Haruskah Pendidikan Tinggi Berdamai dengan Era Disruptif – Revolusi Industri 4.0 ?

0
1,514 views
Haruskah Pendidikan Tinggi Berdamai dengan Era Disruptif - Revolusi Industri 4.0 ?

Wawancara bersama : Hargyo Tri Nugroho Ignatius, S.Kom., M.Sc
Faculty of Engineering and Informatics – UMN

Hargyo Tri Nugroho Ignatius, S.Kom., M.Sc adalah dosen muda di Fakultas Teknik dan Informatika – UMN sehari-hari bergelut dalam bidang Teknik Komputer yang bersentuhan dengan teknologi informasi dan otomatisasi yang melandasi lahirnya Revolusi Industri 4.0. Untuk itu kami berbincang tentang era Disruptif dan bagaimana memaknainya bagi dunia pendidikan tinggi. Berikut hasil petikan wawancaranya :

Komunita : Apa sesungguhnya Revolusi Industri 4.0 atau Era Disrupsi yang marak diperbincangkan saat ini ?

Hargyo : Industri 4.0 merupakan istilah bagi revolusi industri ke-4 setelah dunia sebelumnya mengalami 3 kali revolusi, yaitu: pertama karena penemuan mesin uap, kedua karena penemuan listrik, ketiga karena perkembangan elektronik, teknologi informasi & otomasi, kemudian yang keempat (disebut sebagai Industri 4.0) merupakan akibat dari perkembangan yang luar biasa teknologi robotika, machine learning & kecerdasan buatan (AI), Internet of Things, serta 3D printing. Titik berat Industri 4.0 ada pada kolaborasi, interkonektifitas, serta keterbukaan data yang memungkinkan kolaborasi dilakukan tak hanya antar manusia namun juga antar mesin.

Pada Era Industri 4.0, mesin-mesin maupun pabrik-pabrik akan saling terhubung, bertukar data, bekerja sama, serta mengambil keputusan mandiri secara kolektif. Tentu saja hal ini akan merubah banyak hal: bagaimana pabrik beroperasi, bagaimana hubungan bisnis dilakukan, maupun bagaimana konsumen berbelanja. Era Industri 4.0 menawarkan efisiensi waktu dan sumber daya, penghematan biaya, kenaikan pendapatan, kelincahan (agility), maupun inovasi bagi industri. Industri lama atau petahana akan digantikan oleh industri gaya baru yang lebih efisien. Disrupsi ini harus diantisipasi dengan baik sehingga kita dapat melihat peluang-peluang baru di masa depan.

Disrupsi sebagai dampak inovasi ini sebenarnya berlangsung sudah sejak lama. Dahulu disrupsi terjadi relatif lambat, namun karena perkembangan teknologi informasi, disrupsi menjadi datang lebih cepat dan masif. Clayton Christensen pada tahun 1997 membuat teori disruptive innovation yang menyatakan bahwa berakhirnya zaman di tangan para inovator yang menciptakan sesuatu yang baru dengan menjawab kebutuhan zaman melalui mekanisme lebih sederhana, lebih terjangkau, dan lebih mudah diakses. Penarik becak tergantikan oleh tukang ojek pangkalan, lalu kini muncul ojek online sebagai disrupsi terhadap ojek pangkalan. Pendapatan sopir taksi tergerus oleh sopir taksi berbasis aplikasi yang tak lama lagi bisa jadi akan terganggu oleh driveless taxi. Tak hanya menganggu perusahaan taksi konvensional, menurut Joel Barbier (Direktur Cisco Digitization Office): kecanggihan dan kecerdasan autonomous car diprediksi juga akan menjadi disrupsi bagi perusahaan penyedia jasa parkir, asuransi, real estate, hotel, bengkel mobil, maupun perusahaan otomotif lainnya.

Komunita : Bagaimana memaknai dampak Era Disrupsi, khususnya di lingkungan pendidikan tinggi terhadap perubahan paradigma berfikir dan bertindak seorang dosen ?

Hargyo : Terkait Revolusi Industri 4.0, peran perguruan tinggi adalah sebagai pencetak sumber daya manusia terampil. Namun tentu saja ragam keterampilan yang dibutuhkan oleh Industri 4.0 tak lagi sama dengan sebelumnya. Pada era canggih ini manusia dan mesin pintar akan berdampingan di tempat kerja. Implikasinya bukan hanya pada bisnis, namun pada masyarakat pada skala yang lebih luas. Ada pernyataan menarik yang dilontarkan Jack Ma (pendiri Alibaba) di World Economic Forum 2018. Jack Ma mengatakan bahwa pendidikan harus berubah; jika tidak, maka 30 tahun lagi kita akan menghadapi masalah. Everything we teach should be different from machines – semua yang kita ajarkan harus membuat manusia berbeda dari mesin. Kira-kira begitu saya memaknainya.

Lalu apa yang membuat manusia berbeda dan tetap lebih baik dari mesin? Jack Ma mengatakan bahwa yang membuat kita berbeda dari mesin adalah nilai-nilai (values), mempercayai sesuatu (believing), berpikir secara independen (independent thinking), kerjasama (teamwork), dan peduli terhadap sesama (care for others). Jack Ma juga menambahkan beberapa hal lainnya seperti olah raga, musik, seni, dan melukis.

Pendapat Jack Ma senada dengan laporan berjudul Workforce For The Future oleh PwC. Hasil survei PwC terhadap banyak CEO di China, UK, US, dan India, menyatakan bahwa keterampilan yang membedakan manusia dengan mesin dan akan dicari pada tahun 2030 adalah kemampuan menyelesaikan masalah (problem-solving), kemampuan adaptasi (adaptability), kolaborasi (collaboration), kepemimpinan (leadership), kreatifitas dan inovasi (creativity and innovation). Sangat jelas bahwa baik Jack Ma maupun hasil survei PwC memandang softskill menjadi suatu hal yang perlu dilatih oleh setiap institusi perguruan tinggi khususnya dalam menghadapi era revolusi industri 4.0. Menyikapi fenomena ini, maka seorang dosen perlu kembali menilik perannya sebagai pendidik, bukan hanya sebagai pengajar. Sebagai pendidik, dosen perlu mengupayakan agar pendidikan softskill ? yang membuat manusia berbeda dengan mesin ? tercermin pada kegiatan pembelajaran yang dilakukan.

Komunita : Sejauhmana fenomena iklim disruptif ini memang sangat mengganggu dalam hal proses pembelajaran di tingkat perguruan tinggi ?

Hargyo : Disrupsi memang akan mengusik zona nyaman kita. Namun, jika disikapi dengan baik perubahan teknologi yang sedemikian cepat justru malah akan memperbaiki kualitas pembelajaran di perguruan tinggi. Contoh sederhana adalah penggunaan smartphone di kelas. Mahasiswa saat ini yang rata-rata merupakan generasi milenial adalah generasi yang selalu terhubung (always-connected), aktif secara sosial (social-savvy), menggemari aplikasi (app-happy), sangat bergantung pada smartphone (smartphone-dependent).

Pada sisi lain, mereka adalah self-learner. Smartphone memang sangat menganggu jika digunakan untuk hal-hal yang tidak terkait perkuliahan seperti chatting atau gaming. Maka tidak heran bila banyak dosen melarang mahasiswa menggunakan smartphone di kelas. Namun dengan pendekatan student-centered learning maupun collaborative learning, kita bisa mengajak mahasiswa untuk menggunakan smartphone dalam rangka mencari informasi sebagai bahan diskusi secara berkelompok. Dengan begitu, pembelajaran akan menjadi jauh lebih menarik, interaktif, melatih kreatifitas, kolaborasi, maupun teamwork yang sangat dibutuhkan di era industri 4.0. Terima kasih kepada smartphone karena kita tak perlu membawa banyak buku ke kelas.

Komunita : Perusahaan seperti Kodak & Nokia yang notabene dikenal sangat ketat dalam mengontrol kualitas produknya ternyata mengalami masa kebangkrutan juga akibat fenomena disrupsi. Apakah hal ini pun akan dialami oleh beberapa institusi perguruan tinggi ?

Hargyo : Nokia konon bangkrut, salah satunya karena menolak menggunakan Android dan memilih mengembangkan sendiri platform bagi produk mereka berbasis Symbian. Karena tak berkembang, Nokia akhirnya berkolaborasi dengan Microsoft yang berujung pada pembelian saham kepemilikian divisi ponsel Nokia oleh Microsoft. Setelah dijual oleh Microsoft, kini lisensi nama dagang Nokia dimiliki oleh HMD Global yang memproduksi smartphone Nokia berbasis Android. Sedangkan Kodak, sebenarnya telah mengembangkan kamera digital, bahkan membuat kamera digital pertama kali pada tahun 1975.
Namun Kodak masih menjadikan teknologi film sebagai fokus utama bisnis mereka. Hal ini membuat teknologi fotografi digital mereka kalah dengan perusahaan lainnya.

Sementara itu, disrupsi dapat terjadi pada semua bidang usaha termasuk perguruan tinggi. Selama ini pun kemunculan PTS-PTS baru yang dinamis bisa jadi merupakan disrupsi bagi PTS-PTS yang sudah ada lebih dahulu. Beberapa waktu yang lalu Menristek menyatakan bahwa paling tidak 5 sampai 10 perguruan tinggi asing (PTA) akan beroperasi di Indonesia mulai tahun ini (sumber: Antara, 29 Januari 2018). Hal ini tentu saja dapat menjadi ancaman bagi PTN maupun PTS pada segmen tertentu.

Bukan hanya itu, fenomena open educational resources (OER), situs tutorial online seperti Khan Academy, massive open online course (MOOC) atau kuliah online seperti Coursera atau Udemy ? pun dapat menjadi ancaman. Betapa tidak? kedua layanan tersebut menawarkan kenyamanan belajar dengan harga yang relatif murah (mulai dari 5 USD atau bahkan gratis). Kita dapat memilih topik dan pengajar sesuai selera kita. Materi yang ditawarkan mulai dari berbagai topik IT hingga bisnis dan hukum. Waktu belajar pun fleksibel dan dapat dilakukan dimana saja. Beberapa situs menyediakan sertifikat setelah kita menyelesaikan kursus/kuliah.

Glassdoor pada tanggal 15 Januari 2018 merilis 15 perusahaan terkemuka (termasuk Google, Apple, dan IBM) mulai menerima pegawai tanpa gelar/ijazah. Bukan tidak mungkin hal ini menjadi tren rekrutmen di masa depan. Ketika industri tidak lagi membutuhkan gelar dan ijazah, sementara keterampilan bisa didapat dengan mudah dan murah dari internet, apa peran perguruan tinggi? Bagaimana nasib gedung-gedung perkuliahan yang sudah dibangun dengan dana yang tak sedikit? Bagaimana dosen akan mengajar? Satu-satunya harapan adalah berlindung di balik regulasi pemerintah. Namun sampai kapan? menurut saya, pernyataan Jack Ma maupun laporan PwC, layak menjadi acuan perguruan tinggi dalam memilih perannya. Softskill merupakan hal yang saat ini belum dapat dipelajari secara online dan itu menjadi salah satu kekuatan perguruan tinggi. Kita harus belajar dari pengalaman Kodak, Nokia, RIM, maupun Yahoo dan tidak boleh lengah.

Komunita : Bagaimana peran dan upaya seorang dosen dalam menjaga kualitas pendidikan guna mengantisipasi berkembangnya fenomena disrupsi ini ?

Hargyo : Ada sebuah kalimat bijak dalam bahasa Inggris “Planning is bringing the future into the present so that you can do something about it now”. Saya berpendapat bahwa kunci menghadapi disrupsi adalah antisipasi, inovasi, dan adaptasi. Dosen harus memiliki visi, mampu melihat berbagai kemungkinan dan peluang di masa depan. Dosen juga harus mampu beradaptasi terhadap pelbagai perubahan yang terjadi. Dosen harus mampu riding the wave, menjadi pelaku inovasi, memetik manfaat dari gencarnya inovasi, bukan sebaliknya: tergulung ombak disrupsi.

Komunita : Bagaimana peran dan upaya pihak pengelola dan pimpinan perguruan tinggi selaku operasionalisasi pengembangan kualitas pendidikan dalam mengantisipasi berkembangnya fenomena disrupsi ?

Hargyo : Pimpinan dan pengelola perguruan tinggi harus sadar bahwa mereka harus selalu berbenah karena disrupsi akan terus terjadi. Pembenahan perlu dilakukan baik dari sisi kurikulum, kegiatan pembelajaran, penelitian, maupun operasional layanan perguruan tinggi lainnya. Tanpa visi strategis yang baik dan komitmen dari pimpinan, mustahil langkah antisipatif akan berjalan dengan baik. Perguruan tinggi perlu menjalin hubungan yang harmonis dengan industri. Karena hanya dengan itulah gap antara kebutuhan industri dengan kompetensi lulusan universitas bisa diminimalkan. Industri-lah yang paling tahu kompetensi seperti apa yang mereka cari, sementara perguruan tinggi-lah yang memiliki peran menyediakan sumber daya manusia sesuai kebutuhan industri. Akan lebih baik lagi jika hubungan yang harmonis ini sampai pada ranah penelitian, idealnya universitas mendapatkan dana penelitian dari industri dan hasilnya pun dimanfaatkan oleh industri. Saya melihat sebenarnya banyak peluang yang bisa diambil perguruan tinggi untuk membantu industri di Indonesia menghadapi era industri 4.0.

Komunita : Perubahan iklim disrupsi tentu menimbulkan sikap kewaspadaan bagi dosen dengan tetap berharap meningkatkan kompetensi dan strategi pembelajaran yang dinamis. Bagaimana sikap kewaspadaan dan harapan tersebut dapat terwujud guna peningkatan kreatifitas dan inovasi dalam bidang pendidikan tinggi ?

Hargyo : Sebagai profesional, dosen harus senantiasa siap menghadapi disrupsi yang terjadi kapan saja. Tren teknologi yang sedemikian cepat memaksa dosen untuk senantiasa belajar hal yang baru dengan masa kadaluarsa yang relatif cepat. Seolah-olah belum selesai menguasai suatu bahasa pemograman A, sudah muncul bahasa pemrograman B yang lebih populer. Jika kita tidak update, maka akibatnya gap antara industri dengan universitas semakin lebar. Bukan perkara mudah karena banyak dosen memiliki beban mengajar yang terlalu banyak dan tambahan tugas lainnya selain kegiatan tridharma. Namun, bukan lantas membuat kita layak untuk menyerah. Menyikapi ancaman masuknya PTA di Indonesia, bisa jadi ini malah membawa berkah bagi dosen-dosen berkualitas karena mau tak mau PT harus memperbaiki renumerasi maupun melalui program retensi lainnya agar tidak kehilangan orang-orang terbaik. Oleh karena itu dosen harus senantiasa mawas diri, meningkatkan kompetensi, maupun melakukan berbagai inovasi agar kualitas pribadi meningkat.

Kehadiran situs kursus online semacam Udemy memang menjadi ancaman; namun jika kita mau beradaptasi, kehadirannya juga memberikan keuntungan karena kita dapat belajar berbagai hal baru dengan biaya terjangkau. Sebagai contoh, untuk training bahasa pemrograman Python tingkat pemula di Jakarta, paling tidak kita membayar 1-3 juta rupiah di luar ongkos transport dan konsumsi. Sementara pada saat promo di situs kursus online saya hanya perlu membayar 60 ribu rupiah dengan tawaran fleksibilitas waktu belajar dengan pengajar berkualitas. Beberapa situs kursus online juga dapat menjadi sumber penghasilan tambahan bagi dosen karena semua orang dapat membuka kelas di sana dan mendapatkan pendapatan besar serta meningkatkan reputasi.

Yang perlu dilakukan adalah membuat materi training, melakukan rekaman dan sedikit video editing, lalu unggah materi tersebut. Selanjutnya pengajar akan dibayar berdasarkan komisi untuk setiap subscription pada kuliahnya. Bahkan, situs tutorial online, kursus atau kuliah online juga dapat digunakan mahasiswa untuk belajar secara mandiri sebelum tatap muka di kelas. Jadi, pertemuan di kelas dapat kita optimalkan untuk studi kasus, proyek kelompok, atau mengulas materi secara lebih dalam. Alih-alih kita jadikan ancaman ? teknologi pembelajaran justru tersebut kita jadikan teman.

Saya sependapat dengan Prof. Rhenald Kasali dengan bukunya yang berjudul Disruption yang menyatakan bahwa : Disruption adalah sebuah inovasi. Inovasi yang akan menggantikan seluruh sistem lama dengan cara-cara yang baru. Disruption berpotensi menggantikan pemain-pemain lama dengan cara yang baru. Kita perlu memahami apa yang sebenarnya terjadi sehingga kalaupun jatuh, kita tahu betul kerusakan apa yang akan menimpa kita dan bagaimana membangun mekanisme kemembalannya. Lebih baik kita berdamai dan menciptakan cara-cara baru untuk menyambut era baru yang lebih inklusif pada hari esok”. (Written by Abdul Rozak)

?