Catatan Reflektif Bersama Kepala LLDikti Wilayah IV – Dr. Lukman, S.T., M.Hum
Di balik megahnya gedung-gedung perguruan tinggi dan hiruk-pikuk kegiatan kampus, tersembunyi tantangan mendasar yang masih dihadapi dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Khususnya di wilayah LLDikti IV (Jawa Barat dan Banten), potret tersebut ditangkap dengan jujur dan gamblang oleh Kepala LLDikti Wilayah IV, Dr. Lukman, S.T., M.Hum. dalam sebuah sesi wawancara mendalam, dengan majalah Komunita, Senin, 14 April 2025.
“Saat ini Indonesia memiliki 4.517 perguruan tinggi. Dari 420 perguruan tinggi di Jawa Barat dan Banten, baru 11 perguruan tinggi yang berakreditasi unggul. Sementara sekitar 20% di antaranya masuk kategori bermasalah,” ujarnya. Masalah-masalah itu bukan hanya administratif, tetapi menyentuh jantung integritas institusi. Dari ijazah fiktif, pelanggaran dalam pengelolaan dana KIP-K, hingga praktik cashback dana beasiswa yang mencederai semangat pelayanan pendidikan.
Menyikapi realitas ini, LLDikti IV mengambil sikap tegas sekaligus solutif. “Kami prioritaskan penataan kelembagaan minimal sesuai dengan SNPT (standar nasional pendidikan tinggi). Jangan sampai kampus dibuka tanpa prasyarat minimal seperti ketersediaan lahan dan laboratorium,” tegas Dr.Lukman. Misal untuk prasarana, Universitas seharusnya memiliki luas lahan 10.000 m2, ternyata tidak ada. Akademi, dan Sekolah Tinggi seharusnya memiliki luas lahan 5.000 m2. Institut harus memiliki 7.000 m2. Kemudian laboratorium seharusnya seperti apa? Ada universitas memiliki program studi Agrotek, program studi biologi, program studi fisika, namun laboratorium cuma satu. Kemudian mikroskopnyapun cuma satu dipakai rame-rame.
Kita menegakkan marwah kampus dan atmosfir akademik perguruan tinggi ini dimulai dengan membereskan dulu aspek yang berkaitan administatif, dan substantif yang memang sangat urgent. Pertama, masalah tata kelola kelembagaan perguruan tinggi, dan kedua masalah dosennya. Ini bukan semata penertiban, tapi pemulihan kepercayaan publik terhadap kampus sebagai pusat peradaban dan nalar kritis.
Jabatan Akademik: Bukan Beban, tapi Investasi
Sebuah perguruan tinggi untuk mencapai unggul dan berkelas, fondasi utamanya adalah SDM dosen. SDM dosen secara nasional sejumlah 330.000 dosen. Dari 330.000 hanya 12.500-an dosen yang memiliki jabatan akademik profesor. Sementara Di Jawa Barat dari jumlah 31.000 dosen, jabatan akademik profesornya hanya 360 dosen. Berarti cuma 1%, dan 60 diantara profesor tersebut menjelang pensiun. Bagaimana dosen mau mendidik yang baik, mereka sendiri karirnya tidak diperhatikan.
Salah satu strategi penting yang didorong adalah percepatan jabatan akademik dosen. Dari 31.000 dosen di wilayah ini, 11.000 belum memiliki jabatan akademik. “Itu artinya, hampir sepertiga belum punya posisi formal yang mencerminkan eksistensinya sebagai pendidik” jelasnya.
LLDikti IV sudah woro-woro, dan menurunkan birokrasi, mendorong layanan JAD keliling, bahkan tanpa pungutan biaya. Namun, realitas di lapangan justru menunjukkan sebagian kampus tidak proaktif, khawatir beban keuangan meningkat atau dosennya malah ‘naik pangkat dan pindah’. Inilah pola pikir sebagian perguruan tinggi yang memang harus berubah. “Kalau dosennya tidak didorong untuk berkembang, kampus tidak akan tumbuh. Kita tidak bisa membangun atmosfer akademik dari dosen yang mandeg,” tegasnya.
Kami akan pastikan tahun ini tidak ada lagi dosen yang tidak mempunyai jabatan akademik. Lalu, yang sudah memiliki jabatan akademik asisten ahli kita dorong jadi lektor. Lektor ke lektor kepala dan lektor kepala ke guru besar. Inilah yang akan kami lakukan percepatan.
Dari Input ke Outcome, Menuju World Class
Peningkatan jabatan akademik bukan sekadar pengumpulan angka kredit. Ia bagian dari mimpi lebih besar “transformasi perguruan tinggi menjadi institusi berkelas dalam lingkup nasional maupun dunia”.
LLDikti IV memetakan kampus ke dalam tiga zona: hijau (autopilot dan sehat), kuning, dan merah. Kampus zona kuning dan merah didampingi intensif lewat coaching clinic berbasis instrumen akreditasi. “Kita ingin mereka sadar, bahwa akreditasi itu bukan administrasi, tetapi wajah kampus di mata publik,” ungkapnya.
Membangun atmosfer akademik memerlukan fondasi kuat, yakni: tata kelola sehat, SDM yang terus bertumbuh, dan orientasi hasil (outcome), bukan sekadar output.
Selanjutnya berpikir menuju unggul dan kelas dunia sebenarnya ada tiga hal: Output, Outcome, dan Rekognisi. Hampir semua perguruan tinggi sudah ada outputnya. Tapi bagaimana outcome?, kalau kita jujur belum semuanya. Apalagi rekognisi, bisa kita hitung perguruan tinggi yang memang berkelas dunia yang masuk ke pemeringkatan tidak lebih dari 5 perguruan tinggi. Seperti yang masuk ranking THE, QS, atau lainnya. Jadi, saya sangat sepakat dengan majalah Komunita – bahwa kita perlu meningkatkan marwah dan atmosfir akademik perguruan tinggi. Kita mulai dengan upaya meningkatkan SDM dosen-nya dahulu. SDM dosen-nya kita tenangkan dan dorong jejang karir mereka.
Ketika, saya menjabat Direktur Sumberdaya di Kemendiktisaintek sebelumnya kuota sertifikasi dosen (serdos) setiap tahun hanya untuk 10.000 dosen, tahun ini meningkat untuk 15.000 dosen. Jadi dosen tidak ada alasan lagi bahwa tidak ada perhatian pemerintah. Pemerintah memberikan perhatian satu kali gaji dalam bentuk serdos.
Persoalan kembali kepada dosen, mau atau tidak. Mau dalam arti, untuk bisa mendapatkan serdos harus eligible. Eligible-nya dosen harus memenuhi Pekerti atau AA. Dia harus memenuhi TKDA adalah Kemampuan Akademik, dan TKBI Kemampuan Bahasa Inggris. Lalu tunjangan profesi, sertifikat profesi kami berikan. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Guru dan Dosen.
Terkait karir SDM dosen, saya menetapkan strategi percepatan untuk jabatan akademik dosen. Tiga bulan pertama program saya adalah percepatan untuk yang belum memiliki karir atau jabatan akademik. Banyak asisten ahli atau lektor. Karena untuk dosen S2, dia menjadi asisten ahli, dosen S3 dia akan menjadi lektor. Di triwulan kedua percepatan untuk lektor kepala dan Guru Besar atau profesor. Inilah yang saya ingin optimalkan.
Aturan tentang jabatan akademik dari dulu tidak banyak berubah. Untuk naik jabatan akademik sudah jelas: syarat kepangkatan, syarat administrasi, dan syarat substansi. Hanya di kampusnya masing-masing berbeda. Artinya dosennya harus mempunyai cita-cita dalam keprofesian mereka. Contoh, jabatan akademik profesor sesuai ketentuan bisa diraih setelah dia 10 tahun menjadi dosen tetap. Fakta yang ada, dosen menjadi profesor setelah usia 55 tahun. Berarti dia sendiri tidak mempunyai jabatan karir dari awal.
Seharusnya, misal menjadi dosen di usia 25 tahun. Maka bila ingin mengejar yang paling cepat 10 tahun berarti di usia 35 tahun mencapai profesor. Untuk menjadi profesor dengan syarat harus S3. S3-nya kuliah dulu 3 tahun. Setelah S3 kejar karya-karya. Berarti kalau dia umur 25, S3 selesai 3 tahun, dia mengejar karya-karya dulu 1 tahun lalu baru dia sekolah. Satu tahun tambah dia sekolah 3 tahun berarti 4 tahun kan? Dia masih punya 6 tahun. 6 tahun kalau sudah S3 berarti lektor kepala, lektor kepala ke Guru Besar/profesor. Dia tinggal mengejar saja jabatan akademik tersebut.
Saya pikir perguruan tinggi harus memberi informasi cukup kepada dosen bahwa bisa mencapai profesor dalam 10 tahun. Ini sebuah ruang positif untuk dicapai dosen, karena dosen sudah harus serius kapan mencapai lektor, kapan lektor kepala, lalu Guru Besar/profesor. Syarat untuk Guru Besar/profesor, dosen mempunyai sarat khusus, yakni publikasi. Publikasi memerlukan penelitian. Penelitian memerlukan inovasi dan ide-ide. Disitulah tugas kami memotivasi dosen agar karirnya harus jelas. Jangan sampai lagi menunggu profesor selalu minta. Kita – dosen dan lembaga – harus memiliki arah karir dosen yang jelas.
Antara Integritas dan Realitas Ekonomi
Ada pertanyaan kritis: bagaimana menjaga integritas dosen di tengah tekanan ekonomi? Saya tidak menampik bahwa ada dosen yang akhirnya mengambil jalan pintas—mulai dari pelanggaran akademik hingga menjadi fasilitator skripsi instan. Tapi ia mengingatkan, “Kita tidak boleh menjadikan motif ekonomi sebagai pembenar untuk melanggar integritas. Negara hadir kok—ada beasiswa LPDP, BPI, ada bantuan studi lanjut, bahkan program sertifikasi dosen.”
Untuk pendanaan mahasiswa KIP-K (Kartu Indonesia Pintar Kuliah) Kementerian menyiapkan 17 triliun. Itu berarti 10% mahasiswa pasti tercover oleh KIP-K. Untuk S2 baik dana dari BPI, dan dari LPDP lumayan luar biasa.
Untuk dosen disiapkan beasiswa S3, baik di dalam dan luar negeri. Setiap tahun jujur Pak, beasiswa untuk S3 dalam negeri dan luar negeri bersisa terus. Problemnya justru bukan biaya yang saya tekankan.
Beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) adalah program beasiswa yang dibiayai oleh pemerintah melalui pengelolaan Dana Pengembangan Pendidikan Nasional (DPPN). Program ini ditujukan untuk membiayai pendidikan tinggi, khususnya program magister (S2) dan doktor (S3) di perguruan tinggi terbaik di dalam maupun luar negeri. Sekarang beasiswa LPDP mencapai Rp.11 triliun untuk peningkatan dosen, bahkan termasuk riset-risetnya. Masalahnya justru kapasitas dan kapabilitas kemampuan dosen untuk mengejar hal itu. Jadi dana beasiswanya pasti mengikuti, tinggal bagaimana peningkatan dosennya.
Lalu Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) adalah program beasiswa pemerintah yang dikelola Kementerian Pendidikan Tinggi, Sain, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) untuk jenjang pendidikan D4/S1, S2, dan S3. Untuk beasiswa S3 ada 2 hal. Pertama, dari sisi kemampuan akademik dosen, kemudian dari sisi finansial. Finansial tidak usah takut, banyak sponsorship untuk S3. Tapi akademik inilah yang memang harus betul-betul dipersiapkan dosen. Rata-rata ke luar negeri harus ada Letter of Acceptance, kemudian keberlangsungan dan lain-lain. Inilah yang sampai saat ini menjadi kendala dosen-dosen.
Bahkan tahun ini kami upayakan supaya dosen-dosen segera S3. Karena dari jumlah 330.000 dosen, baru 25% dosen berpendidikan S3, sisanya masih S2. Jadi kita dorong lagi.
Pemerintah sampai saat ini menyiapkan 2 hal, yakni: beasiswa dan riset. Dana Riset kurang lebih Rp. 1,3 trilyun. Setiap tahun dari anggaran Direktorat Sumber Daya saja mengarahkan kurang lebih Rp. 140 miliar. Kemudian dari LPDP mengarahkan kurang lebih Rp. 700 miliar. Di luar itu, ada beasiswa dari Amerika, dari yang lainnya banyak.
Jadi, dosen jangan belum apa-apa sudah rendah diri. Coba dulu. Beasiswa S1, S2 dengan S3 berbeda. Beasiswa S2 atau S1 harus tes, kalau untuk S3 tes tidak mutlak, tapi yang paling penting dosen mempunyai promotor. Promotor dari luar yang memang bisa melihat keberlangsungan studi dan yang lainnya. Juga tentunya dosen harus membangun jejaring. Karena ketika dosen S3 di luar negeri, kuliah S3 selesai, dia membangun kolaborasi riset. Disitulah akan meningkatkan dampak pada kampusnya. Sehingga dosen sesudah studi tidak hanya berpikir hanya mengajar saja, justru mengembangkan penelitian secara kolaborasi, Disitulah akhirnya ekosistem terbangun.
Jadi jelas peran strategis dosen harus aktif dalam menjalankan fungsi dan profesinya sesuai dengan aturan. Profesi tidak mungkin datang kalau dosen tidak mempersiapkan apa-apa. Dosen harus mempersiapkan dirinya, sehingga yang diperlukan adalah kesadaran dan rencana karir dari dosen, serta keberpihakan institusi terhadap pengembangan SDM-nya. Kampus tidak bisa hanya menuntut publikasi, tanpa memfasilitasi studi lanjut atau menyediakan atmosfer riset, jelasnya.
Menyulam Harapan di Ruang Akademik
Pesan dari Kepala LLDikti IV sangat jelas: reformasi kampus harus dimulai dari dalam, yakni: dosen, pengelola pendidikan/perguruan tinggi, dan penyelenggara pendidikan/yayasan. Dari niat tulus menyelenggarakan pendidikan, dari keberanian mendorong dosen bertumbuh, dari kampus yang punya mimpi lebih dari sekadar “jalan saja”.
“Marwah kampus itu bukan di gedung, tapi di atmosfer akademiknya—di dalam ruang kelas, di laboratorium, di meja dosen yang penuh coretan ide,” pungkasnya. Justru di situlah harapan pendidikan tinggi bisa kita titipkan kembali, jelasnya.
(Lili Irahali, wawancara Kepala LLDikti Wilayah 4- Jawa Barat dan Banten)