Menyibak jalan dan menginisiasi persekongkolan ukhrowi: mencari kampiun amalan altruistik menuju syurga

0
544 views

Bachrudin Musthafa, Prof., PhD
Guru Besar Literasi Bahasa & Sastra Inggris, SPs-UPI

Komunita edisi April 2019 ini benar-benar menggoda saya untuk berpikir ke luar zona nyaman. Betapa tidak: tajuk rencana yang diangkat Redaksi dan suara para narsum (nara sumber) kali ini benar-benar terasa berpikir keras untuk dapat menguak jalan ke luar dari kesumpekan tiga masalah besar yang mengepung Indonesia sebagai negara-bangsa. “APK Perguruan Tinggi, Kualitas SDM, dan Daya Saing Bangsa Indonesia”.

APK Perguruan Tinggi (APK PT) kita baru mencapai sekita dan angka ini relatif rendah dibanding negara tetangga s Malaysia (38%) dan Singa pura (78%). Status APK PT yang rend kata Prof. Dinn Wahyudin, merupakan konsekuensi langsung penekanan program nasional yang masih berpihak pada penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 12 tahun (yang saat ini telah mencapai lebih dari 95%). Masuk akal terutama kalau dipikirkan bahwa Indonesia memiliki keterbatasan bujet yang tak memungkinkan mengutamakan semua tingkat pendidikan.

Akan tetapi, masalahnya bukan cuma ihwal penekanan. Ada isu orientasi pembangunan pendidikan tinggi juga yang problematis: alih-alih menekankan program vokasional yang berorientasi pasar kerja, PT (perguruan tinggi) kita lebih mengutamakan program akademik yang berpretensi mencetak ilmuwan-akademisi pada jenjang S1, S2, dan S3. Demikian jelas Prof. Dinn. Ditambah lagi, sebaran PT secara geografis dan disparitas kualitas layanan akademik yang ditawa rkan juga bermasalah yakni sebagian besar PT berkualifikasi A tersebar di Pulau Jawa dan di bawah Perguruan Tinggi Negeri. Kompleksitas masalah yang dihadapi semacam inilah yang memaksa narsum kita sambat tentang perlunya sinergi dan kola borasi antarelemen terpenting bangsa: Peme rintah (Kemenristek Dikti), Pihak Swasta Penyelenggara PT, dan Pihak Industri yang mempekerjakan lulusan PT. Tentang kerumitan tantangan ini, dua narsum yang lain–Prof. Endang Caturwati dan lr. Dharnita Chandra, M.Si menyetujuinya.

Dalam esei pendek ini selanjutnya akan dibahas kolaborasi macam apa yang perlu dilakukan dan pola manajeman seperti apa yang mungkin bisa dilakukan dan cocok bagi Indonesia, namun, sebelum hal itu dilakukan, terlebih dahulu kita perlu mendudukkan tiga ungkapan kunci di dalam tema besar Komunita kali ini.

APK Perguruan Tinggi

Secara universal, seperti yang diindikasikan Prof. Dinn, APK dapat dipandang sebagai indeks kemampuan pemerintah berjalan dalam memfasilitasi akses rakyatnya (yang berminat) masuk ke perguruan tinggi (PT); dan ini juga meru pakan cerminan aspirasi masyarakat untuk mengambil pendidikan formal pada jenjang yang tinggi ini (yakni S1, S2, dan/atau S3). Dipandang dari sisi ini, Indonesia (dengan APK 33%) tidak semaju yang diinginkan karena APT di negeri tetangga kita lebih tinggi. Untuk menyebut dua saja Malaysia (dengan APT 37) dan Singapura (78%) berada di atas Indonesia. Apakah rakyat Indonesia merasa berada di bawah tetangga ini? Jawabnya tidak sesederhana yang diduga.

Apakah benar bahwa kita sebagai negara-bangsa menginginkan semua warga negara berpendidikan universiter? Saya meragukan kenyataan ini. Karena, untuk menyebut alasan yang fundamental saja, tujuan pendidikan nasional kita tidak mengarah ke sana. Kualitas SDM Indonesia.

Ungkapan “Kualitas SDM Indonesia” ini menuntut penjelasan Ianjut, terutama karena konsep “kualitas” itu sendiri bukanlah merupakan konsep objektif meski pun dapat diobjektifkan atas kesepakatan (kelompok) orang tertentu. Frasa “Kualitas SDM Indonesia” oleh karena itu harus dimaknai sesuai konteks penggunaannya dalam keterkaitannya dengan tatanilai yang kita pilih sesuai keyakinan kita. Seringkali kita bicara kualitas kompetensi akademis seseorang terbatas pada IPK (indeks prestasi kumulatif), yang merupakan satu faktor saja dari sejumlah faktor lain yang kita utamakan dalam pendidikan termasuk kemampuan menyesuaikan diri (adapta bility), kemampuan berinovasi (innovativeness), kemampuan berkreasi (creativity), kemampuan mengatasi tantangan yang dihadapi (adversity competence), dan kemampuan melakoni kegiatan kehidupan kita dengan intergitas tinggi (integrity).

Jadi, kualitas SDM Indonesia yang kita impikan seperti apa? Ini ada hubungannya dengan mimpi-kolektif kita sebagai negara-bangsa. Ketika kita memiliki gambaran yang tak jelas tentang “kualitas” yang diinginkan, maka konsep kualitas menjadi sesuatu yang tak terukur. Rentetan akibat selanjutnya adalah ketakjelasan arah dan tujuan. Kalau sudah seperti ini kita lantas sangat mudah diobang-ambingkan kriteria eksternal yang dipilihkan orang lain buat menghakimi kita. Kita ddlam konteks semacam ini seperti kehilangan kedaulatan atas diri sendiri. Kitp kehilangan kemandirian atas nasib peruntungan kita sendiri sebagai negara-bangsa.

Agar kita dapat mengukur diri-sendiri, mari kita merujuk kembali cita-cita kolektif kita tentang kebesaran bangsa yang kita idam-idamkan seperti yang disuarakan dalam tujuan pendidikan nasional kita.

Daya Saing Bangsa Indonesia

Ungkapan “Daya Saing Bangsa Indonesia” ini bukanlah konsep sederhana yang tem bus-pandang dan bermakna tunggal serta universa I. Daya saing bangsa mengasumsikan komparabilitas suatu keadaan di mana kita sebagai negara-bangsa dapat duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan negara lain. Kita dalam keadaan on equal footing.

Dalam wacana pengembangan universitas di negeri ini, kita sering mendengar bahwa perguruan tinggi kita harus berkaca pada perkembangan World Class Universities suatu tata kelola dan layanan perguruan tinggi kelas dunia yang dicirikan, antara lain, oleh high tech, massive open access course offering, dan penggunaan yardstick yang relatif konstan lintas kasus. Contoh konkretnya adalah publikasi terindeks SCOPUS: Bagaimana caranya agar kita dapat membaca pikiran-pikiran yang digagas orang lain lewat publikasi SCOPUS? Bagaimana pada waktunya kita dapat menggagas pikiran kita sendiri dan mengkomunikannya kepada sidang pembaca pada jurnal terindeks SCOPUS? Like it or not, kita digiring ke arah itu, bila ingin disandingkan dengan warga kelas dunia!

Mau atau tak-mau, kita harus mulai memilah dan memilih “ticket” utama yang hendak kita andalkan sebagai tanda-masuk ke kawasan mendunia itu. Negara lain telah bebenah memperbaiki diri dalam mempelajari dan menggunakan bahasa Inggris dan teknologi tinggi dari pendidikan dasar sampai level pendidikan doktor! Itulah tampaknya yang telah dan tengah dilakukan Cina belakangan ini. Dua tickets dipilih dan diutamakan untuk menata diri dan masuk ke gelanggang persaingan global. Bagaimana dengan kita?

Ke mana biduk hendak dikayuh? Qou Vadis Indonesia

Indonesia sudah sangat lama mengidamkan situasi di mana kita merasa berdaulat dalam mengurus dan mengembangkan diri sendiri, dengan berkaca dan belajar dari pengalaman perjalanan bangsa lain. Kita ingin PT (perguruan tinggi) kita berdaulat seperti halnya perguruan-perguruan tinggi kelas dunia lainnya yang dapat dengan leluasa menentukan nasibnya sendiri tanpa ketergantungan yang terlalu berat pada pihak lain yang mungkin memiliki motif lain semisal profit-making yang di kedepankan para pebisnis pendidikan. Tetapi mampukan kita menciptakan kondisi dan memampukan diri-sendiri seperti yang diinginkan?

?Itulah pertanyaan jujur yang hendak kita jawab dengan kejujuran pula. Para narsum (nara sumber) yang diwawancarai Komunita semuanya mengakui bahwa tanggungjawab mengelola pendidikan merupakan tanggungjawab bersama dan oleh karena itu harus dipikul bersama dengan sinergitas yang saling-menguntungkan rakyat banyak: suatu entitas abstrak yang senantiasa kita atas namakan.

Berdasarkan pengalaman dan kreativitasnya, bangsa Indonesia telah sangat mahir mendesain kerjasama dalam berbagai hal. Tetapi untuk kali ini, bisakah untuk dan atas nama kebaikan rakyat banyak kita bersatu padu dalam niat dan aksi kependidikan yang dicita-citakan bersama? Yakni: menyediakan pendidikan yang berkualitas tinggi, tetapi dengan ongkos yang ramah terhadap peserta didik, dan yang memberdayakan masyarakat sebagai pencipta lapangan kerja (job creator) dan bukan mengerdilkannya sebagai pencari kerja (job seekers).

Kolaborasi macam apa yang perlu dilakukan dan pola manajeman seperti apa yang mungkin bisa dilakukan dan cocok bagi Indonesia?

Jawabannya mungkin tidak sederhana dan mungkin tidak akan muncul dari ruang opini yang terbatas ini. Akan tetapi, satu hal terasa jelas bahwa orang -orang beriman yang berorientasi masuk syurga tak pelak lagi akan melihat upaya ini sebagai kesempatan emas yang ditunggu-tunggu. Yakni, sejenis aktivitas yang kondusif bagi terjadinya “perlombaan dalam aksi kebajikan” dan yang memberi kita peluang bagi kemanfaatan sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya ummat manusia, khususnya yang tengah berusaha memperbaiki diri dan keluarganya.

Itulah jenis gambaran persekongkolan ukhrowi yang tengah kita cari. Kita rintis jalan mulus ke amalan jariyyah yang dapat mengantarkan kita menuju ke syurga yang paripurna. Semoga.