Publikasi Jurnal Ilmiah utamakan Kebermanfaatan, bukan Administrasi

0
608 views

“agar tidak terjadi kemubaziran dan penghianatan keilmuan”

Prof. Dr. Dedi Mulyasana, M.Pd.

Guru Besar Universitas Langlang Buana

Komunita: Pengalaman Prof. Dedi terkait Publikasi Jurnal Ilmiah?      

Prof. Dr. Dedi Mulyasana, M.Pd.: Masalah Jurnal ini yang dipublikasikan dan diakui DIKTI, memang agak sulit dijangkau oleh banyak orang. Jurnal sebagai alat mempublikasikan ide-ide atau gagasan-gagasan praktik, hasil penelitian tujuannya adalah kebermanfaatan.  Dalam kaitan itu, saya berpendapat apakah lebih bermanfaat di jurnal yang jarang dibaca oleh dosen dan mahasiswa, semisal terindex yang Scopus atau lebih efektif bila bekerja sama dengan surat-surat kabar di Indonesia untuk publikasi tersebut. Dosen dan mahasiswa lebih banyak menggunakan Jurnal terbitan Indonesia dibanding Jurnal luar negeri. Apalagi keharusan menggunakan bahasa asing yang kurang akrab di banyak orang kita. Ditambah lagi, budaya baca bangsa Indonesia agak kurang, lebih pada budaya melihat. Karena itu bila tujuannya untuk kebermanfaatan, apa tidak ada alat lain untuk bisa diterima secara manfaat oleh orang lain. Menggunakan jurnal memang bagus bila bisa dimanfaatkan oleh banyak orang, serta bagi yang bersangkutan bagus sekali bila masuk kategori Q1, Q2. Namun demikian, apakah menjamin orang yang artikelnya masuk di Q1, Q2, atau Q3 lebih hebat dari orang yang artikelnya masuk di Jurnal Nasional? Tidak ada jaminan.

Saya senang bila pemerintah mengembangkan alternatif bekerjasama dengan surat kabar dalam publikasi. Syaratnya bagaimana, yang diajukan ke Jurnal Internasional bereputasi, berikan perjanjian kerjasama (MoU) dengan Kementerian. Sekarang diakui atau tidak diakui surat kabar cetak kurang banyak diminati dibanding dahulu. Umpamanya pemerintah punya keinginan seperti itu, barangkali bisa membantu, tentunya nilai angka kreditnya dinaikkan jangan sampai hanya 0.5 (sangat kecil) untuk publikasi di surat kabar. Padahal menulis di media massa juga sangat sulit, bahkan pagi-pagi orang sudah berkomentar. Publikasi di Jurnal Internasional berreputasi, ketika akan mengajukan kenaikan pangkat. Hal ini sudah dievaluasi Mahkamah Konstitusi. tapi syaratnya tetap untuk kenaikan Guru Besar.  Karena itu kalau tujuannya kebermanfaatan dan kualitas, maka jangan mengutamkan administrasi.

 

Komunita: Publikasi Jurnal dilihat dua sisi, yakni kebermanfaatan juga sebagai syarat administratif. Bila demikian Publikasi Jurnal untuk kepentingan yang bersangkutan atau lembaganya?

Prof. Dr. Dedi Mulyasana, M.Pd.: Pemerintah berkebutuhan memperbanyak dosen-dosen yang sudah memperoleh gelar Guru Besar (bukan guru besar kehormatan, yang tanpa Scopus juga bisa). Jadi kalau media publikasi diperlebar, dosen tidak akan terlalu sulit meningkatkan kualitas diri. Kalau sekarang yang dikejar hanya keterampilan mempublikasikan, atau publikasi jurnal hanya sebagai syarat administrasi.  Sehingga akhirnya bisa saja ambil dengan jalan kiri (berkembang jurnal predator, jurnal abal-abal, calo jurnal, jurnal discontinued – red) atau jalan kanan. Nah itulah yang menjadi masalah. Apalagi bila dihubungkan dengan agama, bahagia pasti bahagia, guru besar ya guru besar, tapi kalau ancamannya berat, ya dilaknat. Jadi jangan publikasi jurnal hanya di tataran syarat administrasi, harus diutamakan pada kebermanfaatan.

Komunita: Tulisan Publikasi Jurnal hanya dipublikasikan oleh dan di kalangan tertentu saja. Maksudnya?

Prof. Dr. Dedi Mulyasana, M.Pd.: Dulu syarat Publikasi Jurnal belum seperti sekarang.  Saya loncat dari Lektor ke Guru Besar. Lektor saya Lektor 300, Alhamdulillah diterima Kementerian dengan SK Guru Besar 1560. Syarat waktu itu belum ada Q1. Syaratnya Jurnal Internasional, ditambah Jurnal Nasional terakreditasi yang terdaftar 2. Juga boleh Jurnal Internasionalnya tidak, tapi Jurnal nasionalnya menjadi 4. Waktu itu memang agak lama, karena masih jarang Jurnal yang terakreditasi ataupun terdaftar. Sudah menunggu lama, 2 tahun publikasi jurnal baru terbit. Ketika disampaikan sebagai syarat Publikasi Jurnalnya sudah out of date, jadi usulan ditolak. Jelas bahwa yang dinilai hanya aspek administrasi. Akhirnya saya mencari lagi. Alhamdulillah dalam waktu dan bulan yang sama terbit bersamaan  4 Jurnal nasional. Saya ajukan lagi, diterima dan tahun 2007 saya mendapatkan fungsional Guru Besar.

Persyaratan di atas tidak seperti sekarang. Sekarang agak rumit, seperti ada linieritas, dulu belum ada. Kalau kita simak di abad pertengahan, namanya aliran Newtonian. Hanya mengakui semua yang linier, maka waktu itu pada saat bersamaan meningkat linieritas. Tapi tidak bertahan lama, kalah oleh aliran kompleksitas, bahwa manusia tidak linear, tapi kompleks. Seperti juga teori yang diakui dan dipraktikan sekarang. Teori Pavlov yang menghasilkan teori stimulus dan response, dengan riset pada hewan “anjing”.  Namun bagi manusia tidak seperti itu.

Teori Behavioristic menyebutkan bahwa perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi stimulus dan respon. Maka berkembang ke teori behaviorism. Kalau anjing dikasih daging setiap hari ya akan senang. Kalau manusia, andaikan hari ini diberikan Rp 50.000,-, karena sedang butuh uang akan senang. Minggu depannya diberikan Rp 500.000,- sambil dilempar atau dimaki-maki, tidak sesenang diberikan Rp. 50.000,- Jadi manusia itu kompleks.

Namun Teori Pavlov masih dipakai di sekolah sekarang ini, termasuk memasuki era digital, teori-teori untuk offline masih dipakai. Oleh karena itu kebijakan tentang linieritas jangan mematikan sebagian besar kemampuan manusia. Manusia terlahir diciptakan sempurna oleh Allah SWT. Maaf ya saat ini “dipersempit oleh kurikulum”. Keahliannya dicetak menjadi ahli matematika, ahli bahasa, ahli ilmu sosial, politik dsb. diberikan secara luas dan dipersempit oleh kurikulum, ditambah dengan linieritas.

Jangan terlalu kaku, apalagi dihubungkan dengan kenaikan jabatan guru besar dan lain sebagainya. Seperti ketika saya membutuhkan satu kajian misalkan, materi yang akan disampaikan kepada mahasiswa. Materinya bagus, namun misalkan saya tidak punya kemampuan metodologi, maka sehebat apapun materinya, itu tidak akan bisa.

Komunita: Indikasinya ini terkait Merdeka Belajar, Kampus Merdeka?

Prof. Dr. Dedi Mulyasana, M.Pd.:

Saya dengar di Jakarta sudah mulai berbicara tentang itu, kita doakan mudah-mudahan lancar. Ini ditunggu oleh Guru-Guru Besar yang kesulitan dengan linieritas itu.

Komunita: Publikasi hasil riset perlukah tidak hanya tergantung pada publikasi di Jurnal, kalau memang kebermanfaatan yang dicari. Misal melalui media massa.  Sehingga ada pencerahan-pencerahan yang bisa menjangkau lebih banyak orang. Khusus dengan publikasi jurnal, sejauhmana ini bisa memberi kemanfaatan dalam penguatan keilmuan dan pendidikan?     

Prof. Dr. Dedi Mulyasana, M.Pd.:  Kalau melalui Publikasi Jurnal sudah objektif, maka publikasi melalui media massa berfungsi dengan baik. Jadi publikasi jurnal bukan alat administrasi saja, namun juga kejelasan. Dengan kondisi sekarang mau tidak mau, publikasi jurnal ada jalan cepat dan ada jalan lambat. Jalan cepat bisa jadi materinya tidak jelas, permasalahannya kurang jelas, fokus penelitiannya juga kurang baik, alat analisis datanya mungkin juga tidak valid (mengukur jalan dengan kilogram misalkan ya tidak akan bisa, mengukur sikap dengan presentase yang tidak mungkin) Karena itu kalau publikasi jurnal ini objektif, bukan mencari-cari kesalahan, tapi meluruskan sesuatu yang belum baik menjadi baik. Jadi kalau itu bisa berfungsi baik dan tidak menjadi “alat”. Kemudian dosen juga memasukkan materi-materinya itu sudah jelas dan terukur dengan menggunakan metoda yang relevan. Maka akan bermanfaat, tapi syaratnya tidak terbatas di jurnal.

Bagaimana implementasinya itu? Kalau hanya terbatas di jurnal, maka itu menjadi dokumen saja. Karena itu pemerintah harus punya keinginan untuk mengimplementasikan gagasan-gagasan yang ada di jurnal itu. Tentunya akan bermanfaat. Kalau tidak, saya katakan tadi bahwa masyarakat Indonesia budaya bacanya belum bagus, kalau hanya disimpan di dokumen saja,, maka kebermanfaatannya akan berkurang.

Komunita: Apakah hanya bergantung kepada pemerintah? Apakah unsur masyarakat lain tidak ada inisiatif atau didorong sedemikan rupa sehingga punya inisiatif untuk memanfaatkan?

Prof. Dr. Dedi Mulyasana, M.Pd.:  Kalau hasil riset terkait dengan perusahaan-perusahaan dalam kehidupan masyarakat dalam dan luar negeri pasti mereka tertarik. Contoh pemanfaatan efisiensi bahan bakar. Bisa saja dimanfaatkan oleh perusahaan mobil, bukan hanya pemerintah.  Tapi karena jurnal ini diwajibkan oleh Kementerian, maka sisihkanlah dana pemerintah untuk mengimplementasikan hasil riset itu.

Komunita: Jadi sebaiknya pemerintah memberikan ruang dari sisi lainnya, atau menyediakan pendanaan untuk impelementasi mana yang dipilih sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam menghadapi tantangan-tantangan kehidupan.

Prof. Dr. Dedi Mulyasana, M.Pd.: Seperti di UNLA. Banyak hasil riset dosen dalam membuat teknologi-teknologi baru. Ada suatu produk yang luar biasa bagusnya dan perlu kerjasama dengan perusahaan swasta dan ini sangat bermanfaat. Apabila tidak ada yang membuat produknya mengejar modal produksi itu sulit.

Komunita: Artinya perguruan tinggi masih menghadapi kendala-kendala dalam rangka mendorong produktifitas publikasi karya ilmiah dosen. Faktor yang menghambat lingkungan pendidikan tinggi, utamanya dosen berkreatifitas dalam menulis dan menerbitkan karya-karya ilmiah?

Prof. Dr. Dedi Mulyasana, M.Pd.: Memang diawali fakta yang dialami sebagian dosen, juga cerita tentang kesulitan publikasi dan sebagainya, maka spirit untuk itu menurun. Khususnya melalui jalur “Normal” atau seharusnya. Di kalangan dosen, sadar atau tidak penyakit utama adalah kemalasan. Kita punya pengetahuan luas, keterampilan yang mumpuni, IQ yang tinggi, gelar yang bagus, tapi apabila tidak punya spirit (semangat), tidak punya kepercayaan diri, tidak punya semangat untuk menjadi yang terbaik dalam arti dikuasai oleh kemalasan. Maka pengetahuan, keterampilan, IQ tinggi hanya sebagai simbol di kepala.

Perumpamaan saya, sukses itu bukan kemampuan mengumpulkan sejumlah ide kreatif, atau gagasan inovasi, tapi sukses itu kemampuan untuk membebaskan diri dari kemalasan, dari keburukan, dan dari kesia-siaan. Tapi karena tiga perkara tersebut masih menguasai kita, ini suka menyalahkan yang lainnya. Jadi jika belum bisa menulis di Jurnal, jangan salahkan hal lainnya. Mungkin saja kemalasan masih menguasai hati sehingga tidak menulis Jurnal. Karena kita tidak ingin menyalahkan diri sendiri, jadinya ada 1000 alasan untuk menentang prestasi. Tapi kalau hati ini sudah sembuh, maka akan ada 1000 alasan untuk meraih prestasi. Jadi yang paling utama adalah kepada diri sendiri, kemudian pada sistem, tapi seburuk apapun sistem, kalau kita sudah sehat, kita akan menjadi yang terbaik. Tapi sehebat apapun sistem, kalau kita masih “sakit”, kita tidak bisa menjadi orang hebat.

Komunita: Setelah semangat terbangun dalam diri dosen, apa yang harus dipersiapkan dosen agar karya ilmiah dimuat dan dipublikasi di jurnal atau bahkan media massa?

Prof. Dr. Dedi Mulyasana, M.Pd.:  Dalam kaitan karya ilmiah, kita harus mempunyai masalah yang jelas, bukan sesuatu masalah, karena yang akan diriset itu adalah masalah. Kala sesuatu itu hanya dilaporkan saja, tidak perlu diteliti, kalau masalahnya jelas menelitinya bukan dari masalah, tapi dari akar masalah. Kalau dari masalah belum tentu tuntas, sekalipun kita sudah menganalisis melakukan kajian dan sebagainya. Contoh kasusnya seperti ini. Kalau ada seorang pasien sakit kepala datang ke dokter dikasih obat dan pulang. Sakit kepalanya hilang datang lagi karena lemas dan dikasih vitamin oleh dokter. Kembali lagi, dokter ini panas dingin, datang lagi kasih obat lagi. Nah penyakit yang dirasakan itu adalah masalah. Ternyata radang tenggorokan. Selama penyakit intinya belum diketahui, tetap akan muncul masalah yang sama. Karena itu Riset harus dari akar masalah, bukan dari masalah. Setelah masalahnya diketahui akar masalahnya, baru fokus penelitiannya lebih jelas. Setelah fokus penelitiannya jelas, baru kita mengetahui posisi keilmuan itu ada dimana.

Maksudnya, katakanlah itu ilmu politik mengait dengan pendidikan, maka menjadi Pendidikan Politik. Ada 2 akar keilmuan, untuk mengetahui teori yang dijadikan landasan itu apa, supaya relevan nantinya. Setelah jelas, baru ditetapkan bagaimana merumuskan masalah dan bagaimana menetapkan tujuan, bagaimana menetapkan populasi dan samplenya. Setelah melakukan kajian dilapangan, dengan analis pengumpulan data dan analisis data yang relevan.

Sebagian besar di Jurnal Internasional menggunakan pendekatan kuantitatif, pakai uji parameter itu harus jelas dulu uji instrumennya, uji validitasnya, uji normalitasnya, uji homogenitasnya Kalau ini tidak ada, ya mungkin ditolak, karena tidak valid. Kalau alatnya sudah jelas dan relevan, langsung teori yang melandasinya apa? Landasan filosofinya apa? Kalau ini di bagian pembahasan, lakukan analisis teori, itu harus ada teori yang melandasi, bukan hanya konsep. Konsep itu sesuatu pemikiran-pemikiran orang. Baik itu pendapat atau pengertian atau issue, yang masih bisa ditolak kebenarannya.

Teori itu pengertian-pengertian umum yang telah diakui kebenarannya, dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Kalau alatnya sudah jelas, relevan langsung teori yang melandasinya, landasan filosofinya juga. Kalau ini dibagian pembahasan lakukan analisis teori, itu harus ada teori yang melandasi, bukan hanya konsep. Kebanyakan dipembahasan hasil penelitian itu konsep. Pendapat siapapun masih bisa ditolah kebenaranannya, kalau teori itu pegertian–pengertian umum yang telah diakui kebenarannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Contoh kecil 2 di kali 2 pasti 4, atau air dipanaskan pasti mendidih dan ditaruh di suhu 0 derajat pasti membeku, itu teori, bukan konsep. Tidak bisa ditolak kebenarannya. Kecuali kalau teori masih bisa ditolak kebanarannya, akan berubah menjadi konsep. Contoh kecil dulu ada teori kecerdasan. Disebutkan bahwa kecerdasan itu ditentukan oleh besarnya otak, orang yang besar otaknya dia itu cerdas. Sekarang bisa ditentang teori itu tidak berlaku lagi, dengan teori kecerdasan baru. Bahwa kecerdasan itu tidak ditentukan oleh besar atau kecilnya otak, tapi ditentukan oleh cepat tidaknya hubungan antar sel di kepala. Maka semakin cepat hubungan antara sel di otak makin cerdas dia. Karena itu perlu ada semacam pelumasnya, yaitu neurotransmitter. Semakin banyak prodiksi neurotransmitter, semakin cepat hubungan antar sel. Siapa yang banyak memproduksi neurotransmitter adalah orang-orang yang selalu bahagia, selalu nyaman, peduli, jadi itu bukan sekedar ibadah itu sehat juga, itu cerdas, sistem imunpun meningkat. Teori kecerdasan awal tadi berubah menjadi konsep, karena sudah disempurnakan oleh teori baru.

Dibagian pembahasan harus jelas teori yang melandasinya dan harus jelas konseptualnya, itu di bidang  materi penelitiannya. Bagaimana kalau bagian tim reviewer sudah melihat itu, itu tidak ada masalah ada relevansi antara judul, masalah, tujuan, temuan dan kesimpulan. Jangan sampai judul dengan masalah tidak sama, atau masalah dengan tujuan penelitian tidak sama, itu jelas ditolak atau dicoret oleh reviewer. Dan juga untuk mempermudah diterima atau tidaknya. Apalagi tahu jalan-jalannya kemana, jangan sampai salah, disampaikan ke majalah atau jurnal yang discontinue. Ini yang dijual sekarang berjuta-juta. Kebanyakan dimasukkan ke jurnal yang discontinue. Hal itu masuk penghianatan, tidak ada manfaatnya di keilmuan. Jurnal discontinue itu hanya 1 tahun, dan 1 tahun ke depan tidak diakui sama sekali. Ada guru besar menggunakan jurnal discontinue itu tidak akan diakui. Padahal waktu diterbitkan masih terbit, ini masalah. Masalahnya bukan di administrasi, tapi masalahnya di “Hati”. Pikirannya tidak benar. Hatinya sedang sakit, yang ada bukan kebenaran, yang ada “Pembenaran” menurut yang bersangkutan. Yang saya dengar korbannya banyak sekali dan menyedihkan apabila ini berkelanjutan, Seharusnya orang yang seperti itu jangan di Dunia Pendidikan, masuklah ke dunia lain.

Komunita: Kondisi seperti ini terlihat dimanfaatkan oleh orang tertentu. Sehingga muncul jurnal predator, jurnal discontinue, calo jurnal, jurnal bodong yang berkelindan di lingkungan pendidikan tinggi, dosen dan lainnya, karena mengejar orientasi administrati. Bagaimana mempercerah diri kita supaya tidak terjebak disitu. Bukankah dari sisi aspek kejujuran akademik, telah mengorbankan diri sendiri?

Prof. Dr. Dedi Mulyasana, M.Pd.: Itulah bila ukurannya terbit. Maka apapun akan dihalalkan asal terbit. Sama dengan di pendidikan saat ini. Pendidikan ukurannya bukan tercapainya tujuan pendidikan nasional, tetapi orientasi pada angka dan ijazah. Karena itu “mencontek halal” demi angka. Belum ada teori yang bisa menghapuskan mencontek, selama orientasinya pada angka. Publikasi jurnal pun sama. Selama orientasinya adalah “terbit” saja, maka ini akan sulit diberantas. Jangankan yang ada peluang, yang tidak ada peluang saja, orang-orang mencari, sekalipun itu melanggar etika atau norma. Karena hakekatnya manusia itu semakin hari semakin kuat kepentingannya, meningkat kepentingannya, dan di sisi lain semakin hari semakin menurun kemampuannya. Ketika ada kesenjangan antara kepentingan dengan kemampuan di sisi lain, maka akan terjadi jalan pintas. Siapa dia, yang imannya tidak bagus, logika berfikirnya buruk dan hati nuraninya kosong. Akibatnya logikanya akan diperbudak  oleh nafsu dan kepentingan, menghalalkan semuanya dengan dalil-dalil atau diselimuti agama. Ini hal yang sangat buruk dan berbahaya apabila ada di dunia pendidikan. Oleh karena itu, kampus harus mendatangkan redaksi- redaksi/reviewer atau orang yang ahli bergelut di dunia Jurnal. Kemudian membina dosen-dosen agar dapat menulis dengan baik, bukan calo jurnal yang didatangkanya, itu malah berbahaya.

Komunita: Bagaimana memilih Jurnal yang tepat, dengan persyaratan yang seharusnya?

Prof. Dr. Dedi Mulyasana, M.Pd.: Kita harus paham bahwa ada jurnal yang baik diakui. Ada jurnal yang tidak diakui. Harus banyak membuka jurnal mana saja yang diakui oleh Kementerian atau DIKTI, dan jurnal mana saja yang Jurnal tidak diakui. Itu bisa dibuka di website Kemendiktiristek. Setelah tahu ini ada kelompok-kelompoknya. Di Kementerian sudah diterbitkan jurnal-jurnal yang tidak diakui oleh DIKTI. Tahun 2012 sudah gencar-gencarnya, sekarang juga masih di-update oleh Kemendiktiristek, kemudian akan diketahui dengan kelasnya Q1, Q2, Q3. Untuk Guru Besar yang mana, darimana itu, dari orang- orang yang berpengalaman dan banyaklah berdiskusi dengan orang yang berpengalaman memasukkan Jurnal dan bukan sebaliknya.

Komunita: Bagaimana strategi lembaga dalam  rangka meningkatkan publikasi ilmiah sekaligus mendorong dosen melalukan penelitiannya yang beretika dan bernorma?

Prof. Dr. Dedi Mulyasana, M.Pd.: Tidak lepas dari standar mutu. Pimpinan atau universitas harus mempunyai kebijakan standar mutu yang baik, juga mempunyai budaya mutu yang baik. Kemudian dibiasakanlah dosen-dosen berdiskusi tentang tugas, kewajiban bagi yang bersangkutan. Di UNLA sekarang sudah dibagi. Ada 5 Guru Besar yang bagus, dosen-dosen yang sudah lektor dan lektor kepala dibuatkan SK Rektor, dan dibina oleh Guru Besar 1, 2 dan 3. Setiap Guru besar membina 6-7 orang, sehingga di bawah koordinasi satu Guru Besar, dan dilakukan pembinaan apa yang kurang atau baiknya. Jadi yang sebenarnya saling menolong. Hal ini sudah berjalan dan ternyata skills dan kepercayaan dirinya meningkat. Yang tadinya hopeless setelah tahu permasalahannya dan  berpedoman kepada kebijakan dan standar mutu. Mudah-mudahan lembaga di Perguruan Tinggi Swasta bisa meningkatkan budaya mutu secara terencana dan terukur hasilnya.

Komunita: Tahun 2015-2017 Jurnal yang diterbitkan Indonesia dibandingkan oleh Negara tetangga, kita sangat jauh. Tapi 2020- 2022 ini cenderung meningkat. Menurut pengamatan Prof. apa maknanya ini. Apakah meningkat dalam kuantiti atau justru substansial keilmuannya yang naik?

Prof. Dr. Dedi Mulyasana, M.Pd.: Memang kita sudah di atas negara-negara tetangga. Karena dosen sudah dipaksa untuk menerbitkan jurnal, dan syarat untuk naik pangkat, golongan atau guru besar harus ada tulisan di Jurnal. Karena dipaksa mau tidak mau, apapun yang dihadapi dilakukan. Kalau tidak ya sudah habis karir dia. Bagusnya seperti itu. Tapi pertanyaannya apakah ide-ide atau budaya mutu yang baik atau sekedar dokumen-dokumen paksaan yang diterbitkan didalamnya. Jangan sampai sekadar menutupi kewajiban administrasi untuk kenaikan saja. Harus dimanfaatkan, pemerintah harus tanggungjawab dengan kesadarannya, tugas berikutnya pemerintah membangun kesadaran untuk membentuk masa depan dan kualits bangsa yang bisa mempersiapkan anak cucunya ke depan nanti.

Ini berarti peran peguruan tinggi, dan badan penyelenggara membangun anak bangsa. Riset apa yang dimasukkan ke dalam jurnal itu dan Rektor perlu tahu, dan ada tim dari rektorat melakukan kajian untuk mengembangkan riset dosen tersebut. Bagaimana agar kampus ini menjadi kampus yang kompetitif dan juga kampus yang dipercaya, dan dibutuhkan oleh masyarakat. Rektor juga punya keinginan untuk mengimpelementasikan hasil risetnya bukan hanya sekedar formalitas saja.

Komunita: Terakhir, pesan-pesan apa yang bisa disampaikan kepada komunitas pendidikan, khususnya dosen?

Prof. Dr. Dedi Mulyasana, M.Pd.: Saya katakan tadi “jangan bangga dengan IQ tinggi, jangan bangga dengan pengetahuan luas, jangan bangga dengan keterampilan yang mumpuni, tahu dengan gelar yang banyak. Kalau tidak punya spirit untuk menjadi yang terbaik, kalau tidak punya disiplin dan tanggungjawab untuk menjadi pelopor kebaikan.” Krena itu, jadilah orang-orang yang hidup dengan spirit dengan motivasi, disiplin dan tanggungjawab untuk menjadi yang terbaik. Tidak perlu orientasi pada kursi orang nomor 1, itu tidak perlu. Kalau oerintasi pada kursi orang nomor 1, itu akan melakukan penyimpangan-penyimpangan kiri kanan. Maka dari itu jadilah yang terbaik dalam berbagai hal. Apa kuncinya, senangi dahulu tugas, cintai dan tekuni pekerjaan. Kalau dosen nikmati kelas, kalau anda kehilangan yang 4 ini. Tidak akan bisa menjadi sosok yang terbaik di dunia pendidikan. Umpamanya melihat jadwal mengajar sudah tidak senang, jangan harap bisa maju. Senangi, cintai, tekuni dan nikmati, Insha Allah Sukses.

Tujuan Pendidikan Nasional itu membentuk manusia beriman, bertakwa, ahlak mulia, cerdas, terampil, itu hebat. Itu bukan sekedar dunia, tapi juga akhirat, di dunia manusia tidak beriman dan tidak berahlak bisa hidup. Tapi di akhirat, tidak akan bisa hidup. Karena itu pendidikan itu bukan sekedar untuk dunia, tapi pendidikan dijadikan alat hidup dan alat mempertanggungjawabkan kehidupan setelah hidup. (lili_irahali – September 2022)

(Interview & Rewrite: Lili Irahali – Audio to transcript: Yanda Ramadana)    

 

Dedi Mulyasana,  adalah Guru Besar Universitas Langlang Buana. Lahir di Majalengka 65 tahun lalu, meraih Sarjana dari  IKIP kini UPI (1982), Magister Pendidikan dari IKIP kini UPI (1993), dan Doktor dari Universitas Pendidikan Indonesia/UPI (2000).

Kepakaran beliau dalam Manajemen Pendidikan serta Pengampu Mata Kuliah: Organisasi,  Ke- pemimpinan dan Manajemen Personil, Seminar Pengembangan Disertasi,  Seminar Pengembangan Proposal Tesis, Dasar-dasar Ilmu Politik, Konsep, Sistem dan Strategi Politik, serta Kriminologi dan Pembinaan.

Dedi Mulyasana telah menghasilkan 79  karya dan publikasi ilmiah dalam bentuk buku dan paper yang dalam catatan Google Scholar sejak tahun 2017 karyanya disitasi 1250, dengan index-h 5 dan indeks-i10 3. Salah satu karya bukunya adalah “Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing”, Penerbit Rosda Karya tahun terbit tahun 2015.