Teori Adab Karsa, Polisi dan Anak Bangsa

0
984 views

Oleh: Lili Irahali *)

SABTU, 15 Oktober lalu Presiden Joko Widodo memanggil seluruh pejabat Kepolisian Republik Indonesia (Polri) setelah peristiwa bertubi-tubi melanda institusi penegak hukum ini.

Dalam arahannya Presiden Jokowi memerintahkan Polri  berbenah. Arahan ini tidak lepas dari sejumlah kasus yang melibatkan polisi sepanjang tahun 2022. Peristiwa-peristiwa tersebut membuat masyarakat terkejut dan miris, karena keadaban kita sebagai manusia hilang di area fungsi salah satu penegak hukum yang seharusnya memberi pengayoman, sebagaimana tercantum dalam pedoman Tri Brata dan Catur Prasetya Polri.

Inilah kasus-kasus pelanggaran moral (Adab) yang terjadi berkenaan dengan budaya penegakan hukum. Belum lagi pelanggaran pada budaya-budaya lain yang kesemuanya cenderung mengarah pada adab-rendah dan karsa-lemah, seperti budaya korupsi, budaya santai, dan budaya lainnya.

Hal ini mengingatkan saya atas  paparan seorang Profesor sehubungan dan Filsafat Ilmu, khususnya tentang Teori Adab Karsa. Teori ini merupakan buah pikir penelitian dan kontemplasi Prof. Dr. H. Herman Soewardi, dosen Universitas Padjadjaran.

Teori Adab Karsa memandang bahwa kemajuan dapat dicapai melalui karsa yang tinggi dan adab yang tinggi pula. Teori ini saya pandang sebagai teori keseimbangan dalam mencapai kemajuan yang hakiki.

Kita sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan yang Maha Kuasa selayaknya menunjukkan ketundukan sebagai makhluk ciptaan sebagai wujud ADAB yang tinggi. Lalu Tuhan telah memberikan sebagian hak prerogatifnya kepada manusia untuk  menggunakan akal dan nuraninya agar mampu mewujudkan KARSA yang tinggi pula.

Keseimbangan ADAB KARSA inilah seharusnya menjadi pengejawantahan motivasi dan perilaku kita dalam membangun kemajuan yang berkemanfaatan dan berkeadilan. Karena cipta, rasa dan karsa manusia merupakan potensi yang harus dimanfaatkan dalam memajukan kehidupan manusia yang berkeadaban. Yakni dengan menciptakan berbagai karya bagi peradaban manusia.

Saat ini pola pikir global yang berorintasi pada kapitalisme (liberalism, neo-liberalisme) telah dianut sebagian besar negara di dunia. Sebagai ideologi yang mengagungkan modal milik individu sebagai penggerak kesejahteraan manusia. Artinya kapitalisme memandang bahwa kemajuan dapat dicapai melalui KARSA, meskipun menggunakan segala cara (bisa jadi dengan tanpa ADAB).

Dalam konteks kita sebagai bangsa yang berlandaskan kepada Pancasila dimana kelima silanya mencerminkan filosofi kehidupan bangsa yang begitu tinggi, namun sangat lemah dalam implementasi.

Seharusnya Pancasila bisa menjadi penguat bagi menyemainya teori ADAB KARSA dalam praktek kehidupan kita. Sehingga mampu mendorong kemajuan bangsa dalam segala aspek kehidupan, termasuk budaya penegakan hukum . Namun realita menunjukkan bangsa Indonesia masih lemah dalam kemajuan yang dicita-citakan.

Bangsa Indonesia sebagai bangsa dengan beragam Suku dan Bahasa tertinggal dalam banyak hal. Motivasi dan perilaku kita sebagai bangsa belum menunjukkan ke arah kemajuan yang dicita-citakan. Kemampuan teknologi kita masih langka dan terbatas, padahal banyak kemampuan anak bangsa yang diakui di negeri orang. Kekayaan alam kita telah lama terkuras tanpa dibarengi karsa yang optimum.

Kemampuan berusaha kita sebagai wirausahawan tidak tumbuh dengan baik. Kesenjangan kaya dan miskin makin meluas, yang kaya makin kaya, yang miskin tidak berdaya. Sementara itu mencari keadilan sangat mahal, karena budaya penegakan hukumpun  tidak mengimplementasi Adab dan Karsa.

Mengapa hal ini masih berlangsung sepanjang 76 tahun usia Indonesia Merdeka. Mungkin benar ini bukan hanya tugas filsafat dan para ilmuwan, tetapi juga para praktisi, birokrasi dan profesional di segala bidang.

Nah, kiranya Teori Adab Karsa hasil penelitian dan kontemplasi filsafat dan filsafat ilmu bisa menjadi pisau bedah, yang mengurai permasalahan termasuk dalam penegakan hukum, serta memberi solusi masalah bangsa Indonesia.

Paling tidak dalam memberikan landasan pendidikan karakter yang justru saat ini sangat dibutuhkan di tengah krisis kualitas sumber daya manusia di tengah globalisasi. Termasuk di pendidikan hukum. Apakah kita mau mengejawantahkan karya penelitian dan kontemplasi anak bangsa ini. Demi kemajuan bangsa ? Wallahualam. *** @liliirahali – 16 Oktober 2022.

*) Pengamat Sosial tinggal di Bandung