PEMBINAAN PENGAJAR: Mendoktorkan Dosen, Memprofesorkan Doktor, dan Memikirkan Sinyalemen Ditjen Dikti

0
606 views
PEMBINAAN PENGAJAR: Mendoktorkan Dosen, Memprofesorkan Doktor, dan Memikirkan Sinyalemen Ditjen Dikti

Bachrudin Musthafa, M.A ., PhD.

Dekan Fakultas Bahasa, Universitas Widyatama

Dekan Fakultas Bahasa, Universitas Widyatama

Dalam pertemuan Forum Doktor UTama yang digelar di UniversitasWidyatama Sabtu (30 Oktober 2015) yang lalu, Ketua Penyelenggara Pendidikan Universitas Widyatama dengan bangga mengumumkan bahwa universitas ini telah memiliki 40 doktor lulusan universitas ternama di luar dan di dalam negeri dan dalam waktu dekat ini akan lulus sekitar 40-an lagi doktor baru dari berbagai universitas di luar dan dalam negeri. Kebanggaan Ketua Yayasan Widyatama ini wajar adanya karena di negeri ini doktor merupakan SDM langka dan untuk mencapai gelar akademik tertinggi itu dosen harus bekerja ekstra keras siang-malam dan dalam rentang waktu tugas belajar (atau izin belajar) yang sangat panjang.

Apakah doktor (sebagai gelar dan capaian akademik tertinggi) itu penting bagi kualitas suatu universitas? Seberapa penting kehadiran kelompok amat-terdidik ini dalam suatu universitas tergantung pada cara institusi tersebut memanfaatkannya. Selain dapat dibanggakan sebagai pajangan dalam dokumen dan statistik pangkalan data, para cerdik-cendekia ini karena pengalaman keilmuan dan kemampuan berpikir sistematiknya memiliki potensi besar untuk dapat mengembangkan kualitas program akademik dan mengembangkan sumber daya yang tersedia pada lembaga yang mewadahinya.

Misalnya, dengan pengaturan penugasan dan penyediaan dukungan fasilitas yang baik, kelompok doktor ini dapat menjamin kualitas program akademik yang dikembangkannya dan layanan keilmuan yang diberikannya di lembaga tempat kerjanya. Dengan demikian ujung? ujungnya keuntungan akan kembali kepada pihak universitas yang memodalinya, karena ketika khalayak menyaksikan jaminan mutu itu pada saat yang bersamaan kepercayaan publik kepada universitas yang bersangkutan akan meningkat dan berbagai keraguan yang mungkin pernah ada akan terkikis-sirna. Ketika berbagai macam potensi kreativitas akademik tenaga amat-terdidik ini bersinergi untuk memecahkan masalah yang telah dengan baik diidentifikasi, dan menciptakan program – program terobosan yang diperlukan untuk menciptakan kemaslahatan bersama, kemanfaatan lembaga dan yayasan yang mendukungnya akan menjadi menonjol dan Indonesia sebagai negara-bangsa akan mencatat dan membanggakan kehadirannya.

Apakah pendidikan doktor akan secara serta-merta membuat dosen cakap mengajarkan bidang keahliannya kepada mahasiswa yang diajarnya? Tidak ada jaminan ke arah ini. Sinyalemen beberapa pejabat Ditjen Dikti malah mengisyaratkan sebaliknya. Yakni, banyak kesaksian mahasiswa yang menunjukkan bahwa kelas yang diampu para doktor (yang pada umumnya sibuk di luar) cenderung terlantar. Barangkali karena sinyalemen inilah para doktor perlu segera diprofesorkan.

Bagaimana doktor dapat diprofesorkan? Bagaimana para ilmuwan bergelar doktor ini dapat disiapkan dan dioptimalkan dalam perannya sebagai tenaga pengajar? Sepintas pertanyaan ini mungkin terasa mengada-ngada: bagaimana seorang ahli (bidang studi tertentu) masih perlu diajari bagaimana mengemas bidang keahliannya untuk keperluan membelajarkan mahasiswa? Tetapi sejatinya memang tidak ada jaminan seorang doktor dapat mengajarkan dengan baik bidang keahliannya kepada mahasiswa karena bidang keahliannya (yang dikenal dengan content knowledge) perlu terlebih dahulu dikemas menjadi “materi ajar” (pedagogical content knowledge) sebelum dapat disampaikan kepada peserta didik dengan pendekatan dan teknik tertentu (instructional approaches and techniques). Seluruh proses mengonversikan bidang-keahilan ke dalam bentuk materi ajar yang dapat dicerna mahasiswa ini pada umunya berada di luar wilayah bidang keahlian doktor yang kita bicarakan ini (kecuali bagi mereka yang bidang kedoktorannya berada pada wilayah teaching and learning).

Mengapa selama ini kita seperti memelihara asumsi yang salah bahwa perolehan gelar doktor identik dengan peningkatan kecakapan pengajaran? Mungkin karena kebanyakan di antara kita diam-diam menganggap bahwa pengetah uan bidang studi cukup memadai sebagai modal mengajar. Pernyataan ini baru separuh benar mempelajari berbagai cara yang ampuh untuk mengajarkan bidang keahliannya kepada mahasiswa, gagasan umuk “memprofesorkan doktor” dalam arti membuat mereka pandai mengajar–menjadi keniscayaan. Perguman Tinggi dengan kata lain harus mengambil langkah menyiapkan para doktor untuk belajar menjadi pengajar yang baik.

Kalau langkah “profesorisasi doktor” ini dilakukan, maka SDM-amat-terdidik yang dimiliki universitas akan menjadi lebih optimal kinerjanya : lincah sebagai ilmuwan, piawai sebagai pengajar dan empatis serta tulus dalam mengabdikan keahlian dan kinerja akademiknya kepada masyarakat luas melalui pelaksanaan tridharma perguman tinggi yang telah lama dihayatinya sebagai perangkat hak dan kewajiban yang melekat pada perannya sebagai dosen perguman tinggi.

Kalau Ditjen Dikti telah menyadari bahwa “meminjam” doktor ke perguman tinggi untuk pelaksanaan tugas -tugas non pengajaran telah mengakibatkan keterlantaran mahasiswa di kampus-kampus, direktorat jenderal perguman tinggi dan lembaga-lembaga negara sejenisnya harus mulai merencanakan skema pengembangan staf sendiri yang lebih baik sehingga lembaga tinggi negara ini sesegera mungkin memiliki tenaga ahli (baca: doktor) sendiri sehingga dapat mendesain dan menerjemahkan keperluan pengembangan program sendiri tanpa terlalu banyak tergamung pada para dosen perguran tinggi. Dengan cara ini pada jangka pangjangnya institusi tingkat nasional di Indonesia memiliki think tank sendiri dan dengan cara ini secara lahir-batin dapat mengambil tanggungjawab yang tuntas dalam kegiatan pengemban gandan pelaksanaan sistem pendidikan yang berskala nasional.

Semoga kelembagaan kita secara keselumhan semakin tumbuh mendewasa dan mampu mengembangkan diri secara komprehensif dan masif.

Laporan posisi keuangan