Bincang bersama Prof. Dr. Suyanto, S.T., M.Sc, – Pakar Artificial Intelligence
Director of Center of Artificial Intelligence for Learning and Optimization, Telkom University
Elon Musk, CEO Tesla bergabung dengan pakar Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence/AI) lainnya mengklaim bahwa hanya tinggal sedikit data dunia nyata yang tersisa untuk melatih model Artificial Intelligence (AI). “Data puncak” yang dikuasai AI akan segera tercapai. Musk menjelaskan hampir semua pengetahuan manusia yang tersedia telah diproses dalam pelatihan AI. Dikatakannya “pada dasarnya, kami telah menghabiskan jumlah kumulatif pengetahuan manusia … dalam pelatihan AI,” siaran langsung di media sosial X, dilansir TRT World, dan CNN Indonesia, Sabtu, 11 Januari 2025.
Edisi #41 ini Tim majalah Komunita bersepakat mengangkat isu seksi Artificial Intelligence (AI)/Kecerdasan Buatan, khususnya di dunia pendidikan tinggi. Lalu kami meriset pakar Indonesia di bidang ini. Ketemulah sosok Prof. Dr. Suyanto, S.T., M.Sc. – Director of Center of Artificial Intelligence for Learning and Optimization, Telkom University. Kami hubungi beliau melalui WA, disusul surat resmi, selanjutnya kami keep contact by WA. Semuanya mengalir dan begitu lancar. Barakallah. Senin, tanggal 6 Januari 2025 kami sepakat bertemu di kantor beliau, Universitas Telkom, Kabupaten Bandung.
Prof. Suyanto sungguh sosok yang sederhana dan akrab. Kami langsung cair dalam wawancara dan diskusi. Wawancara dan diskusi yang menarik, terbuka, hidup, dan mengalir sampai tidak terasa telah berlangsung sekitar 2,5 jam. Pukul 15.30 an saya pamit dan berterima kasih atas pencerahannya. Bahkan saya dihadiahi dua buku novel karya beliau dalam gelutannya dengan perjalanan hidup dan Artificial Intelligence (Roller Coasteran – Bareng Pacar, dan Maratonan Bareng Pacar – Cara Asyik Menikmati Disrupsi AI). Selama diskusi beliau lebih senang dengan panggilan akrab Prof. SUO yang sudah melekat sebagai panggilan akrab.
Kami urai wawancara dan diskusi dalam 7 (tujuh) segmen tulisan berurutan terkait pandangan dan pemikiran beliau tentang Artificial Intelligence ini. Berikut tujuh segmen pandangan dan pemikiran beliau.
Memahami AI: Teknologi, Potensi, dan Tantangannya
AI adalah teknologi yang sangat potensial, tetapi penggunaannya membutuhkan pemahaman yang tepat, terutama dalam penyusunan data pelatihan dan cara bertanya (prompting). Melalui pendekatan yang benar, AI dapat menjadi alat yang revolusioner dalam berbagai bidang, terutama pendidikan dan penelitian. Namun, tantangan seperti validitas data dan bias tetap harus menjadi perhatian utama dalam pengembangannya.
Komunita: Apakah AI dan bagaimana potensinya dalam kehidupan kita?
Prof. SUO: Artificial Intelligence (AI) memiliki potensi luar biasa dalam mempercepat pengolahan data dan pengetahuan. AI dapat mengkurasi miliaran buku dalam waktu singkat, hal yang mustahil dilakukan oleh manusia. Dalam enam bulan pelatihan saja, AI bisa memahami berbagai ilmu dari miliaran buku dalam berbagai bahasa di dunia.
Namun, pengembangan AI membutuhkan investasi besar, hingga ratusan triliun. Meski begitu, jika biaya ini dibagi dengan jumlah penduduk dunia—sekitar 8 miliar orang—biaya per orangnya menjadi relatif kecil, sekitar 12 juta rupiah.
Dalam dunia pendidikan, AI memungkinkan mahasiswa belajar dari ribuan “profesor virtual” yang menguasai berbagai bidang ilmu. Hal ini membuat proses pembelajaran jauh lebih efisien dan akurat. AI benar-benar membuka pintu bagi eksplorasi pengetahuan yang tak terbatas.
Komunita: Bagaimana memastikan data dan informasi yang diberikan AI valid dan mempersempit bias?
Prof. SUO: AI memiliki mekanisme otomatis untuk mem-filter data. Dengan menggunakan teknik stokastik—atau perhitungan peluang—AI cenderung mengidentifikasi informasi yang paling umum atau yang memiliki konsensus tinggi di antara data yang tersedia.
Contoh, jika 90% dari miliaran data menyatakan suatu hal benar, maka itulah yang akan dianggap valid oleh AI. Data yang tidak valid atau bias akan otomatis diabaikan, meskipun ada upaya untuk memasukkan informasi yang salah secara masif (bombing).
Namun demikian, tetap ada risiko bias, terutama jika data yang digunakan tidak mencakup semua sudut pandang atau jika data itu sendiri bermasalah. Oleh karena itu, validitas data menjadi kunci utama dalam pengembangan AI.
Komunita: Ada kasus AI memberikan informasi tidak akurat tentang sebuah institusi. Bagaima-na menjelaskan hal ini?
Prof. SUO: Kesalahan semacam itu bisa terjadi jika informasi yang diminta terlalu umum, atau AI belum dilatih pada bidang tertentu. Selain itu, pertanyaan yang tidak spesifik juga dapat menghasilkan jawaban yang tidak relevan.
Misal, jika kita bertanya tentang “evolusi” tanpa konteks yang jelas, AI mungkin akan memberikan jawaban yang salah arah. Kata “evolusi” bisa merujuk pada biologi, ilmu alam, algoritma, atau bahkan komputer sains. Oleh karena itu, teknik bertanya atau prompting sangat penting untuk memastikan jawaban AI relevan dan akurat.
Komunita: Bagaimana cara membuat pertanyaan yang efektif untuk AI?
Prof. SUO: AI bekerja dengan memahami konteks dari pertanyaan yang diberikan. Jika pertanyaan spesifik, dan sesuai dengan data pelatihannya, AI akan memberikan jawaban yang sangat akurat. Namun, jika pertanyaan terlalu umum atau tidak sesuai konteks, jawaban yang dihasilkan bisa menjadi campur aduk atau bahkan salah arah.
Sebagai pengguna, ketika menggunakan AI kita perlu: Menyusun pertanyaan yang spesifik. Sebutkan ruang lingkup topik yang diinginkan, misalnya biologi, tanpa mencampurkan topik lain seperti budaya. Lalu, Memposisikan peran AI dan pengguna. Misalnya, kita bisa meminta AI untuk “berperan sebagai ahli biologi” agar jawaban lebih terfokus.
Kesalahan dalam prompting ini dapat menyebabkan AI memberikan jawaban yang salah atau bahkan “halusinasi,” di mana satu kesalahan kecil memicu rangkaian kesalahan berikutnya dalam jawabannya.
Komunita: Mengapa banyak institusi, termasuk kampus dan Kementerian, masih ragu mengim-plementasikan AI?
Prof. SUO: Keraguan ini wajar, mengingat AI masih memiliki keterbatasan dan membutuhkan pemahaman mendalam untuk menggunakannya secara efektif. AI memang memiliki potensi besar namun banyak limitasi, karena itu perlu regulasi dan mitigasi sesuai porsi. Banyak yang belum memahami bagaimana AI bekerja dan bagaimana memaksimalkan penggunaannya.
Sebagai contoh, saat saya menjelaskan teknologi AI dalam sebuah forum yang diikuti 600 ribu peserta online, banyak yang baru memahami potensi AI setelah saya memaparkannya selama dua jam. Hal ini menunjukkan perlunya edukasi lebih lanjut tentang bagaimana AI dapat digunakan secara praktis dan aman. Sisi lain tantangan dalam implementasi AI di pendidikan tinggi adalah perlu pelatihan secara massif, edukasi tanpa henti, serta relokasi anggaran.
Pengaruh AI Terhadap Pendidikan, Bisnis, dan Politik
Perkembangan teknologi AI dapat mempengaruhi banyak aspek kehidupan, termasuk sektor pendidikan. AI berpotensi mendisrupsi sistem pendidikan tradisional, termasuk pendidikan tinggi, di mana sekolah berbasis AI bisa menggantikan yang tidak mengadopsi teknologi ini.
Kehadiran teknologi ini juga menunjukkan bahwa negara yang tidak beradaptasi dengan perkembangan AI akan tertinggal. Misalnya, Cina yang berhasil mengintegrasikan AI dengan cepat, mengembangkan Baidu sebagai pesaing Google dan mengendalikan informasi untuk keuntungan negaranya. Hal ini membuka diskusi lebih lanjut tentang bagaimana pemerintah dan lembaga pendidikan perlu memahami dampak jangka panjang AI terhadap masa depan pendidikan dan ekonomi.
Menghadapi perubahan ini, penting bagi Indonesia, terutama perguruan tinggi, untuk mulai mengintegrasikan teknologi AI dalam pendidikan. Seperti yang disebutkan, pendidikan tidak hanya perlu menyiapkan individu untuk menguasai keterampilan yang relevan dengan zaman, tetapi juga harus siap beradaptasi dengan perubahan global yang terjadi, termasuk pemanfaatan teknologi seperti AI.
“AI bisa mengendalikan informasi dengan mudah. Negara yang menguasai AI bisa mempengaruhi banyak hal. Kita perlu waspada agar tidak ketinggalan,” jelas Prof. SUO. Ini menunjukkan pentingnya pendidikan tinggi dalam mempersiapkan generasi mendatang menghadapi tantangan teknologi yang semakin berkembang. Lebih jauh lagi, peran kampus sebagai pusat penelitian dan inovasi harus didorong untuk mengejar perkembangan teknologi ini, dengan mengintegrasikan AI dalam proses belajar-mengajar. Pembelajaran berbasis AI akan menjadi faktor penting dalam mencetak mahasiswa yang siap menghadapi masa depan yang penuh disrupsi.
Dalam konteks pengembangan pusat keunggulan di perguruan tinggi – seperti yang sedang dijalankan beberapa universitas di Indonesia – penting untuk memastikan bahwa riset dan program-program akademis fokus pada penguasaan teknologi dan kreativitas.
Karena itu, pemahaman tentang peran teknologi – terutama AI – sangat penting dalam pembangunan ekonomi dan pendidikan global. Negara yang tidak memanfaatkan teknologi ini berisiko tertinggal, dan bagi Indonesia, ini adalah tantangan sekaligus peluang besar mengejar ketertinggalan dan memperkuat daya saing global.
Dilema Etika, Regulasi Teknologi AI dan Mobil Otonom
Saat ini teknologi Artificial Intelligence (AI) telah mengalami perkembangan pesat selama belasan tahun terakhir. Salah satu implementasinya adalah mobil otonom – mulai dioperasionalkan untuk kepentingan publik – yang membawa banyak tantangan etika, regulasi, dan sosial. Kendaraan ini didesain untuk membuat keputusan secara mandiri dalam situasi kritis, seperti memilih arah ketika harus menghindari tabrakan.
Etika Mobil Otonom dan Dilema Regulasi
Contoh konkret dapat dilihat pada situasi ketika sebuah mobil otonom sedang melaju dan menghadapi rintangan besar, seperti tembok atau pohon. Sistem mobil harus memutuskan untuk berbelok ke kiri atau ke kanan. Namun, jika ke kiri ada seorang ibu; dan jika ke kanan ada anak kecil yang merupakan anak ibu tersebut.
Keputusan ini mencerminkan dilema etika yang berbeda antara budaya dan kebijakan suatu negara. Di Jerman, mobil cenderung memilih menyelamatkan anak kecil, karena tingkat kelahiran rendah dan anak dianggap memiliki masa depan yang panjang. Sementara, di Indonesia, ibu cenderung diselamatkan karena angka kelahiran tinggi dan diasumsikan bahwa ibu tersebut dapat memiliki anak lain. Perbedaan ini menunjukkan bahwa regulasi tidak dapat sepenuhnya diuniversalisasi karena dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya, sosial, dan kebijakan lokal.
Dari sisi Regulasi mobil otonom harus mempertimbangkan tanggung jawab berbagai pihak. Mereka adalah: Produsen Mobil, bertanggung jawab atas desain dan integrasi teknologi; Vendor Sensor, kesalahan sensor dapat memicu insiden; Pengguna, walaupun tidak memiliki kendali langsung, pengguna dapat terlibat dalam dampak hukum; Negara, sebagai otoritas pengatur harus menetapkan standar keselamatan dan tanggung jawab.
Namun, regulasi lintas negara sulit diterapkan karena perbedaan pandangan dan kebijakan. Misalnya, aturan di Jerman tidak dapat sepenuhnya diterapkan di Indonesia karena perbedaan sosial budaya.
AI dalam Pendidikan
Selain dalam transportasi, AI juga memiliki dampak besar pada pendidikan tinggi. Contoh kasus pada penggunaan teknologi AI, seperti ChatGPT. Penelitian di Harvard University menunjukkan bahwa AI seperti ChatGPT memiliki tingkat kesesuaian sekitar 90% dengan budaya negara-negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Australia. Namun, di negara-negara seperti Indonesia, Tunisia, dan Pakistan tingkat kesesuaian hanya sekitar 60%, karena perbedaan budaya dan psikologi.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun AI bersifat universal, penerapannya harus disesuaikan dengan konteks lokal, terutama dalam pendidikan. Contoh: Pembelajaran Sastra: AI harus memahami nilai-nilai budaya setempat untuk memberikan konteks yang relevan; lalu Pengembangan Pengetahuan Lokal: AI dapat digunakan untuk mendukung penelitian tentang isu-isu lokal, semisal keberagaman kopi di Indonesia.
Peran Manusia dalam Teknologi AI
Teknologi AI bersifat bebas nilai, tetapi manusia yang menggunakannya harus memiliki nilai-nilai etika. Oleh karena itu, dalam menggunakan AI penting untuk melakukan beberapa upaya: Memfilter Informasi: artinya AI harus dirancang untuk menghindari memberikan jawaban yang berbahaya atau menyesatkan. Kustomisasi: artinya Informasi dari AI perlu disesuaikan dengan kebutuhan spesifik, seperti dalam seni atau pendidikan. Kolaborasi: artinya teknologi AI tidak dapat sepenuhnya menggantikan manusia. Dalam banyak kasus, seperti operasi medis atau kendaraan otonom, manusia tetap diperlukan sebagai pengendali.
Adalah benar bahwa teknologi AI, termasuk mobil otonom menawarkan potensi besar, tetapi juga membawa tantangan etika, regulasi, dan budaya. Regulasi yang bersifat universal sulit diterapkan, karena harus menjawab kebutuhan lokal dan global secara bersamaan. Oleh sebab itu, kolaborasi antara manusia dan teknologi menjadi kunci utama untuk memaksimalkan manfaat AI sambil meminimalkan risikonya.
Artificial Intelligence : Peluang dan Tantangan
Artificial Intelligence (AI) telah menjadi teknologi revolusioner yang berdampak besar pada berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan tinggi. Dengan kemampuan mengolah data dalam skala besar dan memberikan prediksi akurat, AI menjadi solusi menjawab tantangan global, seperti efisiensi pendidikan, pertanian modern, bahkan penemuan obat. Namun, implementasi AI juga menimbulkan tantangan yang membutuhkan kebijakan dan strategi adaptasi.
Peluang
AI Paling tidak menawarkan peluang dalam aspek sebagai berikut. Efisiensi dalam Penemuan Pengetahuan dan Teknologi. AI mampu menganalisis miliaran data dalam waktu singkat untuk menghasilkan temuan baru. Dalam bidang kesehatan, misalnya, AI mempercepat penemuan obat dengan mengeliminasi eksperimen yang tidak relevan.
Disrupsi Positif di Dunia Pendidikan Tinggi. AI memungkinkan dosen menciptakan metode pembelajaran lebih efektif, membuat mereka lebih hebat dalam membimbing mahasiswa. Sedang mahasiswa yang memanfaatkan AI menjadi lebih unggul karena memiliki kombinasi akurasi teknologi dan kemampuan berpikir kritis.
Kolaborasi Manusia – AI: sebagai Entitas Terbaik. Keunggulan AI adalah kurasi tinggi dan kapasitas besar dalam pengolahan data. Sementara Keunggulan Manusia adalah kreativitas dan kemanusiaan. Maka kolaborasi antara AI dan manusia memungkinkan terciptanya solusi terbaik yang memadukan efisiensi teknologi dan nilai kemanusiaan.
Optimalisasi Sumber Daya Pertanian. Dengan dukungan AI dan Internet of Things (IoT), pertanian modern dapat memastikan ketahanan pangan bagi populasi global yang diproyeksikan mencapai 9,6 miliar pada 2050.
Tantangan
Namun demikian beberapa tantangan perlu menjadi perhatian, setidaknya mencakup: kreativitas dan humanitas, disrupsi bagi profesi tradisional, kurangnya regulasi dan kebijakan.
Kreativitas dan Humanitas, bahwa AI dengan logika probabilitasnya sulit menghasilkan kreativitas yang melawan arus atau unik. Kreativitas tetap menjadi ranah manusia. Inilah kelebihan manusia yang memiliki sisi humanis.
Disrupsi Bagi Profesi Tradisional. Kehadiran AI mendisrupsi profesi tradisional. Contoh, seniman yang tidak berkolaborasi dengan AI berisiko terdisrupsi oleh seniman lain yang menggunakan AI untuk brainstorming atau membuat sketsa awal.
Kurangnya Regulasi dan Kebijakan. Hingga kini, belum ada regulasi nasional atau internasional yang mengatur penggunaan AI. Kebijakan sering kali diinisiasi di tingkat lokal, misalnya oleh fakultas atau program studi.
Tantangan Implementasi AI di Pendidikan Tinggi
Wawancara kami berlanjut mengenai implementasi teknologi Artificial Intelligence (AI) di dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Fokus utama meliputi regulasi, literasi digital, serta tantangan teknis dan sosial dalam mengintegrasikan AI ke dalam proses pembelajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Paling tidak terdapat 6 (enam) aspek yang perlu diperhatikan terkait implementasi AI di pendidikan tinggi, serta strateginya.
Regulasi dan Panduan Penggunaan AI
Saat ini belum terdapat regulasi spesifik terkait penggunaan AI di pendidikan tinggi, tegas Prof. SUO. Hanya ada panduan umum yang belum memiliki kekuatan hukum mengikat (Panduan Penggunaan Generative Artificial Intelligence pada Pembelajaran di Perguruan Tinggi, 2024 yang diinisiasi Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan). Akibatnya, implementasi AI sering kali diserahkan kepada masing-masing institusi, bahkan hingga ke level fakultas atau individu dosen. Contoh, di satu perguruan tinggi, antara Fakultas Industri Kreatif dengan Fakultas Informatika memiliki kebijakan yang berbeda. Kondisi ini menunjukkan kebutuhan mendesak akan edukasi dan panduan yang lebih terpadu di tingkat universitas.
Edukasi dan Literasi AI
Dalam kaitan itu Prof. SUO menekankan pentingnya meningkatkan literasi AI bagi seluruh sivitas akademika, termasuk dosen, mahasiswa, dan tenaga pendidikan. Proses ini membutuhkan waktu, biaya, dan upaya besar, namun sangat penting agar perguruan tinggi tetap relevan di mata mahasiswa. Tanpa literasi AI yang memadai, perguruan tinggi berisiko kehilangan kepercayaan mahasiswa. Literasi ini mencakup pemahaman teknis, keamanan, mitigasi risiko, dan etika dalam penggunaan AI.
Peran AI dalam Pendidikan
Teknologi AI menawarkan berbagai manfaat di pendidikan tinggi, seperti personalisasi pembelajaran, learning optimization, dan adaptive learning platforms, juga penelitian. Dengan menggunakan AI, profil mahasiswa dapat diidentifikasi melalui data yang tersedia, seperti aktivitas di media sosial atau sistem pembelajaran daring (Learning Management System/LMS). Hal ini memungkinkan dosen menyusun materi pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik masing-masing mahasiswa, atau menciptakan konsep “personalized learning” yang lebih optimal.
Dalam hal ini, AI dapat mengenali dan memetakan profil setiap mahasiswa: bakat, minat, serta gaya dan kecepatan belajarnya. Kemudian, AI bisa memberikan rekomendasi materi, kuis, diskusi, proyek, dan sebagainya secara personal sesuai profil masing-masing mahasiswa. Banyak negara maju sudah menerapkan AI untuk personalisasi pembelajaran sebab mereka sudah memasuki Industri 5.0, yang bertujuan untuk Mass Customization, bukan lagi Mass Production seperti dalam Industri 4.0.
Learning optimization yang didukung AI dapat meningkatkan hasil pembelajaran mahasiswa. Misalnya, mahasiswa yang mengalami masalah studi karena tidak sesuai bakat, minat, serta gaya dan kecepatan belajarnya, bisa ditangani dengan melakukan optimasi pembelajaran berbasis AI. Jika pembelajaran dilaksanakan luring, dosen bisa mendapatkan informasi dari AI dan menyesuaikan materi secara optimal. Jadi, optimasi pembelajaran dapat dilakukan untuk mencapai personalisasi pembelajaran sehingga meningkatkan hasil pembelajaran mahasiswa.
Demikian pula peran adaptive learning platforms dalam menciptakan pendidikan berbasis kebutuhan individu. Adaptive learning platforms digunakan untuk membangun ekosistem dalam mengelola sistem pendidikan berbasis kebutuhan individu berskala besar, nasional, hingga internasional.
AI juga mendukung proses penelitian di perguruan tinggi. Banyak teknologi AI yang digunakan untuk mendukung penelitian dari awal sampai final: mulai dari mencari ide-ide novelty, desain, implementasi, pengolahan data dan analisis, hingga publikasi. Dalam pengolahan data dan analisis, kita bisa mengunggah hasil-hasil eksperimen, dalam bentuk tabel atau grafik, serta tujuan pengolahan data dan analisis ke dalam mesin AI, dan memberikan hasil pengolahan data dan analisis secara presisi. Selain itu, AI dapat digunakan untuk penemuan ilmiah baru, seperti pengembangan obat-obatan dalam menghadapi pandemi. Lebih jauh Prof. SUO menekankan bahwa penggunaan AI di pendidikan tinggi seharusnya difokuskan pada kreasi pengetahuan baru dan solusi inovatif untuk berbagai masalah global.
Tantangan Sosial dan Humaniora
Hal lain, integrasi AI di pendidikan tinggi tidak hanya membutuhkan penguatan aspek teknis, tetapi juga aspek sosial dan humaniora. Kreativitas dan humanitas menjadi elemen penting yang harus dikembangkan. Hal ini terutama berlaku pada pendidikan dasar dan menengah, di mana penekanan pada pembentukan karakter, keamanan, dan mitigasi risiko lebih diutamakan. Di perguruan tinggi, mahasiswa yang lebih dewasa dapat diarahkan untuk mengeksplorasi teknologi dengan tetap menjaga nilai-nilai etika dan tanggung jawab sosial.
Pergeseran ke Industri 5.0
Prof. SUO juga menyoroti pergeseran saat ini dari industri 4.0 ke industri 5.0, yang menekankan personalisasi massal dengan pendekatan human-centric. Penggunaan AI memungkinkan personalisasi dalam skala besar, seperti pengelolaan materi kuliah untuk puluhan ribu mahasiswa dengan gaya belajar yang berbeda. Hal ini menjadi tantangan besar bagi perguruan tinggi untuk mengelola data secara efektif dan efisien.
Kebutuhan Infrastruktur dan Pendanaan
Integrasi AI membutuhkan investasi besar, baik untuk literasi, infrastruktur, maupun layanan pendukung seperti bimbingan konseling. Prof. SUO menekankan pentingnya pendanaan yang mencakup teknologi, pelatihan, dan penguatan aspek sosial. Sebagai contoh, beberapa kampus di Eropa memiliki divisi khusus yang menangani konseling psikologi dan sosial, baik untuk mahasiswa maupun dosen, guna menjaga keseimbangan antara penggunaan teknologi dan kebutuhan manusia.
Keenam aspek tersebut menunjukkan bahwa teknologi AI memiliki potensi besar untuk merevolusi pendidikan tinggi, tetapi penerapannya memerlukan pendekatan holistik yang mencakup aspek teknis, sosial, dan humaniora. Karena itu, perguruan tinggi harus menjadi pelopor dalam literasi AI, mengembangkan kebijakan yang komprehensif, dan memastikan AI digunakan secara etis untuk mendorong pembelajaran yang personal dan humanis. Dengan demikian, AI akan dapat menjadi alat untuk menciptakan pendidikan yang lebih inklusif, kreatif, dan relevan di masa depan.
Strategi
Dalam kaitan itu strategi yang perlu ditempuh pendidikan tinggi mencakup: kebiajakan institusional, integrasi AI dalam proses pembelajaran, serta peningkatan kolaborasi manusia dan AI. Kebijakan Institusional menuntut perguruan tinggi merancang kebijakan internal untuk memanfaatkan AI secara bertanggung jawab. Sementara dosen dan mahasiswa perlu dipersiapkan untuk memahami dan memanfaatkan AI secara optimal.
Integrasi AI dalam Proses Pembelajaran, dalam proses pembelajaran ini AI dapat digunakan untuk membuat sketsa awal atau ide brainstorming, sementara proses kreatif akhir tetap dilakukan manusia. Selanjutnya kampus perlu mengatur kapan dan bagaimana AI digunakan dalam tugas mahasiswa.
Peningkatan Kolaborasi Manusia – AI, tentunya perguruan tinggi perlu mendorong kolaborasi antara AI dan manusia dalam pengajaran, penelitian, dan pengembangan inovasi. Dengan memanfaatkan AI, dosen dan mahasiswa dapat mencapai produktivitas dan kualitas yang lebih tinggi. AI merupakan teknologi yang menghadirkan peluang besar sekaligus tantangan signifikan. Pendidikan tinggi perlu memanfaatkan potensi AI untuk menciptakan lulusan yang unggul di era disrupsi teknologi. Namun, integrasi AI harus dilakukan dengan bijaksana, menghormati nilai-nilai kemanusiaan, dan memastikan bahwa kolaborasi antara manusia dan AI menghasilkan manfaat maksimal bagi masyarakat.
Disrupsi Teknologi di Pendidikan Tinggi dan Kolaborasi Antar Kampus
Kehadiran AI serta kecenderungan perkembangannya mengguncang dunia pendidikan tinggi memerlukan strategi dan langkah mitigasi untuk menghindari disrupsi teknologi di pendidikan tinggi tersebut. Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian (Prof. SUO, wawancara 6 Januari 2024).
Pertama, terkait strategi pengembangan Perguruan Tinggi (PT) mengingat prediksi para ahli di tahun 2030 – 2035 akan hadir tiga teknologi hebat yang semakin disruptif, yakni: 4G AI, 6G Wireless Network, dan Quantum Computing. Kehadiran tiga teknologi tersebut, menghadapkan kita berada di era teknologi AI yang sangat cerdas dengan akurasi dan kapasitas besar, jaringan-jaringan nirkabel super cepat (10.00 kali lebih cepat), dan komputer-komputer bisa mereduksi waktu komputasi yang semula berjuta tahun menjadi hanya satu detik saja.
Hal ini membuat banyak ahli khawatir apakah PT masih diperlukan atau tidak. Namun, saya optimis PT akan tetap diperlukan, bahkan wajib ada. Tentu saja dengan operasional yang berbeda. PT dituntut beradaptasi diri dengan cepat dalam memanfaatkan AI secara baik dan benar untuk efisiensi administasi dan pelaksanaan tridharma. Dalam buku motivasi pengembangan diri, saya menyampaikan satu pernyataan: “Sekolah yang mengadaptasi AI akan mendisrupsi sekolah yang tidak mengadaptasi AI. Universitas yang mengadopsi AI akan mendisrupsi universitas yang tidak mengadopsi AI. Perusahaan yang menerapkan AI akan mendisrupsi perusahaan yang tidak menerapkan AI. Negara yang berbasis AI akan mendisrupsi negara yang tidak berbasis AI” (Prof. SUO, Maratonan – Bareng ‘Pacar – Cara Asyik Menikmati Disrupsi AI – 2024).
Karena itu, perguruan tinggi perlu memahami tiga hal utama dalam pengembangan dirinya, yakni: potensi, limitasi, dan mitigasi (evaluasi diri). Untuk itu dibutuhkan kebijakan internal yang adil, adaptif, dan cepat untuk menanggapi perubahan lingkungan pendidikan di atas.
Kedua, Tantangan Teknologi dan Ketertinggalan. Indonesia masih tertinggal dalam infrastruktur teknologi dibandingkan negara maju. Sebagai perbandingan, Swedia sudah menggunakan teknologi 4G pada 2004, sedangkan Indonesia baru mengadopsinya pada 2015. Lalu, Quantum computing akan menjadi ancaman besar bagi keamanan data, termasuk sistem blockchain dan keamanan nasional, jika tidak segera diantisipasi. Perguruan tinggi harus fokus pada pengembangan aplikasi dan penggunaannya, karena pengembangan teknologi inti membutuhkan anggaran yang sangat besar, jauh di luar kemampuan finansial negara atau perusahaan di Indonesia.
Ketiga, Pentingnya Kustomisasi dan Industri 5.0. Perguruan tinggi di Indonesia perlu mengadopsi konsep Industri 5.0, yang menekankan pada “mass customization” (kustomisasi massal). Teknologi AI memungkinkan penyampaian pendidikan yang lebih terpersonalisasi, bahkan untuk skala besar, yang sebelumnya sulit dilakukan secara manual. Memanfaatkan bantuan AI, kustomisasi dalam skala besar dapat dilakukan dengan cepat dan efisien. Misalnya: pembuatan materi pembelajaran yang personal untuk setiap mahasiswa, berdasarkan kemampuan dan karakteristik individu. Juga, pengembangan soal dan evaluasi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan tingkat kemampuan mahasiswa.
Keempat, Kolaborasi Antar Kampus. Saat ini, kolaborasi antar perguruan tinggi belum terlalu dioptimalkan, termasuk dalam hal berbagi fasilitas. Contoh, kolaborasi terjadi pada konsolidasi beberapa kampus di bawah TelU (Telkom University) yang menggabungkan empat kampus. Kemungkinan untuk berbagi fasilitas antar kampus di lokasi berdekatan menjadi alternatif efisiensi, seperti di sekitar kawasan Kopertis IV, Ekuitas, USB, Widyatama, dan Itenas yang berdekatan. Pemerintah perlu mendorong kebijakan yang lebih tegas, tanpa mengurangi akses pendidikan, agar kolaborasi atau merger dapat terjadi dengan lebih efektif. Kebijakan pemerintah sebelumnya melarang pendirian kampus baru. Alternatif yang digunakan adalah akuisisi dan merger. Merger sebagai solusi untuk memperkuat kampus-kampus swasta yang tidak efisien.
Sehingga yang perlu diperhatikan perguruan tinggi adalah: harus mengadopsi teknologi terkini secara cepat untuk tetap relevan di era disrupsi teknologi; menyadari tentang peran industri 5.0 dan penerapan teknologi AI harus ditingkatkan dalam lingkungan akademik; fokus pada pengembangan program berbasis sosial dan humaniora yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat; serta peningkatan kapasitas: baik dalam jumlah mahasiswa maupun kualitas program studi, melalui optimalisasi sumber daya dan kolaborasi.
Adopsi teknologi mutakhir, fokus pada kustomisasi pendidikan, dan kolaborasi antar kampus adalah langkah penting bagi perguruan tinggi di Indonesia menghadapi tantangan global dan disrupsi teknologi di masa depan. Dukungan kebijakan yang tegas dan inovasi yang cepat akan menjadi kunci keberhasilan transformasi ini.
Pengalaman Pribadi, Disrupsi AI, dan Pendidikan Masa Depan
Diakhir diskusi kami berbincang pengalaman Prof. SUO dalam mendidik anak-anaknya, mengembangkan pemahaman tentang AI dan disrupsi, serta pengalamannya menulis buku AI dengan bahasa yang mudah dipahami.
Komunita: Prof. SUO, bisa diceritakan pengalaman dalam mendidik anak-anak, terutama dalam menghadapi disrupsi AI?
Prof. SUO: Saya selalu mencoba untuk menyiapkan anak-anak agar bisa menikmati disrupsi teknologi seperti AI, bukan hanya menghadapinya dengan rasa takut. Misalnya, anak-anak saya yang kembar, Aisyah dan Fatimah, keduanya kini sedang menempuh S2 di bidang AI di UGM. Saya memang sengaja mengarahkan mereka ke bidang ini, karena saya tahu bahwa AI adalah masa depan yang akan mengubah banyak hal. Di sisi lain, anak saya yang ketiga, Taslim, lebih tertarik pada Antropologi. Itulah kenapa saya ingin menggabungkan dua disiplin ilmu ini—AI dan Antropologi—untuk menghadapinya dengan perspektif yang lebih manusiawi.
Komunita: Ternyata Bapak sudah jauh-jauh hari menyiapkan mereka. Lalu, bagaimana pandangan Bapak tentang pentingnya memadukan sains teknik dengan sosial-humaniora?
Prof. SUO: Betul sekali. Sains teknik memang penting, tetapi saya merasa lebih penting lagi untuk mempersiapkan generasi yang memiliki pemahaman tentang humanisme. Anak ketiga saya, Taslim, adalah contoh bagaimana dia bisa mempelajari manusia lebih dalam, sesuatu yang tidak bisa diajarkan hanya dengan teknologi. Dari sinilah saya berpikir, kita bisa menikmati disrupsi dengan cara yang lebih manusiawi. Antropologi memberi kita cara melihat dunia yang berbeda, dan itulah yang sangat saya hargai. Saya belajar banyak darinya.
Komunita: Lalu, bagaimana perjalanan Bapak dalam menciptakan teknologi atau invensi seperti yang Bapak sebutkan sebelumnya?
Prof. SUO: Ya, saya menemukan konsep yang saya sebut “Scalable Universal Optimizer/SUO” pada 2021. Konsep ini sebenarnya mirip dengan quantum computing, tetapi dengan pendekatan yang lebih sederhana. Quantum computing mencoba menghitung seluruh kemungkinan, sedangkan SUO hanya mengambil sampel dari kemungkinan tersebut, yang menghasilkan output hampir sama dengan hasil perhitungan penuh. Ini bisa menyelesaikan masalah dalam waktu jauh lebih cepat, bahkan dalam hitungan menit, meskipun itu masih dalam tahap pengembangan dan belum saya publikasikan secara luas.
Komunita: Itu terdengar sangat luar biasa, Prof. Apakah ini terkait dengan pemahaman Bapak tentang AI dan disrupsi?
Prof. SUO: Semua ini berasal dari pengalaman pribadi saya, termasuk bagaimana anak-anak saya bermain atau berdebat. Dari situ saya menciptakan algoritma yang bisa menyelesaikan masalah besar, bahkan energi nasional, hanya dalam hitungan menit. Algoritma ini bisa menangani lebih dari 1.400 variabel. Ini benar-benar menunjukkan potensi luar biasa dari AI yang dapat mengubah banyak sektor dalam waktu yang sangat cepat.
Komunita: Sangat menarik, Prof. Jadi, AI bagi Bapak bukan hanya teknologi, tetapi juga sebuah pendekatan untuk memahami dan menyelesaikan masalah sosial?
Prof. SUO: Tepat sekali. AI memang sering dianggap hanya sebagai alat untuk mengoptimalkan proses teknis. Tetapi bagi saya, AI harus dikembangkan dengan memahami aspek sosial dan humanistiknya. Itu yang saya coba tanamkan kepada anak-anak saya. Saya ingin mereka memahami bahwa AI bisa digunakan untuk memperbaiki dunia, bukan hanya untuk kemajuan teknologi semata.
Komunita: Lalu, dalam perjalanan ini, bagaimana cara Bapak menulis buku dengan pendekatan yang lebih manusiawi, meskipun topiknya sangat teknis seperti AI?
Prof. SUO: Sebenarnya, menulis buku tentang AI dengan bahasa yang ringan memang tantangan tersendiri. Saya ditantang oleh seorang jurnalis membuat tulisan tentang AI yang bisa dipahami oleh orang awam, seolah-olah seperti novel. Pada awalnya saya terkejut, tapi kemudian saya teringat sejak muda saya memang suka membaca novel. Itu yang akhirnya menginspirasi saya menulis dengan cara yang berbeda. Buku saya yang pertama, yang berjudul Rollercoaster, saya selesaikan dalam waktu 60 jam tanpa bantuan AI. Saya ingin menyampaikan pengetahuan teknis dengan cara yang lebih emosional dan bisa dirasakan oleh pembaca, seperti rollercoaster yang penuh dengan perubahan suasana hati.
Komunita: Jadi, melalui buku yang saya terima ini, Bapak ingin menunjukkan bahwa teknologi dan humanisme bisa berjalan berdampingan?
Prof. SUO: Betul. Bahkan dalam penulisan buku ini, saya ingin pembaca merasakan emosi yang saya alami saat menulis. Ini bukan hanya tentang fakta dan data, tetapi juga tentang bagaimana kita menyelami dan meresapi perjalanan itu. Jadi, meskipun banyak orang yang berpikir AI adalah hal yang menakutkan, saya ingin menunjukkan bahwa dengan pendekatan yang tepat, kita bisa menikmati dan mengambil manfaat dari disrupsi ini.
Komunita: Luar biasa, Prof. Terima kasih atas wawancara dan diskusinya. Banyak insight yang sangat berguna bagi kita semua, terutama dalam menghadapai disrupsi di masa depan.
Itulah sekelumit diskusi dengan Prof. SUO melihat disrupsi teknologi, terutama AI, yang dipahami tidak hanya sebagai tantangan, tetapi juga peluang untuk menggabungkan ilmu pengetahuan dengan pemahaman humanistik. Dengan pengalaman mendalam di dunia akademik dan kehidupan keluarga, beliau menunjukkan bahwa cara kita menyikapi dan mengembangkan teknologi akan mempengaruhi masa depan yang lebih seimbang antara sains dan sosial.
Segmen terakhir ini dapat disimak lebih dalam pada dua buku novel yang bertema AI dan perjalanan hidup Prof. Suyanto atau SUO (SUO bermakna Scalable Universal Optimizer – yang merupakan inovasi kedua beliau di bidang AI). Inovasi pertama adalah Swarm Intelligence : Komodo Mlipir Algorithm (KMA). Buku novel pertama berjudul “Roller Coasteran (Bareng Pacar)”, novel kedua berjudul : “Maratonan (Bareng Pacar) – Cara Asyik Menikmati Disrupsi AI”.
(Interview & writing: lili irahali)