Pendidikan Tinggi kita sejauh ini dihadapkan pada hingar bingar dan kegaduhan yang seringkali tidak berujung pada perbaikan pada input, proses, output apalagi outcome yang diinginkan banyak pihak. Satu sisi realitas menunjukkan isu plagiarisme yang dilakukan dosen dan mahasiswa dari tahun ke tahun cenderung berulang bahkan meningkat. Kasus heboh plagiarisme terjadi tahun 2000 di UGM – Yogyakarta, tahun 2010 di Unpar dan ITB – Bandung, tahun 2011 di Universitas Riau, tahun 2012 di Universitas Lampung dan UPI – Bandung, tahun 2014 Universitas Kristen Maranatha – Bandung, UGM – Yogayakarta dan Universitas Hasanuddin – Makassar. Bahkan menurut catatan Ditjen Dikti pada 2012 lalu sebanyak 100 dosen setingkat guru besar, lektor dan lektor kepala melakukan plagiat; dan tahun 2013 terungkap 808 kasus plagiarisme di kalangan dosen. Ada kondisi masyarakat yang ingin mendapatkan sesuatu dengan mudah dan cepat atau budaya jalan pintas. Hal ini tentunya, sesuatu yang kontradiksi dengan mimpi Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Muhammad Nasir yang menginginkan perguruan tinggi Indonesia menjadi 10 kampus terbaik di tataran global.
Menristekdikti, Muhammad Nasir merasa galau dengan maraknya plagiarisme di Perguruan Tinggi Indonesia. Kasus plagiarisme menjadi masalah dan perhatian serius. Ia ingin plagiarisme tersebut segera diberantas. Kegalauan saya terhadap perguruan tinggi adalah melihat perguruan tinggi yang melakukan kecurangan-kecurangan di dalam masalah publikasi.
Publikasi dan Kejujuran
Dalam seminar nasional bertema Plagiarisme Dalam Perspektif Etika dan Hukum di Jakarta, 16 April lalu Menristekdikti mengatakan praktik plagiat di dunia pendidikan tinggi perlu diberantas. Kecurangan akademik seperti itu harus dihindari dan pentingnya penegakan hukum terhadap plagiarisme. “Kecurangan dalam pendidikan tinggi ini harus ditata karena menyangkut masalah kejujuran. Publikasi dari riset ilmuwan menjadi tolak ukur. Namun harus diperhatikan apakah hal yang dipublikasi terjadi plagiat atau tidak. Peraturan terkait plagiarisme sudah tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Aturan tersebut mengkategorikan plagiarisme sebagai pelanggaran ringan dan berat, sampai mencabut predikat guru besar. Menristekdikti menegaskan, “Perlu penegakan hukum untuk berantas kecurangan. Kita ingin tingkatkan sumber daya manusia yang berkualitas. Ia menambahkan dalam proses kenaikan pangkat dan menjadi guru besar dicek secara online di Kemristekdikti untuk mengetahui apakah ada potensi plagiat. Sebab praktik plagiat sebelumnya kerap terjadi berulang. Sistem online ini juga menegakkan kebenaran dan keadilan. “Jangan sampai ketika membuat prototipe memakai paten orang lain sehingga yang dihasilkan prototipe palsu,” paparnya.
Buat Sistem Pencegahan Plagiat
Menristekdikti mengatakan plagiat itu seperti mencuri hak orang. Haram hukumnya bagi saya, kata M. Nasir. Menurutnya plagiarisme juga banyak ia lihat di lingkungan Kementerian Ristekdikti. Hal itu diketahui saat ada yang mengajukan karya ilmiah untuk kenaikan jabatan atau untuk menjadi guru besar.
Sepanjang tahun 2014-2015 publikasi Indonesia jauh tertinggal dari Singapura, Malaysia dan Thailand. Penting upaya mendorong publikasi riset dengan tetap menjaga etikanya. Plagiat harus diberantas supaya masyarakat terlindungi. Sehubungan dengan itu, ia berharap semua perguruan tinggi membentuk dewan etik atau dewan kehormatan untuk menyelesaikan persoalan plagiarisme tersebut. Ia menerangkan Kementerian Ristekdikti sudah mengatur soal plagiarisme lewat Peraturan Menteri. Apabila mereka melakukan pelangaran hal semacam ini. Kalau berat, untuk guru besar bisa dicabut guru besarnya.
Plagiarisme Mahasiswa
Saat ini generasi muda Indonesia (termasuk mahasiswa/remaja) sedang mengalami banyak godaan. Kasus plagiarisme, ijazah palsu, sex bebas, dan lain-lain yang merusak adab dan moral generasi muda semakin mencuat dan mencuat. Hal ini merupakan bentuk ukhuwah yang salah. Ukhuwah dalam kemaksiatan dan kemungkaran merupakan perbuatan tercela dengan dosa yang berlipat ganda. Untuk mengantisipasi dan membungihanguskan masalah ini, salah satu pihak yang berperan adalah perguruan tinggi. Perguruan tinggi merupakan sarana menanamkan pendidikan pada mahasiswa, pendidikan akademik, pendidikan akhlak, dan pendidikan moral.
Melalui pendidikan moral diharapkan terjalin ukhuwah yang benar, ukhuwah yang hakiki yang pada akhirnya diharapkan mampu meningkatkan prestasi, mutu, dan daya saing kita. Pendidikan di perguruan tinggi bukan sekedar proses pengayaan intelektual, tetapi juga menumbuh-kembangkan nilai-nilai luhur insani bagi kemajuan peradaban bangsa.
Menristekdikti, M. Nasir menyesalkan terjadi tindakan plagiarisme skripsi oleh mahasiswa. Ia menegaskan, pembuatan skripsi palsu akan mencoreng dunia pendidikan di Tanah Air. Untuk antisipasi plagiarisme, Kemenristek Dikti menyerahkan ke masing-masing universitas untuk melacak secara teliti hal tersebut. Kalau terjadi maka perlu diberikan sanksi oleh kampus. Namun, merujuk pada pengalamannya sebagai dekan di Universitas Diponegoro Semarang, menurut Nasir, mahasiswa yang ketahuan melakukan plagiarisme harus membuat kembali karya ilmiahnya.
Menurut Nasir, sejauh ini Kemenristek Dikti telah menemukan tempat pembuatan skripsi palsu di Jalan Pramuka, Jakarta Timur, dengan menangkap tiga pelaku. Bahkan, tempat tersebut turut menjual skripsi dari UI. Kalau permintaan tinggi, muncul suplai, ucapnya di sela-sela peninjauan pelaksanaan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2015 di kampus Universitas Indonesia (UI) Depok, Jawa Barat, Selasa (9/6).
Dalam acara talkshow Indonesia Mencari Doktor di Aula Barat Institut Teknologi Bandung (ITB) Bandung, 8 Oktober 2015 lalu, Menristekdikti, Mohammad Nasir mendorong generasi bangsa untuk terus berkarya dan berinovasi dengan merujuk orisinalitas. Dia mewanti-wanti agar praktik plagiarisme atau plagiat jangan didekati. “Jangan menjadi plagiarisme. Hukumnya haram, harus dijauhi,” ucap Nasir di hadapan ratusan mahasiswa, dosen dan pegiat pendidikan. Dia menginginkan para penerus bangsa menjadi tokoh-tokoh hebat yang membanggakan Indonesia.?”Mari membangun anak bangsa yang baik dan beretika,” tegas Nasir.
Bermimpi Kampus Indonesia Masuk 10 Terbaik Dunia
Menristekdikti berharap ada perguruan tinggi Indonesia yang masuk dalam daftar sepuluh kampus terbaik dunia. Sejauh ini, sepuluh kampus terbaik dunia masih didominasi perguruan tinggi di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Belanda, Australia, Kanada, Swiss, dan lainnya. Kampus-kampus terbaik di Indonesia baru masuk terbaik Asia, itu pun masih dalam 100 besar.
Menteri mengakui bahwa memang tak mudah untuk mencapai sepuluh besar. Pertama dan utama adalah harus mengubah pola pikir dunia akademik Indonesia menjadi?national competitiveness?atau memiliki kompetensi nasional. M. Nasir menyebutkan sejumlah tolok ukur agar perguruan tinggi di Indonesia memiliki kompetensi nasional. Pertama,?skill worker?atau keterampilan tenaga kerja. “Lihat dosen yang dimiliki, kualifikasi doktor berapa banyak, sudahkah mencapai 50 persen. Kalau masih kurang harus ditingkatkan lagi,” kata Nasir dalam sebuah seminar di kampus Universitas Negeri Makassar, Kamis, 20 Agustus 2015.
Tolok ukur kedua adalah inovasi atau penemuan hasil riset. Kalau banyak inovasi dalam suatu negara, pasti berdampak langsung pada kompetensi nasional. Inovasi itu memang seharusnya lebih banyak muncul dari perguruan tinggi dibanding lembaga lain. Hasil riset dan inovasi pun dapat dimanfaatkan untuk masyarakat atau kalangan industri, sehingga mampu menyerap banyak tenaga kerja. Semakin berkurang tingkat pengangguran, tentu akan meningkatkan kompetensi nasional. Menggiatkan riset di perguruan tinggi, kata dia, merupakan masalah tersendiri. Soalnya ada sejumlah kriteria yang harus dipenuhi, di antaranya, dosen yang berkualitas. Dosen yang berkualitas itu ditunjang oleh kompetensi, riset, dan publikasi yang dilakukannya.
Dia mewanti-wanti dosen maupun mahasiswa Indonesia agar menghindari penjiplakan atau plagiarisme. Tindakan itu tak hanya melanggar etika pendidikan maupun intelektual, melainkan juga mengurangi kreativitas dan inovasi yang seharusnya lahir dari karya orisinal.
Tingkatkan Riset
M.Nasir mengatakan, kemenristek saat ini menuntut para dosen agar meneliti dan menerbitkan hasil-hasil penelitiannya. Minimnya riset dan penelitian dari sejumlah perguruan tinggi di tanah air dituding sebagai penyebab anjloknya posisi Indonesia di tingkat internasional. Tak heran, hanya dua perguruan tinggi di Indonesia yang masuk jajaran dunia, padahal sebelumnya ada enam.
Ia juga memaparkan tentang tingginya plagiarisme di berbagai kampus. Plagiarisme itu ditandai dengan banyaknya ijazah aspal (asli tapi palsu) yang beredar. Bahkan ada belasan skripsi aspal. Saat ini sedang kita investigasi, katanya. Akibat plagiarisme itu, sampai-sampai pihak perguruan tinggi luar negeri, khususnya di Inggris, ada kampus yang tidak mengakui ijazah mahasiswa Indonesia. Plagiarisme menurut Nasir, salah satunya muncul akibat sifat serakah sejumlah dosen. Sifat serakah yang hanya ingin mengejar uang tanpa mengejar mutu. Karena itu ia mengingatkan agar pembukaan program studi baru di perguruan tinggi jangan sampai hanya sekadar mencuri dosen dari prodi lain, sehingga akreditasinya hanya C. Ini namanya latah, dalam bahasa Jawa artinya serakah, sambungnya.
Upaya meningkatkan akreditasi juga tak lepas dari peran guru besar dan kinerja dosen? dalam meningkatkan jumlah dan mutu publikasi karya tulis akademik. Sebisa mungkin bisa berkompetisi di tingkat nasional dan internasional. Dengan catatan praktik plagiarisme, harus dihindari.
Sumber : (www.sp.beritasatu.com), (www.kabarkampus.com), (www.sinarharapan.co), (www.news.detik.com), (www.news.detik.com), (www.jelasberita.com)