Judul : Pandemic! COVID-19 Shakes the World
No. ISBN? : 978-1-68219-301- 3
Penulis : Slavoj iek
Penerbit : Polity Pr
Tahun Terbit : 8 Mei 2020
Jumlah Halaman : 120
Jenis Cover : Soft Cover
Dimensi : 5 x 0.3 x 7 Inci
Kategori : Filsafat
Bahasa : Inggris
Pandemik Covid-19 menjadi keseharian kita kini, bukan hanya di Wuhan sebagai titik awal, hampir seluruh peloksok dunia termasuk Indonesia. Virus yang pertama berjangkit di Desember 2019 lalu telah mengharu biru dunia, semua gagap karena belum ditemukan penawarnya, walaupun secara bertahap dengan usaha bersama mulai menunjukkan penurunan. Sisi lain buku ini terbit ketika Pandemi yang berdampak multi dimensi ini masih menjangkit di hampir seluruh negara bangsa.
Karena itu kami tertarik resensi yang ditulis di https://www.orbooks.com/ dan https://mediaindonesia.com/? dimuat di majalah kita ini.
Ketika pandemi global yang belum pernah terjadi sebelumnya menyapu bumi ini, Slavoj iek (salah seorang filsuf dan teoretikus budaya paling produktif dan terkenal di dunia saat ini) mengungkap makna yang lebih dalam, mengagumi paradoks yang membingungkan, dan berspekulasi pada kedalaman konsekuensi pandemi ini. Saat ini kita hidup ketika tindakan cinta terbesar adalah untuk menjaga jarak dari objek kasih sayang kita. Ketika pemerintah tiba-tiba harus menggelontorkan triliunan untuk pengeluaran publik. Ketika kertas toilet menjadi komoditas yang sama berharganya dengan berlian.
Pandemic! Covid-19 Shakes the World, begitu judul buku karya Slavoj iek. Filsuf Slovenia itu mengetengahkan paradoks dari kenyataan Pandemi Covid-19. Pada pembukaan buku, ia menulis Introduction; Noli Me Tangere yang berarti Jangan Sentuh Aku. Kalimat itu disampaikan Yesus kepada Maria Magdalena ketika Maria mengenali Yesus seusai kebangkitan. Satu bagian itu menjadi awalan cukup menarik. Covid-19; jika sayang kerabat, jangan kunjungi. Jika cinta orang tua, jangan mudik. Gampangnya, paradoks yang digagas Zizek hampir semacam kalimat cinta tak harus memiliki, sayang tak harus bersama, kasih tak harus berbalas, dan semacamnya.
Buku ini terdiri atas 10 bagian. Zizek banyak membahas dampak Covid-19 pada beberapa bagian awal. Tiba-tiba saja dunia tersungkur. Semua yang awalnya dibanggakan tiba-tiba rapuh, dari kekuatan ekonomi, kesehatan, pangan, negara sekutu, bahkan kemanusiaan. Seluruh dunia merasakan dampaknya. Virus korona juga memicu epidemi virus ideologis yang tertidur di masyarakat, seperti berita palsu, teori konspirasi, paranoid, dan rasialisme. Ia juga mengetengahkan standar ganda yang marak saat ini. Meremehkan korona sembari bersiap melindungi diri secara berlebih. Entengkan korona, tapi timbun bahan makanan dan alat kesehatan. Tentu hal itu bisa memicu kemarahan publik.
Serasa cukup dengan paparan dampak Covid-19 yang menjungkirbalikkan keadaan masa kini, Zizek lalu memulai dengan pertanyaan. Satu pertanyaan menarik akibat epidemi virus korona, bahkan untuk yang tidak ahli dalam statistik seperti saya, ialah: di mana data berakhir dan ideologi dimulai ujar Zizek (hlm 59). Solusi teknis mungkin tidak. Zizek bergerak lebih jauh, ia mengandaikan seluruh negara bersatu padu untuk mengatasi pandemi global. Saling berbagi dan membantu. Ia menganalogikan pandemi ini selayaknya perang besar melawan Covid-19. Alat kesehatan, misal ventilator, ialah senjata yang dibutuhkan di medan perang. Itu juga membutuhkan kerja sama dengan negara-negara lain. Seperti dalam operasi militer, informasi harus dibagikan dan rencana dikoordinasikan sepenuhnya. Ia mengajukan adanya organisasi global yang mengatur seluruh negara. Tidak hanya soal ekonomi, tetapi juga masalah kedaulatan. Bukankah semua ini menandakan perlunya reorganisasi ekonomi global yang tidak lagi bergantung pada mekanisme pasar Di sini, tentang semacam organisasi global yang dapat mengendalikan dan mengatur ekonomi, serta membatasi kedaulatan negara-bangsa ketika dibutuhkan. Negara-negara dapat melakukannya dalam kondisi perang, dan kita sekarang mendekati keadaan perang medis secara efektif, tambahnya (hlm 44-45).
Menurutnya, dunia saat ini dihadapkan pada beberapa kemungkinan, pengorbanan dari masyarakat yang terlemah karena keterbatasan sumber daya kesehatan, kebijakan yang membuka ruang untuk korupsi besar-besaran, dan penerapan logika brutal yang kuat yang bertahan. Jadi, sekali lagi, pilihan yang kita hadapi ialah: barbarisme atau semacam penciptaan kembali komunisme, (hlm 70). Kita bisa setuju, bisa juga tidak, dengan pendapat Zizek. Paling tidak, buku ini menawarkan cara pandang tersendiri dalam melihat pandemi yang tengah menjungkirbalikkan keseharian banyak orang.
Deden Novan dari berbagai sumber: https://www.orbooks.com/, dan https://mediaindonesia.com/