Menggugat? ?lulusan? ?pendidikan? ?tinggi bisa jadi sudah merupakan keharusan. Fenomena sarjana yang menganggur dan banyaknya penganggur usia muda yang secara potensi ?produktif ?adalah ?salah ?satu ?isu ?yang membutuhkan perhatian ekstra. Mereka harus diberdayakan dengan pekerjaan yang layak, serta diinvestasikan. Karena itu, pemerintah memang harus? ?menyediakan? ?lapangan? ?kerja? ?melalui kebijakan? ?industri? ?yang? ?mempertimbangkan karakteristik ?tenaga ?kerja ?lulusan ?perguruan tinggi dan berbasis pada kekuatan sumber daya domestik.? ?Namun,? ?terdapat? ?kecenderungan lulusan perguruan tinggi memiliki kesenjangan skill ?dikaitkan ?dengan ?kebutuhan ?pasar ?kerja, terutama? ?mencakup? ?kemampuan? ?berbahasa Inggris, kepemimpinan, solusi masalah, kreativitas dan technicall skill lainnya (Penelitian Emanuel Grapello ?et. ?all ?2011). ?Ini ?artinya, ?kekurangan skill ?lulusan ?pendidikan ?tinggi ?menyebabkan ketidakmampuan mereka meningkatkan produk? tivitas? ?mereka? ?sebagaimana? ?tuntutan? ?pasar kerja.? ?Konklusinya? ?masih? ?banyak? ?tantangan meningkatkan kualitas lulusan yang harus dijawab oleh perguruan tinggi.
Kalau dirunut proses pendidikan tinggi sejak penerimaan mahasiswa, proses pengajaran dan pembelajaran, sampai kelulusan masih sarat masalah. Berkembang perjokian tes masuk perguruan tinggi favorit, proses pendidikan dan pengajaran yang abai terhadap tujuan pendidikan karena hanya berbasis kurikulum dan nilai IPK yang miskin penanaman karakter, kecurangan akademis dengan perjokian tugas akhir, dosen berpredikat doktor yang miskin publikasi. Bahkan isu terbaru terungkap praktik jual beli ijazah yang diduga melibatkan 18 perguruan tinggi.
Ini menunjukkan indikasi perguruan tinggi yang berjumlah 3.000an makin hari cenderung abai terhadap tujuan pendidikan. UU Nomor 20 Tahun 2003 menegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk menemukan jati dirinya agar beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, ?kreatif dan mandiri. Bukan lulusan dengan sederet gelar kesarjanaan yang hampa ? rendah kompetensi keilmuan dan akhlak.
Siapakah yang berperan dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi dan lulusan sarjana yang menganggur? Mungkin tidak perlu mencari kambing hitam di tengah gejala masyarakat yang sedang mengalami problematik sosial sebagaimana disebut Randall Collins ?dalam buku The Credential Society: A Historical Sociology of Education and Stratification (1979). Dikatakannya : negara berkembang mengalami gejala kredentialisme, yaitu perilaku sosial yang cenderung legal-formalistik, kaku dan prosedural. Gejala ini lama kelamaan meninggalkan hakekat dan substansi tujuan pendidikan, padahal hakekat dan substansi lebih esensial dibanding formalitas. Sehingga saat ini gelar yang direpresentasi dengan selembar ijazah adalah supremasi tertinggi dalam menggapai sukses.
Menciptakan sistem pendidikan tinggi yang ber??mutu dan mampu melahirkan SDM berkualitas yang siap terjun ke dunia kerja sebenarnya telah lama menjadi bagian dari visi dan misi pemerintah cq. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti). Melalui kebijakan dan dinamika regulasi perguruan tinggi yang belum kondusif, Dikti mendorong perguruan tinggi meningkatkan kualitas pendidikan sejalan dengan dinamika masyarakat. Walau dalam pelaksanaannya sangat kaku, sehingga cenderung kurang memberi solusi pada realitas di lapangan yang beragam.
Tantangan yang dihadapi perguruan tinggi saat ini tak hanya dalam hal penyediaan lulusan atau SDM yang memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan tuntutan global, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Juga tuntutan membangun proses pendidikan berkualitas dengan memenuhi persyaratan akreditasi dan standardisasi kompetensi, sekaligus globalisasi pendidikan tinggi. Dengan demikian perguruan tinggi dituntut selalu dinamis sehingga lulusannya dapat memenuhi persyaratan pasar kerja.
Carreer Center dan ?treasure ?study ?adalah salah satu upaya yang digagas pemerintah ? melengkapi kebijakan-kebijakan peningkatan mutu pendidikan ? untuk menjembatani antara perguruan tinggi, lulusan dan dunia kerja ber- sinergi dalam dinamikanya masing-masing. Bagaimana carreer center perguruan tinggi dan perguruan tinggi memainkan peran tersebut ?
Dalam kaitan di atas Komunita mencoba me? motret permasalahan ketenagakerjaan, dan carreer center perguruan tinggi yang dimotori perguruan tingginya menjalankan peran di atas, serta apa yang melatar belakangi upaya pemerintah mendorong carreer center perguruan tinggi.
Komunita juga menyajikan rubrik lain, yaitu: makna bahasa, opini, seputar pendidikan Widyatama, buah pikir, ragam yang ?merupa- kan olah pikir civitas academica terkait de-ngan profesi masing-masing. Kali ini kami ungkap Teori Kebangkrutan, Menuju Teori Pertumbuhan Perusahaan, Audit SDM, dan Personal Brand. Selain itu, di tengah-tengah persaingan bisnis di era globalyangditandaidenganinovasidankreatifitas, serta semakin menipisnya nilai-nilai kemanusiaan kami angkat resensi buku The Lord of the Rings: The Two Towers. Juga tulisan rehat berupa aktivitas Widyatama, tren co-working yang diharapkan menambah energi kreatif, serta lifestyle, keindah- an batu akik sebagai kekayaan nusantara dan lawatan Tebing Keraton untuk relaksasi. Mari kita simak bersama.
Vivat Widyatama, Vivat Civitas Academica, Vivat
Indonesia dan Nusantara tercinta