Disiplin, Empiris, dan Paranoia

0
1,368 views
Disiplin, Empiris, dan Paranoia

Disiplin, Empiris, dan Paranoia

Arry Hutomo MDKSP S.SI. M.T

arry

Disiplin, Empiris, dan Paranoia. Kompetisi global, ketidakpastian, lingkungan yang terus berkembang ekstrem bahkan kekacauan yang terjadi mungkin dialami beberapa bahkan hampir semua perusahaan/institusi. Penulis dalam tulisan ini tidak memilih membahas pernyataan di atas tetapi cenderung tertarik membahas mengapa ada perusahaan atau individu yang berhasil melewati lingkungan ekstrem kondisi di atas, dan bagaimana pemimpin mereka berhasil bahkan berjaya dari sudut pandang yang lain, bahkan bukan berhasil karena kekacauan, akan tetapi lebih tepatnya berjaya di tengah ketidakpastian. Kondisi tersebut biasanya, praktisi atau konsultan menyebutnya formidable challenge culture (Tantangan budaya yang kuat). Mengacu pada hasil analisis historis komparatif beberapa perusahaan yang berhasil keluar dari tekanan lingkungan ekstrem (Sumber : Morten.T. Hansen (2011), Center of Research in Security Press. Booth School of Business, The University of Chicago, www.csrp.chicagobooth.edu). Kultur objek yang diteliti bukannya perusahaan yang tidak kita kenal, objek yang disurvei diantaranya raksasa di bidangnya dengan pemimpin terbaiknya, seperti Intel (Brian Krzanich), Microsoft (Bill Gates), Apple (Steve Jobs) AMD (Dirk Meyer), Southwest Airlines (Herb Kelleher), Amgen Pharmacy (R.A Bradway) dll.

Beberapa kultur atau mitos yang sering terdengar mungkin dalam pembinaan soft skill tentang kepemimpinan sukses ditemukan bertentangan dengan temuan riset dari analisis historis komparatif. Diantara temuan riset tersebut menyatakan bahwa pemimpin sukses yang dicirikan sebagai manusia yang visioner dan berani mengambil resiko, ternyata bertolak belakang dengan hasil riset tersebut, pemimpin terbaik tidak lebih memiliki kemampuan visioner meramalkan masa depan. Akan tetapi mereka mengamati apa yang berhasil, dan selalu mencari tahu mengapa mereka berhasil, dan mereka berhasil membangun konstruksi berdasarkan dasar-dasar pemikiran yang sudah teruji. Jadi intinya bukan lebih berani mengambil resiko, visioner, kreatif atau nekat dibanding dengan yang lain, tetapi mereka lebih disiplin, empiris dan paranoid.

DISIPLIN DI LUAR KURVA NORMAL

Universitas Widyatama, salah satu universitas di mana pemimpin dan pendiri universitas konsisten meningkatkan keberlanjutan terhadap nilai disiplin dalam melaksanakan kegiatannya yang terdapat dalam tata nilai DJITU (Disiplin, Jujur, Inovatif, Tekun dan Ulet). Di sini penulis mencoba memaparkan sebagian hasil analisis historis komparatif CRSP 2011, sehingga paradigma disiplin dapat konsistensi menjaga sikap kita berjaya dari lingkungan ekstrem tersebut dengan harapan menular pada tingkat organisasi. Jika kita berbicara disiplin di luar kurva normal diharapkan lebih dari sekadar bahwa disiplin adalah cara hidup teratur, atau kepatuhan hierarkis atau kepatuhan aturan birokratis. Mungkin hal tersebut cenderung tersirat lebih kental unsur paksaan dan masih dalam kurva normal.

Jim Collins (2011) dalam riset yang beliau pelajari, perusahaan yang berhasil keluar dari lingkungan ekstrem, harus berubah menjadi disiplin yang fanatik yaitu dengan kehendak batin (konsistensi sadar diri bukan terpaksa) akan konsistensi dengan nilai, konsistensi dengan peningkatan kualitas dan standar kinerja, konsistensi dengan tujuan jangka panjang. Disiplin di luar kurva normal, merupakan upaya kemandirian pikiran untuk melakukan apa yang diperlukan demi menciptakan hasil yang luar biasa, tak peduli betapa sulitnya.Morten.T.Hansen (2011) dalam risetnya juga menyatakan bahwa pemimpin yang baik, tidak bereaksi berlebihan terhadap peristiwa, menyerah pada arus, atau melompat untuk menyabet peluang-peluang yang memikat tapi tidak relevan. Dicontohkan raksasa Apple mampu menunjukkan keuletan luar biasa, teguh memegang standar, tapi cukup berdisiplin untuk tidak bermimpi muluk di luar kemampuan mereka, Dalam film Jobs 2013 (dokumenter) diperankan oleh Ashton Kutcher sebagai tokoh peran Steve jobs, pemimpin Apple tetap memulai setiap awal proyek menegaskan kepada rekan timnya untuk konsistensi mulai dari nilai, tujuan, dan standar yang luar biasa, bahkan tidak sedikit pegawai yang berjatuhan pada kondisi ekstrem tersebut.

Steve Jobs berkata bahwa dirinya bukan memiliki keteguhan yang lebih tinggi dibandingkan orang lain, bukan jiwa pemberontak dibanding orang lain, tetapi beliau berusaha lebih empiris terhadap ketidakpastian. Seperti Brian Krzanich, CEO Intel beliau sepakat mengajak rekan timnya untuk menjadikan diri mereka merdeka sejati dengan disiplin atas kemauan sendiri apapun kendala di depannya, meskipun itu menuntut kinerja di luar kurva normal. Sama halnya dengan menganalogikan jika kita beribadah, apa yang terjadi jika kedisiplinan ditempatkan pada situasi kondisi terpaksa vs konsisten sadar diri.

Yang jelas usaha menghadapi kendala beribadah sudah berbeda, kenikmatan dalam melaksanakan pun sudah berbeda. John Brown, CEO Stryker, mengutarakan bahwa dengan disiplin di luar kurva normal akan mencapai kinerja konsisten, maksudnya bahwa siapapun harus menentukan batas bawah dan batas atas. Batas bawah tersebut adalah rintangan yang Anda lompati dan batas atas yaitu plafon yang tak akan Anda lampaui.

Kemudian ketika Anda berpikir pada posisi ambisi menggapai sesuatu, segeralah Anda mengkonversi posisi pengendalian diri untuk menahan kecepatan. Jika proses tersebut terdiri dari ex anteon going ex post, maka pada ex ante Jim Collins (2011) menyatakan disiplin fanatik dalam berencana harus memiliki mekanisme kerja yang konkret, jelas, cerdas, dan dikejar secara tekun untuk membuat Anda tetap di jalur yang benar. Pada saat on going biasanya akan muncul dua jenis ketidaknyamanan yang diterapkan pada diri sendiri : (1) ketidaknyamanan berupa komitmen tak tergoyahkan pada kinerja unggul dalam kondisi sulit, dan (2) ketidaknyamanan berupa menahan diri dalam kondisi baik.

EMPIRIS KREATIF

Robert B. Cialdini dan Noah J. Goldstein, (Annual Review of Psycology (P. 591-624, 2004),? hasil studi yang mendukung penelitian psikologi sosial yang dilakukan Morten.T. Hansen (2011) menunjukkan bahwa pada kondisi ketidakpastian atau lingkungan yang ekstrem, kebanyakan orang akan melihat orang lain tokoh otoritas, rekan sejawat, norma kelompok, untuk mendapatkan petunjuk utama mengenai bagaimana mereka harus melakukan tindakan selanjutnya.

Pada riset ditemukan sebaliknya bahwa perusahaan yang sukses dalam objek yang diteliti di atas, tetap tidak berpaling pada pengetahuan umum untuk menentukan tindakanEmpiris kreatif dalam hal ini menjadikan diri kita terlibat dalam proses pada masa-masa ketidakpastian, dan cenderung lebih menggunakan bukti empiris.Intinya adalah menjadi lebih empiris untuk mendukung kemandirian mental dan memvalidasi insting kreatif.

mengandalkan pengamatan langsung, melakukan eksperimen praktis, bergulat dengan bukti ketimbang mengandalkan opini, emosi, pengetahuan umum otoritas atau ide-ide yang belum teruji. Memiliki fondasi empiris, seperti yang selalu dilakukan perusahaan Microsoft pada kajian tersebut, membuat langkah mereka lebih berani dan kreatif serta membatasi resiko mereka.

Dalam buku The 4 Disciplines of Execution: Achieving Your Wildly Important Goals terdapat hasil riset yang dilakukan Franklin Covey (anak dari Stephen R. Covey), sering kita dengar ada mitos bahwa ambilah kesempatan/peluang tersebut karena tidak akan datang dua kali. Beberapa strategi execution tidak membenarkan atau menyalahkan slogan/ mitos tersebut, akan tetapi bagaimana kita harus berpikir lebih empiris dalam memilih /memanfaatkan peluang tersebut. Menurut buku di atas, bahkan disiplin 1 # Focus on wildly important langkah yang harus di awali untuk mengeksekusi mitos tersebut. Intinya kita harus berhati-hati dalam melakukan pemetaan SWOT Strategy -> PELUANG yang akan mendatangkan ANCAMAN, bukan berpikir murni peluang atau murni ancaman.

Dalam hal ini berpikir empiris kreatif adalah penting mempertimbangkan seluruh konstrain-konstrain yang ada, sehingga kita memiliki strategi pelapis (bumper strategy) ketika kita menghadapi ancaman dalam mengeksekusi peluang. Merujuk kepada kejadian historis persaingan Intel versus AMD, ketika AMD menyatakan diri menjadi perusahaan semikonduktor pertama yang mencatat pertumbuhan 60% dan membidik peluang nomor 1 (satu) dalam sirkuit intergrasi dan memiliki peluang melampaui Intel, Texas Instruments, National Semiconductor. Pada saat itu tahun 1984-1994 Intel sebaliknya melakukan strategi membatasi pertumbuhan demi meminimalkan peluang hilangnya kendali.

Memang AMD berhasil mencatat pertumbuhan tetapi ketika resesi dunia tahun 1998, AMD terbalik jatuh merosot? dengan penjualan $795 juta/tahun dengan hutang naik tiga kali lipat dalam setahun tesebut (Sumber: Sunnyvale, CA; AMD Annual Report, Fiscal 2000). Kondisi ini bertahan dan Intel memimpin bahkan hingga tahun ini 2013. Hasil analisis historis komparatif yang dilakukan Morgan T. Hansen (2011) ini disebabkan Intel lebih empiris dalam menentukan strateginya dibanding AMD dan itu diterapkan di semua lininya. Analogi sederhana dalam pertandingan sepakbola ketika bagaimana pemikiran empiris seorang defender maju dan mendapat PELUANG besar untuk menjebol gawang lawan, hal yang harus diwaspadai (berhati-hati) ketika peluang itu gagal dimanfaatkan, maka akan segera dikonversi menjadi ANCAMAN yang cepat bagi dirinya untuk terbobol oleh lawan, Maka dari itu strategi bumper secara empiris diperlukan tapi juga harus kreatif.

Prinsip yang harus dipegang bahwa hal yang besar tidaklah membentuk suatu institusi tersebut menjadi hebat, lebih tepatnya bagaimana berpikir empris kreatif stakeholder dapat mendukung konsistensi terhadap tujuan akhir, sehingga disiplin di luar kurva normal memiliki keterkaitan yang erat dan diperlukan dalam hal tersebut. Jika berbicara rohnya validasi empiris adalah bagaimana anda mevalidasikan ide-ide kreatif kita dengan pengalaman empiris yang terbukti.

Suatu realitas yang terjadi ketika pada tahun 2000, Steve Jobs memulai bisnis ritel, apa yang dilakukan beliau adalah mulai dari meng-hire, Mickey Drexler, CEO The GAP, Ron Johnson dan terakhir Tim Cook sebagai eksekutif retail terbaik saat itu, karena Steve Jobs menyadari kurang memiliki pengalaman empiris. Apa yang pertama kali dilakukan oleh Jobs untuk kembali dalam jalur persaingan, ternyata bukan memperkuat produk IPod, ITunes, atau Ipad, tetapi meningkatkan disiplin. Karena tanpa disiplin tak ada peluang untuk kreatif. Ketika berpikir empiris kreatif bahwa yang harus disadari adalah ada proses berulang multi-langkah yang lebih didasarkan pada validasi empiris ketimbang kegeniusan visioner.

Dikutip dalam buku Great By Choice, “In a world that is stable and predictable, and lead with fanatical discipline and empirical creativity may be enough. However, the uncertainty and instability also necessitates us to lead productive paranoia.”artinya Jim Collins mengatakan bahwa dalam dunia yang stabil dan bisa diramalkan, memimpin dengan disiplin fanatik dan kreativitas empiris mungkin cukup. Akan tetapi, ketidakpastian dan ketidaksta-bilan juga meniscayakan kita memimpin dengan paranoia produktif.

PARANOIA

Jika kita pernah membaca salah satu buku berjudul Black Swan yang dipopulerkan oleh tokoh finansial dunia Nassim Nicholas Taleb (International Best Seller-2011), hampir tidak ada, perusahaan atau institusi yang hebat meramalkan Black Swan khusus sebelum peristiwa itu terjadi. Namun, meramalkan bahwa akan ada Black Swan, tapi bentuknya belum diketahui dengan pasti, adalah hal yang mungkin. Konsep Black Swan disini adalah gangguan yang kecil kemungkinannya terjadi, peristiwa yang hampir tak bisa diramalkan oleh siapapun. Taleb berbicara bahwa siapapun, apakah sudah mempersiapkan safety/reserve margin atau Jim Colllins berbicara tentang tabung oksigen ekstra, dan meningkatkan opsiopsi kita sebelum bertemu dengan Black Swan.

Bercermin dengan praktik membangun perguruan tinggi baik pada masa senang maupun susah, pada stabil maupun tidak stabil, ketidak konsistenan peraturan-peraturan yang dikeluarkan. Saat pendidikan adalah menjadi momok terpenting di negara ini, bukan saja dari sudut pelaksanaannya, mungkin ke tahap awal dahulu pemerataan kesempatan pendidikan yang sama dengan berbagai ancaman ketertinggalannya. Intinya ada kategori Perguruan Tinggi mana yang akan terdepan, mana yang tertinggal, mana yang binasa. Paranoia produktif yang dibentuk seharusnya bukan pada gangguan luar itu sendiri yang membentuk anda masuk dalam kategori tesebut.

Tapi kitalah yang menentukannya untuk menangani Black Swan diri kita sendiri untuk memilih kategori mana kita akan masuk. Mengendalikan Black Swan berarti kompetisi di luar kurva normal harus konsisten dibentuk mulai tidak menyukai resiko membuat institusi pendidikan kita menjadi rusak parah dan tidak jelas. Resiko yang membuat diri kita mengalami potensi kerugian yang besar dan rentan terhadap kualifikasi kompetensi mendatang. Kita analogikan perilaku paranoia produktif tersebut ke dalam perumpamaan sebuah kamera memiliki fitur zoom in/zoom out, kita sebagai pendidik atau siapapun harus terus memiliki fokus secara obsesif terhadap objek foto (tujuan kita) dan superwaspada terhadap perubahan di dalam landscape foto, perubahan cuaca (lingkungan ekstrem).

Dalam praktik men-zoom out kamera kita harus bisa merasakan perubahan dalam kondisi apapun; menakar kerangka waktu, berapa banyak waktu sebelum profil foto (resiko) berubah, kemudian disiplin konsistensi sadar diri apakah hal tersebut menuntut perubahan rencana. Jika ada perubahan, ubah dan atur lensa kamera anda (zoom in) berfokus pada eksekusi unggul terhadap rencana dan tujuan. Pertanyaan yang muncul, ketika kita menimbang ancamanancaman dan bahaya-bahaya terbesar yang akan dihadapi Universitas/ Institusi Pendidikan, berapa lama sebelum profil resiko itu berubah kita dapat berbuat Asumsi umum mengatakan bahwa perubahan itu sulit.

Namun, jika perubahan memang demikian sulit, mengapa kita melihat kian banyak bukti adanya perubahan radikal institusi pembanding yang tidak kalah sukses, intinya perubahan bukanlah hal tersulit. Hal yang jauh lebih sulit ketimbang menerapkan perubahan adalah mencari tahu apa yang bekerja, memahami mengapa itu dapat berhasil, dan sadar kapan harus berubah, dan mengetahui kapan kita tidak mesti berubah. Semua sering menyalahkan pencapaian yang sedang-sedang saja karena ketidaksediaan untuk berubah, apapun itu, tapi ciri pencapaian sedang-sedang saja adalah inkonsistensi kronis.

Dan secara sadar keberuntungan bukanlah strategi. Pertanyaan terakhir yang saya ingin ajukan apa yang menjadi sebab-musabab kekacauan dan ketidakpastian itu apakah karena tingkat ekonomi di Indonesia Penulis berpendapat tidak sepenuhnya. Ada sejumlah pendorong bersifat ekonomi, seperti meningkatnya kompetensi global, model bisnis yang bergerak cepat. Namun, sumber ketidakstabilan jelas datang jauh dari luar ekonomi, seperti peraturan pemerintah (deregulasi), pembelajaan pemerintah yang tidak disiplin, resiko politik, teknologi yang merusak. Kemudian, akan ada gangguan yang sepenuhnya baru dan kekuatankekuatan acak yang belum terlihat. Semoga pemaparan disiplin di luar kurva normal, pemikiran empiris kreatif dan paranoia produktif bisa menjawab permasalahan kita bersama. Aamiin.

Arry Hutomo MDKSP , S.Si., M.T. (Dosen UTama, Ka.Biro Renbang)