Era Disruptif sering disebut sebagai era “VUCA”, yakni “volatility”, “uncertainty”, “complexity”, dan “ambiguity”. Era munculnya ketidakpastian, kompleksitas, dan hal-hal yang ambigu. Di dunia perguruan tinggi, mahasiswa bisa saja memiliki lebih banyak informasi daripada dosen, karena akses ke sumber informasi sudah banyak tersedia sehingga dosen bukan lagi satu-satunya sumber informasi utama.
Dengan kata lain, proses belajar mengajar di Perguruan Tinggi kini terpusat pada mahasiswa, sementara dosen bertindak sebagai fasilitator. Seyogyanya Perguruan Tinggi menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman dan kondisi mahasiswa yang merupakan generasi millenial, yang ciri khasnya sejak dini akrab dengan teknologi, aktif di media sosial, serta mementingkan unsur kecepatan. Dengan menerapkan Program Student Centre Learning maka pembelajaran terpusat pada aktivitas belajar mahasiswa, bukan hanya pada aktivitas dosen mengajar. Dengan SCL belajar lebih aktif dengan cara mendengar, membaca, menulis, diskusi dan terlibat dalam pemecahan masalah serta lebih penting lagi terlibat dalam kegiatan berfikir tingkat tinggi, seperti analisis, intesis dan evaluasi naik secara individu maupun berkelompok. Adapun unsur dalam SCL meliputi: Small Group Discussion, Role-Play and simulation, Case study, Self-Directed Learning, Cooperative Learning, Collaborative Learning, Contextual Intruction, Project Based Learning, Problem Based Learning and Inquiry.
Untuk menghasilkan entrepreneur-entrepreuneur baru, mengatasi kemiskinan dan pengangguran, sekaligus membangun kesejahteraaan generasi millineal maka perlu strategi jangka pendek dan strategi jangka panjang. Dalam jangka pendek perlu adanya entrepreneurship centre dimana di dalamnya ada pengkajian kurikulum entrepreneurship, inkubator, konsultasi dan dukungan jaringan finasial dan mentoring bagi entreprenuer baru. Dalam jangka panjang perlu adanya pengintregrasian pembelajaran entrepreneurship sejak dini sampai perguruan tinggi.
Dalam menghadapi Era Disruptif, untuk mendidik sekaligus mencangkokan young entrepreneur di perguruan tinggi melalui jalur pendidikan kuncinya adalah :
1. Konsep yang baik termasuk visi, strategi, program, materi, pengajar, sistem pengajaran.
2. Adanya konsistensi dalam implementasi dan kesinambungan untuk berusaha. Jiwa entrepreneurship adalah jiwa yang tidak pernah menyerah. Jiwa pendidik entrepreneur adalah jiwa yang tidak menyerah sekalipun ada kegagalan.
3. Adanya komitmen, artinya janji pada diri sendiri dan masyarakat bahwa kita akan memberikan yang terbaik untuk mereka yaitu pendidikan entrepreneurship.
Adapun untuk vocational nya bisa berupa: 1)Program pelatihan holistis. 2) Adanya pelatih-pelatih terbaik untuk tip kompetensi yang dibutuhkan. 3) Pahami kebutuhan setiap peserta dengan jelas. 4) Kaitkan program pelatihan kewirausahaan dengan jaringan perusahaan atau komunitas bisnis. 5) Perkuat percaya diri dari para peserta. 6) Adanya kemajuan yang terukur dan terdokumentasi dalam setiap proses. 7) Gunakan strategi dan kiat praktis pelatihan yng sudah terbukti keberhasilannya. 8) Rencanakan Program monitoring dengan hati-hati. 9) Pastikan bahwa program pelatihan kewirusahaan adalah program yang sangat praktis tapi memiliki dasar teori. 10) Menciptakan kredibitas pelatihan dan menjaga etos kerja dan etika selama program dilakukan serta menyeimbangkan pembelajaran formal dan informal.
Dengan demikian setiap orang harus menjadi entrepreneur dan setiap orang bisa menjadi entrepreneur yang sukses. Banyak orang yang seharusnya menjadi entrepreneur namun karena tidak pernah mendapatkan inspirasi, pelatihan yang tepat, dan dukungan yang tepat, seumur hidup hanya menjadi pencari kerja dan sebagian dari mereka malah menjadi orang miskin. Semakin banyak rakyat Indonesia menjadi entrepreneur semakin baik masa depan bangsa. Kecakapan entrepreneur sangat berguna untuk profesi apa pun. Oleh karena itu, menyebarluaskan kecakapan entrepreneur pasti akan memberikan manfaat positif dan produktif bagi masyarakat.
Kampus atau Perguruan Tinggi perlu dikembangkan menjadi entrepreneurship center karena ada 3 (tga) alasan didalamnya yakni:
1. Kampus adalah terminal utama generasi muda terdidik untuk menjadi tenaga kerja terdidik. Kampus adalah pintu terakhir sebelum terjun ke dalam dunia kerja. Perguruan tinggi ini pulalah yang menggembleng entrepreneur untuk memastikan lulusannya menjadi warga negara yang mampu mengembangkan diri secara mandiri dan akhirnya sejahtera ekonomi.
2. Kampus adalah tempat terbaik untuk melaksanakan pembangunan sumber daya manusia (SDM). Setiap orang yang datang ke kampus dan menjadi warga kampus sudah memiliki mind set untuk belajar dan sudah mengkonsentrasikan sebagian waktu hidupnya untuk belajar dan meningkatkan kualitas diri.
3. Kampus memiliki kelompok SDM pendidik, para ahli, para peneliti, yang memiliki kemampuan dan komitmen untuk mengembangkan potensi generasi muda.
Yang dapat dilakukan entrepreneurship center di kampus-kampus perguruan tinggi adalah:
a) Pusat pengkajian dan pembelajaran kurikulum entrepreneurship, dalam bentuk merancang kurikulum pembelajaran mahasiswa sejak disemester awal dengan kurun waktu pembelajaran dan pelatihan yang berkelanjutan selama 3-6 tahun, atau dari jenjang S1 hingga S2 yang membuat mahasiswa menjadi lebih siap masuk ke pasar kerja sebagai pencipta kerja dan bukan pencari kerja.
b)Pusat pelatihan entrepreneurship untuk calon sarjana, termasuk masyarakat luas, dalam bentuk memberikan short and medium course entrepreneurship untuk jangka waktu 3-6 bulan untuk mahasiswa tingkat akhir atau mahasiswa yang sudah lulus bahkan bisa juga masyarakat umum. Melalui pelatihan semacam ini mereka akan jauh lebih siap memulai suatu bisnis.
c) Pusat pengembangan bisnis dan implementasi produk hasil riset perguruan tinggi, dalam bentuk melakukan komersialisasi hasil hasil penelitian dari preguruan tinggi dalam bentuk melakukan komersialisasi hasil hasil penelitian dan perguruan tinggi atau sesuatu yang inovatif, baik hasil karya mahasiswa maupun karya peneliti perguruan tinggi sehingga hasil temuan memiliki nilai ekonomis yang pantas dan menjadi bisnis nyata.
d) Mengembangkan peluang untuk disediakannya fasilitas kredit mikro. Entrepreneurship centre perlu mengembangkan sendiri atau bekerja sama dengan pihak ketiga untuk menyediakan fasilitas kredit mikro atau kecil. Oleh karena itu, memahami peraturan dan memenuhi persyaratan kredit mikro/kecil seharusnya menjadi salah satu bagian dari pembelajaran yang dikembangkan entrepreneur centre.
e) Mengembangkan peluang untuk dikembangkannya usaha model ventura, calon entrepreneur bukan saja mendapatkan dukungan modal melainkan juga memperoleh dukungan konsultasi dan perluasan jejaring. Pihak perguruan tinggi patut mempertimbangkan untuk membangun usaha ventura dengan seksama, baik dengan melakukan sendiri, bekerjasama dengan alumni maupun pihak ketiga yang berpengalaman. Usaha bisnis ini bukan saja mendukung lahirnya entrepreneur baru melainkan juga menjadi penyumbang dana bagi perguruan tinggi.
Jadi entrepreneur centre adalah strategi pengembangan entrepreneur-entrepreneur muda yang lahir dari kampus yang andal dalam mengadapi era discruptif. Kampus harus gencar mengajak mahasiswa menjadi wirausaha dengan memanfaatkan teknologi digital dalam memulai dan menjalankan bisnis. Ada tiga kendala kendala klasik yang menimpa para entrepreneur atau pelaku UKM dalam pengembangan bisnisnya, yaitu sulitnya mendapatkan akses permodalan (access to capital), lalu akses pasar (access to market) dan akses pengetahuan (access to competence).
Masalah permodalan selama ini dinilai menjadi kendala utama dalam menjalankan bisnis, namun kini tidak lagi menjadi persoalan karena banyak alternatif lembaga yang menyediakan akses permodalan. Pengetahuan yang minim membuat pelaku UKM menjadikan permodalan sebagai masalah krusial. Terkait kreativitas dalam mencari permodalan, kutipan inspiratif dari entrepreneur Bob Sadino: bisnis itu hanya modal dengkul, jika Anda tidak punya dengkul, pinjam dengkul orang lain. Contoh tokoh wirausaha mudah yang sukses mengembangkan bisnisnya dengan memadukan creative capital dan creative business model, yaitu para pemilik Gojek, Tokopedia dan Kaskus.
Pemerintah selama ini sangat gencar mengedukasi pelaku UKM untuk semakin mandiri, maju dan modern. Termasuk di berbagai perguruan tinggi untuk menyemangati mahasiswa menjadi entrepreneur berbasis digital.
Berbagai strategi dan langkah telah dan tengah dilakukan baik dari pendekatan produk (product based approach), solusi (solution based approach) serta pemberdayaan komunitas (community based approach).
Mahasiswa tidak perlu takut dalam memulai bisnis, tidak harus menunggu kuliah selesai, karena di era digital, di era disruptif semua bisa dilakukan bersamaan. Jangan berfikir nanti memulainya. Kalau tidak berani mengambil resiko, artinya tidak berani mengambil peluang (The Real Entrepreneur is an Executor, not just a thinker ).
Keni Kaniawati
Dosen Universitas Widyatama – Bandung