PENDIDIKAN TINGGI:
MEMBEKALI GEN Z DI TENGAH TRANSFORMASI DIGITAL DAN ERA VUCA
Komitmen kuat dan konsistensi melakukan Transformasi Digital sebuah keniscayaan mensikapi Industri 4.0. Dalam kaitan itu membangun sumber daya manusia yang tangguh melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan dan karakter saangat penting agar kompetensi mereka tetap relevan dan lincah (agile) dalam menghadapi tantangan era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity dan Ambiguity). VUCA merupakan gambaran situasi global saat ini, yang dipicu pesatnya kemajuan teknologi informasi.
Pendidikan tinggi salah satu jenjang pendidikan dan pembelajaran dalam mempersiapkan sumber daya manusia berkualitas dan tangguh. Karena itu urgensi melakukan evaluasi dan adaptasi sistem pendidikan tinggi melalui pengembangan kurikulum yang sesuai dengan dunia usaha dan industri (DUDI) merupakan sebuah tuntutan. Kondisi tersebut bertepatan dengan Generasi Z /Gen Z dengan karakter tersendiri yang saat ini memasuki pendidikan tinggi.
Dalam konteks pendidikan, pemahaman tentang karakteristik setiap generasi menjadi penting untuk menentukan bagaimana strategi pendidikan yang efektif diberikan kepada peserta didik. Tujuannya tidak sekadar capaian akademik dan pedagogik, tetapi juga bagaimana proses pendidikan mampu menumbuhkan karakter dan kecintaan peserta didik terhadap aktivitas belajar, serta mengembangkan kompetensi yang memadai. Saat ini, sebagian besar dari Gen Z berada pada jenjang pendidikan tinggi. Ini berarti, penyesuaian sistem pembelajaran dalam ruang-ruang pendidikan tinggi harus mempertimbangkan karakteristik Gen Z agar sesuai dengan kebutuhan mereka, sekaligus dunia usaha dan industri (DUDI) tanpa mengesampingkan minat dan habituasi mereka sebagai sebuah kelompok generasi.
Bertepatan pula Indonesia tengah berada pada periode Bonus Demografi. Sensus 2020 menunjukkan komposisi penduduk Indonesia sebagian besar berasal dari Generasi Z/Gen Z (generasi yang lahir antara tahun 1997 sampai dengan 2012) sebanyak 27, 94% atau 74, 93 juta. Sementara Generasi Milenial yang diharapkan menjadi motor pergerakan masyarakat saat ini lebih sedikit, yaitu 25, 87% atau 69, 38 juta dari total penduduk Indonesia.
Maknanya, keberadaan Gen Z memegang peranan penting dan memberikan pengaruh pada perkembangan Indonesia saat ini dan ke depan. Ini tentunya tantangan di tengah ketidakpastian bagi pendidikan tinggi dan perguruan tinggi yang merupakan terminal akhir pendidikan dalam membangun SDM yang berdaya saing dengan kompetensi sesuai kebutuhan. Peserta didik kini adalah Gen Z dengan karakter yang berbeda dari generasi sebelumnya. Bagaimana perguruan tinggi merespon tumbuh kembang Gen Z serta era VUCA. Perguruan tinggi perlu merenungkan karakter Gen Z, serta fenomena pergeseran kompetensi lulusan perguruan tinggi dalam memenuhi dunia kerja saat ini dan mendatang. Perguruan tinggi dituntut menemukan dirinya, antara paradigma lama dan paradigma baru yang tidak pasti. Namun dapat dipastikan pendidikan tinggi memerlukan pembaharuan dalam dimensi: pedagogi (PEKERTI maupun AA), kurikulum, pengajaran, sekolah dan pembelajaran dalam mengkatalisasi paradigma baru pendidikan tinggi yang dituntut bermuatan penelitian dan inovasi, solidaritas, kerjasama, pembangunan karakter, maupun entrepreneur, sehingga pendidikan tinggi berdaya membekali dan menguatkan kompetensi lulusannya. Maka paradigma baru pendidikan tinggi dan pengajaranpun menjadi penting untuk menjadi titik perhatian.
Kami menemui dua tokoh pendidik tinggi yang puluhan tahun bergelut dalam dunia pendidikan tinggi yang telah memahami, memaknai, melaksanakan, merasakan, dan menghayati bagaimana menyelenggarakan, mengelola pendidikan tinggi serta mendidik generasi demi generasi agar muncul sosok generasi unggul dan berkarakter. Generasi lalu sampai kini Gen Z yang bertepatan dengan hadirnya era VUCA ini.
MENGUBAH PARADIGMA PENDIDIKAN TINGGI
Prof. Dr. B. S. Kusbiantoro
Ketua Dewan Pakar ABP PTSI Pusat, juga
Pengurus Yayasan Universitas Katolik Parahyangan
Pak Kus kami memanggil adalah sosok Guru yang sabar, tabah, rendah hati, dan amanah itulah kesan pertama pada beliau. Perkenalan kami dengan Prof. B.S. Kusbiantoro, Ph. D. sudah cukup lama sejak mulai aktif di Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia. Kami sangat tertarik dengan pemikiran-pemikiran beliau selaku Dewan Pakar ABP PTSI tentang pendidikan tinggi dan penyelenggaraan perguruan tinggi. Pemikirannya senantiasa kami simak dan maknai. Puncaknya pada Rakernas ABP PTSI di Serang tanggal 19 – 20 November 2021 kami tergugah akan paparan beliau berkaitan dengan Kompetensi, Kolaborasi, dan Inovasi Pendidikan Tinggi.
Kami menghubungi beliau mohon waktu berbincang tentang Generasi Z dan Pendidikan Tinggi. Beliau dengan sangat terbuka dan rendah hati bersedia berbagi pandangan dan pemikiran terkait topik tersebut, walaupun beliau masih dalam kesehatan yang belum stabil. Terima kasih Prof. B.S. Kusbiantoro, Ph.D. Berikut bincang-bincang kami dengan beliau.
Komunita: Perspektif Bapak tentang Industri – 4.0, juga Generasi Z yang saat ini sedang mengenyam pendidikan tinggi ?
Prof. B.S. Kusbiantoro, Ph. D.: Industri 4.0 identik dengan “kompetensi” (dalam arti luas) yang dibutuhkan Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI) yang makin beragam dan makin dinamis, termasuk akan adanya beberapa “kompetensi” baru yang sekarang belum ada. Misal tahun 2030, di Indonesia akan ada 10 juta lapangan kerja yang sekarang belum ada (McKinsey & Co, 2019), 60 % lapangan kerja yang akan datang sekarang belum ada, 40 % anak nantinya harus bisa bekerja mandiri – self-employed (WEF Future of Jobs Report, Krisnan, 2020).
Dinamika tersebut mendorong DUDI. Pertama, DUDI makin cenderung untuk langsung menerima lulusan siap kerja ketimbang siap latih (DUDI harus cepat berproduksi/menghasilkan, waktu makin terbatas/tidak ada waktu untuk melatih pekerja baru); DUDI mulai cenderung memberi bobot lebih pada kompetensi (siap kerja) ketimbang gelar akademik (siap latih). Kedua, DUDI harus lincah – tidak mungkin “membesarkan SDM-nya” secara menerus (disamping berbiaya tinggi), untuk ini DUDI melakukan outsource untuk memenuhi makin besar dan tingginya dinamika perubahan kompetensi yang dibutuhkan. Pada sisi lain, dengan perkembangan teknologi digital, pekerja dimungkinkan untuk bekerja dimana saja dan kapan saja (‘bebas’ secara spasial dan temporal), pekerja mulai bekerja sebagai pekerja paruh-waktu – multi-jobs dsb. Kedua hal tersebut memunculkan “Gig Economy”, yakni DUDI cenderung outsource pekerja, dan pekerja juga cenderung part-time/freelance/multi-jobs.
Dengan makin besar dan tingginya dinamika perubahan di atas, peserta didik dituntut untuk belajar secara menerus mempersiapkan diri dengan kompetensi dan/atau gelar yang disertai dengan kompetensi yang dibutuhkan, yang memungkinkan mereka siap kerja (termasuk sebagai pekerja freelance) dan/atau kerja mandiri.
Komunita: Problematika pendidikan tinggi terkait Industri 4.0 dan Generazi Z ?
Prof. B.S. Kusbiantoro, Ph. D.: Dunia pendidikan tinggi diwarnai dengan makin besar dan tingginya dinamika perubahan “sisi demand” dan “sisi supply” akibat makin besar dan tingginya turbulensi berbagai disrupsi (industri 4.0, pandemi, dsb),
Sisi demand sebagaimana saya sebut di atas. Sedang Sisi supply adalah semakin meledaknya perkembangan Massive Open Online Courses (MOOC), munculnya program pendidikan tinggi sertifikasi/tanpa gelar dari beberapa korporasi besar dunia yang memungkinkan bagi peserta didik untuk siap kerja serta lebih terjangkau (finansial, waktu, dsb). Dengan makin besar dan cepatnya perubahan di atas, masalah terbesar dikti adalah: pertama, kompetensi lulusan tidak sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan DUDI masa mendatang; kedua, masa studi, biaya dan lain sebagainya tidak kompetitif dibandingkan dengan munculnya berbagai program pendidikan tinggi dalam bentuk lain (MOOC, sertifikasi dsb). Sebagai catatan: pendidikan tinggi pada umumnya dikembangkan berdasar revolusi Industri, (terutama industri 1.0 dan industri 2.0), a.l. untuk melayani pabrik – produksi massal, efisiensi, standar produk, profesi/spesialisasi tertentu, dsb. Pada gilirannya, kompetensi lulusan tidak sesuai dengan makin besar dan tingginya dinamika kebutuhan DUDI pada era turbulensi disrupsi kini.
Masalah di atas ditambah dengan berbagai masalah lain, diantaranya: Rendahnya mutu banyak PT. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi nasional era 1980-an menuntut kebutuhan akan lulusan pendidikan tinggi yang tidak dapat dipenuhi oleh PTN. Hal ini mendorong meledaknya pertumbuhan PTS, tanpa adanya pengawasan yang ketat yang akhirnya memunculkan berbagai masalah rendahnya mutu banyak PT. Berikutnya, “Ranking”, akreditasi dan sejenisnya tanpa mutu. Ada salah kaprahnya penetapan ranking, akreditasi dan sejenisnya sebagai tujuan utama yang rentan akan “rekayasa” untuk pencapaiannya, dan sekaligus rentan berseberangan dengan tujuan mulia pendidikan tinggi. Ranking dan sejenisnya seyogyanya merupakan sarana dalam rangka mencapai tujuan akhir pendidikan tinggi (terkait visi-misi PT masing-maisng). Juga, “Gelar” tanpa kompetansi. Munculnya semacam “feodalisme baru”, yakni mengejar gelar ketimbang “kompetensi”, bahkan Profesor sebagai “jabatan” diperlakukan sebagai gelar tertinggi.
Komunita: Dalam konteks Industri – 4.0, serta Generasi Z, bagaimana kita memaknai 3 fungsi pendidikan tinggi – (a. kembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat; b. kembangkan sivitas akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif; c. kembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora) ?
Prof. B.S. Kusbiantoro, Ph. D.: Dalam era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, and Ambiguity) makin krusial bagaimana menyiapkan peserta didik untuk mampu menghadapi makin besar serta tingginya dinamika perubahan. Yakni bagaimana proses belajar-mengajar (learning to know, learning to do, learning to live together, learning to be) yang memungkinkan peserta didik, antara lain: Pertama,
belajar menerus – siap adaptasi secara menerus; Kedua, terkait learning to know & learning to do (yang rentan tergeser) – belajar bukan hanya terbatas “bidang keilmuannya” (T-shape learning); Ketiga, terkait learning to live together & learning to be – belajar bukan hanya terbatas kegiatan kurikuler, termasuk lintas bidang keilmuan, tetapi memadukan juga dengan kegiatan ko/extra-kurikuler (kuliah di PT lain, magang di DUDI, aspek humanoria – disiplin, etika, moral dsb – lewat tari, musik, olah raga, dlsb); Keempat, belajar sampai dengan level 6 Taxonomi Bloom (agar tidak dilindas mesin cerdas); Kelima, belajar terkait keberagaman SDA-SDM unggulan berbagai PT (pertukaran mahasiswa, dlsb) – bangga – cinta tanah air dan seterusnya; Keenam, bagaimana melibatkan peserta didik dalam kegiatan tridharma terpadu lintas bidang keilmuan – termasuk keselarasan ilmu – iman – moral.
Melalui proses belajar-mengajar di atas, diharapkan 3 fungsi pendidikan tinggi di atas dapat tercapai. Sebaiknya dengan beberapa catatan. Pertama, Proses belajar-mengajar pendidikan tinggi tiap PT diharapkan memunculkan warna unggulan PT dengan SDA-SDM wilayah terkait, untuk memungkinkan peserta didik “belajar” tentang kekayaan/keberagaman SDA-SDM dari berbagai wilayah (tak kenal – maka tak sayang, untuk meningkatkan kebanggaan/cinta tanah air dsb); sekaligus sebagai kontribusi nyata PT yang relevan bagi masyarakat berdasar masalah/potensi SDA-SDM wilayah terkait. Kedua, Kita dalam era Bonus Demografi, hingga peran PT sangat krusial bagaimana kompetensi lulusan sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan DUDI mendatang, antara lain dalam rangka mencegah Bonus Demografi menjadi kutukan demografi. Ketiga, Tetapi peran PT dengan tridharma-nya tidak hanya menghasilkan lulusan yang dapat memberikan dampak bagi DUDI, melainkan juga bagi masyarakat keilmuan (misal S1 yang disiapkan untuk S2-S3), dan juga bagi masyarakat umum (misal untuk berkarya di lembaga sosial, heritage, lingkungan, dlsb).
Komunita: Apakah orientasi pendidikan tinggi perlu diubah atau perlu visi baru ? Kemana fokus orientasinya ? Apakah seirama dengan “Merdeka Belajar – Kampus Merdeka”?
Prof. B.S. Kusbiantoro, Ph. D.: Dalam era VUCA – ketimbang terjebak mengejar ranking/akreditasi dsb. – yang rentan berubah/tergeser dsb. – seyogyanya – back to basics – apa visi – kontribusi nyata PT dengan tridharma-nya (pendidikan dna pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat) bagi masyarakat. Yakni bagi; a) masyarakat masa kini (DUDI, masyarakat keilmuan, masyarakat umum); b) masyarakat masa yang akan datang (lingkungan alam yang merupakan titipan generasi mendatang, dsb); c) masyarakat masa lalu (lingkungan buatan bernilai sejarah yang merupakan warisan nenek moyang, dsb) baik dalam tataran lokal, nasional, global. Sedang arah/semangat MBKM “benar” (sejiwa dengan proses belajar-mengajar di atas), dengan catatan pelaksanannya jangan sampai terlalu rinci/kaku dengan beban administratif terlalu banyak dsb.
Komunita: Upaya faktual dan konkrit Perguruan Tinggi/PT selaku institusi pendidikan tinggi, juga dosen selaku pendidik mewujudkan ketiga fungsi pendidikan tinggi di tengah disrupsi digital, sekaligus membekali Generasi Z menyongsong masa depan mereka ?
Prof. B.S. Kusbiantoro, Ph. D.: Tugas, tanggung jawab, wewenang Yayasan selaku badan penyelenggara (bersama PT selaku badan pengelola) untuk menetapkan visi – kontribusi nyata bagi masyarakat dsb. Tugas, tanggung jawab, wewenang PT untuk menghasilkan kuantitas dan kualitas peserta didik yang mampu memberikan dampak tsb; menyiapkan dana tau melaksanakan proses belajar-mengajar terkait (the required processes), dan Yayasan (bersama PT) menyiapkan apa yang dibutuhkan untuk semuanya (the needed inputs). Misal: a) untuk proses belajar-mengajar tersebut dibutuhkan dosen dengan “kompetensi” tertentu, bagaimana hal ini disiapkan dst. – dalam program capacity building terkait serta anggarannya dst. b) untuk proses belajar-mengajar tersebut dibutuhkan infra penunjang yang seperti apa, dst. c) dll. Berdasar hal di atas disusun Renstra dst.
Komunita: Bagaimana pengembangan terkait jurusan/prodi, kompetensi, kurikulum, model & substansi pembelajaran serta lainnya dalam membekali Gen Z agar mereka mampu mandiri atau match dengan dunia kerja ?
Prof. B.S. Kusbiantoro, Ph. D.: Pada satu sisi, program studi menuntut terpenuhinya kompetensi keilmuan terkait. Pada sisi lain, dalam era VUCA peserta didik harus dibekali dengan berbagai kompetensi “lain” (T-shape learning dsb), termasuk kegiatan ko/extra-kurikuler (dalam rangka peserta didik siap untuk antisipasi menerus makin besar serta tingginya dinamika perubahan, termasuk kemungkinan tergesernya kompetensi program studi terkait).
Hal ini tentunya merupakan PR/pekerjaan rumah bagi tiap PT untuk menyelaraskan hal di atas. Selain itu, Sistem regulasi seyogyanya juga harus cukup lugas agar memungkinkan tiap PT melakukan penyelarasan tsb.
Komunita: Harapan dan pesan terhadap pemerintah, pimpinan PTS, dosen dan mahasiswa, juga orang tua dalam rangka memberikan pembelajaran yang tepat bagi Gen Z tersebut ?
Prof. B.S. Kusbiantoro, Ph. D.: Memang kita perlu mencermati dan memaknai dinamika perubahan ini dengan beberapa hal berikut.
CIPTAKAN KARAKTER UNGGUL PT
Prof. Dr. Endang Komara, M.Si.
Ketua Paguyuban Guru Besar LLDIKTI Wilayah IV
Guru Besar ASN LLDIKTI Wilayah IV Dpk – STKIP Pasundan, juga Ketua Senat Universitas Nurtanio Bandung.
Prof. Endang – guru besar Sosiologi Pendidikan adalah sosok pencerah yang mendorong peserta didik untuk senantiasa menggapai mendidikan sebagai keniscayaan. “Life Long Education” , pendidikan seumur hidup, pendidikan tidak memandang usia itulah yang selalu didengungkan kepada peserta didik dan siapapun. Kami berkenalan dengan beliau ketika berkecimpung di organisasi ABP PTSI Jawa Barat, sekaligus guru kami.
Kami menghubungi beliau mohon waktu berbincang tentang Generasi Z dan Pendidikan Tinggi. Beliau dengan spontan bersedia memberikan pandangan dan perspektif terkait topik tersebut. Berikut bincang-bincang kami.
Komunita: Perspektif Prof. Endang selaku pendidik menyikapi Industri 4.0 berkaitan dengan Generasi Z.
Prof. Endang Komara: Saya mencoba merumuskan dua konsep untuk membekali generasi Z/Gen Z di tengah industri 4.0. Pertama, berdasar hasil sensus tahun 2020 ada 6 (enam) generasi di Indonesia yakni: veteran generation (mereka yg lahir thn 1925-1946), kemudian generasi kedua – baby boomer (lahir thn 1946–1960 sekitar 21.88 % dari 272 juta penduduk Indonesia), ketiga – generasi X (lahir thn 1960-1980 itu ada sekitar 21.88 %), keempat – Generasi Y atau generasi milenial (lahir thn 1980-1995 berusia 24-39 tahun, sekitar 28.87 % atau 69.39 juta penduduk), dan kelima – Generasi Z (lahir thn 1995-2010 berusia 8-23 tahun, ada 27.94% atau 75.49 juta penduduk dan merupakan generasi terbanyak saat ini), dan terakhir yang keenam – Generasi Alpha (lahir thn 2010- keatas). Generasi Z disebut juga Generasi Net atau Generasi Internet. Mereka memiliki kesamaan dengan generasi Y, tapi mereka mampu mengaplikasikan semua kegiatan dalam satu waktu seperti nge-tweet, menggunakan ponsel, browsing dengan PC, dan mendengarkan musik dengan menggunakan headset, apapun yang dilakukan kebanyakan berhubungan dengan dunia maya sejak kecil sudah mengetahui teknologi gadget canggih yang secara tidak langsung berpengaruh pada kepribadian manusia.
Karakteristik Generasi Z yang pertama fasih teknologi/kids safey/web safy atau Friendly generation. Mereka adalah generasi digital yang mahir dan gandrung akan teknologi informasi dan berbagai aplikasi komputer. Mereka dapat mengakses informasi yang mereka butuhkan secara mudah dan cepat, baik untuk kepentingan pendidikan, maupun kepentingan kehidupan keseharian lainnya. Kedua, aspek sosial mereka sangat intens berinteraksi melalui media sosial dengan semua kalangan khususnya teman sebaya, melalui berbagai situs jejaring seperti facebook, instagram, twitter, SMS. Melalui media ini mereka bisa mengekspresikan apa yang dirasakan dan dipikirkannya secara spontan. Ketiga Ekspresif, mereka cenderung toleran dengan perbedaan kultur dan sangat peduli terhadap lingkungan. Keempat multitasking, mereka terbiasa dengan berbagai aktifitas (menonton, membaca, berbicara, atau mendengarkan musik) dalam waktu bersamaan. Kelima, cepat berpindah dari satu pemikiran/pekerjaan ke pemikiran/pekerjaan yang lain atau fast Switcher. Keenam, senang berbagi.
Revolusi industri 4.0 merupakan fenomena yang mengkolaborasikan teknologi cyber dan teknologi robotic, konsep penerapan automatisasi teknologi tanpa memerlukan tenaga kerja manusia dalam proses mengaplikasikannya untuk menambah nilai efisiensi pada suatu lingkungan kerja dimana manajemen waktu dianggap sebagai sesuatu yang vital dan sangat dibutuhkan bagi pemain industri. Revolusi industri 4.0 memanfaatkan teknologi pada bidang industri adalah proses pembukuan dan produksi yang kini bisa dengan mudah diakses oleh siapa saja dan kapan saja.
Revolusi industri 4.0 mengandung sembilan pilar utama teknologi yang mengembangkan sebuah industri menuju industri yang siap digital. Pertama, Internet of Thing (IoT) yakni alat yang terhubung dengan internet dan saling terintegrasi; kedua, Big Data yaitu istilah yang menggambarkan volume data yang besar baik terstruktur maupun tidak terstruktur; ketiga, Argumented reality yakni teknologi yang menggabungkan benda maya 2Dimensi atau 3Dimensi ke dalam sebuah lingkungan nyata 3D lalu memproyeksikan benda maya tersebut dalam waktu yang nyata; keempat, Cyber Security yakni upaya untuk melindungi informasi dari adanya cyber attack; kelima, Artificial Intelligence yaitu beberapa produk teknologi yang berinteraksi langsung dengan manusia; keenam, Addictive Manufacturing yakni terobosan baru di industri manufaktur yang sering dikenal dengan menggunakan prinsip 3D; ketujuh, Simulation mewakili operasinya dari waktu ke waktu seperti simulasi teknologi untuk optimalisasi kerja, teknik seperti simulasi keselamatan, pengujian, pendidikan, pelatihan, video games; kedelapan, System Integration; kesembilan, Cloud Computing yaitu komputasi awan menjadikan internet sebagai pusat pengolahan data dan aplikasi.
Kemudian hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Informasi Indonesia (APJII) pada tahun 2017 menunjukan sekitar 143.26 juta jiwa penduduk Indonesia menggunakan internet. UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan UU No 40 thn 2008 tentang penghapusan diskrimasi Ras dan Etnis serta tindakan ketika ujaran kebencian telah mengakibatkan terjadinya konflik sosial. Motif seseorang menyebabkan HOAKS ada bermacam bisa karena uang, politik, ideologi, kebencian, ataupun hanya iseng semata.
Karena itu, Gen Z perlu mengetahui etika dalam ber-media sosial. Pertama, jangan mengumbar hal pribadi. Kedua, hindari kata-kata kotor, debat kusir, hasutan, dusta, dan opini negative. Ketiga, jangan menyebarkan konten pornografi dan SARA (saya mendengar di radio nasional pagi ini, tidak boleh menayangkan gambar mengarah pornografi baik di facebook, atau platform internet lainnya, akan dikenakan sanksi). Keempat, sharing (sebelum sharing harus sesuai dengan UU ITE). Kelima, jangan plagiat (UU Hak Cipta). Keenam, Pahami konten menyeluruh. Ketujuh, Opini dengan fakta dan data. Kedelapan, tidak boleh menggunakan nama samaran (UU KUHP Pasal 378).
Komunita: Dunia pendidikan mengalami problematik dalam menghadapi Industri 4.0 dan kehadiran Generasi Z. Dimana hal yang paling krusial ?
Prof. Endang Komara: Permasalahan pendidikan baik di tingkat Dasar, Menengah, atau Perguruan Tinggi, menurut hemat saya ada 3 hal yaitu: 1) pemerataan; 2) peningkatan kualitas; 3) Daya Saing. Dalam kaitan itu Industri 4.0 dan membekali Gen Z adalah bagaimana menciptakan karakter unggul di Perguruan Tinggi dengan enam kata kuncinya.
Pertama, Merdeka dalam belajar. Di PT pada Kampus Merdeka – Merdeka Belajar yang memiliki tiga ukuran, yaitu: melalui Blended learning/ hybrid learning, PJJ, serta diterapkannya Permendikbud No. 3 Tahun 2020, dimana mahasiswa diberikan hak belajar di luar program studinya selama 3 semester, 1 semester di dalam PTnya dan 2 semester di luar PTnya.
Kedua, Pengembangan kepemimpinan. Perlu pembinaan dan penyampaikan pemahaman tentang kepemimpinan. Karena Gen Z yang lahir mulai tahun 1995 – 2010 berarti sekarang sudah hampir 21 tahun dan memasuki Perguruan Tinggi. Maka kepemimpinan/leadership harus diperkenalkan kepada mereka. Apalagi kalau berbicara kepemimpinan ideal. Siapapun yang memberikan peringkat, Rasulullah Muhammad pasti diberikan peringkat yang pertama karena beliau Rahmatan lil alamin dan memiliki tabiat dan karakter shiddiq, tabligh, amanah, fathonah. Itu yang menurut hemat saya diperkenalkan kepada mereka dengan harapan di masa depan bisa menjadi pemimpin yang seperti itu.
Ketiga, Pendampingan Dosen atau Dosen Penggerak. Di Indonesia ini tidak kurang dari 4.300 PT, 200 nya adalah PTN. Berarti begitu besar PTS. Bahkan ada sekitar 1.650-an PTS yang terindikasi “tidak sehat”. Kalau melihat di Tiongkok jumlah universitas sekitar 2.300-an (separuh dari Indonesia). Menurut hemat saya pendampingan dosen ini menjadi salah satu upaya tadi, supaya betul-betul PT terutama di Jawa Barat dan Banten bisa meningkatkan kualitasnya. Sampai hari ini institusi yang sudah memiliki Akreditasi Unggul baru lima (UNPAS, UNISBA, UNPAR, U-Tel, Universitas President). Mudah-mudahan selanjutnya Universitas Widyatama, dan ITENAS berpeluang mendapatkan Akreditasi Unggul. Itu yang berhubungan dengan Pendampingan Dosen atau Dosen Penggerak.
Keempat, General Education, dengan cara para mahasiswa diberikan wawasan kebangsaan. Di dalamnya menyangkut Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, NKRI. Dan saya pikir General Education ini harus diberikan di semester awal. Ketika mereka ada transisi pengenalan antara SMA dan PT, disitula eventnya. Jadi pendidikan bela negara termasuk wawasan kebangsaaan harus disampaikan. Dengan harapan mereka menjadi generasi muda yang memiliki empat paradigma kebangsaan.
Kelima, Pemerintah mendorong entrepreneurial mindset bagi pendidikan tinggi. Jadi tidak salah kalau di PT setiap prodi antara 2 – 4 SKS memiliki pemahaman entepreneurial mindset, agar setelah lulus nanti tuntutan kehidupan mereka jangan hanya menjadi Pegawai Negeri. Mindset pemahaman wirausahawan terbangun. Jika dibandingkan negara tetangga, wirausahawan Indonesia masih rendah sekitar 0.2%, dibandingkan Malaysia, Singapore, Korea (sudah 5% diatas dari total jumlah penduduk).
Keenam, Pembelajaran sepanjang hayat. Sesuai tuntutan hadits dan filosofi Pendidikan bahwa pencarian ilmu tidak ada batasan usia, selama ia masih bisa beraktifitas senantiasa harus meningkatkan profesionalitas. Kunci utama meningkatkan profesionalitas ada tiga yaitu: Pertama, mengikuti pendidikan lanjut (mengikuti workshop (pelatihan); kedua, bisa menciptakan berbagai karya tulis; ketiga, ada karya inovatif.
Ketiga hal di atas menurut hemat saya untuk dapat menciptakan karakter unggul. Berikutnya, Penguatan karakter di Pendidikan Tinggi, Pendidikan Dasar, dan Menengah, yang mencakup enam hal.
Komunita: Ada sekitar 4.300-an Perguruan Tinggi, apakah PT bisa melaksanakan? Bagaimana menyikapinya?
Prof. Endang Komara: Saya mengambil klasterisasi atau pe-Ranking-an PT dengan melihat 4 indikator. Pertama, SDM (di PT ukurannya adalah Lektor Kepala, Guru Besar, Doktor). Ketika PT belum banyak Lektor Kepala atau Guru Besar, maka jangan terlalu berharap “dari sangat baik menuju ke unggul”. Begitu pula dengan akreditasi institusi. Jawa Barat Banten memiliki jumlah dosen 27.000-an orang. Setengah dari jumlah tersebut belum memiliki sertifikasi Dosen, juga belum memiliki jabatan akademik dosen. Padahal pengajuan jabatan akademik dosen sekarang bisa online (PT diberikan waktu dari tanggal 1 s.d 15, dari tgl 15 dst biasanya proses penilaian LLDIKTI). Ini yang harus senantiasa kita perhatikan. Sekarang ini yang menjadi ukuran brand image nya memang Lektor Kepala dan Guru Besar.
Kedua, Publikasi ilmiah, Di 2021 Indonesia bisa mengalahkan Singapore dan Malaysia. Yang paling banyak publish jurnal international adalah India, China, Korea Selatan, Jepang, Indonesia (peringkat 5, namun di ASEAN peringkat pertama). Sekarang posisi Indonesia sudah di 50.000-an, sementara Singapore dan Malaysia 30.000-an). Nah, menurut hemat saya publikasi ilmiah harus senantiasa menjadi acuan utama. Artinya, Rektor, Direktur, atau Ketua, senantiasa harus bisa mendorong Dosen, baik itu mereka publish Jurnal nasional terakreditasi SINTA, maupun Jurnal Internasional bereputasi.
Ketiga, Seberapa besar Dosen bisa dimanfaatkan di luar Perguruan Tingginya, baik internal di Kemendikbudristek atau di luar itu (menjadi Sentral penilaian sekarang). Seperti saya, sudah hampir satu tahun bersama beberapa kawan Profesor menjadi staf ahli Wakil Gubernur. Minimal kita bisa memberikan berbagai pemikiran untuk kemajuan Jawa Barat khususnya di aspek Pendidikan.
Keempat, Kualitas prestasi mahasiswa. Kalau dulu bisa dalam berbagai aspek, kalau sekarang harus report ke Belmawa – DIKTI semua kegiatan/aktifitas harus di–upload kesana.
Klasterisasi dan pemeringkatan senantiasa menjadi referensi utama, sehingga menurut hemat saya keempat hal tadi harus mengalami peningkatan. Kalau kata Imam Ali, kalau hari ini sama seperti hari kemarin itu rugi, orang yang beruntung itu hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari yang akan datang.
Komunita: Bagaimana dengan orientasi PT sendiri dalam mensikapi hal di atas. Apakah perlu merubah visi baru dari Perguruan Tinggi secara umum?
Prof. Endang Komara: Hemat saya klasifikasi PT di belahan dunia manapun ada tiga: Learning University, Research University, World Class University. Jika tadi saya petakan PT ada 4.300an di Indonesia (di Jawa Barat ada sekitar 387 PT) dan kita masih 89 % di level Learning University, artinya menganggap dari Tridarma PT, aspek pengajaran yang lebih dominan.
Kalau kami di PT, Dosen yang sudah lulus akreditasi (Serdos) ada BKD LKD, nah mereka jangan kurang melaksanakan 12 – 16 SKS. Kalau pembagian 12 SKS mestinya 6 SKS untuk Pendidikan Pengajaran, 3 SKS Penelitian, sisanya Pengabdian Masyarakat dan sosial penunjang. Mestinya Dosen tidak beranggapan hanya pendidikan pengajaran saja, tetapi juga melaksanakan penelitian. Sekarang ini minimal ada 3 hibah penelitian: penelitian dasar, penelitian terapan, dan pengembangan. Kalau penelitian dasar biasanya luaran/output adalah jurnal, penelitian terapan dituntut outputnya buku, pengembangan outputnya HAKI/Hak Paten. Jadi kalau PT posisi Learning University dosen selayaknya menjalankan hal di atas.
Bagaimana cara meningkatkan peringkat dari Learning University menjadi Research University. Kalau ITB dan UNPAD sekarang kelasnya sudah disitu, para Dosennya banyak yang terlibat dalam hibah penelitian (baik dari pemerintah maupun instansi lain).
Kemudian, World Class University itu lebih ideal lagi. Jadi inti Kampus Merdeka adalah ketika mahasiswa lulus dari PT tidak akan gagap lagi, baik terhadap teknologi ataupun pada pangsa kerja (dunia kerja). Mereka sudah bertransmisi. Ukuran mereka lulusan bagus antara 3 – 6 bulan setelah lulus (untuk S1 dan D3). Kalau untuk S2 rata-rata studi lanjut jadi mereka tidak ada ukuran itu.
Pemanfaatan merdeka belajar untuk standar kurikulum nasional PT ada 8 standar: standar proses, dosen, sarana prasarana, pembiayaan, dll. Itu senantiasa yang harus diperhatikan. Saya mantan Rektor thn 2014-2018, jadi sangat paham bagaimana mengelola PT itu supaya lebih transparansi, akuntabilitas. Saya pikir itu yang senantiasa harus dipertahankan perguruan tinggi kita.
Komunita: Lebih spesifik upaya faktual PT, untuk tiga klasifikasi PT tadi. Apa yang harus dipersiapkan pimpinan PT.
Prof. Endang Komara: PT memiliki Renstra, Statuta, Renop, Anggaran Tahunan, senantiasa itu harus menjadi ukuran di dalam kemajuan dan penilaian terhadap penilaian PT. Katakanlah pada saat menjadi Rektor saya memiliki Dosen sekitar 200 orang. Hampir setiap tahun menyekolahkan Dosen (baik beasiswa ataupun tidak) sekitar 30-50 orang. Hal itu tidak mudah, kita membuka kerjasama dengan berbagai PT yang membuka S3, baik PTN maupun PTS. Kalau mereka ikut beasiswa untuk Doktor biasanya di bawah 40, kalau untuk Magister di bawah 35. Kalau mereka tidak mendapat beasiswa dari pemerintah, kita bantu dan upayakan sesuai kemampuan kita meskipun tidak totally dibantu sepenuhnya, tetapi itu harus di-mapping–kan.
Nanti kira-kira tahun depan orientasinya harus sudah Doktor semua, yang mengamanatkan Guru dan Dosen meraih Strata Pendidikan itu salah satunya UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Mengajar S1 harus Magister (S2), Pascasarjana harus Doktor maupun Profesor. Setelah 15 tahun sudah pasti ke depannya akan ada perubahan lagi. Saya mendorong Dosen untuk menjadi Doktor dalam beberapa tahun ke depan.
Disamping SDM diperhatikan, juga Publikasi. Karena yang bisa mendongkrak pemeringkatan maupun klasterisasi PT adalah Publikasi ilmiah Dosen. Saya mengapresiasi apa yang dilakukan Universitas Widyatama. Mahasiswa tidak harus tesis, tugas akhir bisa juga publikasi jurnal bereputasi, sehingga dengan cara ini bisa mendongkrak pemeringkatan dan klasterisasi PT.
Komunita: Kaitan Industri 4.0 yang memungkin muncul pekerjaan baru. Bagaimana PT harus mengembangkan prodi baru, kurikulum baru, dan kaitan dengan itu. Sementara peminatan masyarakat terhadap prodi belum berubah, tetapi beda dengan industri dituntut adaptif cepat?
Prof. Endang Komara: Saya pikir di tahun akademik ini sudah diberlakukan Kampus Merdeka, dimana mahasiswa memiliki hak belajar kuliah 3 semester (di PT sendiri atau diluar PT nya). Ini peluang.
Analoginya seperti ini: selama ini mahasiswa pandai berenang di kolam sendiri, ketika di kampus pasti sudah paham. Tapi ketika lulus dilepas di lautan/samudera, pasti tidak ingat lagi cara berenang dengan gaya yang mana. Berarti dituntut skills, maka ada 8 pilihan di Kampus Merdeka, yang senantiasa harus ada kerjasama baik dari PT maupun dengan industri. Jika sudah dibuka kerjasama, katakanlah mereka di awal diberikan teori, maka di semester 3 & 4 harus dilepas (dibuka peluang harus bisa kuliah diluar Prodi/PT nya) dengan asumsi mereka tidak akan kaget lagi.
Terkadang begini, jika di laboratorium kampusnya peralatan masih jadul, ketika masuk Industri peralatan sudah lebih canggih/modern, sehingga kalau dia bekerja harus ada pelatihan lagi, nah itu salah satu kendalanya. Setidaknya kalau ada merdeka belajar minimal bisa konsep link and match. Jangan sampai sekarang muncul gap lagi antara industri maupun PT. Dengan cara tadi, akan ada sesuatu yang baru.
Mahasiswa tidak boleh dilepas, tetap harus ada dosen pendamping/ pembimbingnya agar terlihat progresnya. Harapannya beberapa tahun ke depan skills mahasiswa kita mampu berdaya saing lebih bagus, termasuk Dosennya. Kebetulan saya Senat di Universitas Nurtanio, kami ada 3 – 4 PT, salah satu Stikes, uniknya misal mahasiswa ambil D3 atau D4 katakanlah dia bermasalah dengan aspek SPP kemudian dia stagnan, lalu dikirim ke Jepang kerjasama dengan industri di Jepang kemudian bisa mendapatkan upah di atas 10 juta selama 5-6 bulan. Tapi tetap jangan dilepas, harus ada monitor Dosen pembimbing namun jangan Dosen yang sama terus. Dengan cara seperti ini minimal ada input dari industri ke PTnya.
Untuk kurikulum perlu peninjauan ulang 2-5 tahun. Sekarang di pendidikan dasar dan menengah sudah dikenal kurikulum sekolah penggerak. Itu baru di 2.500 sekolah (baik guru dan kepala sekolah sudah melakukan pelatihan guru penggerak). Di Tahun ajaran 2021/2022 sudah diberlakukan kurikulum sekolah penggerak, intinya harus mengadaptasi dunia pendidikan dan industri. Untuk Perguruan Tinggi pun sedang dipersiapkan namanya agak aneh, namanya kurikulum kolaboratif karena nanti harus kerjasama dengan dunia industri. Sekarang masih kurikulum berbasis kompetensi yang berkarakter KKNI.
Komunita: Dari aspek pengembangan kurikulum, kami belum melihat inisiatif dari PT mensiasati industri 4.0. Hanya beberapa PT menciptakan program studi baru berorientasi memenuhi kebutuhan dunia industri.
Prof. Endang Komara: Sebetulnya kebijakan Kemendikbud sudah 5 tahun terakhir yang bisa dibuka adalah STEM (Science, Teknologi, Engineering, Matematika) diluar itu tidak boleh, kecuali membuka Fakultas Kedokteran di daerah terdalam/tertinggal masih bisa. Selain STEM masih moratorium. Apalagi Januari 2022, Kemendikbudristek tidak akan meloloskan Universitas baru atau Prodi baru.
Agar tidak ditinggalkan masyarakat, harus ada peninjauan ulang kurikulum minimal 2 tahun. Karena dunia industri sudah di depan, kurikulum masih tertinggal di belakang maka itulah perlu adaptasi. Ketika dia lulus misalnya X waktu masuk industri ketemunya Y, nah itu akan jadi aneh. Dalam peninjauan kurikulum ada 4 komponen yang harus dilibatkan: stakeholders, alumni, Dosen, mahasiswa (4 komponen ini harus dilibatkan, agar tidak tertinggal). Kalau ditinggalkan biasanya orang tidak menarik lagi. Itulah kenapa prodi-prodi yang ada membuat suatu pembaharuan, perlu ada pencitraan dan bencmarking baik menyangkut mahasiswa, sarana prasarana, dosennya. Biasanya persepsi masyarakat lebih kuat dibandingkan dengan penilaian/informasi yang lain. Menurut saya peninjauan kurikulum di PT harus menjadi rutinitas yang dilakukan agar tidak ditinggalkan masyarakat pengguna (user) PT.
Komunita: Terkait tata kelola PT, ada 2 hal penting: tata kelola itu sendiri dan unsur pemimpin (leadership). Satu pesan Prof. bagi institusi pendidikan, mahasiswa, Badan Penyelenggara, dan kepemimpinan.
Prof. Endang Komara: Betul, jangan auto pilot (berjalan sendiri), jangan ada di zona nyaman. Seorang pemimpin harus ada kreatifitas dan inovasi. Dari sangat baik ke unggul itu harus ada diatas 8 standar tadi baik dari sisi manajerial, dosennya. Apalagi sekarang pandemi sudah mau 3 tahun, menguji Dosen dengan cara online (luring terbatas), kuliah virtual, membimbing juga virtual. Itu harus dilakukan karena Dosen itu berfungsi sebagai fasilitator dan motivator. Jangan sekali kali menghambat mahasiswa kita, karena saya sangat meyakini ketika mahasiswa menulis/mengerjakan tugas pasti perlu bertanya dan sebagai Dosen sangat perlu mengarahkan mereka.
Pendidikan itu tidak hanya tanggungjawab Pemerintah. Ada Badan Penyelenggara, Pelaksana Dosen, mahasiswa. Trilogi ini harus menjadi satu kesatuan agar terjadi kekompakan dan klasterisasi PT. Jadi, pertama, PT perlu ada penguatan baik secara internal maupun eksternal; kedua, Peningkatan SDM tidak bisa ditunda karena sudah ada di alam global, apalagi teknologi semakin deras, komunikasi semakin meng-global. kalau kita tidak mempersiapkan Sumber Daya Berkualitas kita tidak bisa bermain di alam global. Seseorang untuk sukses yang mengandalkan softskills hanya 30% (interaksi di kampus bagus, IPK bagus, prestasi di kampus bagus, interaksi organisasi kampus), sisanya 70% adalah hardskill (tanggungjawab, kejujuran, dia meningkatkan keimanan pada tuhannya, bersinergi dengan lingkungan sekitar, peduli terhadap orang lain). Antara softskill dan hardskill tidak bisa tidak harus diperhatikan, senantiasa menjadi acuan penting dalam PT. Itulah makanya di PT sekarang ada yang namanya IKU yaitu Indikator Kompetensi Utama, yang senantiasa harus dijalankan.
Menurut John Naisbith mengartikan globalisasi itu adalah “Think globally, Act Locally”. Maksudnya berfikir global universal tetapi harus memiliki karakter orang Indonesia dengan adat ketimuran, beragama, bertanggungjawab, kejujuran, disiplin. Itu senantiasa yang harus diperkenalkan dan diterapkan di PT kita, agar supaya memiliki kebanggaan dalam kehidupan dia, keluarga, bangsa dan Negara. Kita pernah menghadapi pemilu 120 juta terdiri dari generasi Z dan Y, mereka harus dibekali jangan transaksional. Karena merekakan calon pemimpin di masa depan. Selama kejujuran dikesampingkan dan kesejahteraan masih kurang, jangan harap bangsa ini akan lebih baik dari hari ini. Softskill dan hardskill tetap harus menjadi referensi utama. Softskill itu akademik, dan hardskill (non Akademik). Konsep pembelajaran 2021 salah satunya adalah kolaboratif, tidak bisa hidup di alam global tetapi hidup sendirian. (lili_irahali – 25 Oktober 2021)
(Rewrite & Interview: Lili Irahali – Audio to transcript: Intan Liswandini)