Kemandirian Belajar Masa Pandemi: Ujian Bagi Indonesia dan Exit Strategy yang Tersedia
Oleh: Bachrudin Musthafa, Guru Besar Literasi UPI Bandung
Hiruk-pikuk kehidupan di seantero bumi ini tiba-tiba dibuat gaduh dan kemudian senyap oleh wabah berskala global yang kemudian kita kenal dengan istilah corona virus. Di Indonesia saja, sebagai contoh kasus, wabah yang telah merenggut jutaan nyawa sumberdaya manusia produktif ini telah menyentakkan kita dari apa yang selama ini kita impikan dan mungkin telah menjadi obsesi kita.
Dalam suasana semacam ini Komunita menurunkan tajuk utama penting: “Pandemi Covid-19– Degradasi, Resiliensi dan Equibrium PT” dan “Merawat Kualitas Pendidikan Tinggi di Tengah Pandemi Covid-19”. Dibaca dengan cara menyandingkan kedua tajuk utama ini dalam satu halaman yang sama memaksa fokus perhatian kita membagi diri ke dalam dua tahapan. Tahap pertama mengaji dampak sapuan wabah terhadap keadaan kolektif kita sebagai negara-bangsa; tahap ke dua mereka-reka pemahaman terhadap keadaan dan kemudian berusaha merancang strategi untuk bangkit membangun kembali sumberdaya dan fasilitas yang masih tersisa.
Menuruti alur pemahaman di atas, artikel singkat ini akan mengangkat beberapa catatan dan mengajukan sejumlah gagasan pemberdayaan agar kita sebagai negara-bangsa tidak “terkubur” dalam “mimpi buruk” yang membuat kita secara kolektif lemas dan tak berdaya.
Pertama, sebagai basis bagi pemikitan kita bersama, ide-ide pokok dari narasumber yang dihadirkan Komunita akan diringkaskan, kemudian diikuti komentar reflektif agar gagasan penting yang dikatakannya dapat mengendap ke dalam kesadaran. Tokoh yang mendapatkan giliran bicara pada Komunitas edisi (Agustus/September 2021) ini termasuk Rektor Unpar (Prof. Situmorang, PhD), Prof. Harits Nu’man PhD. (Wakil Rektor Unisba), Prof. Meilinda Nurbanasari, PhD. (Rektor ITENAS), Dr. Cahyat Rohyana (Ketua YPBPI), Prof. Asep Effendi – Rektor Universitas Sangga Buana (USB), dan Dr. Sugianto (Wakil Rektor IKOPIN). Dari rektorat Unpar tercatat isu penting yang merisaukan terkait kualitas hasil belajar mahasiswa pada awal-awal pandemi ini mengesankan “seadanya” dan tanpa kedalaman. Dari pimpinan Unisba tercatat adanya tantangan “memelekkan teknologi” tenaga pengajar angkatan lama sekaitan dengan tuntutan kebutuhan menyediakan pembelajaran synchronous dan pengajaran a-syncronous karena kebutuhan diversifikasi pembelajaran yang dipaksa berubah oleh keadaan masa pandemi ini. Dari Rektor ITENAS terbaca tantangan besar dari sisi dana pengembangan untuk membuat kampus ini 100% digitalized dengan berbagai rentetan konsekuensi yang menyertainya. Pimpinan Yayasan Pendidikan Bhakti Pos Indonesia, dalam situasi pandemi yang melumpuhkan ini meyakini bahwa pendidikan harus mampu mengantarkan mahasiswanya sejalan dengan derap usaha dan dinamika industri menghadapi Industry 4.0. Sejalan dengan itu, Rektor Universitas Sangga Buana (USB) menghadapai tantangan ekstra penting dalam memastikan keajegan kompetensi lulusan yang hendak dicapai dan konsistensi tatakelola kepemimpinan perguruan tinggi. Terakhir, dari pimpinan IKOPIN tercatat gagasan dan tekad bahwa “pandemi adalah pemicu dan pemacu yang menyadarkan kita”: bahwa kita harus berubah ke arah yang lebih baik: lebih proaktif, kreatif, dan memberdayakan.
Dari paparan gagasan pimpinan perguruan tinggi dan yayasan pengelola pendidikan yang menyertainya kita dapat menangkap dengan jelas bahwa—dalam ketakpastian sekalipun—layanan pendidikan harus tetap ditingkatkan dan dipastikan efektivitas dan efesiensinya.
Bagaimana caranya? Itulah tantangan terbesar yang diakui para pimpinan perguruan tinggi yang merupakan narasumber Komunita kali ini.
Sisa ruangan yang terbatas pada esei ini akan difokuskan pada gagasan pemberdayaan kemandirian sebagai cara strategis untuk membuat mahasiswa Indonesia mulai mengambil porsi tanggungjawab sebagai pembelajar yang menitipkan nasib-peruntungan masa depannya ke kampus-kampus yang dipilihnya sebagai tempat belajar. Dapatkah mahasiswa kita mengubah elan perjuangannya ke arah yang lebih mandiri, strategis, dan berdaya?
Jawabnya positif asalkan persyaratan-persyaratan prosesnya dipenuhi. Di bawah ini beberapa keniscayaan yang telah terbukti mewujud dalam pengalaman dan pengamatan saya selama puluhan tahun mengajar di perguruan tinggi.
Pertama, dari masa kanak-kanak, anak-anak Indonesia harus dibiasakan memilih dan belajar menghayati konsekuensi pilihannya. Hal ini berlaku untuk semua hal yang wajar untuk dijadikan pilihan. Tidak tersedia jalan pintas dan dilarang mengambil jalan melanggar hukum.
Dari pengalaman beberapa puluh tahun mengajar di jenjang S1, jenjang S2, dan Jenjang S3 di beberapa perguruan tinggi di Bandung selama ini, setiap jenjang pembelajaran ini memiliki kelemahan yang beraneka dan kelemahan yang sangat menonjol adalah kemampuan memahami diri-sendiri, khususnya yang bertalian dengan apa yang diinginkannya dan apa yang telah dilakukan untuk mencapai apa yang diinginkannya. Misalnya, ketika hal ini dikontekstualisasikan ke dalam masalah “penelitian” masalah ini sangat kentara. Contoh: Riset apa yang ingin dilakukannya untuk projek skripsi untuk jenjang S1? Apa yang ingin diteliti untuk tugas akhir thesis jenjang S2 yang akan dilakukannya? Dan topik dan jenis riset apa yang ingin dilakukannya untuk penelitian disertasi S3 yang hendak diselesaikannya? Pertanyaan sederhana dan wajar ini, lebih dari 90 persennya tak dapat dijawab oleh mahasiswa di Indonesia.
Kedua, berkaitan dengan kebiasaan memilih adalah pemberian opsi pilihan, utamanya ketika berhadapan dengan sesuatu keputusan penting semisal mau memiliki keahlian apa setamat kuliah nanti? Ingin memiliki keterampilan apa selepas mempelajari matakuliah tertentu nanti? Kebiasaan memilih semacam ini penting untuk menumbuhkan sense of direction yang merupakan prasyarat bagi kemampuan merencanakan sesuatu yang penting (being planful). Keterampilan “lunak” jenis ini strategis untuk dibekalkan kepada pembelajar/mahasiswa supaya mereka memiliki arah yang memandu geraknya dari momen yang satu ke momen yang lainnya.
Ketiga, gambaran “orang baik” di kampus-kampus Indonesia perlu juga dikaji-ulang dan didefinisikan kembali. Mahasiswa yang baik itu seperti apa? Apa yang membuat seseorang menjadi mahasiswa teladan? Profil kepribadian seperti apa yang dianggap unggul di kampus-kampus di Indonesia? Seperti apa sifat, kebiasaan, dan kualitas etos kerja mahasiswa “teladan” yang membawanya sukses secara akademik dan sukes secara sosial?
Hal ini sangat penting digarisbawahi bahwa nyaris semua hal yang berkaitan dengan atribut-atribut penting “keteladanan” seseorang itu dapat diciptakan dan bukan sifat bawaan adikodrati. Kalau kita dapat melihat semua ini sebagai masalah pilihan, maka semuanya menjadi “mungkin” dan menjadi “masalah pilihan”.
Ke empat, akui bahwa ada faktor kecenderungan minat seseorang ke arah bidang tertentu dan kecenderungan itu dapat merupakan bonus penting bagi pilihan karir tertentu. Akan tetapi, seperti dikatakan Albert Einstein tempo doeloe, akhirnya kerjakeras akan mengalahkan bakat.
Ke lima, anak-anak Indonesia—juga mahasiswa S1, S2, dan S3—harus sering diingatkan bahwa mereka, masing-masingnya, merupakan penentu utama yang akan menentukan masadepannya akan seperti apa, dan menjadi apa. Hal ini penting disadari bahwa, dalam banyak konteks, urut-urutan peringkat prestasi dalam banyak bidang masih terbuka untuk semua orang. Termasuk untuk mahasiswa S1, S2, dan S3 dari Indonesia.
Selamat mengenali diri dan mengatur strategi pengembangan diri selagi hayat dikandung badan. Selamat menyibak jalan hijrah ke arah yang lebih baik dan berkah.
Insya Allah berhasil.
*****