SUATU hari saya menyimak cerita seorang sahabat tentang sebuah perguruan tinggi dimana “dosen dan karyawannya sedang tiarap”. Ibarat danau yang airnya begitu tenang tanpa riak.
Tiarap menurut persepsi saya tentunya tidak ada motivasi untuk berkreasi, maju dan berkembang, semua tergantung boss. Sehingga semua berjalan semu, dan penuh kemunafikan.
Sesuatu hal yang tidak sehat bagi organisasi pembelajar seperti penguruan tinggi.
Saya telusuri dan menemukan referensi. Rupanya perguruan tinggi tersebut sedang menghadapi “Quiet Quitting”. Sebuah istilah di dunia kerja sebagai bentuk ketidak berdayaan dan mekanisme bertahan karyawan menghadapi sesuatu yang merisaukan namun tidak berdaya.
Majalah Time edisi 23 Agustus 2022 dalam artikel “Employees Say ‘Quiet Quitting’ Is Just Setting Boundaries, Companies Fear Long-Term Effects”, yakni “berhenti diam-diam” yang merupakan konsep untuk tidak lagi bekerja melampaui batas dan hanya melakukan apa yang diminta sesuai deskripsi pekerjaan.
Sedang Harvard Business Review (HBR) edisi 31 Agustus 2022 dalam artikel “Quiet Quitting Is About Bad Bosses, Not Bad Employees”, menyebutkan banyak orang pada titik tertentu dalam kariernya, telah bekerja untuk manajer yang mendorong mereka “berhenti secara diam-diam”.
Hal ini disebabkan perasaan yang diremehkan dan tidak dihargai, dimana manajer bersikap bias atau terlibat dalam perilaku yang tidak pantas. Situasi tersebut tentunya merugikan kedua pihak, lembaga dan juga karyawan.
Lembaga secara tidak sadar telah mematikan kreativitas dan perilaku inovatif karyawan yang mendukung pertumbuhan lembaga dalam jangka panjang serta keberlanjutan lembaga.Sementara bagi karyawan sendiri akan menghambat pengembangan karirnya.
Latar belakang “Quiet Quitting” adalah kegagalan komunikasi antara karyawan dengan atasan dan lembaga. Karena itu ada dua sudut pendekatan yakni: dari sudut atasan dan bawahan dengan membuka komunikasi, serta dari sudut lembaga tentunya dengan menerapkan sistem yang terbuka dan adil khususnya dalam merawat dan mengembangkan sumber daya manusia.
Apalagi, perguruan tinggi yang mengemban fungsi mengembangkan potensi sumber daya manusia generasi masa depan. Seharusnya perguruan tinggi dikelola dengan semangat mengutamakan manusia. Yakni manusia yang terlibat dalam proses penyelenggaraan, pengelolaan, dan proses pelayanan pendidikan dalam menyiapkan sumber daya manusia generasi masa depan.
Organisasi nirlaba merupakan organisasi yang bersasaran pokok mendukung suatu isu atau perihal di dalam menarik perhatian publik untuk suatu tujuan yang tidak komersial, tanpa ada perhatian terhadap hal-hal yang bersifat mencari laba (moneter).
Kabar terakhir perguruan tinggi tersebut telah menentukan pemimpin baru. Semoga kepemimpinan baru dapat membawa situasi yang lebih menyegarkan, serta tidak terjebak pada situasi sebelumnya, sehingga secara bertahap dapat menghilangkan “Quiet Quitting” yang merugikan semua pihak. Wallahualam.***
*) Pemerhati Pendidikan Tinggi