Dari perspektif hukum, kasus pelagiarisme merupakan rana etika moral dan kalaupun kasus ini dibawa ke ranah hukum, akan terkait dengan hukum perdata. Di lain sisi, adapun? dasar hukum untuk kasus plagiarisme adalah UU No. 20 thn 2003, pasal 25 ayat 2 “Lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesi atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dapat dicabut gelarnya.
Pasca maraknya terjadi kasus plagiarisme, sejumlah perguruan tinggi mengklaim telah berhasil membuat alat atau perangkat software antiplagiarisme. Salah satu perguruan tinggi yang yang bangga memperkenalkan produk software antiplagiarisme adalah Unpar Bandung. Universitas Surabaya dan Universitas Binus juga telah berhasil membuat buku panduan atau buku pedoman tentang upaya mencegah dan mengatasi masalah plagiarisme. Belum lama ini Ditjen Dikti juga mengeluarkan edaran tentang ancaman sangsi berat bagi pelaku tindak tindakan plagiarisme. Upaya inisiatif dari masing-masing individu untuk memiliki kejujuran akademis mulai dari diri individu masing-masing seperti yang juga direkomendasikan oleh Prof. Manalu dalam presentasinya di Seminar Nasional Plagiarisme di Universitas Binus. Namun, terdapat tantangan cukup berat menghadapi upaya penegakkan aturan dan UU, misalnya ada kasus di beberapa perguruan tinggi yang tenaga akademiknya pernah terlibat kasus plagiarisme dan telah dijatuhi sangsi administratif yang cukup berat telah menggugat Rektornya.? Dalam beberapa kasus gugatan di PTUN, cukup mengejutkan karena gugatan itu? sering dimenangkan oleh dosen yang telah dinyatakan tersangka melakukan plagiat. Sumber : Australian Alumni Ambassador and Member of Australian Alumni Reference Group (ARG) www.jikti.bakti.or.id
Dosen Lebih Suka Menjiplak, Tahun Lalu Ada 808 Kasus Plagiarisme
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG –?Salah satu persyaratan untuk mengajukan sertifikasi dosen adalah membuat karya ilmiah atau makalah yang dipublikasikan pada jurnal ilmiah, nasional, atau internasional. Namun dalam pelaksanaannya, masih banyak dosen yang melakukan plagiarisme untuk pembuatan karya ilmiahnya.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Djoko Santoso, saat dikonfirmasi tentang hal tersebut, mengakui masih adanya persoalan krusial dalam proses sertifikasi, salah satunya adalah masih adanya plagiarisme. Menurut data Kemendikbud, kasus plagiat?atau biasa disebut copy paste (copas) pada proses sertifikasi dosen mencapai 808 kasus di tahun 2013.
Kasus plagiarisme bisa terungkap karena Kemendikbud mempunyai data lengkap karya ilmiah, makalah, dan jurnal ilmiah. Terlebih adanya sistem yang bisa mengetahui ada-tidaknya plagiarisme dalam suatu karya ilmiah.
“Jadi, kalau ada yang copas, pasti ketahuan karena kita punya sistem bagus. Disangkanya tidak tahu. Kalau ada yang ngeyel (tidak mengaku), kami punya buktinya,” kata Djoko saat ditemui pada acara Pameran Elektronic Engineering Day ITB di Aula Barat Kampus ITB, Jalan Ganeca, Bandung, Selasa (3/6/2014).
Kasus-kasus yang ditemui Kemendikbud antara lain pemalsuan dokumen karya ilmiah, jurnal rakitan, jurnal bodong, artikel sisipan, label akreditasi palsu, nama pengarang sisipan, buku lama tapi sampul baru, dan nama pengarang yang berbeda.
Sebenarnya, kata Djoko, imbauan atau peringatan sudah kerap dilayangkan kepada universitas dan perguruan tinggi untuk tidak coba-coba melakukan tindakan plagiarisme karena Kemendikbud memiliki data base komplet. “Sudah diimbau, karya ilmiah ya buat sendiri, jangan sekali-kali melakukan tindakan (copas/plagiat) yang merugikan sendiri,” katanya.
Karena hal tersebut, kata Djoko, Kemendikbud membuat persyaratan khusus bagi doktoral ditingkatkan standar nasional pendidikannya. Dicontohkan, para calon doktor tersebut harus menulis di jurnal internasional minimal dua kali. Selain itu, bagi mahasiswa S3 juga ada batas minimal dan tidak ada batas maksimal. Hal ini dimaksudkan agar riset yang dilakukan benar- benar maksimal dan tidak asal-asalan. “Masa doktor hanya dua tahun, kan ngga benar,” katanya.
Persoalan lain yang masih dihadapi oleh perguruan tinggi adalah masih adanya perguruan tinggi yang tingkat rasio antara dosen dan mahasiswanya tidak seimbang. Hal ini tentu menjadi pertanyaan tentang kualitas perguruan tinggi tersebut. Diakuinya, persolan tersebut lebih banyak ditemui di perguruan tinggi swasta (PTS). “PTS yang ideal ya sudah ada. Tapi masih ada juga yang belum ideal. Bagaimana mau berkualitas kalau rasio dosen dan mahasiswanya masih tinggi,” ujar Djoko. Ia mencontohkan, ada PTS yang rasio dosen dengan mahasiswanya 1:300, bahkan ada 1:700. Menyikapi hal ini, Djoko berharap perguruan tinggi tersebut bisa segera melakukan pembenahan. Selain itu, upaya lainnya, Kemendikbud akan memperketat seleksi atau pengangkatan calon profesor.
“Untuk mencetak profesor ya tidak asal-asalan. Kalau begitu, dibubarkan saja. Karena kalau nggak benar, nantinya jadi profesor-profesoran, terus ke bawahnya jadi doktor-doktoran, magister-magisteran, sarjana-sarjanaan, terus universitasnya ya jadi universitas-universitasan,” katanya. (tif)-(www.tribunnews.com, 4 Juni 2014)
Sederet Kasus Plagiarisme di Kampus
JAKARTA?-?Koran Sindo, 25 Februari 2014 mengungkap beberapa kasus plagiarisme di lingkungan kampus:
25 Maret 2000
Universitas Gadjah Mada (UGM) mencabut gelar doctor Ipong S Azhar. Disertasinya yang diterbitkan menjadi buku berjudul “Radikalisme Petani Masa Order Baru: Kasus Sengketa Tanah Jenggawah” pada pertengahan 1999 ternyata menjiplak karya peneliti LIPI bernama Mochammad Nurhasim.
8 Februari 2010
Prof Anak Agung Banyu Perwita, dosen Jurusan Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dosen akibat skandal plagiarisme. Artikelnya di sebuah suratkabar harian Jakarta post (16/11/2009) berjudul “RI as a New Middle Power?” menjiplak karya tulis ilmiah milik Carl Ungerer, “The Middle Power Concept in Australian Foregin Policy” di Australian Journal of Politics and Histroy : Volume 53 Number 4, pada 2007.
15 April 2010
Reputasi Institut Teknologi Bandung (ITB) tercoreng setelah alumninya, Dr. M. Zuliansyah, melakukan plagiarisme. Makalahnya berjudul “3D Topological Relations for 3D Spatial Analysis” terbukti menjiplak makalah berjudul “On 3D Topological Relationship” karya Siyka Zlatanova yang diterbitkan di jurnal IEEE.
24 Agustus 2011
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakan Guru Besar Universitas Riau (UNRI) Prof Dr. Isjoni Ishaq Msi terbukti melakukan plagiarisme dalam membuat buku judul “Sejarah Maritim”. Buku dimaksud merupakan jiplakan dari Buku Budaya Bahari Karya Mayor Jenderal (Marinir) Joko Pramono pada 2005.
17 April 2012
Universitas Lampung (Unila) memastikan telah memecat calon guru besar FKIP berinisial BS yang diduga melakukan plagiat karya ilmiah keputusan itu diambil setelah tim verifikasi berhasil membuktikan pelanggaran kode etik dosen tersebut.
4 Maret 2012
Senat akademik UPI Bandung menjatuhkan sanksi penurunan jabatan dan golongan bagi tiga calon guru besar karena terbukti melakukan plagiarisme. Mereka adalah Dr. Cecep Darmawan (Direktur Kemahasiswaan UPI & Rektor Universitas Subang), Dr. B Lena Nuryanti (Dosen FPIPS UPI), dan Dr. Ayi Suherman (Dosen UPI Kampus Sumedang).
7 Februari 2014
Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Maranatha (YPTKM) memberhentikan sementara Rektor Universitas Kristen Maranatha (UKM) Dr. dr. Felix Kasim MKes. Pemberhentian itu berkaitan dengan proses penyelidikan dugaan plagiarisme yang dilakukan Felix. Felix Kasim diduga telah melakukan plagiarisme terhadap sejumlah karya ilmiah mahasiswanya.
17 Februari 2014
Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh Kemenag Anggito Abimanyu mengundurkan diri dari jabatan dosen di UGM. Sikap ksatria itu dilakukan menyusul tuduhan plagiarisme yang dilakukan Anggito terhadap artikelnya “Gagasan Asuransi Becana” yang terbit di harian Kompas, 10 Februari 20174. Tulisan ini memiliki kesamaan dengan artikel Hotbonar Sinaga dan Munawar Kasan berjudul “Menggagas Asuransi Becana“.
2014
Wakil Rektor II Unhas Dr. dr. Wardihan A Sinrang MS diduga menerbitkan hasil penelitian orang lain dengan judul “Effect of Isolated Active Compound (BV103) of Boehmeria Virgata (Forst) Guil Leaves on Anti- Proliferation in Human Cervix Hela Cells Through Activation of Caspase 3 dan p53 Protein” yang dimuat di jurnal Tropical Medicine & Surgery (TMS), Vol.1, Issue 3, 2013. artikel itu memiliki kesamaan/ kemiripan dengan judul sama yang di muat di majalah Farmasi dan Farmakologi, Vol 16, No 3 November 2012, Halaman 115-120. (ade)-(KoranSindo , 25 Februari 2014)
Kasus Dosen Plagiat Terjadi Hampir di Seluruh Indonesia
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA — Kasus plagiat yang dilakukan dosen sudah meluas dan terjadi di hampir seluruh perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Kepada?Republika,?Kepala Dewan Kebudayaan DIY Prof Wuryadi, Kamis (3/10), mengungkapkan, kasus ini terjadi hampir di seluruh kota di Indonesia.
”Saya melihat ini gejala lama yang mulai ketahuan sekitar tahun 90-an. Dulu ketahuan ada guru besar plagiat langsung dipecat. Kasus ini tidak hanya terjadi di Bandung, melainkan di seluruh kota di Indonesia,”tuturnya. Dia menambahkan, di UGM pernah ada doktor yang melakukan plagiat. Dia pun dihukum tidak diberi izin untuk melakukan kegiatan dan S2 nya tidak berlaku. Meskipun sudah diberi sanksi, tetapi hal itu tidak mengubah dan memberi efek jera bagi dosen lain untuk melakukan plagiat.
Menurutnya, ?adanya kondisi masyarakat ?yang mendapatkan segala sesuatu dengan mudah dan cepat atau ?budaya jalan pintas menyebabkan hal ini. Kalau mereka menemui kesulitan untuk membuat karya tulis dan sebagainya, mereka pun melakukan plagiat atau meng-copy?karya orang lain dengan mencontek persis.
Padahal sebetulnya cara mengutip tulisan orang ada caranya sendiri yang sudah disepakati secara internasional yakni menyebutkan sumbernya diambil dari mana, halaman berapa, judulnya, dan seterusnya, kata Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta ini.
Sebetulnya, dia mengungkapkan, dosen tahu caranya bagaimana cara mengutip ?tulisan orang lain sehingga tidak dikutip semuanya. Berbeda halnya kalau mahasiswa yang melakukan plagiat mungkin belum tahu caranya mengutip tulisan orang lain. ?(www.republika.co.id, 25 Februari 2014)
Lakukan plagiat, 100 dosen di Indonesia dapat Sanksi
Sindonews.com – Sebanyak 100 dosen setingkat guru besar, lektor dan lektor kepala perguruan tinggi, melakukan plagiat pada 2012 lalu. Sanksi mulai dari penurunan pangkat, hingga pemecatan pun dilakukan. Direktur Tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Supriadi Rustad mengatakan, bagi para dosen yang ingin naik jabatan itu syaratnya membuat buku dan karya ilmiah.
Ke 100 tenaga pendidik ini nekat memalsukan buku atau karya ilmiah bukan untuk mengejar tunjangan. Namun untuk menaikkan prestise dirinya sendiri. Padahal sekarang zaman sudah maju. Segala bentuk pemalsuan pasti terdeteksi oleh tim kami. Tapi mereka nekat, katanya di gedung Kemendikbud, Rabu (2/10/2013).
Supriadi menambahkan, pemalsuan ini terjadi di kampus negeri dan swasta. Bahkan kampus kedinasan pun pernah ditemukan kasus serupa. Untuk tahun ini, jelasnya, ada 12 kasus aduan plagiat yang sedang diteliti. Dia menuturkan, tim dibagi beberapa kelompok. Ada yang memeriksa secara konvensional dan meneliti dari data online. Tim juga akan mengkonfirmasi ke penerbit tentang keabsahan penerbitan buku.
Dia menuturkan, selama 2012 kemarin ada empat yang diturunkan pangkatnya dan dua yang dipecat. Dia menjelaskan, sesuai dengan Permendiknas No 17/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Pendidikan Tinggi, maka rektor harus menindak dosen yang melakukan plagiat tersebut.
Jika rektor tidak mau, jelasnya, maka Ditjen Dikti yang akan menjatuhkan sanksi. Lalu jika Ditjen Dikti lalai, maka menteri berhak menjatuhkan sanksi ke Ditjen Dikti.
Supriadi menerangkan, kasus plagiat kebanyakan datang dari pengaduan masyarakat. Dia menduga orang yang mengadu berasal dari kampus yang sama dengan para plagiator.
Pasalnya, bukti yang dilampirkan bersama dengan aduan sangat lengkap. Pihaknya mengaku setiap hari ada saja aduan yang masuk. Namun aduan yang diseleksi memang yang kelengkapan datanya baik untuk diklarifikasi.
Selain itu, Kemendikbud juga menemukan sekira 400 perguruan tinggi swasta, melakukan kejahatan berupa pemalsuan data jumlah dosen dan mahasiswa. Tindak pemalsuan tersebut dilakukan untuk mendapatkan dana pembinaan dan tunjangan sertifikasi dosen.
“Rasio dosen dan mahasiswa kan ada aturannya. Mereka lakukan pemalsuan itu agar nampak memenuhi rasio,” lanjut Supriyadi. (http://nasional.sindonews.com, 2 Oktober 2013)
Isu Kasus Plagiarisme dalam Konteks Global
Dalam konteks isu kasus plagiarisme global, sejumlah media melaporkan kasus yang menghebohkan seperti berita Kompas tanggal 3 April 2012 yaitu berita tentang Presiden Hongaria, Pal Schmitt yang meletakkan jabatan tahun 2012 setelah gelar doktornya yang diraihnya tahun 1992 dibatalkan pasca temuan bahwa terbukti ada unsur plagiat sebagian dari disertasinya setebal 200 halaman. Presiden Schmitt melepaskan jabatan kurang dari dua tahun terhitung sejak resmi dilantik menjadi? presiden. Desas-desus pengunduran diri sang presiden terekspos sehari setelah Semmelweis University di Budapest mencabut gelar doktornya. Namun, Schmitt tetap bertahan dan berkeras ia “tak melihat hubungan” antara masalah plagiat dan pekerjaannya seperti dilansir koran Kompas.
Tahun 2011, Media Online DW memberitakan kasus Menteri Pertahanan Jerman, Karl Theodor zu Guttenberg menghadapi masalah tuduhan kasus penjiplakan beberapa bagian dalam tesis doktornya. Guttenberg, 39 tahun, menulis tesis doktornya di Universitas Bayreuth pada tahun 2006 lalu. Tesis setebal 475 halaman itu berjudul ?”Verfassung und Verfassungsvertrag” (Konstitusi dan Perjanjian Konstitusi), sebuah perbandingan antara sistem konstitusi di Amerika Serikat dan di Eropa. Beberapa bagian dalam tesis itu ternyata merupakan jiplakan langsung dari tulisan orang lain, tanpa ada catatan mengenai sumbernya dan tanpa ada kutipan. Ada bagian dari analisa di koran yang dikutip langsung, tanpa menyebut sumbernya. Antara lain dari koran Swiss Neue Zrcher Zeitung dan koran Jerman Frankfurter Allgemeine Zeitung. Dalam tesis doktornya, Guttenberg juga mengutip beberapa tulisan yang dipublikasi di Internet. Tuduhan awal dilontarkan oleh profesor hukum Andreas Fischer-Lescano. Ia membaca tesis Guttenberg karena tertarik secara ilmiah. Namun ia menemukan beberapa bagian yang sama dengan teks dari sumber lain. Tidak ada catatan kaki mengenai sumber asli. Tadinya, Fischer-Lescano ingin mengungkapkan hal ini dalam sebuah jurnal ilmiah akhir Februari. Tapi temuan Fischer-Lescano lalu diberitakan oleh harian Sddeutsche Zeitung. Sejak itu, makin banyak temuan plagiarisme dalam tesis Guttenberg yang diungkap berbagai media.
Pada tanggal 9 Februari 2013 Media online suaramerdeka.com melaporkan berita pengunduran diri Menteri Pendidikan Jerman, Annette Schavan, mundur dari jabatannya setelah Universitas Duesseldorf menuduhnya plagiat dan mencabut gelar doktornya. Schavan yang dikenal sebagai sekutu dekat Kanselir Jerman, Angela Merkel, ini? membuat malu koalisi yang memerintah. Namun, Schavan menyatakan mundur bukan karena bersalah. “Saya tak akan menerima putusan (universitas) dan akan melakukan tindakan hukum,” katanya dalam jumpa pers. Schavan adalah menteri kabinet Kanselir Angela Merkel kedua yang kehilangan gelar doktor akibat hal yang sama. Seperti yang diberitakan Telegraph, Rabu 6 Februari 2013, komite akademisi Universitas Heinrich Heine di Duesseldorf menyatakan wanita 57 tahun ini melakukan plagiat di beberapa bagian thesisnya pada tahun 1980. (Kompas, 6 Juni 2012).