Sejak dilantiknya Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, maka dimulailah perencanaan infrastruktur untuk mencover kelancaran pembangunan Indonesia baik dari pembangunan Jalan, Airport, Jembatan, Pelabuhan dan lain sebagainya. Hal ini dapat maklumi dikarenakan ketertinggalan Indonesia dalam memenuhi kebutuhan infrastruktur sebagai penunjang pengerak ekonomi nasional. Sebagai contoh, Jokowi mengatakan bahwa sejak merdeka Indonesia hanya dapat membangun 800 Km jalan saja (Sumber: www.merdeka.com Minggu, 13 Desember 2015). Sehingga era saat ini lebih cenderung bisa disebut “Era Booming Pembangunan Infrastruktur Indonesia”.
Data Badan Pusat Statistik (BPS), menggambarkan sumbangan sektor konstruksi terhadap produk domestik bruto (PDB) semakin tahun semakin meningkat. Pertumbuhan sektor konstruksi pada 2004-2013 menyumbang rata-rata 7,35 persen, sedangkan PDB rata-rata 5,8 persen. Selama periode itu, sektor konstruksi memberikan kontribusi terhadap PDB rata-rata 8,79 persen. Kenaikan ini memperlihatkan peranan strategis sektor konstruksi sebagai penggerak ekonomi nasional. Fluktuasi pertumbuhan sektor konstruksi cenderung bersamaan dengan fluktuasi pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur mendukung sektor ketahanan pangan dan kelancaran proses produksi, meningkatkan aksesibilitas dan ruang mobilitas kepada masyarakat terhadap kegiatan sosial dan ekonomi.
Begitu pentingnya dampak pengaruh kebijakan pembangunan infrastruktur bagi sektor-sektor ekonomi lainnya. Ditambahkan lagi menurut data dari Staf ahli Bidang Logistik dan Multimoda Perhubungan, Kementerian Perhubungan, bahwa biaya logistik Indonesia Indonesia masih mengalokasikan 24 persen dari biaya produksi (Sumber: http://economy.okezone.com, Selasa 21/10/2014). Sehingga nilai barang produksi menjadi lebih tinggi di harga pasaran. Sehingga penurunan biaya produksi sangat tergantung dengan biaya infrastruktur transportasi atau logistik.
Akan tetapi untuk mewujudkan mimpi infrastruktur ini tidaklah mudah, untuk melaksanakan perencanaan infrastruktur tersebut akan sangat diperlukan banyak Sarjana Teknik/ Engineer terutama bidang Core Engineering seperti Teknik Sipil, Mesin, Elektro, dan lain lain untuk membantu pembangunan infrastruktur tersebut. Hal ini bertolak belakang dengan perecanaan infrastruktur yang dibuat dimana Indonesia masih kekurangan SDM yang sangat mendukung infrastruktur yaitu SDM Engineer/Sarjana Teknik.
Data Kementrian Pekerjaan Umum, (Sumber: www.republika.co.id , Jumat, 21 Maret 2014) setiap tahun Indonesia memerlukan 175 ribu sarjana teknik. Sayangnya, Indonesia baru bisa menghasilkan sekitar 40 ribu Sarjana Teknik tiap tahunnya. Berbanding dengan negara lainnya yang mempersiapkan SDM nya untuk membangun infrastruktur bagi negaranya misalnya Cina dan India yang setiap tahun mampu menghasilkan 764 ribu dan 489 ribu Sarjana Teknik.
Kurangnya stok Engineer apabila diabaikan secara terus menerus akan menyebabkan Indonesia tidak memiliki daya saing yang cukup untuk bersaing dengan negara-negara lain di berbagai sector, khususnya bagi dunia infrastruktur, konstruksi dan teknologi. Terutama negara-negara ASEAN khususnya, sebagai pesaing utama bagi merebut jawara kawasan ASEAN untuk berbagai sektor. Belum lagi ditambah pesaing dari kawasan ASIA yang sudah mumpuni yakni: China/Tiongkok, Japan dan Korea masih merajai sektor infrastruktur, konstruksi dan teknologi. Data Engineering News Record (ENR) tahun 2015 mengenai Top 250 International kontraktor dunia, dari sepuluh besar kontraktor diisi 7 Kontraktor dari China/Tiongkok, tidak satupun Kontrator BUMN Indonesia yang mampu masuk dalam kategori ini. Sehingga ke depan pemerintah Indonesia perlu memikirkan SDM Engineer yang mumpuni untuk bisa mencapai sebagai kontraktor BUMN yang mendunia.
Data Badan Pusat Statsitika Indonesia tahun 2012 struktur pendidikan masyarakat Indonesia sebagian besar di sekolah dasar dan menengah. Hanya 9.20% penduduk Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi, baik sarjana maupun diploma, 23.60 % berpendidikan sekolah menengah, 17.99% berpendidikan SMP, 28.92% berpendidikan SD, dan masih ada 20.29% tidak berpendidikan. Dari 9.20% penduduk yang berpendidikan tinggi tersebut mungkin hanya sedikit yang mengambil bidang sebagai Sarjana Teknik/Engineer dan diperparah lagi lulusan perguruan tinggi Sarjana Teknik lebih memilih mengambil profesi lain di luar Engineer. Masalah mendasar inilah yang harus di atasi pemerintah Indonesia untuk menambah daya saing generasi yang akan datang.
Dari data dan analisa di atas kemungkinan besar mau tidak mau untuk mewujudkan mimpi infrastruktur Indonesia maka pemerintah harus import Engineer dari negara lain untuk mencukupi kebutuhan pembagunan Infrastruktur Indonesia. Hal ini diperlukan untuk mempercepat output target pemerintah di bidang infrastruktur dan memang tidak mungkin pemerintah menunggu sehingga Universitas dapat mencetak tenaga-tenaga Engineer yang handal bagi memenuhi target pemerintah dalam jangka waktu dekat.
Guna mendukung program pemerintah dalam memenuhi kebutuhan infrastruktur, Universitas Widyatama sebagai salah satu Perguruan Tinggi telah memiliki Program Studi yang berfokus dan terpusat pada engineering, yakni S1 Teknik Industri, S1 Informatika dan S1 Sistem Informasi. Dalam waktu dekat segera membuka Program Studi baru, yakni: S1 Teknik Sipil, S1 Teknik Elektro dan S1 & D3 Teknik Mesin. Lulusan keempat Program Studi ini dipersiapkan dengan sertifikasi dari lembaga-lembaga yang diakui pemerintah di antaranya Ikatan Ahli Konstruksi Indonesia dan Dirgantara Indonesia, serta dunia industri lainnya. (Hms, 04Jun2018)