Kakao = Cokelat
Potensi Komoditas, dan Olahan
Kakao adalah bahan bakunya, produk olahannya adalah cokelat. Kakao terbaik salah satunya dari Indonesia, “kakao mulia” namanya yang dibudidaya di Perkebunan Banyuwangi Jawa Timur. Namun, cokelat (kakao olahan) terbaik masih berasal dari Swiss. Apakah ini tantangan?
Produk olahan kakao atau disebut cokelat, juga kuliner berbahan baku cokelat bagi orang Indonesia belum menjadi keseharian. Coba kita ingat olahan cokelat yang sering kita jumpai sebagai kudapan: minuman cokelat hangat atau dingin, cokelat dalam bentuk batangan atau lainnya yang dibuat lokal GuSant (Blitar) Krakatoa (Jakarta), Soklat Inyong (Purwokerto, Banyumas), Cokodot (Garut), Wonder Chocolate, Pod Cokelat (Bali), Fondre (Jember), Cokelat Mojopahit (Jember), Soklate, Cokelat Monggo (Jogja), atau Moodco (Malang). Juga olahan tepung terigu, casava ataupun beras yang dilengkapi cokelat semisal: roti cokelat, martabak cokelat, bakpia cokelat, dadar gulung cokelat, kue pukis cokelat, putu ayu cokelat, kue lapis cokelat. Sekarang trendi brownies kukus Amanda dari Bandung yang kuat olahan cokelatnya dengan aneka variasi. Sementara minuman cokelat, susu cokelat masih kalah jauh dengan kopi yang ada di mana-mana dan sebagai konsumsi harian, padahal kemasan bubuk cokelat tersedia. Memang kini, kalau kita perhatikan olahan kuliner di atas yang dilengkapi cokelat sudah menjadi kudapan orang Indonesia. Apakah masih peluang? Bisa jadi. Tergantung para wirausaha muda.
Potensi Komoditas dan Olahan
Sejarah tanaman kakao Indonesia, berasal dari Filipina pada tahun 1560 yang dibawa pelaut Spanyol. Kakao pertama kali masuk melalui kota Minahasa – Sulawesi Utara, selanjutnya dibudidayakan di pulau Jawa, dan tahun1938 di era Hindia Belanda tananam kakao dikembangkan di perkebunan. Tahun 1980 produksi kakao berkembang dan Indonesia tercatat sebagai penghasil kakao terbesar ketiga di dunia.
Tahun 2019 volume ekspor komoditas biji kakao Indonesia mencapai 358,48 ribu ton atau senilai 1.129 ribu dolar AS. Sementara sentra produksi kakao Indonesia sekitar 783.978 ton dari luas area tanaman 1.678.269 hektar dengan produksi tersebar di 33 provinsi. Sulawesi Tenggara produksi 137.737 ton (18 %), Sulawesi Tengah 127.669 ton (16 %), Sulawesi Selatan 118.775 ton (15 %) Sulawesi Barat 71.543 ton (9 %) Sumatera Barat 58.582 ton (8 %), sisanya 28 provinsi menyumbang 33 %.
Komoditas biji kakao Indonesia terdapat 3 jenis, yakni criollo, forastero, dan trinitario dengan kualitas dan kekhasan yang berbeda. Perbedaan jenis kakao memiliki beragam kualitas dengan kekhasan aroma, rasa, dan khasiatnya yang sekaligus mempengaruhi nilai ekonominya. Industri pengolahan kakao Indonesia dalam 3 tahun terakhir meningkat dari 483.000 ton/tahun di tahun 2018, 487.000 ton di tahun 2019 dan di tahun 2020 mencapai 500.000 ton/tahun. Namun pasokan biji kakao dalam negeri baru mampu memenuhi sekitar 45,66 % atau 196.787 ton terhadap industri pengolahan kakao nasional, sisanya justru diisi atau impor dari negara lain. Pasokan biji kakao dalam negeri yang akan diolah menjadi bahan baku industri pengolahan sebagian besar tidak melalui proses fermentasi, atau fermentasinya kurang sempurna.
Produk kakao baik berupa biji, olahan (semisal: cocoa liquor, cocoa cake, cocoa butter, cocoa powder), hingga produk cokelat menyumbang pendapatan ekspor. Peluang melebarkan di pasar global sangat terbuka. Karakteristik biji kakao Indonesia memiliki titik leleh tinggi dan kaya kandungan lemak sehingga industri pengolahan kakao menghasilkan produk berkualitas tinggi baik dari segi aroma, rasa, maupun manfaat kesehatan.
Olahan kakao yang sudah terstandadisasi diantaranya cocoa liquor cocoa cake cocoa butter dan cocoa powder. Kualitas produk olahan kakao Indonesia cukup terkenal di luar negeri. Produk industri pengolahan ini lebih 80 % diekspor ke Malaysia India, Cina, Belanda dan Amerika Serikat. Dan ini memberikan nilai devisa yang semakin meningkat, pada periode Januari – Juni 2020 mencapai 549 juta dolar AS meningkat 5,13 % dibanding periode sama di tahun sebelumnya. Sementara yang 20 % untuk pasar dalam negeri, karena saat ini pertumbuhan konsumsi cokelat di Indonesia masih sekitar 5,9 %. Bila dibandingkan dengan negara Swiss yang merupakan produsen cokelat terbaik karena didukung konsumsi cokelatnya mencapai 8,4 kg/kepala/tahun, sementara Indonesia baru 0,3 kg/kepala/tahun.
Kondisi tersebut menjadikan di dalam negeri cokelat bukan produk yang banyak dikonsumsi orang sebagaimana halnya kopi dan teh yang dikonsumsi hampir di setiap kesempatan. Minum cokelat belum menjadi keseharian. Walau demikian olahan kudapan lain dengan dilengkapi cokelat banyak kita jumpai dan melengkapi variasi kudapan tradisional Indonesia. Seperti roti cokelat, martabak cokelat, bakpia cokelat, dadar gulung cokelat, kue pukis cokelat, putu ayu cokelat, kue lapis cokelat. Atau apalagi, silakan berkreasi. Semoga cokelat terus berkontribusi bagi perekonomian Indonesia baik untuk konsumsi dalam negeri maupun sebagai poduk ekspor. (@lee – dari berbagai sumber)