Ada Apa Dengan ‘Publikasi Jurnal’

0
763 views

Sebelas tahun lalu (tahun 2011) dunia ilmiah dikejutkan dengan terjadi plagiasi yang dilakukan seorang menteri sebuah negara maju, yang berakibat pengunduran dirinya. Tahun 2018 plagiasi dilakukan beberapa akademisi perguruan tinggi negeri dan swasta di negeri ini menggema yang  juga berakibat pengunduran diri mereka. Tiga tahun lalu (tahun 2019), ilmuwan Spanyol kedapatan sebagai inisiator yang mengerakkan sekumpulan ilmuwan saling mensitasi artikel anggota tersebut. Alhasil H-index kelompok tersebut melonjak tinggi. Salah satu anggota kelompok tersebut diberhentikan sebagai editor beberapa jurnal, sementara seorang anggota lainnya diperiksa Universitas Wageningen sebagai tersangka pelanggaran etis. Direktorat  Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjen DIKTI) pernah mengungkapkan sebuah jurnal lengkap dengan dewan editor dalam maupun luar-negeri dan kantor penerbitan yang tenyata semuanya fiktif. Bahkan ketika diselidiki, alamat yang tercantum pada jurnal tersebut, ternyata tidak ada. Isinya semua ternyata berasal dari satu perguruan tinggi yang sama.

Contoh lain, penarikan artikel dalam jurnal-jurnal medis dan biologi yang diulas sesama kolega yang menemukan persentase penelitian yang ditarik karena penipuan atau kecurigaan akan penipuan melonjak secara substansial sejak pertengahan 1970an. Tahun 1976, ada kurang dari 10 penarikan artikel karena penipuan untuk setiap satu juta penelitian yang dipublikasikan. Tahun 2007, jumlah tersebut  meningkat menjadi 96 penarikan untuk setiap satu juta penelitian.

Pelanggaran Ilmiah yang menggema memang plagiarisme, padahal pelanggaran lainnyapun dapat ditelusuri yakni: fabrication, falsification, exploitation, injustice, intended careless, duplication (LIPI, 2013), juga penipuan ilmiah (scientific fraud) yang sesungguhnya secara etika dan norma akademik tidak dibenarkan, bahkan merugikan pihak terkait.

Berita dan cerita terbaru di media arus utama, media sosial, maupun obrolan sersan (serius tapi santai), berkembang diksi jurnal predator, jurnal abal-abal, jurnal bodong, jurnal discontinue, calo jurnal. Apapun itu, sungguh prihatin dilakukan di dan oleh komunitas pendidikan tinggi itu sendiri dengan implikasi uang atau transaksional. Sudah tentu hal ini menabrak norma dan etika akademik. Ada demand ada supply ?  Isu-isu miring tersebut benar adanya, ada yang menikmatinya, ada korbannya walau sulit dibuktikan. Inilah yang tampak menjadi momok di perguruan tinggi atau masyarakat ilmiah. Dunia ilmiah yang dikoridori norma dan etika akademik pun masih penuh paradox. Akibat karakter dan perilaku manusianya.

Saat ini, terjadi peningkatan minat menulis di kalangan ilmuwan atau akademisi. Para peneliti, dosen, praktisi, maupun mahasiswa mulai ramai mengisi jurnal nasional maupun internasional dengan karya tulis ilmiah mereka dengan catatan, seyogyanya semangat menulis ini disertai keterampilan yang memadai serta etika penulisan yang benar.

Publikasi Jurnal di komunitas pendidikan tinggi memang kewajiban dosen untuk melaksanakannya dari hasil risetnya yang ditulis sesuai dengan kaidah tulisan ilmiah sebagai pengejawantahan melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi (pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat). Publikasi Jurnal memberikan kontribusi pengetahuan berharga di bidang keilmuannya, sekaligus tanggungjawab terhadap alokasi sumber daya penelitian. Publikasi Jurnal sejatinya adalah menulis artikel ilmiah hasil riset dan dipublikasi di jurnal ilmiah. Publikasi Jurnal juga berfokus pada kepatuhan terhadap norma, aturan, kebijakan, prosedur dan tujuan ilmu pengerahuan (science) dengan landasan untuk membangun integritas (Resnik dan Elliott, 2019).

Proses publikasi hasil penelitian di jurnal memang menuntut kesabaran dan ketekunan. Telaah dari penelaah sejawat kadang membuat peneliti hilang kesabaran. Bahkan publikasi naskah ilmiah pada jurnal bereputasi internasional memerlukan tahapan yang bisa mencapai satu atau bahkan dua tahun. Salah satu saran teman dosen, beberapa kiat saat menulis dan publikasi untuk jurnal antara lain harus legowo diejek, dicacimaki, dan ditolak, namun harus tetap semangat serta pantang mundur.  Tantangan terbesar yang dihadapi dalam proses publikasi yakni integritas etika. Masalah ini semakin meluas dan menghianati kepercayaan ilmiah. Padahal kemajuan ilmiah perlu didasarkan pada kejujuran ilmiah.

Merujuk pada data yang diolah dari Scientific Journal Rankings (SJR), Indonesia menempati posisi ke-54 dalam hal publikasi internasional di Asia Tenggara pada 2013. Lalu, pada 2020 posisinya melejit pada urutan ke-21. Negara-negara yang sebelumnya dalam posisi unggul publikasinya, justru peringkatnya menurun saat Indonesia bertahan bahkan naik. Malaysia turun dari posisi 23 ke 24, Singapura, dari posisi 31 turun peringkat menjadi 37, dan Thailand turun ke posisi 41 dari sebelumnya ranking 40. Namun kalau dibandingkan dengan rasio dosen yang 311.642 orang (2021), posisi kita masih tertinggal.

Lembaga pengindeks atau penerbit jurnal internasional semisal Scopus yang sering kapitalistik masih menjadi rujukan. Scopus merupakan sebuah sistem basis data yang melakukan indeks terhadap belasan ribu jurnal ilmiah dari berbagai macam bidang ilmu. Artikel yang dimuat didalamnya, melalui proses seleksi ketat sebelum dinyatakan layak terbit. Di dalam Scopus terdapat 18.000 judul lebih, dari 5.000 penerbit terkenal dunia seperti Elsevier, Springerlink, CABI (Centre for Agricultural Bioscience International), Cambridge University Press, Oxford University Press, dan banyak lagi. Melalui Scopus dapat dilihat peringkat sebuah universitas dalam hal penerbitan jurnal internasional. Dengan mengetahui posisi dan keadaan jurnal di mata internasional, dapat memacu sivitas akademika perguruan tinggi terlebih para calon guru besar untuk menerbitkan tulisannya di jurnal internasional yang telah terindeks oleh Scopus.

Semua terkesan didorong untuk terindex Scopus. Alih-alih mendorong pengayaan dan penguatan jurnal-jurnal nasional dan Lembaga Pengindex dalam negeri. Seperti publikasi jurnal nasional yang terakreditasi Sinta, baik Sinta 1, Sinta 2, Sinta 3, Sinta 4, Sinta 5 dan Sinta 6. Catatan Arjuna (akreditasi jurnal nasional) baru 5.000 jurnal terakreditasi nasional, dan 82 jurnal terindeks internasional (Scopus) yang mengacu pada Committee of Publication Ethic (COPE).

Apapun itu, membuat tulisan ilmiah dan dipublikasi di jurnal ilmiah memang kewajiban seorang dosen. Tentu tidak hanya itu, dosen selain pandai menulis secara ilmiah, juga menulis di media massa. Tulisan menjadi penting sebagai bentuk ekpresi pikiran, pandangan, dan perasaan terhadap suatu masalah. Selain itu, juga dapat membentuk opini publik terhadap isu-isu yang aktual. Kendalanya tidak pula semua dosen tulisannya diterima dan sesuai dengan media massa cetak. Faktanya hanya segelintir dosen yang sanggup menulis artikel di media massa.

Nah, semua karya tulis dosen tentu akan menjadi ukuran kinerja dosen tersebut, bukan sebagai keterpaksaan. Ketika dosen menulis itu bukan sekedar menuliskan data dan hasil penelitian, justru saat itu sedang menyampaikan keseluruhan kecerdasannya. Karena perguruan tinggi tempat dosen mengabdi merupakan tempat untuk menghasilkan sumber daya manusia yang profesional yang memiliki kualifikasi dalam bidang ilmu pengetahuan dan perilaku etis. Apalagi perguruan tinggi memiliki kewajiban untuk membentuk“charater  building” mahasiswa sebagai peserta didik.

Hal di atas tentunya sebagai pengejawantahan Pasal 12 ayat 1 s.d 3 UU Nomor 12 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa dosen sebagai anggota sivitas akademika memiliki tugas mentransformasikan Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi yang dikuasainya kepada mahasiswa dengan mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran, sehingga mahasiswa aktif mengembangkan potensinya; dosen sebagai ilmuwan memiliki tugas mengembangkan suatu cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah serta menyebarluaskannya; dan dosen secara perseorangan atau berkelompok wajib menulis buku ajar atau buku teks, yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi dan/atau publikasi ilmiah sebagai salah satu sumber belajar dan untuk pengembangan budaya akademik serta pembudayaan kegiatan baca tulis bagi sivitas akademika. Apakah kita akan konsisten mengawal generasi masa depan dengan nilai-nilai keagungan, dan kemuliaan yang hakiki? Tentunya dengan menjalankan etika dan norma akademik. Wallahualam.

Vivat Widyatama, Vivat Civitas Academica, Vivat Indonesia dan Nusantara tercinta. (@lee)

 

Redaksi – Lili Irahali