Marzuki Alie , Ph.D, Ketua DPR RI periode 2009-2014 mengatakan bahwa masalah pendidikan , khususnya pendidikan tinggi di Indonesia adalah diskusi yang tidak pernah selesai dibahas. Sebab, masalah pendidikan adalah masalah yang amat mendasar dan berkait erat dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk sumberdaya manusia Indonesia seutuhnya . Dikatakannya , semenjak era kemerdekaan , pengalaman Indonesia dalam pengelolaan pendidikan tinggi telah berjalan sekitar 63 tahun, yakni dimulai tahun 1949-1950 dimana Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Indonesia (UI) merupakan perguruan tinggi (PT} pertama berdiri. Universitas Gadjah Mada adalah univeristas negeri tertua , yang didirikan 19 Desember 1949 dan merupakan PT pertama setelah Indonesia merdeka. Sedangkan Universitas Indonesia memiliki sejarah lebih panjang, yaitu 1849 sebagai Dokter-Djawa School dan berubah menjadi Universiteit Indonesia pada tahun 1950. Pendidikan tinggi di Indonesia makin eksis dan berkembang, dimulai dari hanya memiliki 200 mahasiswa pada pasca Perang Dunia II, sampai sekarang berjumlah sekitar 4,3 juta mahasiswa dengan kurang lebih 155.000 dosen, tersebar pada 83 universitas negeri (2,7%) dan 2.987(97 ,3%) perguruan tinggi swasta. Dalam interval perjalanan panjang itu, PT menghadapi berbagai masalah dan tantangan yang tidak sama dari masa ke masa. Tapi masalah mendasar yang dihadapi PT adalah problem relevansi dan mutu yang belum menggembirakan .
Pendidikan tinggi belum bisa menjadi faktor penting yang mampu melahirkan enterpreneur dengan orientasi job creating dan kemandirian. Pengangguran terdidik dari hasil pendidikan terus bertambah , problem pengabdian masyarakat dimana PT tersebut berada dirasa kurang responsif, dan berkontribusi terhadap problem masyarakat. PT juga belum sepenuhnya mampu melahirkan lulusan yang memiliki akhlak mulia dan karakter yang kuat. Apakah akar masalahnya berada pada kurikulum dan literatur yang diberikan yang tidak terkoordinasi , akreditasi kelembagaan yang tidak terukur, tenaga pendidik yang belum terakreditas i, atau masalah lainnya. Ditegaskan Marzuki bahwa : setidaknya kendala mendasar dalam dunia pendidikan tinggi yaitu: Pertama, masih rendahnya kualitas pendidik. Kedua, belum memadainya fasilitas pendidikan . Ketiga, masalah efektivitas pendidikan. Keempat, mahalnya biaya pendidikan. Kelima, masalah pengangguran terdidik. Keenam, link and match antara pendidikan tinggi dan kebutuhan akan sumberdaya manusia di lapangan kerja.
Akhirnya perjalanan dunia pendidikan tinggi dengan berbagai tantangannya tersebut memiliki satu pertanyaan mendasar, yang bisa juga dikatakan sebagai ekspektasi, yang selalu ditanyakan masyarakat yaitu: “apa yang telah dikontribusikan PT untuk mencerdaskan kehidupan bangsa?” ltulah keresahan Marzuki Alie dan tentunya kita semua.
Perjalanan lebih dari setengah abad ternyata belum menjadikan pendidikan tinggi kita mendekati harapan semua pihak. Setelah hampir empat tahun UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi , lalu Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan, Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi , serta Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi diundangkan dan disosialisasikan , akhirnya dengan tidak memandang tinjauan historis terhadap sekitar 4,600 perguruan tinggi yang ada, Kemenristekdikti mengeluarkan teguran keras terhadap 243 perguruan tinggi , sebagaimana dikutip dari www.kopertis12 .or.id. Teguran berupa “penon? aktifan”. Jumlah ini tampaknya sudah melalui pantauan fakta di lapangan serta pertimbangan dalam rangka pembinaan dan peningkatan mutu pendidikan dan perguruan tinggi, sebagaimana diamanatkan undang? undang dan peraturan yang berlaku.
Sekretaris Jenderal Pendidikan Tinggi ,Ainun Nairn menegaskan, bahwa penon-aktifan ratusan PT telah berdasarkan standar konkret sesuai peraturan yang ada. “Semuanya sudah sesuai peraturan. Banyak faktor yang menyebabkan perguruan tinggi diberi status non-aktif. Lebih tegas, Ainun menambahkan, bahwa status non-aktif PT tersebut bisa dicabut asalkan PT yang bersangkutan menyelesaikan berbagai masalahnya sesuai rekomendasi Dikti.
Cut Off menuju Kualitas ?
Teguran Kemenristekdikti di alas disebabkan 243 PT non-aktif tersebut melakukan berbagai jenis pelanggaran, yakni : Masalah laporan Akademik , Masalah Nisbah Dosen/Mahasiswa , Masalah Pelanggaran Peraturan Perundang-undangan , PDD/PJJ tanpa izin (kelas jauh), – Prodi/PT tanpa izin, Penyelenggaraan kelas Sabtu-Minggu , Jumlah mahasiswa over kuota (Prodi Kesehatan/kedokteran/dll) , ljasah palsu/gelar palsu, Masalah Sengketa/Konflik internal, Kasus mahasiswa, Kasus Dosen (mis. dosen status ganda), Pemindahan/pengal ihan mahasiswa tanpa ijin Kopertis.
Minim Sosialisasi ?
Sementara itu, Ketua Yayasan Widyaswara Indonesia Muaralabuh, Zulfahmidi (6 Okt 15, Padang Aro) – menilai pemerintah gegabah dalam membekukan 243 PT, sebab tidak mengawali dengan arahan untuk perbaikan . “Seharusnya sebelum menon-aktifkan , pemerintah meninjau kekurangan dan kesalahan PT tersebut. Bila ada kekurangan dan kesalahan, berikan koreksi serta langkah yang harus ditempuh oleh sebuah PT atau yayasan. Setelah itu dilakukan ,jika masih tidak diindahkan baru dilakukan penon-aktifan ,” katanya. Dia menyebutkan , hingga kini masih belum mengerti apa sebabnya yayasannya maupun 243 PTlainnya tersebut dinon-aktifkan pemerintah.
Demikian juga, Wakil Ketua Umum PAN, Didik J Rachbini menilai kebijakan Kemenristekdikti menonaktifan 243 perguruan tinggi PT itu merupakan kebijakan publik yang patut dipertanyakan. Karena akibat kebijakan tersebut ribuan mahasiswa saat ini tak memiliki kampus. “Kemenristekdikti harus membatalkan hukuman yang tidak bertangung jawab dan memberangus seperti ini,” kata Didik, di Jakarta , Jumat (2/10/2015). Menurut Didik, seharusnya Kemenristekdikti mengasuh, membina dan membimbing kampus yang diduga bermasalah. Kalau kurang dosen dibantu, mengasuh, membimbing, membina.
Tidak bisa lalu disikat habis. Jadi semangat kementerian sekarang ini menghukum, padahal seharus membina dan mengembangkan . Kalau ada yang jual beli ijazah itu kriminal, itu yang ditangkap, ” ujarnya . Gubernur Jawa Baral, Ahmad Heryawan memuji keputusan Kemenristekdikti menon-aktifkan 27 PT di Jawa Baral. Langkah itu sebagai momen perbaikan mutu pendidikan supaya lulusannya berkualitas. “Saya memandang apa yang dilakukan Kemenristekdikti itu dalam rangka perbaikan, agar mahasiswa yang kuliah di tempat tersebut terjamin legalitas dan kualitasnya”(7/10) .
Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil mengapresiasi langkah Kemenristekdikti menon-aktifkan 243 PT, di antaranya di Kota Bandung. Pembekuan sementara PT bermasalah sebagai langkah perbaikan mutu pendidikan di Indonesia. “Saya mah senang saja karena kita melindungi mahasiswa yang terkelabui dengan sistem yang tidak benar,” katanya di Bandung, Jumat (9/10). Pemerintah dengan kondisi ini memang harus hadir melindungi nasib mahasiswa yang sudah mengenyam pendidikan. Jangan sampai waktu yang sudah ditempuh justru berujung ketidakjelasan di PT tersebut. “Menurut saya Pak Menteri ini bagus inovasi, penertiban, ketegasan,” ungkapnya.
Sekjen APTISI Wilayah Ill OKI Jakarta, Prof. Dr Raihan M.Si, penon-aktifan tersebut tidaklah etis, dan hendaknya dapat ditinjau ulang. Selaku praktisi yang juga terlibat dalam Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Wilayah Ill Jakarta , kami prihatin dengan keputusan tersebut. APTISI Wilayah Ill telah menyampaikan kepada seluruh PTS di Jakarta, bahwa kita menentang segala bentuk pelanggaran prosedur penyelenggaraan akademik. Dan kita menentang keras jika ada oknum PTS di Jakarta yang memperjual belikan ijasah palsu, maupun jika ada yang mencederai nilai-nilai luhur pendidikan. Namun demikian seharusnya Kemenristekdikti juga sadar, bahwa segelintir PT yang melakukan pelanggaran tersebut, adalah dari ekses kurangnya pembinaan, kurangnya kepedulian, dan kurangnya kepekaan terhadap permasalahan di PTS, dan Kemenristekdikti hadir sebagai sebuah kekuatan besar, membuat regulasi sekaligus operator dan merangkap pengawas dunia pendidikan tinggi Indonesia.
Mestinya Kemenristekdikti harus peka melihat PT, karena banyak keluhan. Salah satunya masalah ijin yang hingga dua tahun tidak ada jawaban, sementara didalamnya ada mahasiswa, dosen maupun karyawan. Penon-aktifan sejumlah PT tersebut harus ditinjau ulang dan dievaluasi kembali yang tentunya harus lebih mengedepankan aspek pembinaan, yang berkaitan memanggil seluruh perguruan tinggi yang terkena regulasi atau aturan tersebut. Prof. Raihan menilai bahwa yang terkena pennon-aktifan tersebut tidak semuanya tidak etis. Bagi sebuah proses pendidikan tinggi, karena dari laporan anggota APTISI , banyak prosedur? prosedur yang hingga kini belum ada jawaban dari Kemenristekdikti, sehingga ijin yang diajukan tidak keluar dan sebagainya , tetapi pada intinya kita menentang keras oknum perguruan tinggi yang melanggar etis sampai pemalsuan ataujual beli ijasah palsu.
Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia mengharapkan pembekuan Pangkalan Data Pendidikan Tinggi tidak lagi diterapkan, karena sanksi tersebut dinilai berdampak menyeluruh bagi proses penyelenggaraan pendidikan di PT. “Sanksi itu juga tidak sesuai dengan jenis kasus yang dilanggar dan kurang mencerminkan aspek pendidikan,” kata Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Edy Suandi Hamid di Yogyakarta. Menurut dia, sanksi tersebut sungguh tidak mendidik dan tidak adil karena kesalahan yang dilakukan oleh segelintir individu tetapi sanksinya diberikan kepada institusi secara keseluruhan. Kebijakan Ditjen Lemiptekdikti – Kemenristekdikti tentang pembekuan Pangkalan Data Perguruan Tinggi (PDPT) itu ditengarai melanggar UU Nomor 12 Tahun 2012 Pasal 56 Ayat 2 tentang Fungsi PDPT. “Pembekuan PDPT tersebut menutup akses informasi masyarakat untuk mengetahui kinerja program studi dan perguruan tinggi,” kata Edy yang juga Rektor Universitas Islam Indonesia (Ull).
Edy mengatakan semakin melemahnya otonomi yang dimiliki oleh kampus karena kebijakan pendidikan tinggi yang cenderung sepihak dan otoriter. Peraturan, kebijakan dan tindakan pemerintah dalam mengatur bidang pendidikan tinggi pun semakin kehilangan “ruh pendidikannya” dan telah menjelma menjadi “ruh penguasa”.
Perlu Paradigma Baru
Berkembangnya cara-cara yang tidak baik oleh segelintir oknum di kalangan PT mengenai adanya jual beli ijazah, ijazah palsu serta percepatan waktu studi membuat permasalahan menjadi semakin rumit. Bagaimana merubah pola fikir (mindset) di kalangan masyarakat dalam menyikapi problematika ini ? Prof. Dr. Engkus Kuswarno menegaskan : Jika problematika ini telah berkembang sedemikian rupa, maka sebenarnya yang dikategorikan PT sedang sakit , bukan hanya dari sisi pengelola dan penyelenggara saja namun masyarakatnya pun ikut sakit.
Selain itu, berkembang juga mengenai isu adanya pengakuan diri terhadap gelar atau sebutan tertentu di kalangan masyarakat. Mulai dari gelar profesor yang notabene marak dipakai oleh segolongan orang dalam mencapai bakat keterampilan dirinya. Padahal untuk kategori gelar tersebut biasanya dipakai oleh seseorang yang telah mendedikasikan dirinya di bidang penerapan ilmu pengetahuan dan telah dibuktikan secara empiris (pengujian analisis) serta diterima dan berguna bagi seluruh masyarakat.
Oleh sebab itu, jika dikaitkan dengan upaya untuk merubah pola fikir di kalangan masyarakat – tentu sangat dipengaruhi aspek budaya yang merupakan sebutan dari kebiasaan (adat istiadat), bukan dari hasil kompetensi dasar. Sebenarnya untuk kasus-kasus tentang sebutan gelar yang marak terjadi di kalangan masyarakat merupakan pertanda kurangnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah kepada sekelompok orang mengenai pentingnya dalam meningkatkan kompetensi diri di bidang keilmuan tertentu pada jenjang pendidikan tinggi. (Lili lrahali)