RESENSI : SELF DRIVING

0
2,518 views

.SELF DRIVING

C:\Users\ll\Downloads\IMG_20210824_161103.jpg

Menjadi Driver atau Passenger?

.

Judul : Self DrivingMenjadi Driver atau Passenger ?
Penerbit : Mizan
Penulis : Rhenald Kasali, Ph.D.
Ketebalan : 272 hlm
Cover : Soft Cover (doff)
ISBN : 978-979-433-851-3
Berat : ± 300 gr
Tahun Terbit : 2014

.

.

  Ada tiga alasan kuat untuk membeli buku ini. Pertama, buku jadi referensi banyak orang yang bermimpi menjadi pemimpin yang tangkas, penulisnya cukup terkenal, serta karena kajian dalam buku tersebut tampak menarik. Untuk buku ini, saya memiliki ketiga alasan di atas yang menggelitik minat baca saya.

  Sesuai judulnya Self Driving, buku ini berisi tentang pilihan menjadi insan pemimpin atau …..? Pilihannya ada dua, sebagai driver (pengemudi) atau passanger (penumpang). Padahal hakekatnya, manusia terlahir sebagai seorang Driver. Ia diberikan anugerah yang luar biasa oleh Tuhan untuk menentukan nasibnya sendiri. Anugerah itu berupa kendaraan yang bernama “Self yang diperkuat instrumen akal dan hati. Baik hati maupun akal, keduanya hibah dari Allah yang dikaruniakan kepada manusia yang hakekatnya agar mampu men – driver dirinya sebagai manusia.  Hanya dengan Self Driving, manusia bisa mengembangkan semua potensinya dan mencapai sesuatu yang tak pernah terbayangkan. Sedangkan mentalitas passenger yang ditanam sejak kecil, dan dibiarkan para eksekutif hanya akan menghasilkan keluhan dan keterbelengguan.

  Dari bab satu hingga bab akhir, buku ini mensajikan banyak hal terkait perbedaan antara driver dan passanger. Renald juga membedah istilah lain, seperti bad driver (pengemudi yang buruk), dan good passanger (penumpang yang baik).

  Kita semua adalah pemegang mandat kehidupan. Allah memberi mandat kepada manusia menentukan pilihan di bumi dengan menggunakan akal pikirannya untuk  berpikir, berinovasi, menganalisis, serta menjelajah kehidupan tersebut dengan penuh tantangan, atau diam saja sebagi penumpang.

  Potensi dasar manusia yaitu potensi yang berkenaan dengan alat dan sarana manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan pilihan diri sebagai driver atau passanger. Alat tersebut berupa pendengaran, penglihatan dan hati (hati adalah akal yang berpusat di kalbu). Daya dan indera diperoleh manusia secara berangsur-angsur. Setiap kali terjadi pertumbuhan pada manusia, maka bertambah pula daya pendengaran, penglihatan dan daya akalnya hingga mencapai tahap dewasa. Manusia diminta selalu berpikir ke mana ia akan pergi mencapai tujuan hidupnya. Itulah upaya seharusnya menggunakan mandate yang diberikan Tuhan.

  Ada yang menggunakan mandat itu untuk tumbuh dan berkarya, sedangkan yang lain menyimpan surat kuasa itu dalam sakunya, sebagai dokumen pribadi. Keduanya memiliki mandat tetapi keberadaannya berbeda. Dan tentu saja kehidupannya berbeda. Sesuatu yang ada pada diri kita, itulah kendaraan kita. Ia telah menjelma menjadi kekuatan mencipta, berkarya, berprestasi, atau berkreasi. Kita menyebutnya sebagai gabungan antara kompetensi (what you can do), kecekatan, dan perilaku (your attitude, your gesture).

  Maka dari itu, kita memerlukan kendaraan dan pengemudinya. Namun, problematika sistem pendidikan di Indonesia dari tahun ke tahun adalah sama, SDM yang dihasilkan lebih dari 90% menjadi seorang passenger. Mereka cenderung pasrah akan keadaan, memilih hidup di zona nyamannya sebagai seorang penumpang.

  SDM tersebut dilahirkan dengan sebuah budaya pendidikan yang dinamakanproteksi”. Tentunya pendidikan dimulai dari lingkungan keluarga terlebih dahulu. Tradisi mengasuh anak dengan proteksi yang berlebihan. Dampak dari proteksi yang berlebihan tersebut jelas, bahwa ketika dewasa hal itu terbawa. Kaum muda justru akan cenderung menjadi lemah dalam mengambil keputusan. Pada hakekatnya, bangsa yang hebat adalah a driver nation. Driver nation” sendiri hanya bisa dihasilkan oleh pribadi-pribadi yang disebut Driver”, yang menyadari bahwa ia adalah mandataris kehidupan, dan pemimpin-pemimpinnya sadar bahwa ia mendapatkan mandataris dari rakyat untuk melakukan perubahan. Maka dari itu yang harus dilakukan, yaitu bagaimana men-drive sendiri, men-drive orang lain, dan men-drive bangsa ini. Menjadi Driver harus bisa menentukan arah dan menanggung resiko ke depannya. Itulah sikap mental seorang Driver.

  Kebanyakan mahasiswa saat ini, hanya sekedar memindahkan isi buku mereka kepada kepala mahasiswa. Fakta ini didukung oleh kenyataan, bahwa hanya 2% dari seluruh mahasiswa yang menikmati kuliah di Perguruan Tinggi yang menjadi pemimpin (Driver), selebihnya menjadi penumpang (Passenger). Di banyak negara, sebagian besar penduduk berprofesi sebagai pegawai. Dan hanya kurang dari 2% penduduk yang membangun usaha dari nol menjadi pengusaha menengah dan besar. Dari ratusan profesional yang bekerja hanya kurang dari 2% yang menjadi pemimpin atau menjadi pejabat eselon satu di pemerintah. Dan hanya 2% dari pemimpin tersebut yang melakukan perubahan. Mengapa hanya 2% ? mungkin karena orang-orang ini berfikir pendek tanpa memikirkan cara alternatifnya dan memilih untuk bersabar.

  Banyak cara yang dapat dilakukan oleh seseorang yang ingin bertranformasi menjadi seorang pengendali, yaitu dengan cara melatih diri menghadapi risiko. Beberapa tips melatih pengambilan risiko dijelaskan dalam buku itu. Diantaranya: tidak membuang waktu, melatih persepsi diri, menumbuhkan persepsi, berinvestasi, selalu belajar, dan mengukur kemampuan.

  Semua materi disajikan dengan motivasi-motivasi berupa cuplikan tulisan baik dari koran-koran nasional, baik yang bermuatan ilmu, maupun rangkuman profil dari orang-orang yang sukses menjadikan dirinya pemimpin bagi perusahaan hingga negara. Bahasa yang ditulis dalam buku ini pun mudah dimengerti.

  Buku ini layak disandingkan dengan buku Rich Dad, Poor Dad  karya monumental dari Robert T. Kiyosaki. Bedanya, Robert T. Kiyosaki berfokus pada tokoh ayah kaya dan ayah miskin. Sedangkan Rhenald Kasali berfokus pada driver dan passanger

  Bagi kita yang ditengah jalan mulai merasakan hidup yang cenderung biasa-biasa saja, maka baca saja Self Driving, siapa tahu habis membaca, mental yang dulunya seorang passanger, kemudian berubah menjadi seorang driver.

  Akhir kata, berikut sebuah pandangan dari Rhenald Kasali yang menarik untuk direnungkan: “Berdasarkan pengamatan saya, salah satu persoalan berat yang dihadapi bangsa ini dalam menghadapi perubahan adalah rendahnya kemampuan kita untuk keluar dari comfort zone (zona nyaman).”

@ Intan Liswandini

.