Pergulatan Nyata PTS Menjaga Kampus dan Tranformasi Tata Kelola

0
13 views

Dilema besar: menginvestasikan dana terbatas untuk mutu, atau sekadar bertahan hidup.

Di balik bangunan-bangunan kampus yang megah, dan gemerlap dan hingar bingarnya promosi penerimaan mahasiswa baru, banyak perguruan tinggi swasta (PTS) di Indonesia tengah bergulat dengan kenyataan pahit: defisit anggaran, menurunnya daya beli calon mahasiswa, dan beban operasional yang terus meningkat. Sejak pandemi merontokkan stabilitas keuangan PTS, tekanan fiskal – kenaikan pajak, daya beli masyarakat menurun -;  serta penerimaan mahasiswa baru digerus PTN menjadi momok yang mengancam keberlanjutan layanan pendidikan tinggi swasta.

Dalam situasi ini, pertanyaan krusial pun mencuat: mampukah PTS tetap menjamin mutu akademik di saat neraca keuangan terus berdarah-darah? Data LLDIKTI dan Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), menyatakan setidaknya lebih dari 30% PTS mengalami penurunan signifikan dalam jumlah mahasiswa baru sejak 2020. Bagi sebagian PTS, ini berarti kehilangan hingga lebih 50% dari sumber pendapatan utama mereka: uang kuliah. Kondisi ini diperparah oleh meningkatnya kebutuhan operasional — dari kenaikan harga listrik, dan kebutuhan digitalisasi kampus, hingga tuntutan pengembangan SDM dosen dan akreditasi program studi.

Seorang pengelola PTS di Bandung mengungkapkan “Kami harus merestrukturisasi banyak hal. Bahkan, tahun lalu kami menunda perekrutan dosen tetap baru, dan mengalihkan sebagian kelas menjadi daring untuk efisiensi biaya”. Situasi semacam ini terjadi bukan hanya di kota besar, tapi juga di daerah-daerah yang akses mahasiswa dan sumber daya ekonominya terbatas.

Sementara itu, tuntutan peningkatan mutu pendidikan merupakan hal yang mandatori. Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) dan Kemdikbudristek terus mendorong perguruan tinggi untuk melakukan internasionalisasi, peningkatan kualitas lulusan, dan perluasan jejaring industri. Namun, banyak PTS menghadapi dilema menginvestasikan dana yang terbatas untuk mutu, atau sekadar menjaga agar kampus tetap hidup. Demikian pula seorang pimpinan PTS di Jawa menyebutkan: “Tantangan terbesar kami adalah menjaga keseimbangan antara efisiensi biaya dan kualitas. Mutu pendidikan tak boleh jadi korban, tetapi realitas anggaran sering kali memaksa kami memilih yang paling mendesak.”

Beberapa PTS mencoba bertahan dengan membuka unit usaha pendukung, menjalin kerja sama industri, atau mencari hibah riset dan Corporate Social Responsibility (CSR) dari dunia usaha. Namun, tidak semua PTS memiliki kapasitas jaringan dan SDM untuk menempuh jalur tersebut. Di sisi lain, wacana tentang insentif fiskal dari Negara, bagi PTS yang menyelenggarakan pendidikan berkualitas belum benar-benar terealisasi secara merata.

Dalam menghadapi kenyataan ini, banyak pihak menilai bahwa PTS perlu mengubah paradigma tata kelola. Bukan hanya sebagai pemegang aset kampus, tapi juga sebagai mitra aktif dalam inovasi pendidikan, penggalangan dana, dan kemitraan strategis lintas sektor. “Ini momentum penting bagi PTS untuk keluar dari peran pasif. Mereka harus menjadi aktor strategis yang turut menentukan arah masa depan perguruan tinggi yang mereka kelola,” kata seorang pakar manajemen pendidikan tinggi dari Yogyakarta.

Di tengah krisis ini, masa depan banyak PTS kini ditentukan oleh seberapa cepat yayasan dan pimpinan kampus dapat beradaptasi dengan realitas baru. Antara menjaga keberlanjutan dan mempertahankan mutu, adalah tantangan utama tak lagi bisa dihadapi sendiri atau  berjalan sendiri. Kolaborasi, inovasi, dan tata kelola yang transparan adalah kata kunci yang mungkin bisa menyelamatkan PTS Indonesia dari jurang yang lebih dalam. (@lee)

 

Referensi:

APTISI, 2023. “Krisis Mahasiswa Baru dan Solusi Keuangan PTS.”; LLDIKTI Wilayah IV. Laporan Evaluasi Perguruan Tinggi Swasta 2023; Kompas, 12 Januari 2024. “PTS Menjerit, Mahasiswa Menyusut.”; BPS. Statistik Pendidikan Tinggi Indonesia 2023; BAN-PT. Capaian Akreditasi Institusi dan Prodi 2022–2024.