Tahun 1989 Jurnal Higher Education in Europe, Vol. XIV, No. 2 mengangkat tema “The Advent of Artificial Intelligence in Higher Education” menandai momen penting dalam diskusi tentang peran Kecerdasan Buatan (AI) dalam pendidikan tinggi. Jurnal Pendidikan Tinggi di Eropa ini menampilkan sebuah artikel “The New Information Technologies and The Role of Artificial Intelligence in Their Development” (Germogen S. Pospelo) yang menyoroti potensi transformatif AI, membayangkan komputer yang dapat “bernalar” seperti manusia, memproses bahasa alami, dan menangani tugas-tugas kompleks dengan keahlian pengguna yang minimal. Lebih dari tiga dekade kemudian, AI telah berevolusi dari janji teoritis menjadi kekuatan dahsyat yang membentuk semua aspek kehidupan, termasuk pendidikan.
Namun, di samping optimisme tentang potensinya, ada kebutuhan yang sama mendesaknya untuk mengatasi masalah etika dan implikasi sosial.
AI telah membawa kemajuan luar biasa, dari pengenalan visual dan sintesis ucapan hingga representasi pengetahuan, akumulasi jenis pengetahuan, dan manipulasi segala jenis pengetahuan dengan berbagai cara dan untuk berbagai tujuan. Namun, pengembangannya menimbulkan pertanyaan tentang keselarasan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan pendidikan seperti etika, integritas, dan tanggung jawab.
Dari perspektif teknis, sistem AI rentan terhadap bias. Bila AI dilatih pada kumpulan data yang mencerminkan ketidaksetaraan sosial, sistem ini berisiko melanggengkan atau bahkan memperburuk kesenjangan tersebut. Cathy O’Neil, dalam bukunya “Weapons of Math Destruction” yang terbit pada tahun 2016 memperingatkan bahwa algoritma yang dirancang dengan buruk dapat memperkuat ketidakadilan sosial. Secara moral, tanggung jawab teknologi AI terletak pada pengembang AI, tetapi netralitas mereka sering kali sulit dipahami. Tanpa pengawasan yang cermat, sistem AI mungkin memprioritaskan efisiensi daripada pertimbangan etika, yang menimbulkan risiko terhadap nilai-nilai sosial. Untuk mengurangi hal ini, kolaborasi antara teknolog, ahli etika, pakar hukum, dan masyarakat sipil sangat penting. Juga pemerintah dan organisasi internasional harus menetapkan kebijakan yang kuat untuk memastikan AI melayani kemanusiaan secara positif dan bertanggung jawab.
Potensi dan dampak AI dalam pendidikan tinggi sangat besar. AI dapat mengubah proses pembelajaran, menumbuhkan integritas akademis, dan membentuk kembali keterampilan yang dibutuhkan oleh pekerjaan masa depan. Makalah kerja UNESCO tahun 2019, “Artificial Intelligence in Education: Challenges and Opportunities for Sustainable Development” menekankan peran AI dalam meningkatkan personalisasi, kesetaraan, dan sistem manajemen pendidikan. Perguruan tinggi beradaptasi dengan perubahan ini dengan mengintegrasikan perangkat bertenaga AI seperti platform pembelajaran yang dipersonalisasi dan sistem berbasis data untuk mengelola proses akademis. Teknologi AI menjanjikan pendidikan yang lebih inklusif dan efektif, tetapi juga menyerukan refleksi kritis tentang implikasi etisnya.
Karena itu, integrasi AI ke dalam pendidikan tinggi disertai beberapa tantangan yang signifikan, menyangkut aspek: Kebijakan Publik, yakni mengembangkan kebijakan yang komprehensif untuk menyelaraskan AI dengan tujuan pembangunan berkelanjutan; Inklusivitas, yakni memastikan akses yang adil ke pendidikan bertenaga AI untuk semua; Kesiapan Pendidik, yakni melatih pendidik untuk menggunakan AI secara efektif dan memastikan sistem AI memahami konteks pendidikan; Kualitas Data, yakni menetapkan sistem data yang inklusif dan berkualitas tinggi; Penelitian, yakni melakukan penelitian ekstensif tentang implikasi AI untuk pendidikan; Etika dan Transparansi, yakni mempertahankan standar etika dalam pengumpulan, penggunaan, dan penyebaran data.
Meskipun ada tantangan tersebut, AI menawarkan peluang mengotomatiskan tugas administratif, mempersonalisasi pembelajaran, dan meningkatkan aksesibilitas bagi mahasiswa secara inklusif (penyandang disabilitas). AI juga mendukung penelitian multidisiplin dengan memproses kumpulan data yang sangat banyak, mendorong inovasi di berbagai bidang.
AI bagai pedang bermata dua dalam pendidikan. Meskipun menawarkan solusi inovatif untuk meningkatkan efisiensi dan hasil akademis, AI juga menuntut kewaspadaan untuk menjaga nilai-nilai inti seperti kebebasan akademis, integritas, dan privasi. Perguruan tinggi harus menerapkan pedoman yang jelas, memastikan pelatihan yang ketat, dan menumbuhkan budaya etis dalam pemanfaatan AI. Dengan pendekatan yang seimbang, AI dapat meningkatkan kualitas pendidikan global sambil menegakkan nilai-nilai fundamentalnya.
Saat kita mengarungi era transformatif ini, perguruan tinggi harus memimpin dengan memberi contoh. AI harus mampu melengkapi bukan menggantikan nilai-nilai inti pendidikan yaitu kreativitas, integritas, dan tanggung jawab. Dengan merangkul langkah-langkah adaptif dan mendorong praktik etis, perguruan tinggi dapat memelopori pemanfaatan AI yang berkelanjutan, yang memberi manfaat bagi masyarakat luas.
Inilah tantangan dan peluang yang menanti perguruan tinggi: untuk memperluas akses, meningkatkan kualitas, dan memastikan keberlanjutan pendidikan tinggi bagi generasi mendatang. Wallahualam.
Vivat Widyatama, Vivat Civitas Academica, Vivat Indonesia dan Nusantara tercinta. (@lee)
Redaksi – Lili Irahali