Refleksi “Penjaminan Mutu” dalam konteks hasil belajar-mengajar yang dilakukan dosen di kelas

0
420 views

Rubrik utama Komunita Nomor 37 edisi bulan November 2023 ini mengangkat Permendikbudristek No.53 Tahun 2023 dan mengaitkannya dengan arah Menuju Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Berkeunggulan. Dihadirkan dalam forum komentar ahli dalam Rubrik Utama Komunita kali ini pejabat pemikir garda depan yang sudah sangat terkenal di Republik ini, termasuk—dan tak terbatas hanya pada—Prof. Dr. Thomas Suyatno (Ketua Umum Asosiasi BP PTSI Pusat); Prof. Dr. Fasli Jalan, PhD. (Rektor Universitas YARSI Jakarta; dan Prof. Dr. Budi Djatmiko Ketua Umum Asosiasi PTS Indonesia (APTISI) .

Sesuai dengan posisi formal dan tanggungjawab profesionalnya masing-masing, ketiga narasumber amat terdidik ini mengomentari banyak isu penting yang memang tak pelak lagi merupakan tanggungjawab bersama dalam mengikhtiarkan kemajuan bagi Pendidikan Tinggi (PT) di Indonesia yang jumlahnya sudah mencapai tiga juta lebih. Prof Thomas Suyatno mengidentifikasi 10 (sepuluh) masalah yang dipandangnya penting untuk segera dibenahi, termsuk inadekuasi sosialisasi dan implementasi peraturan dan perundangan penting; isu otonomi PT dan proses transformasi DIKTI; budaya sistem dan mekanisme kerja birokrasi; peningkatan persaingan di lingkungan PT nasional, regional, dan global; benturan kepentingan antar-jenjang dan gesekan baik di dalam Yayasan maupun pengurus Yayasan dan pimpinan PT; kualitas Pendidikan dan kualifikasi tenaga kependidikan yang rendah; rasio dosen dan mahasiswa yang pincang; banyaknya PTS yang  “sakit”; dan angka partisipasi kasar (APK) yang rendah. Mengibaratkan organisasi yang dipimpinnya sebagai tempat “mengadu”, “mengaduh” dan “menangis”, Prof. Thomas dengan bangga menyatakan bahwa organisasi yang dipimpinnya dengan senang hati mendengarkan keluhan dan kesulitan anggotanya. Tak sekadar menampung keluhan, kantor Prof. Thomas juga —  dengan prinsip win-win solution — dapat membantu pengembangan networking antar sesama institusi dan lembaga pendidikan lainnya.

Tokoh lainnya, dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Asosiasi PTS Indonesia (APTISI), Prof. Dr. Budi Djatmiko mengingatkan bahwa penjaminan mutu PT harus dijadikan komitmen pimpinan dan penyelengggara PT mengingat kondisi saat ini diperkirakan ada 1.500 PTS belum terakreditasi institusi dengan berbagai permasalahan yang dihadapinya. Sedangkan, tokoh penting lainnya, Prof. Dr. Fasli Jalal, Ph.D., Rektor YARSI Jakarta menjelaskan bahwa “Kita menyepakati mutu dengan menyepakati aturan main sehingga perlakuan pemerintah harus sama antara PTS dan PTN. Biaya operasional untuk mahasiswa bisa menjamin mutu dasar, yang sebenarnya bisa dilaksanakan PTS juga.”

Mengingat kompleksitas masalah yang dihadapi, dan mempertimbangkan ruang yang terbatas ini, artikel ini selanjutnya akan menyumbangkan pemikiran terbatas pada kontrol kualitas pembelajaran — sebagai salah satu bentuk “penjaminan mutu” — yang secara riel berada di tangan dosen di kelas dan mahasiswa yang belajar dengannya. Untuk dapat membahas “penjaminan mutu” dalam konteks hasil belajar-mengajar yang dilakukan dosen di kelas, artikel ini akan membahas secara terbatas lima hal berikut: (A) Perlengkapan Fasilitas Pembelajaran; (B) Pengalaman Belajar; (C) Hasil Akhir Proses Pembelajaran; (D) Evaluasi Hasil Belajar sebagai Indikator Mutu; dan (E) Siapa Mampu Menjamin Mutu Hasil Belajar di PT?

  1. Perlengkapan Fasilitas Pembelajaran

Di dalam borang-borang isian untuk persyaratan akreditasi dan pemeringkatan “kualitas” pembelajaran seringkali ada kesalahpahaman yang bisa saja terjadi di antara pihak yang mengisi dan pihak yang menafsirkan. Sebenarnya kelengkapan fasilitas pembelajaran tidak menentukan secara mutlak “kualitas” hasil pembelajaran. Memang, tergantung bidang ilmu yang diajarkan (dan/atau komponen ilmu yang sedang ditekankan dalam pembelajaran), pembelajaran dapat dirinci ke dalam minimalnya tiga jenis fokus pembelajaran: teori dengan segala komponen konseptualnya; prosedur mengerjakan sesuatu dengan segala detil langkah dan prosesnya; dan kasus-kasus khusus yang bertalian dengan teori dan prosedur kerja tadi beserta detil penjelasan kondisionalnya.

Dengan gambaran seperti ini, tidak otomatis bahwa kualitas hasil pendidikan dan pengajaran memerlukan peralatan mewah dan teknologi tinggi. Khususnya hal ini benar untuk bidang-bidang sosial dan humaniora.  Di tangan dosen yang menguasai bidangnya, perlengkapan visualisasi seperti komputer, OHP, dan PPT dapat menyelamatkan program Pendidikan dan pengajaran. Selebihnya yang akan menentukan kualitas hasil pembelajaran adalah desain tugas yang diberikan kepada mahasiswanya untuk mengerjakan tugas-tugas (mandiri dan terbimbing) untuk memastikan bertumbuhkembangnya keterampilan baru yang teorinya telah dijelaskan dosen tadi. Setelah mahasiswa memiliki kesempatan untuk mencoba sendiri melakukan apa yang demonstrasikan dosennya, mahasiswa tersebut telah berlatih mengendapkan pemahamannya lewat praktik mandiri dan/atau terbimbing. Ketika menyangkut penumbuhkembangan keterampilan sesuatu — yang perlu dicamkan dalam hati adalah — dipraktikkan dan dilakukan secara berulang dan dihayati sampai lancar. Kelancaran inilah yang merupakan bukti sah bahwa mahasiswa tersebut telah mengendapatkan keterampilan yang dipelajarinya melalui latihan.

Dengan demikian, tergantung bidang ilmu yang dibicarakan dan dilatihkan, perlengkapan pembelajaran dapat mengambil bentuk sangat sederhana: white board (dan PPT sebagai perlengkapan visualisasi), penjelasan eksplisit dan detil tentang teori dan prosedur utama yang dianggap penting. Untuk mengendapkan pemahaman pada diri mahasiswa, selanjutnya pembelajar ini memerlukan “pengalaman mencoba sendiri” apa-apa yang dijelaskan dosen kepadanya. Pengalaman mencoba sendiri inilah yang seringkali dilewatkan dosen dalam pengajaran. Dan hal inilah — sebenarnya — yang membedakan antara pembelajaran yang berkualitas dengan pembelajaran yang asal-asalan. Inilah bedanya antara mahasiswa yang beruntung karena memperoleh penjelasan konseptual plus pengalaman praktik yang dapat membawanya ke tahap terampil dan fasih.

  1. Pengalaman Belajar

Akan halnya dengan perlengkapan pembelajaran yang tidak harus berarti mahal (khususnya untuk bidang-bidang sosial dan humaniora) pengalaman belajar mahasiswa dapat diartikulasikan “apa, mengapa, bagaimana”-nya. Dalam realitas kehidupan sehari-hari, kita juga tahu mahasiswa yang pintar dapat dicek pemahamannya tentang konsep-prosedur-dan kasus-kasus yang dipelajarinya dengan diminta menceritakan apa yang dipelajari, bagaimana mempelajarinya, dan bagaimana dia menilai pemahamannya. Di tangan dosen yang baik, mahasiswa memperoleh banyak hal dari apa yang dialaminya di kelas: pengetahuan teoretis, keterampilan prosedural, dan pemahaman berbagai kasus yang dapat dipikirkan dan dipelajarinya lebih jauh secara mandiri (case-based knowledge).

Pengalaman belajar yang baik — khususnya dari dosen yang baik — membekalkan rasa kepenasaran yang melekat dan dapat memandu eksplorasi mandiri bagi mahasiswa pembelajar dewasa. Dengan bekal rasa-penasaran (curiocity) yang kuat yang dibekalkan dosen yang baik, mahasiswa dapat menjelajahi minatnya sendiri, yang dapat membuat yang bersangkutan menjadi “pembelajar mandiri” — self-initiated learners, yang diimpikan para pemikir pendidikan di negara maju.

 

  1. Hasil Akhir Proses Pembelajaran

Kalau ditanya “apa hasil akhir proses pembelajaran”? Mungkin sebagian besar mahasiswa dan dosennya menjawab “nilai A”; “nilai B”, dst. Ini jenis jawaban gampangan yang serampangan. Dosen yang baik dapat menjelaskan signifikansi teori dan konsep serta serngkaian prosedur pemberdayaan yang diajarkannya.

Hasil akhir proses pembelajaran yang kita ajarkan dapat mengambil bentuk yang jamak: bisa pemahaman konsep dan teori baru; dapat juga berupa pengetahuan prosedural baru untuk mencari dan menemukan hal baru, dan dapat juga berupa minat dan arah pengembangan diri yang baru.

  1. Evaluasi Hasil Belajar Sebagai Indikator Mutu

Syahdan, di suatu kampus besar di republik ini, ada studi yang melaporkan hasil belajar mahasiswa masa pandemik yang lalu — ketika mahasiswa dan dosen bingung karena harus tinggal di rumah berkepanjangan — hasil akhir grade (nilai UAS mahasiswa) yang didominasi nilai A (dan A-) dan tercatatlah menurut penelitian tadi bahwa kinerja intelektual mahasiswa membaik ketika masa pandemi. Dapatkah kita menerima “bukti” ini sebagai bukti valid tentang mutu hasil belajar mahasiswa?

Para dosen, saya kira, perlu di-training lagi tentang “assessment literacy”-nya supaya tidak mudah terkecoh oleh tampilan (atau indikator) kemajuan yang tidak jelas ujung-pangkalnya.

  1. Siapa Mampu Menjamin Mutu Hasil Belajar Di Perguruan Tinggi (PT)?

Dalam ikhtiar menyepakati dan merumuskan tentang fasilitas belajar atau  fasilitas pendukung pembelajaran di universitas (PT) saya pernah dilibatkan di dalam suatu kelompok kerja yang ditugasi merinci apa saja yang harus ada dan apa saja yang sebaiknya tersedia agar para mahasiswa dapat belajar dengan nyaman dan berhasil dengan optimal. Dari penugasan dalam “pokja akademik” itu, lahirlah daftar panjang tentang fasilitas apa yang harus disediakan dan berapa banyak agar mahasiswa dapat belajar dengan hasil gilang-gemilang.

Sebagai dosen yang telah berpengalaman gonta-ganti tempat belajar di luar negeri (di USA untuk program S2 dan S3 di dua kampus yang berbeda), saya merasakan bahwa mempersoalkan fasilitas belajar untuk “membujuk” agar mahasiswa belajar dengan baik merupakan proposisi yang mengada-ada atau bahkan sia-sia. Meskipun demikian, untuk kepentingan ikhtiar kependidikan yang mungkin penting untuk Ditjen DIKTI, mungkin ada baiknya saya eksplisitkan di sini apa yang dapat ditulis atas nama fasilitas pembelajaran yang dimaksud.

Untuk menuntaskan tugas esei ini saya akan formulasikan dalam “standar fasilitas input”, “standar proses”, dan “standar produk”. Untuk menghindari kesan mekanistis, saya ingin mengusulkan agar kata “standar” itu dimaknai sebagai “ekspektasi” sehingga — apabila kata itu tidak dipenuhi — tidak ada yang dapat dipersalahkan.

Tujuan akhir pembelajaran adalah membuat individu pembelajar berkembang ke arah yang lebih baik, lebih santun, dan lebih cerdas. Untuk mendukung mahasiswa kita agar berkembang ke “arah sana”, mahasiswa sebaiknya dibuat nyaman dalam arti dihindarkan dari ruang yang hingar-bingar, dihidarkan dari suhu udara yang terlalu panas, dan juga tidak juga didedah dengan udara yang kelewat dingin. Jadi udaranya adem-adem saja; dan suasananya tenang-tenang saja.

Ketika sedang belajar dengan dosen dalam rangka kuliah, dosen yang baik seyogianya mengupayakan agar pengajarannya dibagi ke dalam tiga bagian. Yakni, bagian pertama,  mendemonstrasikan dengan penjelasan dan paparan yang disajikannya hal-hal yang dipandang penting (secara teoretis) tentang isu yang tengah dibahas. Bagian ke dua, memberikan kepada mahasiswa kesempatan agar mahasiswa “terlibat” (atau dilibatkan) pada isu yang telah dijelaskan tadi. Kesempatan ini dapat dipandang sebagai kesempatan mendalami materi secara mandiri setelah diberi penjelasan detil. Setelah menikmati penjelajahan mandiri ini, mahasiswa diberi kesempatan untuk menunjukkan pemahamannya — dapat melalui presentasi di depan teman-teman sekelas — untuk diberi feedback oleh dosen. Sesi input-giving ini harus dilakukan dengan santai dan jangan diburu-buru. Targetnya: sampai mahasiswa benar-benar paham dan terbebas dari salah paham.

Setelah pemberian feedback ini, mahasiswa diberi kesempatan kedua untuk memperbaiki dan menampilkannya kembali ke dalam presentasi tahap akhir.

Setelah presentasi yang kedua ini, mahasiswa diminta menuliskan reflective journal tentang apa yang telah dipelajarinya dan melakukan ekspansi terhadap kemungkinan menerapkannya ke konteks lain yang mungkin berbeda.

Demikian sekedar contoh untuk memberikan pembelajaran yang berdampak bagi pembelajaran di perguruan tinggi (PT). Allahu a’lam bish-shawab.

 

Bachrudin Musthafa.

FPS UPI Bandung