Softskill dalam Perspektif Pendidikan dan Dunia Kerja

0
1,641 views

Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa pendidikan harus menghasilkan keseimbangan sehingga manusia dapat hidup harus mempunyai kecakapan dasar, memiliki pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill) yang dapat dipelajari dengan otak, sikap (attitude) yang arif, rendah hati dan manusiawi. Pemikiran tersebut, selaras dengan UU No.12. Disebutkan bahwa fungsi Pendidikan Tinggi sebagai jenjang terakhir pendidikan formal adalah : a. mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; b. mengembangkan Sivitas Akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma; dan c. mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora.

Ketiga fungsi tersebut sesungguhnya memiliki nilai-nilai karakter yang di dalamnya tentu terkandung substansi softskill. Persoalannya banyak perguruan tinggi dalam rangka meningkatkan mutu pendidikannya lebih berorientasi pada peningkatan IPK (Indeks Prestasi Kumularif) dan lulus tepat waktu sebagai indikator keberhasilan peningkatan mutu, dibanding menguatkan aspek softskill. Belum banyak terlihat kebijakan yang terstruktur dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi yang memberi porsi yang memadai bagi substansi softskill.

Disinyalir hanya perguruan tinggi tertentu yang memberi perhatian mendasar pada hakekat fungsi pendidikan tinggi sebagaimana tersebut di atas, termasuk bagaimana softskill dikembangkan untuk mengurangi kesenjangan kompetensi lulusan agar diserap dunia kerja.

Tampaknya perlu belajar dari Skenario India. Laporan NASSCOM mendukung fakta yang menyatakan bahwa 75 % dari para insinyur tidak dipekerjakan karena fokusnya selalu pada akademisi dan teori. Ini menunjukkan krisis softskill yang merupakan fenomena universal. Tetapi justru masalah dan alasan India menyelenggarakan pendidikan tinggi mengacu pada alasan-alasan yang naif:

  • Sistem pendidikan dirancang memaksa siswa untuk lebih berkonsentrasi pada belajar hafalan dari pada mengembangkan semangat penyelidikan, yang merupakan faktor yang paling dominan untuk mencapai keberhasilan di tempat kerja .
  • Selama pendidikan di perguruan tinggi, banyak insinyur mengabaikan mempelajari hu maniora, bahasa dan Dalam proses ini, perkembangan untuk melengkapi kecerdasan manusia dan fakultas seperti kreativitas dan keterampilan antar-pribadi menjadi terhambat.

Bagaimana praktek pendidikan tinggi dalam perspektif perguruan tinggi kita? Prof. Sunaryo, guru besar UPI menegaskan bahwa esensi perguruan tinggi adalah selain mencetak individu yang memiliki ilmu juga harus dapat melahirkan individu-individu yang dapat menerapkan ilmu yang didapatkannya sehingga bermanfaat bagi masyarakat atau menjadi kata hati umat manusia, kata hati bangsa dan bahkan kata hati kehidupan.

[box]”Peran ilmu pengetahuan yang diperoleh dari kuliah adalah sangat penting , terutama pada awal karir seseorang. Pada tahap selanjutnya, baru softskills yang sangat menonjol kebutuhannya . Semakin tinggi posisi seseorang, semakin canggih softskills yang dibutuhkan .”( Zulkifli Zaini Direktur Distribution NetworkPT Bank Mandiri)[/box]

Untuk itu, setiap perguruan tinggi memiliki otonomi untuk membuat pilihan dan mempertanggungjawabkan hasil pilihannya dalam memilih alternatif-alternatif? untuk melahirkan para sarjana yang terbaik. Esensi tersebut tentunya harus terdapat benang merah dengan kompetensi kebutuhan dunia kerja.

Karena itu, Prof. Sunaryo berpendapat bahwa : paradigma dunia pendidikan harus mulai dirubah sehingga para mahasiswa harus mendapatkan softskill sebagai penunjang dalam percepatan kinerja dan karir saat memasuki dunia kerja atau di masyarakat. Intinya adalah para lulusan – lulusan perguruan tinggi harus dibekali ilmu survival menghadapi dunia kerja yang sangat bergerak cepat. Softskill yang antara lain meliputi kemampuan berkomunikasi, bernegosiasi dan berfikir kreatif wajib dimiliki para lulusan perguruan tinggi. Harap diingat, softskill bukanlah ilmu yang dapat dipelajari dalam waktu singkat, tetapi merupakan life longprocess yang memerlukan waktu lama ditempa melalui berbagai dinamika kehidupan, kehidupan kampus maupun kehidupan masyarakat dengan kemampuan fleksibilitas dan adaptasi yang tinggi.

Yang paling utama perguruan tinggi atau sekolah di jenjang sebelumnya wajib menciptakan manusia yang siap belajar sepanjang hayat. Salah satu strategi yang dapat diterapkan perguruan tinggi dalam menyiapkan lulusan – lulusan yang handal dalam menghadapi tekanan berat dalam dunia kerja atau masyarakat adalah dengan memperkenalkan sedini mungkin terhadap mahasiswa apa yang akan dihadapinya di masa akan datang dengan program yang dinamakan early exposure. Seperti diterjunkan ke masyarakat atau organisasi perusahaan dan industri sebagai bagian dari training awal (program magang). Kemudahan fasilitas saat ini juga seharusnya dijadikan sebagai penunjang untuk mempermudah dalam proses belajar bagi para mahasiswa, belajar lebih keras dan berusaha lebih banyak.

Hal senada diungkapkan Prof. Ichsan Setya Putra, Ketua Satuan Penjaminan Mutu ITB bahwa dunia pendidikan seharusnya tidak selalu menekankan pada kompetensi keilmuan saja tetapi seperti yang dicantumkan di badan akreditasi di Amerika Serikat. Badan Akreditasi di Amerika memasukan softskill di urutan tertinggi porsinya. Disana juga dicantumkan kemampuan berkomunikasi dan team work, memahami etika profesi. Perlu juga menyadari pentingnya life-long learning, memahami dari 11 kompetensi, 6 diantaranya masuk softskill. Contoh berkaitan dengan kompetensi insinyur di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, seorang insinyur harus mampu mengimplikasikan solusi-solusi tekniknya bagi masyarakat. Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa softskill (dalam hal ini empati) dicampurkan dengan keilmuan teknik guna membuat masyarakat lebih maju dengan kehadiran ilmu teknik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kompetensi yang harus dimiliki para mahasiswa adalah bukan hanya kompetensi keilmuan yang dipelajarinya tetapi juga problem solving skill dengan langkah : mengenali masalah, menyederhanakan masalah, membuat model dari masalah tersebut, kemudian diselesaikan dan dievaluasi.