Riset Dan Inovasi PT Belum Menggigit Dan Mengkait

0
651 views
Daya Saing Bangsa, APK Pendidikan Tinggi, dan Kualitas SDM

Model ekonomi telah bergeser dari Technology Based Economy/TBE menjadi Knowledge Based Economy/KBE. Sehingga abad 21 ini merupakan era masyarakat berbasis pengetahuan (Knowledge Based Society/KBS), dimana pengetahuan menjadi sumber daya utama untuk berkontribusi pada percaturan global. Model di atas tidak terlepas dari inovasi teknologi dan ilmu pengetahuan yang telah mendisrupsi struktur dan lanskap bisnis masa lalu dan kini.

KBE sebagai model ekonomi menstimuli kreativitas, kreasi, penyemaian, serta penerapan pengetahuan dan informasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan; sekaligus mengakselerasi sistem yang efektif bagi pendidikan dan pelatihan;? teknologi informasi dan komunikasi; riset & pengembangan, serta inovasi. Karenanya KBE diyakini menjadi fondasi perekonomian modern yang mampu mempengaruhi proses kerja, perilaku tenaga kerja, serta masyarakat sebagai konsumen. Realitasnya kita sedang menjalani. Namun jangan dilupakan unsur yang melekat pada KBE memerlukan : a) investasi pada riset dan pengembangan (R&D); b) inovasi dalam produk, produksi, pasar, maupun pemasaran; c) pengembangan kewirausahaan pada industri berbasis teknologi, baik skala kecil maupun besar; d) pengembangan teknologi informasi dan komunikasi; e) peningkatan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi; f) serta peningkatan keterampilan dan profesionalitas (World Bank, Knowledge Economic Index, 2012).

Korea Selatan – sebagai salah satu negara yang terbentuk 15 Agustus 1948 atau 3 tahun setelah Indonesia – kini memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi, dimana lebih setengah pertumbuhan ekonominya disokong oleh peningkatan efisiensi yang dicapai melalui riset dan teknologi. Fakta lain, negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi didukung kontribusi riset dan teknologi yang diperlihatkan pada multifactor productivity/MFP (Batelle 2013, CHAN 2009). Nah, kemajuan ilmu pengetahuan & teknologi/Iptek dan inovasi Indonesia diharapkan dapat menjadi ujung tombak meningkatkan daya saing bangsa. Namun ironinya unsur-unsur KBE di atas bagi Indonesia mungkin tidak mudah menjangkaunya.

Iptek Indonesia dalam Lanskap Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Indonesia – Kemenristekdikti tahun 2017 tergambar melalui indikator klasifikasi produk perdagangan selama tahun 2012-2016, Indeks global daya saing dan inovasi (Global Competitiveness Index/GCI dan Global Innovation Index/GII), serta Gross Domestic Expenditure on R&D (GERD) masih membutuhkan perjuangan.

Dari klasifikasi produk perdagangan periode 2012-2016, neraca perdagangan Indonesia positif hanya pada produk dengan intensitas teknologi rendah, sementara? pada produk dengan intensitas teknologi medium dan tinggi neraca perdagangannya negatif. Sangat jauh, dibandingkan dengan: Brazil, Rusia, India, dan Tiongkok (negara BRIC); Korea Selatan; Filipina, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam (negara ASEAN).

Dilihat dari Indeks global untuk daya saing dan kapasitas inovasi (Global Competitiveness Index/GCI dan Global Innovation Index/GII). Peringkat Indonesia pada peringkat ke-10 (GCI? 2017-2018) yang mengindikasikan Indonesia sebagai pasar potensial. Maknanya, jika tidak dapat dimanfaatkan oleh produsen dalam negeri, Indonesia merupakan target pasar potensial produk dan jasa dari luar atau negara lain. Demikian pula pada GII – indeks yang menilai negara dari kapasitas inovasinya – prestasi Indonesia belum cukup baik.

Dari sisi Gross Domestic Expenditure on R&D (GERD), yakni indikator utama perbandingan aktivitas dan pengeluaran litbang antar negara pada periode tertentu. Besaran GERD Indonesia, hanya 0,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB), tertinggal jauh dari Korea Selatan, negara-negara BRIC, dan negara-negara ASEAN lainnya. Sedang dari indikator jumlah peneliti/SDM (satuan: FTE per satu juta penduduk) Indonesia berada di posisi paling bawah, yakni jumlah peneliti baru 89,5 FTE per satu juta penduduk di antara 11 negara pembanding.

Dari ukuran di atas belum terlihat kontribusi Iptek dan inovasi Indonesia bergaung di tataran nasional, regional apalagi global, khususnya di teknologi medium dan tinggi. Bisa jadi benar, ketika PT.DI sejak 1976 – 1997 mengibarkan teknologi transportasi pesawat CN-235, N250, (dan kini N219) kontribusi Iptek Indonesia dalam peta teknologi dan inovasi dunia, khususnya teknologi transportasi begitu menggema. Itulah inovasi teknologi terapan, dan produk yang dapat dirasakan walau masih perlu perjalanan berliku. Namun apa dapat dikata nasi telah menjadi bubur, Indonesia meredup dari peta kedirgantaraan dunia setelah PT.DI dikerdilkan.

Pemerintah melalui Rencana Induk Riset Nasional/RIRN 2017 – 2045 mulai menyelaraskan kebutuhan riset jangka panjang dengan arah pembangunan nasional terkait ilmu pengetahuan dan teknologi. RIRN dirancang dengan pendekatan holistik, lintas institusi, lintas ranah dan berdasarkan fokus riset; serta mensinergikan seluruh kekuatan agar mendapatkan hasil optimal di tengah keterbatasan sumberdaya, sekaligus mengakomodasi semua pelaku riset.

RIRN sebagai titik pangkal perbaikan secara menyeluruh, terintegrasi dan selaras dengan perencanaan pembangunan nasional, juga memfokuskan pada aspek riset dari keseluruhan proses riset di hulu sampai dengan hilirisasi, diintegrasikan dengan Rencana Induk sektor terkait, terutama perindustrian (RIPIN) termasuk Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan ekonomi kreatif (RIEKN). Karena muara utama dari riset adalah produk manufaktur yang berorientasi pada industri, serta produk kreatif yang menjadi modal ekonomi kreatif berbasis Iptek. Secara umum, perencanaan riset dalam RIRN sampai dengan maksimal satu tahap sebelum pengembangan produk yang dilakukan di industri serta difusi maupun inkubasi teknologi.

RIRN juga tidak membatasi pada topik riset yang hanya berorientasi pasar atau solusi jangka pendek, tetapi mencakup topik riset fundamental yang ditujukan untuk peningkatan tabungan pengetahuan (pool of knowledge) bangsa. Dengan demikian, RIRN diharapkan mampu membangun sinergi riset nasional, yang bukan saja memperbaiki efisiensi, tetapi juga meningkatkan efektivitasnya, serta sebagai pendorong reintegrasi, dan harmonisasi pendidikan tinggi dengan riset, dengan masyarakat, serta lembaga riset lainnya. Demikian dokumen RIRN menjelaskan.

Dalam kaitan di atas, RIRN yang mengangkat 10 (sepuluh) fokus Riset Unggulan seyogyanya segera dimaknai dan disikapi Perguruan Tinggi/PT. Bukankah PT adalah salah satu rahim Iptek yang digadang-gadang sebagai Produsen Iptek Inovasi dan Pusat Keunggulan, serta sejatinya PT adalah institusi pendidikan yang berbasis pada kegiatan pembelajaran melalui kegiatan riset. Melalui kegiatan riset, para dosen dan mahasiswa memiliki kesempatan menemukan masalah, mencari berbagai solusi secara ilmiah dan merumuskannya menjadi metode baku dan bisa direproduksi.

Dari sekitar 4.670 PT yang meliputi: Universitas, Institut, Politeknik, Sekolah Tinggi, dan Akademi kontribusi pada riset dan Iptek masih memprihatinkan. Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Ristek/BRIN) baru-baru ini mengumumkan hasil penilaian kinerja penelitian PT untuk periode 2016-2018 (data Simlitabmas), yakni : baru 47 PT masuk dalam kelompok Mandiri, 146 PT pada kelompok Utama, 479 PT pada kelompok Madya, dan sebanyak 1.305 PT pada kelompok Binaan. Jumlah kontributor baru mencapai 1.977 PT atau baru 42 % dari total 4.670 PT yang ada di Indonesia, walaupun jumlah kontributor pada periode di atas menunjukkan peningkatan dari periode tahun 2013-2015 sebelumnya yang melibatkan 1.447 PT.

Dari jumlah tersebut di atas, hanya 10 (sepuluh) PT dengan kinerja riset tertinggi. Kesepuluhnya adalah PTN. Dimanakah PTS ?? Bila kita bandingkan jumlah Badan usaha skala besar, menengah, kecil dan mikro yang berjumlah 56.539 560 (BPS, 2012), maka masih banyak peluang bagi para akademisi Indonesia yang jumlahnya masih relatih sedikit 89,5 per satu juta orang – dalam menyumbang riset dan inovasinya.

Penilaian kinerja riset PT tersebut, menurut Menristek/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Bambang P.S. Brodjonegoro berdampak pada kuota anggaran penelitian, pengelolaan dana desentralisasi sesuai dengan rencana induk penelitian masing-masing PT, peta kebutuhan program penguatan kapasitas per klaster, serta mekanisme pengelolaan penelitian. Komponen yang dievaluasi dalam penilaian kinerja riset PT meliputi sumberdaya penelitian (30 %), manajemen penelitian (15 %), luaran/output (50 %), dan revenue generating (5 %).

Mengingat peran strategis penilaian kinerja riset, semua PT dituntut menyampaikan data kinerja penelitiannya untuk penilaian periode berikut. Ketentuan ini berlaku bagi PT yang belum pernah menyampaikan data kinerja penelitian sekalipun. Selain itu, klaster PT turut berpengaruh terhadap jumlah anggaran penelitian yang dapat dikelola PT yang bersangkutan. Anggaran maksimal yang dapat dikelola oleh PT klaster mandiri mencapai Rp. 30 miliar/tahun, PT klaster utama sebesar Rp.15 miliar/tahun, PT klaster madya sebesar Rp.7,5 miliar/tahun. Sedangkan PT klaster binaan dapat mengelola dana penelitian sebesar Rp. 2 miliar/tahun.

Cakupan riset bila mengacu pada Agenda Riset Nasional menurut RPJPN 2005 – 2025, maka PT memungkinkan berpartisipasi dalam 7 (tujuh) topik, yaitu : 1) Mendukung ketahanan pangan; 2) Mendukung ketahanan energi; 3) Penciptaan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi; 4) Penyediaan teknologi transportasi; 5) Mendukung kebutuhan teknologi pertahanan; 6) Mendukung kebutuhan teknologi kesehatan; serta 7) Pengembangan teknologi material maju. Ketujuh topik di atas mencakup 10 (sepuluh) fokus pembangunan nasional, yaitu : 1) Bio-molekuler, Bioteknologi, & Kedokteran; 2) Ilmu Pengetahuan Alam; 3) Energi, Energi Baru dan Terbarukan; 4) Material Industri dan Material Maju; 5) Industri Rancang Bangun, Rekayasa; 6) Informatika dan Komunikasi; 7) Ilmu Kebumian dan Perubahan Iklim; 8) Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemasyarakatan; 9) Ketenaganukliran dan Pengawasannya; 10) Penerbangan dan Antariksa.

Sangat menarik !!! Apakah PT bersikap berdiam diri ??? Atau ke depan Riset dan Inovasi PT lebih menggigit dan mengkait dalam kerangka RIRN sebagaimana uraian di atas ?? Kita tidak harus menunggu, Sobat. Ini Era Knowledge Base Economic/KBE, era Disrupsi ditengah gelombang percepatan teknologi, dan inovasi. Nah, Bangsa Indonesia seharusnya tidak lagi hanya berfungsi sebagai konsumen Iptek melainkan sebagai produsen pula. Wallahualam.

Vivat Widyatama, Vivat Civitas Academica, Vivat Indonesia dan Nusantara tercinta. (@lee)

Redaksi – Lili Irahali