Komunita: Makna Publikasi Jurnal bagi dosen, dan pengalaman menulis karya ilmiah di Publikasi Jurnal?
Prof. Dr. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D: Publikasi itu buahnya, bukan batangnya atau akarnya. Fondasinya adalah tridarma perguruan tinggi yang harus dilihat secara utuh dan komprehensif, juga dengan mempertimbangkan kesejarahan dan nilai-nilai budaya kita. Keterkaitan antara komponen pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat harus padu. Jadi apabila kita melakukan publikasi ilmiah jangan pincang. Misalkan seorang menjadi peneliti, tapi dia tidak pandai mengajarkannya, sangat disayangkan. Banyak orang publikasi ilmiahnya tinggi tetapi mengajarnya kurang bermutu, kurang menarik, bahkan sering mangkir.
Prof. Ir. Tarkus Suganda, M.Sc., Ph.D. – mantan Wakil Rektor UNPAD sangat menekankan pentingnya pengajaran, selain publikasi ilmiah dan pengabdian masyarakat. Sebagai dosen kita harus mengajar dengan disiplin. Jangan sampai publikasi bagus, mempunyai h-index tinggi di Scopus atau Google Scholar, tetapi di mata mahasiswa kita bukan dosen yang patut diteladani. Mengajar harus meneladani, memotivasi orang, mencerdaskan secara emosional dan bahkan secara spiritual, bukan sekadar mencerdaskan anak didik secara intelektual.
Tujuan didirikan Perguruan Tinggi agar masyarakat sejahtera lahir dan batin, secara material sejahtera, secara emosional spiritual sejahtera. Apabila kita dapat mencapai itu, Alhamdulillah. Jangan sampai universitas menjadi menara gading, mencapai peringkat tinggi tetapi membuat stress. Jangan sampai secara material kemakmuran kita tinggi, tetapi tingkat bunuh diri kita juga tinggi. Ini artinya kemanfaatan ilmu kita tidak berjalan. Daripada perguruan tingginya bagus tapi masyarakatnya tidak sejahtera, lebih baik perguruan tingginya standar namun masayarakatnya sejahtera. Memang, yang paling bagus perguruan tingginya bagus dan masyarakatnya pun sejahtera lahir dan batin. Ini tugas kita semua.
Untuk mempublikasikan karya ilmiah kita harus cermat. Bila tidak bermanfaat bagi masyarakat untuk apa? Sistem pendidikan di Indonesia sudah terkontaminasi ideologi kapitalis. Jurnal-jurnal yang mempublikasikan artikel-artikel ilmiah menawari kita untuk publikasi di jurnal mereka. Fee-nya mahal, mereka meminta sampai 30 jutaan Q1, 20 jutaan rupiah untuk Q2, dan belasan juta rupiah untuk Q3, meskipun ada juga yang fee-nya masih beberapa juta rupiah, tergantung pada kredibilitas jurnal itu, seberapa cepat dimuatnya, dan seberapa baik pelayanan dan prosesnya. Jadi publikasi artikel di jurnal sebetulnya untuk siapa? Mencerdaskan kita atau mereka? Karena kalau kita serahkan kepada mereka, tidak jarang copyright-nya pun kita serahkan kepada mereka. Kalau jurnalnya tidak open access, untuk bisa membacanya pun harus bayar. Jurnal yang tidak open access memang banyak yang tidak menuntut bayaran, namun mereka menjualnya setelah artikel kita dimuat.
Problemnya kita didominasi bangsa lain yang punya kriteria akademisnya sendiri. Misalnya, harus dalam bahasa Inggris, jadi kita tidak bisa menyaingi dosen-dosen luar. Jangankan bersaing dengan akademisi Barat, dengan akademisi Singapura atau Malaysia kita kalah. Mereka mewarisi bahasa Inggris, karena dulu mereka dijajah bangsa Inggris. Tak heran jumlah mahasiswa asing mereka juga lebih banyak. Mereka terbiasa menulis publikasi ilmiah dalam bahasa Inggris. Disertasi mahasiswa S3 umumnya juga menggunakan bahasa Inggris.
Artikel saya di PR berjudul “Kebanggaan Semu” menguraikan hal-hal tersembunyi. Mengapa? Komunitas akademis Indonesia melakukan publikasi ilmiah karena tiga hal: motif bersifat instrumental (memenuhi syarat administrasi untuk kenaikan jabatan fungsional), untuk mendapatkan insentif, dan sekadar pencitraan yang menjebak kampus untuk meraih status universitas kelas dunia. Tidak semua orang melakukannya tetapi banyak orang melakukannya. Tetapi seorang dosen/peneliti melakukan penelitian pertama-tama untuk mengembangkan ilmunya. Kalau ada keuntungan finansial, dan manfaat untuk kenaikan jabatan, anggap saja itu bonus.
Tahun-tahun 1990-an hingga 2000 – an secara nominal publikasi jurnal kita di bawah, tapi mulai tahun 2010-an sudah ada kemajuan, bahkan belakangan sejak 2019 jumlah atrikel di jurnal ilmiah kita paling tinggi di ASEAN, yakni 30.000- an. Menurut saya, di tahun 2021/2022 publikasi ilmiah Indonesia mungkin sekitar 50.000, sementara Malaysia itu masih 30.000-an dan Singapura masih 20.000-an. Memang kita sudah bisa menyaingi secara kuantitatif. Namun kita harus memperhatikan jumlah dosen/peneliti di negara masing-masing. Rasio publikasi ilmiah dan jumlah dosen harus diperhatikan. Jumlah dosen kita sekarang di atas 250.000 di seluruh Indonesia. Singapura paling 10.000 sekian. Jadi sebetulnya berdasarkan rasio ini, kita ketinggalan oleh Singapura, rata-rata baru sekitar 20 % dosen kita yang menulis artikel jurnal setiap tahun, sementara Singapura 10 kali lipatnya dari kita. Satu hal lagi, artikel kita dimuat di jurnal mana? Karena meskipun jumlahnya secara nominal banyak, kita menduduki peringkat 2 (16,2 %) di dunia sebagai penulis di jurnal predator, setelah Kazhakstan (17%).
Artinya, secara implisit kita lebih mementingkan hasil daripada proses. Ini yang bahaya. Soal kualitas, dan etika penerbitan kita kedodoran. Bagaimana mungkin ada orang yang tiba-tiba menulis artikel di jurnal internasional bereputasi, sementara pada masa lalu dia tidak pernah menulis. Saya tidak bermaksud menggeneralisasi. Ternyata prosesnya ada yang tidak etis. Contohnya seseorang yang mempunyai kekuasaan, tapi tidak punya kemampuan, dan karena mempunyai kekuasaan, dia bisa meminta bawahannya untuk menuliskan namanya. Mungkin juga dia sekadar menyumbangkan uang untuk membayar jurnal agar namanya tertulis.
Ada lagi proses tidak etis lainnya, yang saya tulis di Kompas dengan judul “Calo Scopus”. Jangankan individu, lembaga saja ada yang berperan sebagai mafia jurnal/calo jurnal. Contohnya, jika ada yang mau menulis artikel jurnal biayanya 10 juta, akan tetapi diminta oleh calo tersebut 20 juta. Ada seorang dosen bergelar doktor yang publikasinya berjumlah 60-an dalam satu tahun. Ternyata dosen tersebut adalah calo Scopus. Calon bayar kepada dosen tersebut untuk diteruskan kepada sebuah jurnal dan namanya juga minta dicantumkan, meski di jurnal yang bukan bidangnya. Ini kasuistik tetapi hal ini jangan dibiarkan, karena akan menular seperti virus. Sebaiknya kita mengirimkan artikel kita ke jurnal yang tidak berbayar. Apabila artikel kita bagus dan bisa bersaing dengan yang lain, mengapa kita harus mengirim karya kita ke jurnal yang berbayar? di mata akademisi Barat, aneh sebetulnya kalau kita menulis artikel di jurnal dan harus membayar fee.
Saya tidak bisa melarang publikasi berbayar, tapi saya bilang hati-hati kepada mahasiswa S3, agar jurnalnya jangan yang abal-abal, terserah apakah Q2 atau Q3. Kalau saya melarang, kemudian dimuatnya lama karena artikelnya dikirim ke jurnal yang tidak berbayar, sementara mahasiswa S3 itu harus lulus sebelum waktu yang ditentukan, saya akan merasa bersalah. Ada mahasiswa saya yang lulus dengan mengirimkan artikel ke jurnal yang tidak berbayar. Artikelnya baru terbit 2 tahun kemudian. Untungnya waktu studinya masih memungkinkan.
Komunita: Jurnal-Jurnal luar melihat ada potensi ekonomi. Tampaknya kita dimanfaatkan dari sisi materi dan kelimuan. Mereka lebih tahu tentang budaya, juga pengetahuan yang berkembang di Indonesia, lalu dijual pula oleh Pengelola Jurnal tersebut. Kapan kita bisa maju?
Prof. Dr. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D: Solusinya kita harus mengurangi ketergantungan kita pada jurnal asing. Kita harus mengembangkan jurnal sendiri yang nantinya juga bisa terindeks Scopus, sehingga bukan kita yang mengirimkan artikel keluar, tetapi akademisi dan peneliti luar yang mengirimkan hasil penelitian mereka ke jurnal kita, atau minimal ada timbal balik.
Komunita: Apakah sudah cukup rasio Jurnal kita yang tercatat di SINTA dan jurnal-jurnal lainnya yang terindeks, dibanding sejumlah 250.000 dosen dari berbagai disiplin keilmuan?
Prof. Dr. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D.: Tidak cukup, tetapi kita harus memulainya. Misalkan Widyatama harus punya target bahwa dalam target jangka waktu 10 atau 20 tahun Jurnal harus terindeks Scopus. Memang tidak mudah, tergantung pada kualitas, kecepatan, networking dan lainnya. Dimulai dengan jurnal yang tidak terindeks dahulu, lalu mulai terindeks SINTA 6, SINTA 5, SINTA 4, dan seterusnya. Lalu nanti melompat dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris, prosesnya perlahan, dan buka peluang untuk penulis dari negara lain. Ini memang memerlukam waktu dan pelatihan-pelatihan.
Komunita: Tantangan bagi dosen, tentu harus mempersiapkan dirinya sendiri?
Prof. Dr. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D.: Ya, harus ada upaya yang sistematis. Misalkan untuk tahun depan dilakukan proses pelatihan lokakarya untuk pengelolanya, lalu untuk para penulisnya, juga upaya untuk lebih memperdalam ilmunya. Saya ingat di UGM (Universitas Gajah Mada), dilakukan lokakarya penulisan artikel jurnal sampai 2 bulan meski tidak tiap hari, namun setelah selesai tak ada jaminan bahwa peserta peserta akan menjadi penulis handal. Karena tergantung pada pengalaman, keterampilan, kualitas dosen bersangkutan pada saat mengikuti. Jadi perlu perencanaan, serta harus dipilah semisal berdasar kemampuan menulis dosen-dosen itu. Bisa digolongkan berdasarkan kemampuannya, di samping berapa karya ilmiah yang sudah dihasilkan, dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
Seberapa banyak perguruan tinggi menyediakan pelatihan-pelatihan menulis karya ilmiah? Sepertinya masih relatif sedikit, biasanya hanya 2 hari atau kadang-kadang hanya 3 jam (2 sesi) pada hari yang sama.
Komunita: Memang jurnal lebih berkualitas daripada buku?
Prof. Deddy Mulyana. M.A. Ph.D: Bagi sebagian akademisi, membuat buku tidak mudah. Ada buku yang ditulis beberapa bulan hingga beberapa tahun. Buku saya Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar saya tulis tahun 1999-2000 dansudah dicetak hingga 23 kali dan dibajak habis-habisan. Dari segi waktu, lama penulisan itu bisa beberapa kali dari menulis artikel di jurnal. Satu lagi buku saya berjudul Metodologi Penelitian Kualitatif saya tulis selama enam bulan ketika sedang postdoc di Amerika tahun 2000 dengan beasiswa Fulbright. Buku itu baru terbit 2 tahun kemudian, karena naskahnya masih banyak harus saya poles. Buku ini tidak selaku buku pertama di atas, tetapi sudah 8 kali cetak ulang.
Pengalaman saya sebagai penulis pertama atau kedua artikel di jurnal, menulis artikel jurnal paling memerlukan beberapa minggu hingga beberapa bulan. Jadi dari segi tenaga, energi dan waktu menulis artikel jurnal lebih singkat. Karena itu tidak mengherankan apabila di Universitas Malaya, textbook nilainya sama dengan 3 kali menulis artikel di jurnal Scopus. Berbeda di Indonesia, di sebuah perguruan tinggi misalnya, textbook nilainya hanya 18% dari nilai artikel Scopus Q1. Jauh sekali bedanya. Bahkan textbook hanya 2,5 kali dari nilai artikel di koran. Jadi menulis textbook yang butuh waktu 6 bulan hingga 1 tahun hanya dihargai sama dengan menulis 3 artikel di koran, tidak sebanding dengan effortyang kita lakukan.
Bagi saya, meski saya juga menulis artikel di jurnal, menulis buku lebih memuaskan. Karena, pertama, dibaca orang dan bisa diwajibkan untuk dibaca. Kalau kita menulis artikel jurnal yang terindeks di Scopus, Q1 misalnya, apakah yakin dibaca oleh teman kita sesama dosen atau oleh mahasiswa? Artikel jurnal yang ditulis dosen di Fakultas Ilmu Sosial atau Humaniora, jika dosen akan mengajukan menjadi guru besar dari lektor kepala, tidak jarang yang menilainya profesor yang berasal dari Fakultas Ilmu Pasti Alam. Akhirnya ada saja yang tidak lulus, karena kriteria penilaiannya berbeda. Untuk dosen-dosen Ilmu Sosial, memang susah bersaing dengan dosen-dosen Ilmu Pasti Alam di PT yang sama kalau kriterianya adalah jurnal. Yang lebih banyak “berprestasi” mendapatkan penghargaan adalah Profesor atau Doktor dari Pasti Alam, karena jumlah jurnalnya di dunia juga jauh lebih banyak.
Persaingan di kalangan peneliti ilmu sosial lebih ketat karena peneliti Ilmu Sosial banyak sekali. Ketika kita sama-sama sebagai dosen/akademisi di Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, di situ ada paradigma/ mazhab yang berbeda. Secara sederhana ada yang penelitiannya kuantitatif dan kualitatif. Jurnal-jurnal yang menyediakan artikel dengan metode kuantitatif jauh lebih banyak. Jadi kalau penelitian kita didasari metode kualitatif itu lebih sulit, karena jumlah jurnalnya terbatas (skala dunia). Apalagi jika penelitian kualitatif itu berdasarkan perspektif kritis, akan lebih sulit lagi. Karena penelitian yang kritis itu lebih terikat oleh budaya, situasi lokal, dan tidak bisa digeneralisasikan, lebih sulit untuk disitasi, jadi belum tentu menarik perhatian dari editor dan juga khalayak pembaca. Contoh, pada tahun 2015 artikel saya sebagai penulis pertama dimuat di Jurnal Health Sociology Review,” Q2 Scopus. Saya dibantu seorang seorang profesor dari Australia yang pernah 2 bulan mengajar di Fikom Unpad. Hingga kini sitasinya relatif sedikit, karena artikel yang kami tulis itu tentang kasus Prita Mulyasari. Dengan perspektif kritis, siapa orang luar negeri yang tertarik dengan kasus Prita Mulyasari?
Karena akses ke jurnalnya harus berbayar, sitasi kita bisa relatif sedikit. Padahal sitasi dijadikan sebagai ukuran, di situ problematikanya. Lalu, soal sitasi juga, standar mana yang mau dipakai? Standar Scopus, Standar SINTA atau Google Scholar? Jadi seorang akademisi yang dianggap TOP atau hebat itu kriterianya apa? Apakah hanya Scopus? Untuk di Google Scholar semua tulisan dosen, termasuk buku semua disitasi, dan sitasinya itu tidak dibobot, kalau di SINTA itu dibobot. Anda bisa lihat sitasi saya di Google Scholar sejak tahun 2015, sekarang h-indexnya 43 dan sitasinya itu 32.000 lebih. Kalau di SINTA yang menggunakan skor Google Scholar dan skor Scopus, skor saya menjadi biasa, apalagi di Scopus.
Sitasi bisa dimanipulasi. Kalau saya mau sitasi saya tinggi, saya harus sering dan banyak mengutip karya ilmiah saya sendiri – hanya saja itu tidak etis. Ini saya ulas dalam tulisan saya di Kompas berjudul “Calo Scopus”. Kedua saya bisa bekerja sama dengan dosen lain untuk saling mengutip karya ilmiah. Saya bisa meminta mahasiswa S2 dan S3 untuk mengutip artikel jurnal Scopus saya. German Science Foundation sejak tahun 2013 tidak perduli dengan sitasi. Ukuran mereka kualitas dan kemanfaatan artikelnya saja. Kualitas artikel terletak pada isi artikel itu sendiri, terlepas dari dipublikan atau tidak. Albert Einstein mendapatkan hadiah Nobel dengan 2 halaman paper, tidak dipublikasikan, juga tidak ada sitasi.
Kalau kita ingin pemikiran kita tuntas tidak cukup dipublikasikan dalam jurnal, tetapi harus ditulis dalam buku, dan bahkan harus disampaikan juga dalam berbagai seminar. Untuk dapat diangkat menjadi guru besar, sebaiknya penulis artikel jurnal internasional bereputasi juga mempresentasikannya di hadapan para penguji. Akan terlihat penguasaannya terhadap materi artikel jurnal, apakah argumen ilmiahnya benar, bahkan juga akan terlihat apakah bahasa Inggrisnya bagus atau tidak. Idealnya seorang calon guru besar bukan hanya bisa menulis dalam bahasa Inggris, tetapi juga bisa memaparkan paper-nya dalam bahasa Inggris dengan baik, walaupun dibaca.
Menulis artikel di jurnal levelnya sudah tinggi. Sebelum ke tahap itu, seorang dosen sebaiknya memulainya dengan seminar (sebaiknya dalam bahasa Inggris) di prodi, di fakultas, kemudian secara regional, nasional, dan akhirnya secara internasional. Namun proses itu sering tidak dilakukan oleh akademisi. Tiba-tiba semua orang bisa menulis artikel di jurnal. Sekali lagi, kita lebih mementingkan hasil daripada proses. Kecenderungan itu sudah lama dituliskan Mochtar Lubis, dalam bukunya Manusia Indonesia yang terbit tahun 1978. Kalau kita mementingkan proses, maka semua tahap harus kita lalui, termasuk pelatihan menulis artikel jurnal yang selama ini jarang atau enggan kita lakukan. Menulis adalah keterampilan yang harus berdasarkan kebiasaan. Bagaimana menulis artikel jurnal dengan baik, mau dalam bahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris, kalau kita tidak terbiasa melakukannya.
Komunita: Jadi pekerjaan rumah kita menguatkan proses di dunia pendidikan tinggi agar dosen menjalankan perannya, salah satunya menjalani proses menulis dari hasil riset sehingga bisa dipublikasikan dengan baik?
Prof. Dr. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D.: Betul, ini adalah PR masing-masing perguruan tinggi. Harus ada kolaborasi dengan prodi, fakultas, universitas, bahkan Kementerian. Perlu ada sponsor, saya kira tinggal bagaimana kita membangun networking. Satu hal lagi, tidak perlu sebuah perguruan tinggi (fakultas/prodi) menuntut semua dosennya menjadi guru besar. Untuk kondisi sekarang ini, tidak semua orang mempunyai motivasi ke sana, dan mereka tidak bisa dipaksa. Perguruan Tinggi bisa memetakan dosen-dosen yang berpotensi menjadi Guru Besar, dan dosen-dosen penekanannya pada pengajaran, tidak harus menjadi Guru Besar. Tetapi apabila sejak awal kita memang menginginkan semua dosen harus menjadi Guru Besar berarti kita harus memulai dari proses recruitment. Untuk menjadi dosen, kita harus merekrut orang-orang yang bermotivasi tinggi, tidak berorientasi materi semata, selain cerdas dan punya kemampuan bahasa Inggris yang bagus, termasuk kemampuan menulis. Syukur-syukur mereka sudah punya publikasi ilmiah di jurnal nasional atau bahkan jurnal internasional. Kalau ingin gaji tinggi, jangan jadi dosen. Tetapi kalau kita ingin jadi akademisi yang hebat, nanti materi akan mengikuti sendiri. Banyak peluang di situ, menjadi konsultan, peneliti, dan lainnya. Tunjangan guru besar pun sekarang cukup besar, jika kita jadi guru besar.
Komunita: Perlukah melakukan terobosan perubahan diri menghindar dari “Calo Scopus”, Jurnal Predator, Jurnal Discontinued yang terlihat berkembang?
Prof. Dr. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D.: Harus ada peraturan yang tegas dan detail, kemudian disosialisasikan sampai ke bawah, dengan informasi yang lengkap, terbuka dan updated. Jangan hanya mengatakan “tidak boleh menerbitkan di jurnal predator,” tanpa tindakan dan aturan yang lengkap dan updated. Meskipun tersosialisasikan, ada pertanyaan yang sulit dijawab. Andaikan dosen-dosen kita cerdas dan pintar semua, dapat menghasilkan artikel yang layak untuk dimuat di jurnal, apakah jumlah jurnal yang terbit di seluruh dunia cukup atau tidak? Kalau semua dimuat kapan dimuatnya? Karena kalau semuanya bagus tetap harus antri.
Sekarang saja apabila saya menulis artikel di jurnal yang terindeks Scopus yang sah dan legal, kadang-kadang dibutuhkan waktu antara satu sampai dua tahun, jadi harus sabar. Tidak ada artikel sebagus apapun yang langsung dimuat, harus melalui proses review dulu. Karena artikel jurnal ini ingin terakreditasi (ulang), harus ada bukti dan proses reviewoleh mereka dan terrekam.
Contoh, Saya dengan Sri Seti Indriati (Indri) menulis di jurnal Scopus Q1, ternyata artikel kami di-review sampai 4 kali dan setiap kali oleh 2 orang, , sampai ke bentuk terakhir harus di-review lagi secara online, jadi 5 kali review dalam jangka 1 tahun. Setiap review harus kita ikuti, karang-kadang ada review yang reviewer-nya tidak mengerti dari segi perspektif, teori atau metode penelitiannya. Resikonya apabila editornya berpihak pada reviewer mungkin artikel jurnal kita ditolak. Tetapi kalau kita membela diri dengan argumen kita yang ilmiah dan logis, kalau perlu ada rujukan buku,atau jurnal, artikel kita bisa dimuat juga akhirnya. Jadi harus sabar.
Komunita: Perspektif tentang artikel publikasi jurnal dalam kaitan “proses”, bukan hanya mengejar “hasil”.
Prof. Dr. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D: Sementara ini kita masih terikat keinginan dinilai sebagai universitas berskala dunia atau “World Class University”. Jadi perguruan tinggi semakin jauh dari misi pendidikan yang holistik dan membumi. Padahal klausul Undang-undang pendidikan adalah mendidik mengembangkan manusia menjadi insan yang bertaqwa.
Ketika akademisi dituntut untuk menulis artikel di jurnal nasional atau internasional sebetulnya secara historis atau metodologis bentuk atau format jurnal yang hanya beberapa ribu kata itu, lebih cocok untuk disiplin Ilmu Pasti Alam. Penelitian-penelitian Ilmu Sosial apalagi dengan metode kualitatif lebih cocok dipublikasikan dalam bentuk buku. Karena penelitian kualitatif menurut prinsip dari Clifford Gates, harus ada Thick Description (Uraian Tebal). Mengapa format artikel jurnal lebih cocok dengan disiplin ilmu alam, karena ada ada hipotesis yang harus diuji dan juga dianalisis, jadi sifatnya deduktif, makanya lebih ringkas. Dalam Ilmu sosial dan Humaniora ada interpretasi, selain sifatnya yang dinamis. Jadi memerlukan uraian tebal.
Komunita: Pesan-pesan untuk kalangan pendidik, dan organisasi pendidikan khususnya pengelola dan penyelenggara pendidikan dan juga otoritas pemerintah?
Prof. Dr. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D.: Pertama, kita harus mengkaji dan mengutuhkan kembali Tri Dharma perguruan tinggi. Pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat merupakan kesatuan yang utuh. Juga harus ditambahkan perlunya “Misi membangun Indonesia yang seimbang antara kognitif, etika dan spiritualitas”. Untuk itu perlu ada upaya memberikan contoh teladan dari para pimpinan lembaga dalam menerapkan aturan-aturan. Kedua, standar pemilihan pimpinan harus berdasarkan meritokrasi. Ketua prodi, dekan, hingga rektor yang dipilih seyogianya yang hebat dalam prestasi akademisnya, selain bermoral dan terampil mengelola organisasi. Siapa yang kredibel harus muncul sebagai pimpinan. Bukan karena faktor kedekatan atau perpolitikan kampus. Kalau di luar negeri menjadi rektor, dekan atau ketua departemen/prodi adalah orang-orang yang sangat kredibel di bidangnya. Tentu yang paling penting adalah intregritas dan kejujuran, dengan tidak melupakan networking dengan baik (lili_irahali – September 2022).
(Interview & Rewrite: Lili Irahali – Audio to transcript: Yanda Ramadana)
Deddy Mulyana adalah Guru Besar dan Dekan ke-9 (2008-2012, 2012-2016) Fikom Unpad. Ia meraih gelar Sarjana dari Fikom Unpad (1981), M.A. dari Department of Communication Studies, Northern Illinois University, AS (1986), dan Ph.D. dari Department of Anthropology and Sociology,Monash University, Australia (1996). Ia Peneliti dan Profesor Tamu di Northern Illinois University, AS (2000-2001); Randolph-Macon Woman’s College, AS (2004); Technische Universitat Ilmenau, Jerman (2002, 2005); Universiteit Leiden, Belanda (2005, 2006); dan Monash University,Australia (2009, 2011). Deddy telah menjadi pembicara (kunci) di lebih dari 50 konferensi/seminar internasional di lima benua dan Penguji Luar (External Examiner) lebih dari 100 kandidat doktor di Malaysia, Brunei Darussalam, India, Australia, Belanda, dan Inggris.
Deddy telah menghasilkan lebih 50 buku, lebih dari 40 book chapter, dan lebih dari 50 artikel di jurnal ilmiah nasional serta jurnal internasional bereputasi. Ia memiliki Google Scholar h-index 44, dengan lebih 34.000 sitasi atas karya-karyanya, per Oktober 2022. Sejak tahun 1974 Deddy telah menghasilkan lebih dari 500 tulisan yang dimuat di berbagai surat kabar dan majalah.
Deddy telah memperoleh berbagai penghargaan tingkat nasional dan internasional, a.l. Inspirational Award dari Pemerintah Australia (2009) sebagai salah satu alumni terbaik Australia yang berjasa luar biasa bagi pengembangan Ilmu Komunikasi di Indonesia; Satya Karya Bakti 30 Tahundari Presiden Republik Indonesia (2012); penghargaan kompetensi Public Relations dari ASEAN Public Relations Network kategori Managerial PRuntuk akademisi ASEAN (2014); penghargaan tertinggi (empat bintang) dari Asosiasi Pendidikan Ilmu Komunikasi (Aspikom) Indonesia (2016) atas kompetensi dan dedikasinya dalam Pendidikan Ilmu Komunikasi di Indonesia; dan Anugerah Perhumas untuk kategori Edukator Humas (2018).