara Timur (NTT), salah satu daerah paling kering di Indonesia, semakin rentan terhadap kekeringan panjang yang diperparah oleh perubahan iklim. Pada 2020, kekeringan ekstrem melanda daerah ini, mengganggu sektor pertanian dan memperburuk kemiskinan.
- Di Jawa Barat:
- Jawa Barat, khususnya kawasan Bandung Utara menghadapi krisis lingkungan akibat deforestasi untuk pembangunan perumahan dan pertanian. Hilangnya hutan telah mengurangi kapasitas penyerapan air tanah, meningkatkan risiko banjir di musim hujan, dan memperparah kekeringan di musim kemarau. Selain itu, perusakan ekosistem hutan menyebabkan tanah menjadi rentan terhadap erosi dan longsor.
- Longsor besar di Sumedang pada awal 2021, menewaskan puluhan orang dan menyebabkan kerusakan besar. Peristiwa ini merupakan akibat dari curah hujan ekstrem yang diperparah oleh penggundulan hutan. Perubahan iklim telah meningkatkan intensitas curah hujan, sementara deforestasi di daerah perbukitan meningkatkan risiko longsor.
Perubahan Iklim Jawa Barat dan Bandung Terkini
Merujuk data perubahan iklim di Jawa Barat dan Kota Bandung terkini menunjukkan situasi yang mengkhawatirkan.
Paparan Kepala Pusat Perubahan Iklim ITB Djoko Santoso Abi Suroso dalam acara Bencana Akibat
Perubahan Iklim disiarkan secara daring di Jakarta, Kamis (19/10/2023). (ANTARA/Muzdaffar Fauzan)
- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan suhu rata-rata di Bandung telah mengalami kenaikan. Pada 2020 rata-rata suhu udara di Bandung mencapai 23-24 detrajat C, meningkat sekitar 0,5 derajat C dibandingkan dengan dekade sebelumnya. Kenaikan ini merupakan dampak dari urbanisasi, deforestasi, dan perubahan iklim global. Dampak lokal peningkatan suhu menyebabkan fenomena urban heat island (UHI), yaitu kondisi di mana kota menjadi lebih panas dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Hal ini memperburuk kualitas udara dan meningkatkan risiko penyakit yang terkait dengan suhu panas.
- Data IQAir tahun 2023 menyebutkan Bandung memiliki tingkat polusi udara PM2.5 yang mencapai rata-rata 35-45 µg/m³ melebihi ambang batas aman dari WHO yaitu 10 µg/m³. Kualitas udara yang buruk berdampak negatif pada kesehatan penduduk, terutama anak-anak dan lansia yang rentan terhadap penyakit pernapasan seperti asma dan bronkitis.
- Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mencatat pada tahun 2021, Bandung dan sekitarnya mengalami lebih dari 70 kejadian tanah longsor dan banjir. Banjir bandang yang sering terjadi di kawasan hilir Citarum dan longsor di daerah dataran tinggi menjadi ancaman serius bagi infrastruktur dan keselamatan penduduk, terutama di wilayah utara Bandung yang mengalami alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian dan perumahan.
- Deforestasi dan Alih Fungsi Lahan Wilayah Bandung Utara yang dahulu merupakan kawasan konservasi hutan kini telah banyak beralih fungsi menjadi lahan perumahan dan pertanian. Laporan Dinas Kehutanan Jawa Barat menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir, lebih dari 30% hutan di kawasan Bandung Utara hilang, yang mengurangi kemampuan tanah menyerap air dan meningkatkan risiko banjir serta longsor. Hilangnya area hutan mengganggu keseimbangan ekosistem lokal, mempengaruhi keanekaragaman hayati, dan meningkatkan risiko erosi serta degradasi tanah, yang pada akhirnya mempengaruhi siklus hidrologi.
- Badan Pusat Statistik (BPS) dan Dinas Sumber Daya Air Jawa Barat menyebutkan pasokan air tanah di Bandung mengalami penurunan signifikan. Debit air di Sungai Citarum, yang menjadi sumber air utama untuk Jawa Barat terus menurun akibat deforestasi, pencemaran, dan perubahan iklim. Kota Bandung kini menghadapi ancaman krisis air bersih, terutama di musim kemarau panjang. Penurunan kualitas air juga terjadi akibat pencemaran limbah industri yang tidak dikelola dengan baik.
Dampak Jangka Panjang dan Upaya Mitigasi
Gambaran di atas menunjukkan bahwa perubahan iklim bukan lagi ancaman yang jauh di masa depan, melainkan masalah mendesak yang sudah berdampak pada kehidupan manusia dan ekosistem global. Jika tren peningkatan suhu global dan kenaikan permukaan laut terus berlanjut, keberlanjutan planet dan kehidupan manusia akan sangat terganggu. Oleh karena itu, aksi segera dan komprehensif untuk mitigasi dan adaptasi sangat diperlukan untuk melindungi bumi bagi generasi mendatang.
Fenomena perubahan iklim yang ekstrem ini memperburuk kualitas hidup, menurunkan hasil pertanian, meningkatkan kerawanan pangan, serta menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Di Jawa Barat dan Indonesia secara umum, upaya mitigasi, seperti reboisasi, pengelolaan air yang lebih baik, dan penerapan kebijakan lingkungan yang ketat, menjadi semakin mendesak untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang semakin parah.
Uraian di atas menunjukkan perubahan iklim tidak hanya menjadi masalah lingkungan, tetapi juga krisis kemanusiaan yang membutuhkan perhatian global dan lokal. Upaya untuk mitigasi dan adaptasi diantaranya dengan melibatkan perguruan tinggi. Paling tidak aspek mitigasi dan adaptasi berikut perlu menjadi perhatian.
- Pengurangan Emisi Karbon, untuk menahan laju kenaikan suhu, pengurangan emisi karbon secara signifikan harus segera dilakukan. Menurut IPCC, untuk menjaga kenaikan suhu di bawah 1,5 derajat C, emisi global harus mencapai net-zero pada tahun 2050.
- Adaptasi Terhadap Kenaikan Permukaan Laut, negara-negara pesisir, termasuk Indonesia, harus mulai mempersiapkan diri dengan infrastruktur adaptif untuk menghadapi banjir, seperti membangun tanggul dan mengelola tata ruang untuk menghindari pembangunan di kawasan rentan.
- Peningkatan Pendidikan dan Kesadaran Global melalui Green Curriculum di perguruan tinggi diharapkan dapat memainkan peran penting dalam menyiapkan generasi masa depan yang lebih sadar terhadap keberlanjutan planet dan tantangan perubahan iklim dengan cara inovatif dan berkelanjutan. Tentunya hal tersebut adalah langkah yang mendesak dan penting.
Written by: lili irahali dari berbagai sumber