Indeks Inovasi Global 2019 menempatkan Indonesia jauh diurutan bawah, serta realita hasil riset dan inovasi masih belum berkiprah dalam tataran produk industri nasional, demikian pula peran perguruan tinggi yang bisa dibilang masih minim mendorong majalah Komunita menelusuri Kebijakan Riset dan Inovasi.
Adalah dokumen Rencana Induk Riset Nasional/RIRN 2017 – 2045 menggambarkan dinamika kebijakan dari dua era pemerintahan, serta pelaksanaan riset nasional tahun 2017 – 2045.
Pada era pemerintahan Orde Baru kebijakan iptek dituangkan di dalam Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita). Repelita I dan II ditujukan sebagai upaya membentuk dan meningkatkan kuantitas lembaga litbang pemerintah serta meningkatkan sarana dan prasarana penelitian. Repelita III dan IV diarahkan untuk mengembangkan iptek dengan prioritas alih teknologi, terutama teknologi tinggi, peningkatan SDM dan diakhiri dengan melaksanakan penelitian dasar. Instrumen kebijakan yang digunakan pada era itu adalah RUSNAS, RUT, dan RUK.
Sedang pada era reformasi pasca 1998 berbeda, kebijakan iptek diarahkan untuk penguatan internal, pengembangan dan difusi iptek dengan mulai memperhatikan perlindungan hak kekayaan intelektual dan kerjasama internasional. Instrumen kebijakan yang digunakan Kebijakan strategis Pembangunan Nasional Iptek/Jakstranas Iptek dan Agenda Riset Nasional (ARN).
Tahun 2000, Repelita berganti menjadi Program Pembangunan Nasional (PROPENAS), dimana iptek tidak menjadi salah satu prioritas, namun menjadi unsur pendukung pembangunan kesejahteraan rakyat melalui pengembangan kapasitas industri untuk meningkatkan daya saing usaha. Lalu Kemenristek ditugaskan menyusun arah kebijakan iptek dalam dokumen tersendiri, yaitu Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Iptek/Jakstranas Iptek. Tahun 2002 lahir Undang-Undang (UU) no. 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas P3 Iptek) merupakan produk kebijakan dalam rangka mengelola dan mendayagunakan sumber daya Indonesia dan isinya.
Awal era reformasi, paradigma pembangunan masih mengikuti paradigma Orde Baru, dan masih menggunakan GBHN 1998-2003 yang merupakan GBHN terakhir. Dalam rencana pembangunan jangka panjang, pembangunan iptek diarahkan pada “Pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan iptek secara lebih tepat, cepat, dan cermat, serta bertanggung jawab agar mampu memacu pembangunan menuju terwujudnya masyarakat yang mandiri, maju, dan sejahtera” (GBHN, 1998). Sedangkan dalam Repelita VII, prioritas pembangunan bidang iptek adalah meningkatnya kapasitas pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan iptek didukung oleh peningkatan kualitas SDM berlandaskan “Nilai-nilai spiritual moral, dan etik sesuai dengan nilai luhur budaya bangsa dan keimanan serta ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa”; peningkatan kapasitas pengembangan teknologi bangsa sendiri; pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan teknologi untuk proses industrialisasi dan bidang-bidang pembangunan lainnya; serta pengembangan sarana dan prasarana iptek.
Mengusung amanat GBHN tahun 1999-2004, disusun Program Pembangunan Nasional (PROPENAS). Perbedaan nyata mengenai posisi iptek dalam pembangunan nasional pada PROPENAS ini bahwa iptek bukan sebagai salah satu bidang pembangunan nasional terpisah, sehingga masing-masing kelembagaan iptek harus memiliki rencana strategis sendiri yang mengacu pada dokumen arah pembangunan nasional iptek. Program pembangunan iptek tidak diuraikan secara detail dalam PROPENAS, namun disusun oleh Kemenristek dalam suatu dokumen tersendiri, yaitu Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Iptek ( Jakstranas Iptek).
PROPENAS 2000-2004 menyebutkan empat program nasional bidang iptek, yaitu: (1) program peningkatan iptek dunia usaha, (2) program diseminasi informasi teknologi yang bertujuan meningkatkan pembangunan ekonomi; serta (3) program penelitian, peningkatan kapasitas dan pengembangan kemampuan sumber daya iptek, dan (4) peningkatan kemandirian dan keunggulan iptek, untuk meningkatkan pembangunan bidang pendidikan.
Jakstranas Iptek pertama memuat rencana kebijakan Iptek tahun 2000 – 2004. Fokus kebijakan iptek awal Orde Reformasi ini diarahkan untuk revitalisasi pembangunan ekonomi dari dampak krisis dengan pemanfaatan iptek dan inovasi melalui integrasi antara jaringan kelembagaan iptek. Pembangunan ekonomi dilakukan melalui pembangunan industri dengan peningkatan kegiatan penelitian, pengembangan, dan rekayasa dalam kerangka sistem inovasi nasional.
Prioritas utama nasional pembangunan iptek tahun 2000-2004 adalah: (1) pembinaan sumber daya manusia; (2) pengembangan dan penguasaan iptek; dan (3) peningkatan kualitas penelitian, pengembangan dan rekayasa untuk mendukung pembangunan nasional. Pada Orde Baru pembangunan difokuskan pada sembilan wahana industri berteknologi menengah tinggi, sedang pada Orde Reformasi ini bidang fokus pembangunan lebih luas diarahkan ke segala sektor, baik yang berteknologi rendah, menengah, maupun tinggi.
Sesuai dengan PROPENAS 2000-2004, Jakstranas Iptek tahun 2000-2004 memuat 11 bidang fokus, yaitu: sosial budaya; pengembangan sistem-sistem nasional sektoral dan daerah; pertanian dan pangan; kesehatan; lingkungan; kelautan, kebumian dan kedirgantaraan; transportasi dan logistik; energi; manufaktur; informasi dan mikroelektrik; serta bahan baru. Pengembangan teknologi tinggi untuk industri strategis tidak lagi menjadi fokus kebijakan iptek seperti pada masa Orde Baru. Teknologi rendah, menengah, dan tinggi dikembangkan secara bersama-sama untuk mendukung 11 bidang fokus di atas.
Selanjutnya pada periode 2005-2009, pemerintah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009 sebagai pengganti PROPENAS. Dalam RPJPN, disebutkan bahwa salah satu langkah untuk membangun daya saing bangsa adalah dengan meningkatkan penguasaan, pengembangan, dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam RPJM tersebut iptek difungsikan sebagai alat untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Perubahan-perubahan signifikan juga terdapat pada Jakstranas Iptek 2005-2009 dengan ARN 2005-2009 sebagai lampirannya. Visi dan misi iptek pada periode ini lebih spesifik dibandingkan visi dan misi iptek pada periode sebelumnya dengan disebutkannya sektor tertentu sebagai obyek. Visi iptek 2005-2009 mengarah pada: a) teknologi sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi dan kemandirian bangsa; b) iptek yang humanistik; c) terwujudnya sistem informasi spasial; d) iptek nuklir berkeselamatan handal; e) iptek kedirgantaraan; dan f ) Standar Nasional Indonesia (SNI) sebagai penguat daya saing. Sedangkan misi iptek 2005-2009 adalah: a) pusat keunggulan dan komersialisasi teknologi; b) mencerdaskan kehidupan bangsa yang berkemanusiaan; c) berlandaskan pada etika keilmuan; d) memperkuat daya saing masyarakat; e) membangun infrastruktur data spasial nasional; f ) pemanfaatan dan pelayanan reaktor dan fasilitas nuklir; g) penguasaan teknologi dirgantara dan berkelanjutan; serta h) pengembangan SNI.
Bidang fokus kebijakan iptek masih mengacu pada RPJM 2005-2009 yang terdiri dari enam bidang, yaitu: 1) pembangunan ketahanan pangan; 2) penciptaan dan pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan; 3) pengembangan teknologi dan manajemen transportasi; 4) pengembangan teknologi informasi dan komunikasi; 5) pengembangan teknologi pertahanan; serta 6) pengembangan teknologi kesehatan dan obat-obatan.
Pada periode ini dihasilkan empat peraturan pemerintah sebagai instrumen untuk mewujudkan sistem inovasi nasional, yaitu: 1) PP No. 20 Tahun 2005, 2) PP No. 41 Tahun 2006, 3) PP No. 35 Tahun 2007, 4) PP No. 48 Tahun 2009.
Posisi iptek dalam RPJMN semakin kuat dengan dijadikannya iptek sebagai salah satu tujuan pembangunan. RPJMN 2010-2014 ditujukan untuk memantapkan penataan kembali Indonesia di segala bidang dengan menekankan pada upaya peningkatan kualitas SDM termasuk pengembangan kemampuan iptek serta penguatan daya saing perekonomian. Selain itu, iptek termasuk salah satu bidang pembangunan bersama sosial budaya, ekonomi, sarana prasarana, politik, pertahanan keamanan, hukum dan aparatur, wilayah dan tata ruang, sumber daya alam dan lingkungan hidup; serta inovasi teknologi sebagai salah satu prioritas nasional.
Secara garis besar, prioritas pembangunan iptek 2010-2014 masih diarahkan pada penguatan SIN/Sistem Inovasi Nasional meliputi: penguatan kelembagaan iptek, penguatan sumber daya iptek, dan penguatan jaringan iptek; serta penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek (P3) di seluruh bidang fokus pembangunan, yaitu pangan, energi, teknologi informasi dan komunikasi, transportasi, pertahanan, kesehatan, dan material maju (Gambar 1).
Mengacu pada Jakstranas Iptek, telah diterbitkan instrumen produk hukum yang mendukung pembangunan iptek, antara lain: 1) PP Nomor 46 Tahun 2012, 2) PP Nomor 54 Tahun 2012.
Langkah-langkah pembangunan iptek tidak hanya dijalankan Kemenristek. Mendukung penguatan inovasi, pada tahun 2010 dibentuk Komisi Inovasi Nasional (KIN), yang ditugaskan Presiden untuk mengkoordinasikan kegiatan inovasi dalam meningkatkan produktivitas nasional. Untuk penerapan iptek, pada tahun yang sama didirikan Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika berfungsi mengawasi peredaran produk hasil rekayasa genetika dan mengevaluasi pemanfaatannya. Untuk meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan iptek, serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia iptek, pada tahun 2012 Kementerian Keuangan bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan membentuk Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang setiap tahun menyediakan dana penelitian bagi tim peneliti dari lembaga penelitian kementerian dan non-kementerian, perguruan tinggi, maupun mitra lain; serta menyediakan beasiswa pendidikan untuk jenjang pendidikan S2 dan S3 yang memenuhi persyaratan tertentu.
Kebijakan iptek pada era reformasi menyinggung tentang pentingnya penataan ataupun penguatan kelembagaan iptek nasional. Aktor-aktor yang teridentifikasi memiliki peran penting dalam kegiatan penguatan sektor iptek Indonesia, terbagi dalam 9 (sembilan) jenis lembaga, yakni: 1) penyusun kebijakan iptek, 2) sektor industri strategis, 3) lembaga penelitian dan pengembangan di kementerian, 4) lembaga penelitian dan pengembangan non-Kementerian, 5) Perguruan Tinggi, 6) Sektor industri/ dunia usaha, 7) Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah, 8) Organisasi Profesi, 9) Lembaga Penunjang, dan 10) Masyarakat. Sektor-sektor tersebut dibagi menjadi empat kelompok dasar yakni: kelompok institusi pendukung kegiatan iptek (nomor 8 dan 9), kelompok pengguna iptek (nomor 2, 6 dan 10), kelompok penyusun kebijakan/pemerintah (nomor 1), kelompok penghasil/pengembang iptek dan inovasi (nomor 3, 4, 5 , dan 7) (Gambar 2).
Untuk mengoptimalkan fungsinya, Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KMNRT) telah mengeluarkan beberapa kebijakan tentang pengaturan kelembagaan (aktor) iptek nasional, yakni: Kebijakan Strategis Iptek Nasional ( Jakstranas) atau dikenal sebagai “Repelita Iptek” era reformasi. Kebijakan tersebut merupakan ringkasan acuan pengembangan kegiatan iptek nasional dalam tiap lima tahun. Jakstranas telah lahir tiga kali, yakni Jakstranas Iptek 2000-2004, Jakstranas Iptek 2005-2009, dan Jakstranas Iptek 2010-2014. Secara garis besar, Jakstranas Iptek beserta ARN sebagai lampirannya menggambarkan dinamika prioritas pengaturan ataupun jangkauan implementasi kebijakan yang mengatur kelembagaan iptek.
Rencana Induk Riset Nasional/RIRN Sinergi Kebijakan Lain
RIRN 2017-2045 disusun dengan memperhatikan beberapa aspek kebijakan terkait yang memiliki relevansi yang kuat, di antaranya pada sektor perindustrian (yakni RIPIN), sektor energi (yakni KEN), serta dipersiapkan untuk mengantisipasi sektor ekonomi kreatif (rencana induk sektor ekonomi kreatif dalam masa penyusunan) sebagaimana
1.a. Peraturan Pemerintah RI Nomor 14 Tahun 2015 (RIPIN)
Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035 menyebutkan salah satu sasaran dan tahapan capaian pembangunan industri adalah meningkatnya pengembangan inovasi dan penguasaan teknologi. Artinya bahwa pengembang- an inovasi dan penguasaan teknologi menjadi salah satu pilar dalam mencapai pembangunan industri nasional. Di sisi lain, pengembangan inovasi dan penguasaan teknologi tidak bisa dilakukan tanpa riset.
Dalam pembangunan industri nasional, RIPIN membagi tiga tahapan, pada setiap tahapan mempertegas kembali peran inovasi dan penguasaan iptek dalam pembangunan industri nasional. Artinya kebutuhan pengembangan inovasi dan penguasaan iptek sangat memerlukan dukungan riset.
RIPIN menjelaskan bahwa industri nasional yang akan dikembangkan, berisikan industri andalan masa depan, industri pendukung, serta industri hulu. Ketiga kelompok industri tersebut memerlukan modal dasar berupa, sumber daya alam, SDM, serta teknologi, inovasi, dan kreativitas. Pembangunan industri di masa depan tersebut juga memerlukan prasyarat berupa ketersediaan infrastruktur dan pembiayaan yang memadai, serta didukung oleh kebijakan dan regulasi yang efektif. Adapun 10 (sepuluh) industri prioritas yang terbagi dalam 3 kelompok meliputi:
Industri Andalan: (1) Industri Pangan, (2) Industri Farmasi, Kosmetik dan Alat Kesehatan, (3) Industri Tekstil, Kulit, Alas Kaki dan Aneka, (4) Industri Alat Transportasi, (5) Industri Elektronika dan Telematika/ICT, (6) Industri Pembangkit Energi.
Industri Pendukung: (7) Industri Barang Modal, Komponen, Bahan Penolong dan Jasa Industri.
Industri Hulu : (8) Industri Hulu Agro, (9) Industri Logam Dasar dan Bahan Galian Bukan Logam Industri Hulu, (10) Industri Kimia Dasar Berbasis Migas dan Batubara.
Pembangunan industri nasional jelas memerlukan penguasaan teknologi, yang dilakukan secara bertahap sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan industri dalam negeri agar mampu bersaing di pasar dalam negeri dan pasar global.
Pengembangan, penguasaan dan pemanfaatan teknologi industri bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, nilai tambah, daya saing dan kemandirian industri nasional. Penguasaan teknologi di masing-masing kelompok industri prioritas terbagi dalam tiga periodesasi, sebagaimana pada Tabel terlampir.
Pemenuhan kebutuhan teknologi bagi pengembangan industri nasional, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel di atas, memerlukan sinergi kebijakan, sasaran, program yang diimplementasikan dalam bentuk aktivitas riset antara berbagai pemangku kepentingan, baik itu lembaga riset pemerintah, lembaga riset swasta, perguruan tinggi, dan dunia usaha.
1.b. Peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 2006 (KEN)
Perpres Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) bertujuan untuk mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri. Ada dua sasaran KEN dalam Perpres tersebut, yaitu (a) Tercapainya elastisitas energi lebih kecil dari 1 (satu) pada tahun 2025; dan (b) Terwujudnya energi (primer) mix yang optimal pada tahun 2025, yaitu peranan masing-masing jenis energi terhadap konsumsi energi nasional:
minyak bumi menjadi kurang dari 20%,
gas bumi menjadi lebih dari 30%,
batubara menjadi lebih dari 33%,
biofuel menjadi lebih dari 5%,
panas bumi menjadi lebih dari 5%,
energi baru dan terbarukan lainnya, khususnya, Biomasa, Nuklir, Tenaga Air Skala Kecil, Tenaga Surya, dan Tenaga Angin menjadi lebih dari 5%,
Bahan Bakar Lain yang berasal dari pencairan batubara menjadi lebih dari 2%.
Guna mewujudkan tujuan keamanan pasokan energi dalam negeri dan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, langkah kebijakan yang dilakukan dikelompokan dalam Kebijakan Umum dan Kebijakan Pendukung.
Kebijakan Utama, meliputi penyediaan energi (melalui penjaminan ketersediaan pasokan energi dalam negeri, pengoptimalan produksi energi, pelaksanaan konservasi energi); pemanfaatan energi (melalui efisiensi pemanfaatan energi, diversifikasi energi); penetapan kebijakan harga energi ke arah harga keekonomian, dengan tetap mempertimbangkan bantuan bagi rumah tangga miskin dalam jangka waktu tertentu; dan pelestarian lingkungan dengan menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Kebijakan Pendukung, meliputi pengembangan infrastruktur energi termasuk peningkatan akses konsumen terhadap energi; kemitraan pemerintah dan dunia usaha; pemberdayaan masyarakat; dan pengembangan litbang serta diklat.
Tindak lanjut Perpres Nomor 5 Tahun 2006 pemerintah mengeluarkan Cetak Biru Pengelolaan Energi Nasional (PEN) 2006-2025. Cetak Biru tersebut menyebutkan bahwa litbang energi merupakan salah satu program utama pengelolaan energi nasional. Ada 4 (empat) hal terkait program litbang energi, yaitu:
Pengembangan iptek energi, diarahkan pada:
(a) Teknologi batubara kalori rendah (Upgraded Brown Coal-UBC)
(b) Batubara cair (Coal Liquefaction)
(c) Teknologi energi ramah lingkungan
(d) Integrated coal gasification
(e) CNG untuk pembangkit tenaga listrik
(f ) Kilang mini LNG
(g) Ocean technology
(h) Dimethyl ether (DME)
(i) Coal bed methane
( j) Hidrat gas bumi
(k) Photovoltaic
Pengembangan mekanisme pendanaan Pemerintah/Pemerintah Daerah bagi
penelitian dan pengembangan iptek energi
Komersialisasi iptek energi, dilakukan melalui:
(a) Aplikasi teknologi energi berbahan bakar ganda, antara lain batubara dengan energi lainnya, khususnya biomassa,
(b) Pengembangan kendaraan berbahan bakar energi alternatif
(c) Pemanfaatan LNG untuk transportasi
(d) Pengembangan model skema bisnis
(e) Penerapan sistem insentif finansial
(f ) Pengembangan energi baru terbarukan dan teknologi energi efisien dalam kegiatan pengadaan yang menggunakan dana Pemerintah
Peningkatan kemitraan antar stakeholders energi baik di dalam maupun di luar negeri
Fungsi dan Peran Startegis Rencana Induk Riset Nasional
Penyusunan RIRN memang dibutuhkan bukan saja karena keterbatasan sumber daya pemerintah, tetapi juga untuk memperbaiki efisiensi dan efektivitas pembangunan nasional di sektor riset.
2.a Sebagai Jembatan Penghubung Pembangunan Jangka Panjang dan Tahunan
Pelaksanaan pembangunan nasional merupakan mata rantai tidak terputus dan harmonis mulai dari cita-cita nasional seperti yang tertuang dalam mukadimah
UUD 1945 sampai langkah-langkah operasional, seperti yang tertuang dalam dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Karena itu, kegiatan-kegiatan tahunan yang sifatnya operasional melalui pelaksanaan program-program seharusnya merupakan bagian integral dari pencapaian cita-cita pembangunan nasional.
Fokus RIRN adalah prioritas riset berbasis pemetaan kekuatan dan kapasitas riil terkini. RIRN dijabarkan dalam bentuk Prioritas Riset Nasional dengan periode 5 tahun yang berisi bidang fokus yang diperkirakan mampu menghasilkan produk-produk inovasi dalam jangka waktu paling lama 5 tahun. Penyusunan RIRN diharapkan akan membangun jembatan penghubung antara cita-cita pembangunan nasional dengan langkah-langkah operasional yang berfondasikan kebijakan berbasis data (evidence based policy ).
2.b Sebagai Pembangunan Sinergi Riset Nasional
Penyusunan RIRN diharapkan akan membangun sinergi riset nasional, yang bukan saja memperbaiki efisiensi, tetapi juga meningkatkan efektivitasnya. Indikator peningkatan efisiensi riset adalah menurunnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menyelesaikan satu riset yang besar dan kualitasnya sama dibanding dengan masa-masa yang lalu. Dari sisi lain, peningkatan efisiensi riset juga dapat dilihat dari aspek anggaran. Dengan anggaran yang sama dapat dihasilkan riset dengan skala lebih besar dan kualitas juga meningkat.
Sinergi riset nasional akan mengurangi potensi tumpang tindih yang berlebihan, atau pengulangan yang tidak proporsional. Sinergi riset nasional akan memberikan masukan untuk rasionalisasi riset yang belum merupakan prioritas utama. Di lain sisi, akan memotong mata rantai prosedur riset yang terlalu panjang. Namun perlu ditekankan bahwa penetapan prioritas bukan berarti melakukan eksklusi atas riset-riset yang belum menjadi prioritas.
Secara prinsip seluruh riset yang dilakukan dengan benar harus didukung karena berpotensi memunculkan invensi dan kontribusi di masa mendatang. Tetapi penetapan prioritas menjadi petunjuk untuk memberikan persentase dukungan yang lebih besar bagi riset prioritas.
2.c Sebagai Sarana Reintegrasi Pendidikan Tinggi dengan Riset
Fungsi dan peran RIRN ketiga sebagai pendorong reintegrasi pendidikan tinggi dengan riset. RIRN akan mendorong harmonisasi kegiatan riset di perguruan tinggi dengan masyarakat serta lembaga riset lainnya. Karena sejatinya pendidikan tinggi adalah pendidikan yang berbasis pada kegiatan pembelajaran melalui kegiatan riset. Melalui kegiatan riset, para mahasiswa memiliki kesempatan menemukan masalah, mencari berbagai solusi secara ilmiah dan merumuskannya menjadi metode yang baku dan bisa direproduksi. Proses melihat masalah, berpikir, bertindak secara ilmiah dalam koridor etika ilmiah ini merupakan ajang pembelajaran dan penciptaan SDM muda dengan literasi iptek yang tinggi di kemudian hari. Pola dan budaya ilmiah semacam inilah yang kelak menjadi modal penting untuk berkiprah dan berkompetisi secara global.
Pelaksanaan RIRN Tahun 2017 – 20145
Kapasitas dan kompetensi riset Indonesia saat ini masih sangat rendah, bahkan di lingkungan ASEAN sekalipun. Perlu dilakukan upaya dan strategi terintegrasi dan menyeluruh untuk memperbaiki. RIRN Tahun 2017-2045 didesain sebagai titik pangkal perbaikan secara menyeluruh.
Perencanaan sektoral seperti RIRN melengkapi perencanaan nasional yang telah ada dan berbasis keluaran akhir dari setiap K/L. RIRN diharapkan mengatur distribusi sumber daya secara rasional di semua ranah riset untuk meminimalisir potensi tumpang tindih yang berlebihan serta menempatkan setiap aktor sesuai dengan kapasitas dan kompetensinya. Seluruh upaya dan strategi ini bermuara pada peningkatan kontribusi riset terhadap ekonomi nasional/ (lee)
Sumber : Dokumen RIRN 2017 – 2045