Sidang Pembaca yang budiman,
Membicarakan pendidikan memang tidak pernah ada habisnya. Dalam arti kata, pendidikan terkait dengan generasi penerus kita selaku individu, keluarga, kelompok masyarakat, lebih-lebih bangsa. Indonesia, sebagai bangsa dengan populasi penduduk terbesar ketiga, dengan ragam budaya & kebinekaan, serta tersebar dalam gugus kepulauan nusantara – seluas Eropa yang tersegmentasi dalam banyak negara bangsa – menjadi sangat esensial dan berurgensi tinggi. Meminjam definisi Primadi Tabrani bahwa : Pendidikan sebagai sarana masa depan harus mampu? menghasilkan generasi yang sekaligus rasional, kreatif, bugar, dan berkembang emosinya. Tentu tidak bisa kita nafikan.
Sementara realitas membuktikan proses pendidikan kita mengalami dehumanisasi dan de-kontekstualisasi, berorientasi kuantitatif sehingga proses pendidikan tidak menyentuh aspek mendalam kemanusiaan peserta didik, yaitu akal budi dan
spiritualitas.
Kita juga terjebak pada dogma daya saing yang melahirkan standarisasi dengan perilaku evaluasi sebagai tujuan
tertinggi. Padahal proses penyempurnaan kualitas pendidikan berkesinambungan dan terinternalisasi dalam perilaku lembaga
adalah tujuan pendidikan sesungguhnya, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Era 80-an kita pernah abai akan pentingnya pendidikan budi pekerti yang merupakan sisi kemanusiaan kita. Sehingga 34 tahun kemudian kita menuai dampak. Kini kita dikenal sebagai bangsa korup, tidak ramah, pemarah (amuk massal), mendahulukan kekerasan fisik, materialistik, permisif, lemah etika.
Boleh jadi kita telah melakukan apa yang terbaik dilakukan di era reformasi yang telah berjalan lebih dari 16 tahun, tetapi
masih banyak persoalan pendidikan yang belum terpecahkan. Karena itu reorientasi pendidikan kita harus dimulai dari apa yang kita miliki, kemudian kemana bangsa kita akan menuju. Kata mencerdaskan kehidupan bangsa yang termaktub dalam perudangan kita barangkali bisa sebagai pemicu bagi gerak pembangunan kembali pendidikan, kesejahteraan dan kebudayaan kita. Kita telah melupakan diri dalam mengelola potensi bangsa di bidang maritim dan agraris, mengelola keberagaman, kebinekaan dan toleransi dalam membangun pendidikan nasional. Kita abai terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan struktural dan politik pendidikan; operasional di lapangan; anggaran pendidikan; dan budaya pendidikan seperti disiplin, kejujuran (Kompas, 2 Mei 2014).
Jawaban positif sebagian masyarakat adalah pendidikan alternatif. Komunitas-komunitas masyarakat mengembangkan sekolah alam, sekolah kreatif, sahabat bumi, art therapy center sebagai sebagian jawaban persoalan di atas. Kreativitas pendidikan alternatif adalah upaya masyarakat memperkaya sistem pendidikan nasional kita. Gagasan, pemikiran dan idealisme mereka sepatutnya kita simak dalam isu utama majalah KOMUNITA ini. KOMUNITA juga menyajikan rubrik lain
seputar pendidikan, ekonomi & perbankan, kepemimpinan, ragam yang merupakan olah pikir civitas academica terkait dengan profesi masing-masing mensikapi masalah dari pandangan akademis dan kemasyarakatan.
Selain itu kami sajikan tulisan rehat berupa aktivitas Widyatama, tamu kita/profil, lifestyle yang bisa kita simak bersama. Semoga upaya ini menjadi pendorong etos kerja kita sebagai insan-insan yang kreatif dan inovatif. Vivat Widyatama, Vivat Civitas Academica, Vivat Indonesia dan Nusantara tercinta.
Redaksi – Lili Irahali