Prof. Dr. Ratih Hurriyati, M.P., CSBA.
Guru Besar UPI, Wakil Direktur Bidang Sumber daya, Keuangan, dan Umum
Majalah Komunita: Perubahan iklim harus disikapi, apa maknanya
berkaitan dengan pendidikan tinggi dan kurikulum?
Prof. Ratih: The Brundtland Report mendefinisikan sustainable
development sebagai “development that meets the needs of the present
without compromising the ability of future generations to meet their own
needs” (United Nations 1987). Karena itu, penting bagi kita membantu
memastikan bahwa dunia akan terus mempunyai cukup air, material,
dan sumber daya lainnya untuk sistem kehidupannya. Hal ini juga
berarti setiap pembangunan harus memerlukan keseimbangan yang
baik antara kondisi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Sejak terbitnya
Laporan Brundtland, keberlanjutan telah menjadi salah satu perhatian
utama lembaga pemerintah, perusahaan, dan organisasi lainnya.
Deklarasi Stockholm tahun 1972 telah membahas tentang
Keberlanjutan dalam Pendidikan Tinggi. Deklarasi fokus pada menemukan cara agar
perguruan tinggi, pimpinan, dosen, peneliti, dan mahasiswa dapat menggunakan
sumber daya mereka dalam menanggapi tantangan dalam menyeimbangkan antara
upaya manusia untuk pembangunan ekonomi dan teknologi, dengan pelestarian
lingkungan. Foo (2013) menyatakan pendidikan tinggi merupakan kontributor besar bagi
masyarakat untuk mencapai keberlanjutan. Peneliti perguruan tinggi dapat memberikan
peringatan pertama mengenai tantangan lingkungan melalui riset mereka. Berdasarkan 2
hal tersebut maka pengembangan kurikulum, khususnya terkait kurikulum yang
mendukung keberlanjutan harus disesuaikan dengan 2 deklarasi tersebut.
Majalah Komunita: Urgensi mengintegrasikan keberlanjutan ke dalam kurikulum
perguruan tinggi saat ini?
Prof. Ratih: Memberikan landasan bagi pengembangan kurikulum sebagai perangkat
pendidikan yang terdiri dari tujuan, materi, kegiatan belajar dan lingkungan belajar yang
positif bagi perolehan pengalaman pembelajar yang relevan dengan perkembangan
personal dan sosial pembelajar (Ornstein & Hunkins, 2014, p. 128). Kurikulum harus
mampu mewariskan Pendidikan yang berkelanjutan dari satu generasi ke generasi
berikutnya di tengah terpaan pengaruh globalisasi yang terus mengikis eksistensi
kebudayaan lokal. Ascher dan Heffron (2010) menyatakan bahwa kita perlu memahami
pada kondisi seperti apa justru globalisasi memiliki dampak negatif terhadap praktik
Pendidikan keberlanjutan. Lebih jauh mereka menyampaikan bahwa kita perlu mengenali
aspek keberlanjutan untuk membentengi diri dari pengaruh globalisasi. Sejalan dengan
pendapat Plafreyman (2007) yang menyatakan bahwa masalah Pendidikan
berkelanjutan menjadi topik hangat di kalangan civitas academica di berbagai negara.
Dalam hal mana perguruan tinggi diharapkan mampu meramu antara kepentingan
memajukan proses pembelajaran yang berorientasi kepada kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi, dengan unsur keberlanjutan peserta didik.
Majalah Komunita: Menjabarkan “green curriculum” dan elemen utama yang harus ada di
dalamnya?
Prof. R a t i h : Berorientasi pada tindakan dengan memperhatikan empat konsep
elemen, yakni:
a. Memberdayakan: mendukung pemberdayaan, kemanjuran diri, dan agensi peserta didik
dengan meningkatkan keterampilan analitis, komunikasi, dan keterampilan lainnya, serta
dengan mendukung perolehan pengetahuan dan nilai-nilai yang relevan untuk
pembangunan berkelanjutan dan mengatasi perubahan iklim.
b. Berpusat pada peserta didik: pedagogi (misalnya pendekatan kritis, partisipatif,
berorientasi pada masalah, berpusat pada peserta didik, dan eksperiensial)
memungkinkan peserta didik berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran, terlibat
secara kritis dengan pengalaman pribadi dan lingkungan alami mereka, serta
membangun pemahaman mereka sendiri.
c. Terkait karier: menggabungkan praktik atau ide yang dapat diterapkan pada
pilihan karier dan praktik tempat kerja.
d. Transformatif: berkontribusi pada upaya kolektif di seluruh masyarakat, lokal, dan
global untuk mengubah perilaku manusia, sistem, dan penyebab mendasar serta
pendorong utama perubahan iklim.
Majalah Komunita: Bagaimana mengintegrasi konsep keberlanjutan secara efektif ke
dalam berbagai mata pelajaran di perguruan tinggi?
Prof. Ratih: Mengintegrasikan konsep berkelanjutan dengan mengedepankan konsep
kunci berikut:
a. Konten berkualitas
b. Akurat secara ilmiah: konten didasarkan pada bukti yang terkait dengan
perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan.
c. Menyampaikan urgensi: pendidikan penghijauan menekankan urgensi menangani
darurat iklim yang terus meningkat.
d. Sesuai usia dan perkembangan: konten responsif terhadap kemampuan anak dan
remaja yang terus berkembang seiring pertumbuhan mereka.
e. Dipengaruhi oleh masyarakat adat: pengetahuan dan perspektif masyarakat adat
dimasukkan dalam pendidikan, terutama dari kelompok masyarakat adat yang berbasis
di daerah setempat.
f. Seimbang: dimensi pembelajaran kognitif, sosial dan emosional, serta perilaku
ditangani secara seimbang untuk memastikan pendekatan holistik terhadap pendidikan
penghijauan.
Majalah Komunita: Tantangan utama perguruan tinggi dalam mengimplementasikan
green curriculum.
Prof. Ratih: Dunia menghadapi tantangan yang saling terkait dengan krisis iklim yang
membayangi sebagai ancaman eksistensial. Mengatasi tantangan ini diperlukan sistem
pendidikan yang tidak hanya mengakui realitas ini tetapi juga secara aktif mempersiapkan
individu menavigasinya dan berinovasi demi masa depan yang lebih berkelanjutan. Sistem
pendidikan nasional sering kali gagal membekali peserta didik mengatasi krisis iklim secara
efektif. Salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya tolok ukur yang jelas
mengembangkan kurikulum yang memberdayakan individu sebagai agen perubahan. Kita
perlu mendefinisikan apa arti sebenarnya dari pendidikan berkualitas untuk aksi hijau.
Mengacu pada kerangka kerja Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan
(ESD) untuk tahun 2030, negara-negara mengintegrasikan perubahan iklim sebagai
komponen kurikulum utama pada tahun 2030. Tujuannya adalah menanamkan pendidikan
perubahan iklim yang berkualitas secara konsisten di semua mata pelajaran.
Terdapat kerangka kerja fleksibel mendukung revisi kurikulum, yang
memungkinkan penyesuaian khusus konteks sambil mencapai tujuan pendidikan. Ini
dirancang untuk dilengkapi dengan sumber daya lain yang menerjemahkan hasil
pembelajaran dari panduan ini untuk pengembangan buku teks, pedagogi transformatif,
dan teknik penilaian. Melalui komitmen global untuk mengubah pendidikan, sehingga
dapat dipastikan bahwa semua lembaga pembelajaran secara efektif mempersiapkan
peserta didik mengatasi krisis iklim dan menciptakan solusi yang dibutuhkan
membangun masa depan yang berkelanjutan.
Majalah Komunita: Bagaimana mempersiapkan dosen dan tenaga pengajar dalam
mengadopsi dan mengimplementasikan green curriculum.
Prof. Ratih: Kurikulum pada tingkat ini harus memprioritaskan keterampilan berpikir tingkat
tinggi dari taksonomi Bloom dan menggabungkan pedagogi inovatif untuk menjelaskan
konsep-konsep kompleks secara efektif untuk memastikan pemahaman yang komprehensif
tentang ilmu dasar yang mendasari krisis iklim. Pada akhir tahap ini, peserta didik harus
mampu mengartikulasikan definisi yang jelas tentang perubahan iklim, penyebabnya,
mekanismenya, dan strategi mitigasi potensial yang didukung oleh bukti yang kuat.
Kurikulum harus mengintegrasikan diskusi tentang teknologi energi terbarukan dan
praktik berkelanjutan, seperti desain dan isolasi bangunan yang lebih baik, yang menyoroti
peran mereka dalam mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil dan mencapai emisi nol
bersih. Selain itu, peserta didik harus mengeksplorasi dampak buruk pengasaman laut dan
peningkatan suhu pada ekosistem laut, serta peran ganda kemajuan teknologi dalam
meningkatkan produksi pangan, sekaligus menimbulkan ancaman bagi keanekaragaman
hayati.
Penting menggarisbawahi dampak perubahan iklim yang semakin meningkat
terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistem di masa mendatang. Peserta didik harus
memahami bahwa krisis iklim berakar pada sistem ekonomi dan politik historis, yang
melanggengkan kesenjangan sosial dan ekonomi global. Ketidakadilan iklim memperkuat
ketidaksetaraan yang ada di berbagai tingkatan. Peserta didik harus mengeksplorasi
bagaimana kelompok tertentu kekurangan sumber daya untuk terlibat dalam kegiatan yang
lebih rendah polusi, dengan menekankan perlunya transisi yang adil menuju kesetaraan,
pemerataan, dan keberlanjutan. Untuk mencapai masa depan yang lebih hijau dan lebih
adil, semua pemangku kepentingan harus menerima tanggung jawab yang berbeda
berdasarkan keadilan sosial dan hak asasi manusia.
Kurikulum harus menyoroti peran gerakan sosial dan keterlibatan masyarakat dalam
mengadvokasi keadilan iklim dan menekan pemerintah memprioritaskan tindakan iklim.
Kurikulum harus menyoroti meningkatnya frekuensi dan tingkat keparahan peristiwa cuaca
dan bencana terkait perubahan iklim, dengan menggarisbawahi dampak ekonomi yang
signifikan.
Peserta didik harus membedakan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
berkelanjutan, dengan memahami bahwa pembangunan berkelanjutan mencakup
perubahan berkelanjutan untuk kesejahteraan secara keseluruhan. Mereka harus
menolak gagasan partum-buhan tak terbatas, dengan mengakui dampak merugikan dari
eksploitasi sumber daya yang tinggi terhadap manusia dan planet. Dengan demikian, perlu
ditekankan bahwa model pertumbuhan ekonomi dan pola konsumsi saat ini merupakan
pendorong krisis iklim.
Selain itu, kurikulum dapat menekankan pendekatan siklus hidup dalam ekonomi
sirkular, yang mempertimbangkan dampak lingkungan dari semua tahap kehidupan suatu
produk. Lebih jauh, mekanisme adaptasi dan mitigasi berfungsi sebagai alat untuk
mengurangi konsekuensi ekonomi yang merugikan dari perubahan iklim.
Pembelajar dapat mengeksplorasi hubungan antara pertumbuhan ekonomi, model
ekonomi yang berlaku, dan kontribusinya terhadap krisis iklim dari berbagai perspektif.
Dalam ranah sosial dan emosional, kurikulum harus membahas kecemasan iklim
sebagai kesempatan mengembangkan kesadaran emosional dan strategi penanggulangan.
Pembelajar harus membedakan antara emosi seperti kesedihan, kemarahan, ketakutan,
dan rasa bersalah yang berasal dari masalah iklim dan berempati dengan diri mereka sendiri
dan orang lain yang mengalami perasaan tersebut.
Majalah Komunita: Langkah-langkah konkret perguruan tinggi mengatasi tantangan
ini, baik dalam jangka pendek maupun panjang.
Prof. Ratih: Langkah konkrit jangka pendek. Terbentuknya domain awal dari pembelajaran
green curriculum, yakni:
a. Aspek Kognitif: memperoleh pengetahuan dan pemahaman, serta mempraktikkan
pemikiran kritis tentang isu-isu global, regional, nasional, dan lokal; keterkaitan dan saling
ketergantungan berbagai negara dan populasi; serta aspek sosial, ekonomi, dan
lingkungan dari pembangunan berkelanjutan.
b. Aspek Sosial dan Emosional: memiliki rasa memiliki terhadap kemanusiaan yang
sama dan peduli terhadap lingkungan alam; berbagi nilai dan tanggung jawab lintas
batas; memiliki empati, solidaritas, dan rasa hormat terhadap perbedaan dan
keberagaman; serta merasakan, merefleksikan, dan memikul rasa tanggung jawab
antargenerasi untuk masa kini dan masa depan.
c. Aspek Perilaku: bertindak secara efektif, kreatif, dan bertanggung jawab di tingkat lokal,
nasional, dan global untuk mempromosikan dunia yang lebih damai, inklusif, hijau, dan
berkelanjutan. Domain ini memelihara kemampuan peserta didik bertindak secara
bertanggung jawab, penuh kasih sayang, penuh rasa hormat, dan tanpa kekerasan,
membangun hubungan yang konstruktif dan berkelanjutan. Dimensi ini juga merujuk
pada kompetensi tindakan, seperti berpartisipasi secara konstruktif dalam proyek
komunitas (lokal atau global) yang mempromosikan pembangunan berkelanjutan di
lingkungan sekitar seseorang dan sekitarnya. Terakhir, dimensi perilaku membantu
peserta didik menerapkan pembelajaran mereka sesuai dengan norma komunitas lokal
atau standar masyarakat yang lebih luas.
Untuk jangka Panjang, masih diperlukan penelitian yang mendasar dan signifikan
terutama untuk Indonesia.
Majalah Komunita: Dampak jangka panjang dari green curriculum terhadap kualitas
lulusan dan kontribusi mereka terhadap keberlanjutan global.
Prof. Ratih: Melalui green curriculum menumbuhkan harapan dan mengenali potensi
tindakan kolektif dan individu untuk mengatasi tantangan iklim. Karena green curriculum
berfokus pada tindakan peserta didik mendorong penerjemahan pengetahuan kognitif
menjadi hasil perilaku. Ini dapat mencakup perilaku baru yang diadopsi oleh individu,
penggunaan bakat mereka (misalnya komunikasi, ekspresi artistik, dll.) untuk menyoroti isu-
isu kritis, partisipasi dalam acara advokasi pemuda, dan proyek-proyek komunitas.
Sehingga Pendidikan yang berkelanjutan dapat terrealisasi.
Majalah Komunita: Green curriculum dapat membantu menciptakan pemimpin masa
depan yang lebih peduli terhadap lingkungan?
Prof. Ratih: Perlu pengukuran dan model ilmiah menggunakan data iklim untuk
memprediksi masa depan alternatif. Metode ilmiah juga mendukung pemahaman kita
tentang dampak perubahan iklim
pada ekosistem dan keanekaragaman hayati. Pemahaman yang jelas tentang sains dan
bukti fundamental dapat membantu hasil peserta didik yang dapat memerangi
misinformasi, agar diberdayakan untuk terlibat aktif dalam transformasi sosial dan ekonomi
yang ramah lingkungan, dan untuk mengadopsi gaya hidup yang berkelanjutan.
Penting bagi peserta didik menyadari upaya yang dilakukan di seluruh dunia oleh
para ilmuwan dan insinyur menemukan cara mengurangi pemanasan global dan
beradaptasi dengan perubahan iklim. Ini memberikan jalan harapan. Namun, peserta didik
perlu menyadari tantangan dan peluang yang lebih luas. Mereka memang harus mampu
memadukan apa yang mereka pelajari tentang proyeksi iklim dengan solusi dari ilmu fisika
dan ilmu biologi. Yang sama pentingnya, peserta didik harus membangun tinjauan
multidisiplin dan holistik, yang menghubungkan sains, sosial, dan ekonomi.
Pemodelan perubahan iklim menunjukkan perlunya tindakan segera membatasi
kecepatan dan tingkat pemanasan global. Ilmu pengetahuan dan teknologi dimanfaatkan
untuk menemukan pendekatan baru bagi keberlanjutan. Energi terbarukan, misalnya,
menawarkan janji menggantikan bahan bakar fosil guna memenuhi kebutuhan energi gaya
hidup modern.
Pertanian berkelanjutan dapat membantu memulihkan ekosistem dan
melindungi keanekaragaman hayati. Memperkuat kesiapsiagaan dan ketahanan terhadap
perubahan iklim, baik untuk mengurangi risiko bencana maupun kecemasan ekologi,
dapat ditangani melalui tindakan positif terhadap isu iklim yang relevan bagi peserta didik.
Tindakan masyarakat memastikan pengambilan keputusan kolektif tentang kebijakan
mengurangi, beradaptasi, dan menjadi tangguh terhadap perubahan iklim.
Majalah Komunita: Harapan, saran atau rekomendasi yang ingin disampaikan kepada
pemerintah atau lembaga pendidikan terkait pentingnya mengadopsi green curriculum.
Prof. Ratih:
Harapan bahwa setiap perubahan kurikulum dapat mengantisipasi perubahan sesuai
dengan SDGs 2045. Ada dua saran atau rekomendasi:
a. Kebijakan pendidikan ramah lingkungan memperoleh legitimasi jika dikaitkan
dengan prioritas pendidikan nasional (Benavot, 2014). Meskipun ada kebutuhan yang
jelas dan mendesak akan peran penting yang dimainkan pendidikan dalam krisis iklim,
banyak negara masih menghadapi tantangan. Ada banyak alasan untuk ini, termasuk
tidak adanya contoh kurikulum; kurikulum yang terlalu padat; persepsi bahwa perubahan
iklim hanya sesuai untuk ilmu pengetahuan alam atau geografi; dan kurangnya
kapasitas guru untuk mengatasi masalah terkait.
b. Selain itu, beberapa negara memiliki sistem pendidikan federalis yang
terdesentralisasi yang menambah lapisan kompleksitas tambahan dalam
mengorganisasi upaya reformasi pendidikan yang terkoordinasi secara nasional. Penting
untuk mengatasi hambatan ini dengan memasukkan pendidikan ramah lingkungan
dalam program pendidikan.
Inreview by: Keni Kaniawati; Editing by Lili Irahali, dari berbagai sumber)