Tantangan pendididkan tinggi, Didi Tarmidi

0
594 views
Tantangan pendididkan tinggi, Didi Tarmidi
Tantangan pendididkan tinggi, Didi Tarmidi
Tantangan pendididkan tinggi, Didi Tarmidi
Tantangan pendididkan tinggi, Didi Tarmidi

Perkembangan kewirausahaan lndonesia saat ini masih sangat jauh dari harapan. tidak lebih dari 2.5% penduduk Indonesia yang melakukan Kebanyakan para pelaku adalah para purna tugas sebagai uang pensiunannya. Kewirausahaan muncul terkesan akibat upaya kembali ke pekerjaan semula tetapi tidak ada tempat. Padahal negara lain memulai dari dini, ada yang sudah membakukan kewirausahaan dalam kurikulum wajib di sekolah dan perguruan tinggi sejak 1945 an. Menghadapi tantangan kewirausahaan dibutuhkan kecakapan dini sebagai senjata saat melakukannya. Kecakapan sehari-hari sebagai persiapan nyata seyogya nya perlu diberikan, semisal menjahit, mengarang, mengayam, memasak atau pun beternak.

Di sisi lain, perguruan tinggi bagi masyarakat umum bak menara gading yang menyebabkan perguruan tinggi berada dalam dunianya sendiri, sementara masyarakat umum dengan “dunia nyata”. Kampus bisa jadi dianggap tidak nyata, mengingat kampus penuh dengan teori dan bangunan ilmu tersendiri. Apa yang benar dimaksudkan dalam dunia nyata menjadi beda. Kampus bagai dunia unik bagi lembaga sosial atau masyarakat umum.

Kampus terkesan merupakan rumah kaum intelektual yang tidak membutuhkan justifikasi nilai yang dekat dengan dunia nyata. Kampus merupakan tempat belajar kawula muda yang tidak memenuhi kebutuhan penuh kehidupan dunia kerja. Kesalahannya terletak pada penghantaran pandangan yang terlalu jauh dalam pemikiran kampus seharusnya atau bisa jadi sebuah kantong beranda (tampungan pertama).

Berasumsi dengan pandangan itu serta melihat sejarah meski akademisi menjadi lebih terasing daripada sekarang ini citra menara gading memang tidak pernah sepenuhnya akurat. Contoh, Universitas Paris adalah bagian vital dari kehidupan kota sejak jaman sejarah abad pertengahan: James Watt mengembangkan mesin uap di Universitas Glasgow. Abad sekolah tinggi di masa silam, mahasiswa terlatih untuk profesi praktis seperti hukum, jabatan pendeta bahkan mahasiswa mempunyai peran kunci dalam usaha seputar revolusi politis ke revolusi computer.

Satu alasan perguruan tinggi dianggap sebagai menara gading mungkin sederhana saja, yakni karena hanya sedikit orang yang mengecap pendidikan di perguruan tinggi kala itu. Mahasiswa secara tipikal merupakan keberuntungan keluarga istimewa yang mampu menggunakan kampus sebagai jalan atau rute menuju karir. Mereka yang telah memilih tidak melanjutkan, seringkali karena kemampuan ekonomi yang terbatas miskin. Semua ini telah berubah, utamanya di Amerika Serikat, sejak perang dunia II. Sejumlah besar orang dari berbagai macam latar belakang, mulai memasuki perguruan tinggi karena bagian dari “GI Bill” (aturan yang meng usahakan jutaan tentara berkesempatan kembali ke perguruan tinggi). Trend ini telah mempunyai pengaruh berlipat: misalnya pertumbuhan jumlah mahasiswa (seiring dengan pembukaan sekolah tinggi dan universitas). Disebutkan banyak kampus yang bermakna “pikiran masyarakat terbaik ” lebih disukai daripada yang terjadi sebelumnya.

Tahun 1700-an dan 1800-an, banyak sarjana berpengaruh dan ilmuwan melakukan karya-karya besarnya tanpa berafiliasi dengan universitas Gibbon, Darwin, dan Emersan adalah independent: Gregar Mendel adalah pendeta: Tesla mencoba menggalang dana pribadi-padahal saat ini, seperti tokoh – tokoh semacam profesor bertebaran dimana-mana.

Faktor lain yang memaksa perubahan kampus adalah peningkatan masif pendanaan pemerintah untuk penelitian ilmiah, dan perluasan untuk bekerja ideal dalam seni dan humanisme. Hasil keseluruhan telah menjadikan sekalah tinggi dan universitas lebih penting dari yang ada sebelumnya, serta meletakkan harapan lebih besar pada mereka. Harapan bahwa perguruan tinggi akan memandu karir yang terus menerus hidup untuk sejumlah besar mahasiswa, bahwa fakultas akan menghasilkan bernilai karya nyata yang akan berguna kembali ke taruhan uang rakyat. Perguruan tinggi pendeknya – diharapkan menjadi lebih integral dan merembes, masyarakat sendiri telah menjadi cair. Karena itu perlu dipikirkan mengurangi tembok antara pembelajaran perguruan tinggi dan dunia nyata, atau antara dasar dan terapan segala karya.

Tantangan perguruan tinggi dan universitas adalah merawat ke unikan ciri mereka sebagai lembaga pemikiran dan pembelajaran, sementara pertemuan dan permintaan sosial dan ekonomi digariskan . ltu merupakan tantangan persyaratan perubahan budaya. Kami percaya kewirausahaan mempunyai jawabannya. Berangkat dari sinilah, pemerintah sebaiknya mempersiapkan diri dengan program-program menyongsong masa depan generasi berikut. Perguruan tinggi sebagai pusat pengkajian sebaiknya juga diberikan mandat untuk lebih berorientasi pada ke mampuan individu mahasiswa serta memberikan kecakapan hidup/softskill terapan sesuai dunia nyata. Kewirausahaan mengasumsikan resiko – resiko transformasi ide-ide menjadi usaha berkelanjutan yang menciptakan nilai tambah.